BAB 1…
Sambil tersenyum, Elizabeth memandang suaminya yang sedang melangkah keluar dari kamar mandi sambil bersiul-siul kecil. Laki-laki itu melilitkan handuk di pinggangnya dan menyisir rambut hitam legamnya dengan jari.
Elizabeth sendiri sudah berdandan rapi seperti biasanya, walaupun ini adalah hari Minggu. Dia mengikat rambutnya menjadi satu kuciran kuda yang manis, dan mengenakan sepotong blus tipis yang dipadu dengan celana stretch berwarna senada.
DonFatta memperhatikan celana jeans hitam yang tergeletak di atas kasurnya. Di sebelah celana itu ada kaus warna abu-abu keluaran Joger. Elizabeth telah memilihkan pakaian itu untuk dikenakannya hari ini.
DonFatta tersenyum manis sambil membungkuk dan mengecup dahi istrinya. Dia lalu berkata, “Terimakasih, Liz. Tapi rasanya aku sedang tidak mau pakai kaus hari ini. Kamu tidak keberatan, kan?” tanyanya lembut sambil duduk di samping istrinya.
Elizabeth membalas senyuman Fatta. Dia lalu mengulurkan tangan untuk mengelus pipi suaminya yang masih terasa dingin karena habis mandi. “Ya sudah, kalau kamu tidak mau pakai itu, tidak apa-apa. Aku hanya memilihkannya seperti biasa, sayang. Setiap hari minggu kamu selalu memakai kaus.”
DonFatta tersenyum lagi. Dia lalu mencium perlahan bibir istrinya. Dia menarik wanita itu dalam pelukan dan mendekapnya untuk waktu yang cukup lama. “I love you, sweetheart.”
“I love you too.”
Setelah itu, DonFatta berjalan menuju lemari pakaiannya dan mengambil celana panjang warna cream, dan sebuah kemeja katun lengan pendek bermotif kotak-kotak yang ceria berwarna cerah. Setelah memakainya, dia menyisir rambutnya setelah sebelumnya membasahinya dengan krim rambut beraroma sensual. Setelah merasa rapi, dia pun mengambil semua barang-barangnya –mulai dari dompet, handphone, sapu tangan, hingga kunci mobil. Dia meraih kaca matanya.
“Kamu mau pergi, sayang?” tanya Liz heran. Ini masih pukul sepuluh. Tidak biasanya DonFatta meninggalkan rumah pagi-pagi di hari Minggu.
“Ya.” DonFatta berjalan menuju pintu. “Ke toko buku. Kamu mau titip sesuatu? Buku resep masakan, misalnya?” tawarnya hangat.
Elizbeth menggeleng. “Aku rasa tidak.”
“Oke.” DonFatta membuka pintu. Dan sebelum menutupnya lagi, dia melemparkan sebuah ciuman kepada istrinya.
Sepeninggal DonFatta, Elizabeth mengumpulkan lagi pakaian suaminya yang tidak jadi dia pakai. Dia lalu membuka lemari DonFatta untuk menyusunnya kembali. Di sela-sela tumpukan pakaian Fatta yang sangat banyak itu, Liz menemukan satu brosur dari toko buku langganan suaminya.
Liz membuka lipatannya yang menemukan satu judul buku yang telah dilingkari Fatta dengan spidol merah.
How to Make Love in 15 minutes…
Elizabeth sedikit terkejut dengan judul buku pilihan suaminya itu. Jadi hari ini dia buru-buru ke toko buku untuk membeli buku tersebut. Untuk apa Fatta membutuhkan buku seperti itu?
Elizabeth melipat kembali brosur itu dan meletakkannya di tempat semula. Paling tidak, dia tahu Fatta betul-betul berniat pergi ke toko buku hari ini.
Walaupun jelas, pakaian yang dipilihnya terlalu rapi untuk sekedar pergi mencari buku.
***
DonFatta keluar dari toko buku itu dengan membawa tiga buah buku. Pertama, buku yang memang dicarinya itu. Kedua, sebuah novel hukum karya John Grisham. Dan yang terakhir, sebuah buku kumpulan puisi milik Walt Whitman –versi asli dalam bahasa Inggris, buku impor, yang notabene berharga sangat mahal. Buku puisi itu dia bawa ke counter untuk dikemas dengan bungkus kado bercorak manis dan diberi tambahan pita warna senada. Setelah penjaga counter itu selesai membungkus buku tersebut, Fatta menyodorkan sebuah surat untuk ditempel di atasnya.
Aku bukan punjangga, manisku. Aku tidak bisa merangkai kata-kata dalam satu untaian yang indah. Tapi penyair Amerika yang sangat aku kagumi ini mampu melakukannya. Bacalah, sayang, dan mungkin kamu akan teringat padaku. Dan mungkin suatu saat nanti, pada suatu malam yang indah dan berhiaskan bintang-bintang. Kita akan bisa duduk berdua, saling memandang dengan tatapan penuh makna. Dan entah bagaimana puisi-puisi itu telah terpatri begitu dalam di hati kita. Dan kita akan membacanya bersama-sama.
Satu puisi tentang cinta.
Sepintas lalu, si penjaga counter membaca isi surat tersebut. Dia tersenyum manis, sedikit terharu, dan diam-diam memuji keromantisan laki-laki yang sedang berdiri di hadapannya itu. Setelah menempelkannya, dia lalu menyerahkan bungkusan itu kepada Fatta.
“Terimakasih.” Fatta menerima bungkusan tadi dan menyimpannya dalam tas belanjaan.
“Kembali, pak.”
DonFatta berjalan menuju lift dan turun dari lantai tujuh ke lantai lima. Dia berjalan menuju pusat mainan anak-anak untuk membeli sebuah boneka bunga yang kalau dipencet tengahnya bisa bernyanyi lagu ‘Happy Birthday’. Dia lalu dengan terburu-buru menuju lift lagi dan turun ke lantai dasar.
Menyadari bahwa dia telah sampai di lantai dasar tetapi pada sayap yang salah, dengan sedikit kesal karena kebodohannya sendiri Fatta segera berlari kecil menyeberang ke sayap lain. Lalu sepuluh menit kemudian dia telah melangkah masuk ke sebuah café eksklusif di pojok bangunan mall, dan mengitarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan untuk menemukan gadis yang dicarinya.
Dan di sanalah dia.
Di sebuah pojok remang-remang oleh cahaya lilin, dengan rambut lurus tergerai, kulit seputih susu, dan bibir yang selalu menggoda.
Gadis itu sedang melamun, dan DonFatta tergoda untuk mengejutkannya. Dia pun mengambil jalan memutar untuk menuju meja gadis itu dari belakang. Setelah bersiap-siap dengan kejahilannya, dia menepuk bahu gadsi tadi pelan-pelan. Gadis itu terlonjak kaget dan bangkit berdiri.
Saat dia membalikkan badan dan melihat wajah DonFatta di hadapannya, dia langsung berteriak. “Fatta!”
Gadis itu menarik Fatta ke dalam pelukannya dan mereka berciuman cukup lama dengan hangat dan mesra. DonFatta mengecup pangkal leher gadisnya dan tersenyum manis. Tangannya meluncur turun ke pinggulnya yang seksi. Dia meremasnya lembut hingga gadis itu tertawa kecil.
“I miss you, prince.”
“I miss you too, princess.”
Mereka lalu duduk berhadapan di meja kecil itu. Setelah mengambil posisi terenak, DonFatta lalu meraih tangan gadis itu dan menciumnya. Dia menyerahkan bungkusan berisi buku tadi sambil memencet boneka tadi supaya bernyanyi.
Gadis itu menutup mulutnya dengan satu tangan supaya tidak memekik kegirangan. Matanya menjadi berkaca-kaca. “Oh… sweetheart…” gumamnya terharu atas perlakuan Fatta itu.
DonFatta tersenyum hangat. “Happy birthday, Kathleen.”
BAB II…
DonDrea tidak bisa bersantai hari ini. Film yang dibintanginya sedang kejar tayang. Tidak ada waktu untuk bersantai-santai ria. DonDrea hanya punya waktu tiga jam sehari untuk istirahat –termasuk tidur dan bersantai di dalamnya.
Sebetulnya tidak harus sesibuk itu. Syuting film ini hanya memakan paling banyak setengah hari. Tapi selain film ini, Drea juga mempunyai kesibukan lain. Dia adalah artis yang sedang naik daun. Dia punya jadwal yang sangat padat. Entah itu wawancara, syuting film, syuting iklan, pemotretan untuk majalah, dan lain sebagainya. Termasuk juga jadwal untuk menyanyi. Dunia cat walk sudah sedikit ditinggalkannya. Dia paling hanya naik dua-tiga kali dalam satu bulan. Tidak seperti dulu, dimana dia tidak bisa duduk diam kalau tidak naik pentas.
Gara-gara itulah dia putus dengan Kathleen. Gadis itu adalah pragawati paling top di agency modelnya. Dia cantik, cerdas, dan sangat menggoda. DonDrea sempat pacaran dengannya selama dua tahun. Tapi kemudian semenjak karir Drea melonjak naik, Kathleen merasa dinomorduakan. Dia menganggap Drea tidak lagi mementingkan dirinya.
“Mengertilah, Kathy, karir ini sudah aku rintis sejak remaja dulu. Ini impianku.” pinta Drea waktu itu.
“Tapi kamu juga harus mengerti aku! Aku butuh perhatian dan kamu tidak bisa memberikannya padaku!” sergah gadis itu.
“Jadi apa maumu, Kathy? Kamu ingin kita berakhir di sini saja?” tanya Drea putus asa.
“Ya, Dre! Itu yang terbaik! Aku ini perempuan!” Kathleen menatapnya dengan mata berapi-api. “Dan kamu sama sekali tidak tahu bagaimana cara memperlakukan perempuan!”
Oke, DonDrea mengerti keberatan Kathleen. Dia membiarkan Kathleen-nya yang merupakan pujaan semua orang itu pergi begitu saja. Lagipula, DonDrea tidak akan pernah sudi bersanding dengan seorang wanita yang menghalangi kemajuan karirnya. Dia sedang dipuncak popularitas, ketenaran yang sejak dulu dia impi-impikan. Drea tidak akan mau menukarnya dengan seorang dewi sekalipun. Popularitas adalah segalanya bagi Drea. Karena popularitas erat hubungannya dengan kesuksesan karirnya sebagai artis.
Seluruh anggora keluarganya menyayangkan keputusan Drea untuk berpisah dengan Kathleen waktu itu. Maklumlah, Kathleen telah begitu dekat dengan keluarga Drea. Gadis itu sudah sering main ke rumahnya yang selalu disambut dengan hangat. Mereka semua tulus dan ikhlas menerima Kathleen. Hanya satu orang yang nampaknya aneh.
DonFatta.
Kakak tengahnya itu selalu memandang Kathleen dengan cara yang aneh, dengan pandangan yang bisa membuat bulu kuduk berdiri. Fatta juga adalah satu-satunya orang yang tidak berkomentar saat Drea mengumumkan tidak lagi bersama Kathleen.
Tapi DonDrea tidak bisa ditipu. Dia tahu ada yang berbeda dari Fatta terhadap Kathleen semenjak pertama kali mereka bertemu. Dan hal itu dibuka secara terang-terangan oleh DonFatta pada saat beberapa bulan yang lalu DonDrea mengalami masalah dengan kontraknya. Dia butuh seorang pengacara yang handal untuk membantunya dalam masalah itu.
DonDrea lari kepada DonFatta.
“Tolonglah, kak.”
“Oke. Tapi tentu ada bayarannya, Drea.”
“Aku tahu. Berapapun yang kakak mau.”
“A-a-a-a.” DonFatta menyeringai sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sudah lama Kathleen tidak datang kesini, Drea.” ujarnya waktu itu.
DonDrea mengerti itu. Sangat amat mengerti. “Cukup, kak. Sudah banyak selain Kathleen, bukan? Hentikan itu.”
DonFatta menghela nafas dengan perlahan. Itu seperti ancaman. “Aku rasa jadwalku penuh tahun ini.” dia menatap adik bungsunya. “Kalau kamu mau, aku bisa rekomendasikan beberapa orang teman pengacaraku yang cukup baik.”
“Kak,” Drea menatap kakaknya serius. “Tidak ada yang sebaik kakak. Dan kakaklah yang aku butuhkan.”
“Dan Kathy-mulah yang aku inginkan.”
“Kak…” mohon DonDrea. “Jangan libatkan Kathleen.”
“Dan jangan libatkan aku.”
“Kenapa sih kakak ini?!” seru DonDrea kesal. “Aku bisa membayar banyak pada kakak! Untuk apa bawa-bawa Kathleen?!”
“Karena aku menyukainya.” jawab Fatta datar. “Kamu kan tahu itu sejak awal, Drea.”
“Memang.” DonDrea meremas rambutnya. “Aku tahu itu.”
“Lalu kenapa lagi? Kamu masih mencintai dia, begitu? Makanya kamu tidak mau menyerahkannya padaku?”
“Bukan! Kakak salah!” sergah Drea. “Ini bukan masalah cinta, kak! Tapi ini adalah hal yang sangat sulit aku lakukan! Mengertilah! Aku sudah putus dari Kathleen, dan kami tidak putus secara baik-baik! Dia sakit hati padaku, kak! Dia marah padaku! Bahkan bertemu denganku pun dia tidak mau! Bagaimana aku bisa memenuhi permintaan kakak sedangkan mendekatinya sendiri pun aku tidak bisa?!” jelas DonDrea.
DonFatta memikirkan perkataan adiknya dan merasa bahwa dia ada benarnya. “Yah, aku rasa kamu benar. Kathy memang sangat marah padamu. Jangan-jangan, dia juga marah terhadap segala sesuatu yang berhubungan denganmu. Termasuk aku, karena aku adalah kakakmu.”
“Itu pasti!” DonDrea mengiyakan. “Seandainya aku bisa, aku akan memenuhi permintaan kakak. Tapi masalahnya…”
“Aku bisa, Drea. Aku tahu bagaimana.” DonFatta melirik adiknya. “Walaupun dulu saat kamu dan dia masih bersama, kamu sering membawanya ke rumah, tapi kami berdua belum pernah ngobrol secara pribadi, berdua, dan kami belum mengenal satu sama lain. Benar, kan?”
“Ya.”
“Yang harus kamu lakukan sekarang adalah mencari jalan –entah bagaimana caranya aku tidak peduli, supaya aku dan Kathy bisa bertemu dalam suatu kondisi yang memungkinkan aku ngobrol dekat dengannya. Supaya aku bisa mengenalnya dan dia juga mengenalku. Selanjutnya, itu urusanku sendiri. Kamu boleh lepas tangan. Oke, Drea?”
DonDrea berpikir sejenak. “Dia memang belum mengenal kakak secara dekat. Tapi pengenalannya sudah cukup dekat untuk sekedar tahu bahwa kakak sudah punya istri. Dan kakak pun tahu dia bukan tipe gadis yang gampang diajak begitu. Maksudku… affair bukanlah hobinya.”
“Memang.” jawab Fatta. “Itu memang bukan, dan tidak akan pernah, menjadi hobinya. Sebab dia hanya akan melakukannya satu kali seumur hidup. Yaitu denganku.”
“Kakak yakin?”
“Ya.”
“Oke. Terserah kakak. Tapi aku pesimis. Aku hanya akan melakukan apa yang kakak suruh padaku tadi. Selebihnya bukan tanggung jawabku. Sebagai imbalannya, kakak harus mau menjadi pengacaraku selamanya. Selama aku membutuhkan kakak. Bagaimana? Setuju?”
“Tidak adil, Drea. Bayaranmu adalah Kathy. Aku hanya akan menjadi pengacaramu selama aku masih berhubungan dengan gadis itu.”
“Wah, kalau begitu enak di kakak, dong! Hubungan kalian tidak akan berlangsung lama, aku yakin itu!”
“Kamu salah, Drea!” Fatta tertawa. “Dia memutuskanmu karena merasa kamu tidak tahu bagaimana cara memperlakukan wanita, iya kan?” dia menyeringai. “Tapi aku bukan kamu, Dre. Dan kamu tahu betul bahwa aku mengenal makhluk yang namanya wanita lebih dari apapun juga. Aku tahu bagaimana caranya memperlakukan wanita, Drea! Dan aku tidak akan kehilangan mereka sebelum aku benar-benar ingin. Kendalinya ada padaku. Selalu, adikku sayang. Selalu.”
Dan DonDrea tahu, kakaknya itu tidak menyombong. Dia hanya mengatakan apa yang menjadi kenyataan. Bahwa dia memang seorang lady-killer. Pecinta yang handal. Ksatria yang kejam. Dengan keangkuhan dan pesona yang membaur menjadi satu.
Wanita adalah kebutuhannya. Impiannya. Sama halnya seperti popularitas dan kesuksesan karir bagi Drea. Dan sama seperti Fatta juga, bila memang terpaksa, demi impiannya itu pun Drea bersedia melakukan segalanya.
Oleh karena itulah dia memahami DonFatta.
Oleh karena itulah mereka bersaudara.
BAB III…
DonFatta berjalan turun dari mobilnya di basement itu dan segera memasuki bangunan kantor. Dengan wajah lelah dan kedua tangan tersimpan di saku celana, dia berjalan menuju lift untuk bisa sampai di lantai sembilan –lantai teratas dimana sang kakak sulung sedang menunggu kedatangannya.
Lantai tempat kantor si pemilik perusahaan itu berada, terlihat lebih mirip sebuah penthouse kondominium mewah ketimbang tempat bekerja. Segala macam benda dan ruangan yang seharusnya merupakan bagian dari sebuah rumah, juga terdapat di ruangan besar itu. Tak jarang pemiliknya terpaksa menginap berhari-hari di sana karena tuntutan pekerjaan yang sangat banyak hingga menyita waktunya dari pagi sampai pagi lagi. Seringkali DonFatta mendapat kabar dari keponakan-keponakannya –anak-anak kakaknya itu, bahwa papa mereka tidak pulang berhari-hari. Notabene, mereka mengabarkan itu sekalian untuk memberitahu DonFatta bahwa bensin mereka sudah kosong dan uang saku yang diberikan papa mereka sudah habis. Jadi, mereka berpaling kepada paman mereka yang kaya raya itu. Ibu mereka sudah lama bercerai dengan sang ayah.
DonFatta berjalan melintasi pintu kaca otomatis, sebuah ruangan besar untuk bersantai, dan kemudian langsung mengetuk pintu ruang kerja kakaknya karena melihat meja sekretarisnya kosong.
“Masuk.”
DonFatta membuka pintu, berjalan masuk, dan menutup pintu itu kembali dengan kakinya. “Hai, bro.” sapanya singkat. “Kemana si rambut merah yang seksi itu?” tanya Fatta mengenai sekretaris kakaknya yang merupakan pengganti sekretaris asil yang sedang cuti hamil.
“Semuanya libur. Ini hari Minggu, Fatta. Kau lupa, ya?” DonZetta menjawab sambil lalu.
DonFatta duduk di hadapannya dan menolak saat Zetta menawarinya rokok. “No, thanks.”
DonZetta menyulut rokoknya dan mengepulkan asapnya perlahan-lahan. “Oke, Fatta. Sudah aku siapkan semua berkas yang kau minta. Lihat sendiri. Nih.” dia menyodorkan satu map tebal pada adiknya. “Pikirkan cara terbaik agar seperti biasanya aku bisa lolos.” perintahnya dengan datar.
Fatta membuka lembaran kertas-kertas itu dan membacanya satu per satu dengan cermat. Rasanya tak ada yang salah. Aneh. Dia lalu bertanya, “Angka-angka yang ada di sini sudah ada yang kau rubah?”
“Banyak.”
“Aku perlu laporan aslinya.”
“Untuk apa? Bukankah yang kau butuhkan hanya bentuk laporan yang nanti harus kukirimkan ke Departemen Keuangan idiot itu?” tolak DonZetta sambil terus merokok dengan nikmatnya.
DonFatta mengempaskan kertas-kertas itu dengan kasar di atas meja. “Aku sudah bilang, aku ingin semua laporannya! Semua, Zetta! Semua tanpa kecuali! Yang asli maupun yang sudah kau rekayasa!”
“Kau terlalu ingin tahu, Fatta!”
“Aku ini pengacaramu, tau!” bentaknya marah. “Pengacara perusahaanmu.” ralatnya.
“So what?!” cibir DonZetta.
DonFatta menghela nafas panjang dengan lelah. “Aku sebetulnya capek mengurusi perusahaanmu yang kacau ini, Zetta. Kau memainkan terlalu banyak kecurangan. Kau terlalu licin sehingga aku –pengacaramu sendiri saja, bisa-bisa tergelincir.”
“Kau tidak akan tergelincir, bro. Karena itulah kau punya otak. Dan karena kecurangan yang kubuat itulah kenapa aku butuh otakmu.”
DonFatta menatap mata kakaknya lekat-lekat. “Aku butuh semua informasi tentang apa saja yang mungkin berkaitan dengan masalah ini, oke? Semuanya dalam kondisi asli. Rekayasanya bisa kita pikirkan nanti.”
“Untuk apa semua keaslian itu, heh? Bukankah nantinya akan kita rubah juga?”
“Memang, tapi untuk saat ini aku perlu tahu sebanyak apa kecurangan yang telah kau buat, seberapa banyak kau mengakali setiap transaksi bisnismu, sesering apa kau menghindar dari membayar pajak, dan seberapa banyak tipuanmu terhadap pemerintah. Supaya aku tahu seberapa berat masalah ini sebetulnya dan aku bisa bersiap-siap dengan strategi apa yang harus aku laksanakan untuk menyelamatkanmu dari kebangkrutan, Zetta.” DonFatta menghela nafas. “Yang sedang menuntutmu ini adalah pemerintah –negara tempat kau tinggal, bodoh!” geramnya kesal. “Seriuslah!”
DonZetta berpikir. “Hmm… kurasa, aku tidak sejahat yang kau kira, little bro.”
“Aku harap begitu.”
DonZetta adalah pemain bisnis finansial yang sangat licin. Dia menekuni semua yang ada di dunia itu. Dia melakukan banyak kecurangan. Cita-citanya hanya satu: ingin menguasai pasar ekonomi negara. Dia ingin memonopoli agar mendapat kekuasaan seluas-luasnya. Kekuasaan adalah motivasi yang menopang kelanjutan hidupnya hingga kini.
“Zetta, hentikan permainan haram ini, bro. Kau punya cukup banyak uang untuk kau wariskan sampai tujuh turunan.” nasihat Fatta.
“Uang? Ya, memang aku punya uang. Tapi bukan kekayaan yang aku cari. Aku ingin jadi penguasa, bro. Penguasa atas segalanya. Dan untuk bisa menguasai orang, aku rasa aku butuh uang. Benar, kan? Aku mencari kekayaan berupa uang hanya sebagai modal.” Dia menatap adiknya tajam-tajam. “Tapi tujuan dari semua ini adalah kekuasaan. Dengan itu aku bisa mengendalikan segalanya. Bagus, kan?”
DonFatta geleng-geleng kepala dengan penat. “Ya sudah, aku tunggu laporan yang tadi kuminta. Paling lambat besok malam, oke?”
DonZetta mengangguk asal-asalan. “Kalau aku sempat, ya.”
“Aku serius, Zetta! Turuti saja perintahku.” Fatta mulai kesal lagi.
“Hei! Apa tadi kau bilang?! Turuti perintahmu? Kau?!” makinya geli. “Sejak kapan kau bisa memaksaku untuk tunduk padamu, hidung belang?! Sejak kapan kau punya kendali atas diriku?!”
“Sejak aku menjadi pengacara perusahaanmu dan kau membutuhkan bantuanku untuk terhindari dari kejatuhan.” jawab Fatta dingin, walaupun dia tahu persis apa maksud dari kata-kata kakaknya tadi.
“Jangan coba-coba melawan kakakmu ini, adik kecil. Mungkin kau memang bisa menguasai Drea, mungkin kau bisa mengkhianati Elizabeth, mungkin kau bisa mengontrol semua kekasih-kekasih gelapmu. Tapi kau tidak akan pernah bisa mendapatkan aku, kau dengar itu?” ujarnya dengan wajah menahan amarah.
DonFatta menunduk dengan geram. Dia mengepalkan tangannya dengan kesal. “Ya, aku tahu.”
“Bagus.” dia tertawa puas. “Aku mengenalmu, Fatta. Sangat mengenalmu. Aku tahu kau tidak seperti aku. Kau tidak pernah menyogok orang, kau tidak pernah curang, kau tidak munafik, dan kau bahkan tidak pernah menipu atau membohongi orang seumur hidupmu. Benar, kan?”
“Tentu saja.” Fatta menatap kakaknya dengan pandangan benci.
“Perselingkuhan-perselingkuhanmu itu memang bejat. Tapi itu bukan suatu penipuan. Sebab kau tidak pernah membohongi siapapun. Pacar-pacarmu tahu kau sudah beristri, dan jika mereka tetap bersedia menjadi gundikmu, maka itu salah mereka sendiri. Sedangkan istrimu yang sangat naif itu sama sekali tidak tahu soal kenakalan suaminya ini. Dia bahkan tidak pernah mempertanyakan kesetiaanmu. Jadinya kau tidak perlu menjawab. Kau tidak usah berbohong.”
DonFatta menahan geraman yang ada di ujung lidahnya. Kakaknya itu telah mengulangi ancaman seperti ini sebanyak ribuan kali –setiap kali Fatta sedikit berontak di hadapannya dan perbuatan sang adik itu kurang berkenan.
“Kau memang tidak berbohong. Kau tidak usah berpura-pura. Kau tidak usah munafik. Kau tidak menipu istrimu karena dia bahkan tidak pernah terlalu curiga untuk bisa bertanya. Kebohongan itu tidak pernah harus meluncur dari mulutmu yang sok romantis itu. Selama ini, benar begitu jalannya permainanmu, bukan?” tandasnya culas.
“Ya.” Fatta menjawab pelan.
“Tapi aku tahu semuanya, Fatta. Aku tahu soal simpanan-simpananmu. Aku tahu kebiasaanmu berkumpul dalam suatu pesta seks bersama teman-teman yang sama gilanya denganmu. Membuang jutaan dalam satu malam hanya untuk menjadi member suatu klub penyelenggara pesta telanjang. Dan… oya! Aku ingat, kau punya satu pengalaman paling memalukan yaitu tergoda oleh seorang pelacur murahan di pinggir jalan sebelum kau tahu ada tempat-tempat pelacuran yang menawarkan gadis-gadis kelas atas? Wah wah wah… betapa bodohnya kau dulu, Fatta! Betapa naif! Kau adalah sang Arjuna kesasar!” makinya pedas.
Fatta diam saja mendengarkannya. Dia mencoba sabar.
“Bagaimana, Fatta? Haruskan aku katakan semua itu pada istrimu? Sehingga dia akhirnya menanyakan kebenarannya padamu, ha? Dan terpaksalah kau akhirnya mesti berbohong. Kebohongan pertama dalam sejarah hidupmu. Karena kalau tidak, kalian akan bercerai dan dia akan membawa anak-anakmu.”
DonFatta menatap kakaknya dengan tatapan ‘sungguh-tega-dirimu’. Dia lalu memohon. “Jangan, Zetta. Tolong jangan lakukan itu.”
DonZetta tertawa kejam. “Aku tahu, Fatta, aku tahu. Aku yakin kau akan mengatakan itu. Karena pertama, kau paling benci yang namanya kebohongan. Kau memang bajingan, tapi bukan seorang penipu. Dan yang kedua, karena sebrengsek-brengseknya kau, tetap saja kau sayang pada anak-anakmu. Dan kau tak ingin berpisah dengan mereka.”
DonFatta menghela nafas. “Kau kedengaran seperti cenayang.”
Zetta tidak menggubrisnya. “Yang ketiga, sebetulnya kau sungguh-sungguh mencintai istrimu, aku tahu itu. Perselingkuhanmu bukan berarti kau tidak mencintainya. Kau hanya mencintai lebih dari satu wanita. Karena perempuan memang adalah hobimu. Kau adalah seorang laki-laki pemuja perempuan.” DonZetta menjentikkan jarinya di depan hidung adiknya. “Sayangnya tak semua orang bisa memahami itu, Fatta. Terlebih lagi untuk memaklumi.”
“Aku tahu.”
“Tapi aku bisa, Fatta. Aku mengerti dan mau memaklumi dirimu.” dia memagut dagu adiknya. “Itulah mengapa aku adalah kakakmu.”
DonFatta memejamkan matanya. “Thanks.”
“Aku sayang padamu, selama kau masih bisa menyenangkanku. Jadi, pertahankanlah loyalitasmu itu, little bro.”
“Akan aku coba.”
“Kau sebetulnya anak baik. Kau itu bajingan tapi masih punya perasaan. Kau punya hati yang rapuh. Dan tolonglah, Fatta, jangan minta aku untuk dengan sengaja mencoba menghancurkannya.”
Fatta terdiam. Dia menahan nafas.
“Karena kita berdua sama-sama tahu, itu akan terasa sangat sakit.”
“Memang.”
“Sakit bagi kita berdua, adik kecil. Bagi hatimu yang hancur itu, dan juga bagiku yang telah menghancurkannya. Karena walaupun aku ini bejat, aku masih punya rasa sayang untuk seorang adik. Dan bukan hal enteng untukku menginjak-injak perasaan adikku sendiri.”
Fatta menatapnya.
“Tapi kalau terpaksa, DonFatta… apa boleh buat?”
Dan Fatta tahu kakaknya serius. Seorang pria yang menyembah kekuasaan lebih dari apapun juga. Seorang kakak yang sebetulnya sangat menyayangi dan disayanginya. Seembus nafas iblis yang membakar seluruh jiwanya. Sangat panas, terus dan terus.
Sebuah bara api yang selamanya tidak akan mati di antara persaudaraan mereka. Selama mereka masih mengaku sebagai saudara. Mencoba saling menginjak, tampar-menampar, bakar-membakar, iris-mengiris, bunuh-membunuh.
Sebelum yang satu mencabut nyawa yang lain.
BAB IV…
“Please…” mohon DonDrea kepada kakak tengahnya saat mereka berdua sedang janjian bertemu di salah satu restoran eksklusif ibukota.
DonFatta mengelus rambut adik bungsunya. “Kenapa kamu tidak usahakan sendiri, Drea?”
“Aku putus asa, kak. Peran itu diincar setiap aktor saat ini. Dan sutradaranya hanya tinggal tunjuk saja siapa yang dia inginkan. Sebab tak satu pun akan menolaknya. Ini film besar, kak.” jelasnya.
“Kamu kan berbakat, Dre. Tidak kalah dengan aktor-aktor lain.”
“Tapi aku belum berpengalaman dalam film layar lebar. Mereka jadi meragukan kemampuanku. Selama ini aku hanya main dalam film seri.”
“Sinetron.”
“Aku benci menyebutnya begitu.”
“Tetap saja sinetron.”
“Terserahlah.”
“Oke, itu sinetron.”
DonDrea memandang kakaknya dengan pandangan kesal-kesal manja. DonFatta sangat menyayangi Drea karena dia menganggap adiknya itu masih anak-anak –kekanak-kanakkan mungkin lebih tepat. Fatta merasa wajib memberikan proteksi lebih terhadap si bungsu satu itu.
“Dre, aku percaya dan yakin kamu bisa menunjukkan kemampuanmu di mata semua orang. Memang sekarang harus kamu akui kamu masih kurang pengalaman. Kamu harus sabar. Just take your time, bro.”
“Tapi film ini bisa jadi batu loncatan yang sangat hebat, kak. Kalau aku mendapat peran utama di sana, namaku akan diakui semua orang. Tak seorang pun akan meragukan aku lagi. Namaku akan jadi jaminan. Dan untuk selanjutnya, aku tidak perlu meminta bantuan kakak lagi.”
“Aku tahu.”
“Bantulah aku, kak. Kakak kan sayang padaku!” bujuk Drea.
“Hei, jangan bawa-bawa sayang di sini. Itu rayuan gombal.”
“Tapi kan memang benar.”
“Ya, itu memang benar.” DonFatta menyeruput jus jeruknya. “Ini tidak baik, Drea. Kamu memanfaatkan pengaruhku. Itu bukan sikap yang jujur di dunia artis. Seorang aktor sejati berjuang di panggung dengan akting, bukan dengan jalan pintas.”
“Tapi aku tidak punya pilihan lain.”
“Kamu punya, bro. Bersabarah. Suatu saat nanti giliranmu akan tiba dengan sendirinya.”
“Aku takut itu sudah akan terlambat.”
“Berusahalah supaya tidak jadi terlambat.”
“Itulah mengapa aku memohon-mohon pada kakak sekarang ini.” DonDrea merengek lagi. “Produsernya adalah klien kakak yang baru-baru ini kakak selamatkan dari aib besarnya. Dia akan mau menuruti apapun kata kakak. Dia berhutang budi pada kakak.”
“Tidak, Drea. Aku sudah mendapatkan bayaran yang cukup. Dia sudah melaksanakan kewajibannya. Tidak ada balas budi seperti itu.”
“Tapi dia tetap akan merasa seperti itu, kak!” DonDrea ngotot. “Dia sangat menghormati kakak. Apapun kata kakak akan dilakukannya.”
“Justru itu, Drea sayang. Kamu tidak mengerti juga, ya? Dia memang hormat padaku. Dia segan padaku. Karena di matanya aku adalah sesosok orang yang punya martabat, punya harga diri. Dan kamu tahu bahwa semua itu akan hancur begitu aku mulai memanfaatkan kepercayaan orang lain padaku.”
“Demi aku, kak…” pintanya sungguh-sungguh.
“Kamu akan menghancurkan hargaku seumur hidup, Drea.”
“Please…”
“Tidak seharusnya kamu memanfaatkan rasa sayangku padamu seperti ini.”
“Aku juga sangat sayang pada kakak. Impas, kan?” DonDrea tersenyum merayu.
“Aku berlebihan dalam memanjakanmu, Dre.”
“Kak…”
DonFatta menghela nafas panjang. Dia lalu menatap adiknya yang berwajah penuh harap. “Oke.”
“Hore!!!” teriak DonDrea senang. Dia langsung bangun untuk memeluk kakaknya erat-erat. “Terimakasih, kakakku sayang!”
Semua orang yang ada di restoran itu menoleh ke arah mereka. Dan sepertinya semua orang mengenal DonDrea sebagai seorang selebriti. DonFatta bisa membayangkan apa yang ada dalam benak mereka.
Seorang aktor muda yang sangat akrab dengan kakaknya. Punya hubungan yang baik dengan keluarga. Ya, itu nilai plus untuk Drea.
Sedangkan untuknya sendiri? Dia akan mengorbankan harga dirinya untuk anak itu. Dia akan berlari-lari mengejar seekor ayam untuk dia potong dan masak untuk DonDrea, dimana hanya akan tersisa sepotong kepala dan dua ceker untuk dirinya sendiri. Sungguh ironis. Karena rasa sayangnya yang terlalu berlebihan terhadap anak itu. Fatta tahu dia akan membuat suatu kesalahan besar. Batinnya terasa begitu pilu –diinjak separuh badan oleh sang kakak ke dalam lumpur, dan kemudian malah dengan senang hati dia membenamkan separuh sisanya ke kubangan itu demi sang adik. Demi mempertahankan DonDrea yang memaksa ingin tetap menggantung di dahan pohon, DonFatta menyediakan dirinya sebagai batu injakan.
Itulah saudara.
Saudara-saudaranya.
“Kak, nanti lawan mainku adalah seorang aktris yang baru saja kuliah. Masih muda yang cantik sekali. Nanti aku kenalkan deh sama kakak.” ujar DonDrea saat melepaskan pelukan dari kakaknya.
DonFatta hanya bisa tersenyum. “That would be fun, little bro.” dia tersenyum ikhlas kepada adiknya.
BAB V…
“Dor!”
DonFatta melonjak kaget begitu seseorang mendorongnya dari belakang di pagi hari Senin yang mendung itu. Refleks, DonFatta mengangkat tangan untuk melindungi dirinya dari entah apa itu tadi.
Tapi rupanya begitu dia mengangkat tangan, yang menghampirinya adalah sesosok tubuh yang molek, yang langsung memeluknya dengan erat disertai kecupan mesra di dadanya. Kemeja itu ternoda oleh bekas lipstik perempuan tadi.
DonFatta merasa lega dan lalu menurunkan tangannya. Dia memeluk punggung gadis tadi dan menyuruhnya melepaskan pelukan. “Ayolah, Eva… angkat wajahmu. Aku rasa aku sudah kangen ingin melihatnya.”
Dan begitu si gadis tadi mengangkat wajahnya untuk menatap Fatta, dia langsung disambut oleh ciuman panas dari laki-laki itu sekaligus suara erangannya yang sangat seksi. Tangan Fatta mulai menggerayang ke balik sweater gadis itu dan dia membelai-belai lekukan pinggangnya yang ramping.
“I miss you, sugar…” Eva menggigit bibir bawah DonFatta sehingga laki-laki itu mengerang kesakitan. Tapi dia tahu itulah yang paling disukai DonFatta. Gairah laki-laki itu langsung menyala bagai minyak tanah yang disulut dengan api.
Eva mulai membuka simpul dasi DonFatta. Disusul dengan kancing kemejanya satu per satu. Tapi tiba-tiba DonFatta menarik diri dengan nafas terengah-engah.
“Kenapa, sayang…” rajuknya sambil kembali bergelayut pada tubuh DonFatta.
Fatta mendorongnya perlahan. “Aku lupa mengunci pintu. Tunggu sebentar.” dia lalu berjalan ke pintu dan memutar kuncinya. Begitu dia berbalik, dilihatnya Eva sudah melepas roknya dan kini membuka sweaternya yang berwarna muda.
DonFatta menggaruk-garuk kepalanya. “Aku kira tidak akan berlanjut sampai situ pagi ini. Aku banyak pekerjaan, manis. Pakailah kembali bajumu. Ayo.” bujuknya.
Tapi dengan hanya memakai pakaian dalam, Eva kembali menerjang tubuh Fatta hingga keduanya jatuh ke lantai yang berkarpet. DonFatta tidak pernah bisa menolak gadis itu. Gadis yang sangat lincah dan liar itu. Dan dia pun akhirnya pasrah saat Eva mulai melucuti pakaiannya satu per satu.
DonFatta hanya bisa melumat bibir Eva dengan panas, karena dia tahu bahwa tak ada hal lain yang bisa dia perbuat terhadap gadis itu sebelum Eva selesai menyingkirkan semua benang yang melekat di tubuh mereka berdua.
Hanya butuh tiga menit, setelah itu kedua tubuh telanjang mereka bebas melakukan apa saja.
***
DonZetta menghubungi adiknya berkali-kali tetapi teleponnya tidak diangkat-angkat. Handphone-nya juga. Ini sudah pukul setengah delapan dan walaupun biro hukum belum buka seacra resmi sepagi ini, tapi biasanya DonFatta sudah berada di ruangannya. Dia senang bekerja tanpa gangguan orang lain.
Lalu apa yang terjadi sampai adiknya itu tidak mau mengangkat telepon? DonZetta berpikir dalam hati sambil memutar nomor direct Fatta sekali lagi. Kali ini dia mendapat jawaban.
“Fatta!” bentaknya langsung. “Kemana saja kau?!”
“Masa bodoh denganmu, bro.” lalu tanpa disangka-sangka DonFatta langsung membanting teleponnya. Zetta merasa sedikit terkejut dengan kelancangan adiknya itu. Tapi saat dia mulai mengingat-ingat percakapan pendek mereka tadi, dia merasa mendengar desahan seorang perempuan di seberang sana. Suara adiknya pun serak dan parau. Uring-uringan saat menjawab telepon. Kalimat-kalimat yang malas.
Jadi begitu, ya? Dengan siapa DonFatta pagi ini? Setahu DonZetta dia punya tiga kekasih di sana. Bayangkan! Tiga orang gadis cantik yang bisa ditiduri kapan saja dalam satu kantor!
Mungkin itu Mitha –sekretaris salah satu rekan partnernya di biro itu. Dia adalah gadis yang manis, berambut keriting halus, dan berhidung mancung. Dia mendapatkan ‘bayaran’ yang sangat besar dari rekan bosnya itu. DonFatta memenuhi seluruh kebutuhan yang diperlukannya. Well, inilah kenyataan. Tidak hanya pelacur yang melacurkan diri. Pelacur terselubung pun banyak sekali.
Atau mungkin Sabrina? Tapi rasanya mustahil perempuan itu sudah datang pagi-pagi begini. Dia kan sudah berkeluarga. Pasti dia harus mengurus anaknya dulu sebelum berangkat ke kantor dan paling-paling baru datang jam sembilanan. Itu memang jam buka resmi biro itu. Apalagi pekerjaannya hanyalah asisten umum pengacara-pengacara yang ada di sana. Terlambat sedikit tidak apa-apa. Gilirannya dengan DonFatta biasanya di siang hari.
Nah, yang terakhir adalah Eva. Seorang gadis muda yang cerdas dan mempesona. Dia adalah associate junior di biro hukum itu. Tapi walaupun begitu, kerjanya sangat memuaskan. Dia adalah pengacara yang luar biasa. Otaknya sangat encer. Dia adalah simpanan kesayangan DonFatta. Karena selain bercinta, mereka juga bisa tukar pikiran. Eva sendiri adalah anak orang kaya yang pastinya suatu saat nanti juga akan memiliki kekayaan sendiri dari hasil kerjanya yang bagus itu. Jadi dengan kata lain, DonFatta menyukainya karena Eva tidak pernah menguras isi dompetnya.
Saat ini, DonZetta sebetulnya ingin memarahi Fatta karena telah membantu Drea dengan cara yang salah. Tapi rasanya tidak bijak menganggu Fatta sekarang. Nanti-nanti saja, lah!
***
DonFatta terduduk lemas di kursi dengan Eva di pangkungannya –menghadap ke arahnya. Gadis itu masih saja menciumi seluruh permukaan wajah Fatta meskipun permainan mereka seharusnya sudah usai sejak tadi.
“Eva… kembali bekerja.”
“Tidak. Nanti saja.”
“Ini sudah siang. Sudah jam delapan. Aku harus menghubungi kakakku lagi sebelum jam kantor mulai. Kamu dengar sendiri dia tadi telepon.”
Eva cemberut mendengarnya. Tapi dia mengerti. “Oke.” lalu dia turun dari pangkuan Fatta dan muali mengenakan pakaiannya lagi. DonFatta berjalan menuju sebuah lemari tempat dia menyimpan pakaian-pakaian daruratnya. Dia lalu memilih kemeja yang sama dengan yang dia pakai tadi. Dia lalu memakainya dan mengenakan celananya. Kemudian dasi, kaus kaki, sepatu, dan menyisir ulang rambutnya. Setelah rapi, dia menyodorkan kemeja kotornya pada Eva.
“Nih, cuci. Besok bawa lagi ke sini.”
Eva menerimanya. Itu memang sudah kebiasaan mereka sehabis bercinta di kantor. Fatta harus pulang ke rumah dengan baju bersih supaya kelakuannya di kantor tidak terbongkar. Tidak boleh ada bau-bau yang mengarah ke situ. Setelah melipat kemeja tadi, Eva lalu berjalan ke pintu.
“Dan satu hal lagi, Eva,” Fatta menambahkan, “pastikan kalau nanti kita tidur bersama lagi, kamu sudah beli lipstik baru yang tidak meninggalkan noda.”
“Brengsek.” umpat Eva pada kemeja di tangannya itu sambil memutar kunci dan keluar dari ruangan.
DonFatta tertawa melihatnya.
BAB VI…
“Dia itu sudah dewasa, Fatta! Kapan kau akan mulai menyadarinya?!” sentak DonZetta begitu mendengar suara adiknya di telepon.
“Hei, tunggu dulu, bro! Ada apa ini? Apa yang kau bicarakan?” tanya Fatta tidak mengerti karena langsung disembur begitu tanpa ada penjelasan terlebih dahulu.
“Ada apa?! Masih kau tanya pula ada apa!” bentaknya tidak sabaran. “Aku ulangi, ya! Aku ingin kau sadar bahwa anak itu sudah besar dan sudah saatnya kau biarkan dia melakukan segalanya dengan mandiri! Jangan sok jadi pahlawan, lah! Biarkan dia belajar! Caramu memanjakan dia hanya akan semakin merusaknya! Dia hanya akan jadi orang tolol yang tidak mampu berbuat apapun karena selalu kau bantu! Aku bahkan sangsi dia mampu membuka ritsleting celana sendiri kalau mau bercinta! Jangan-jangan dia menanyakan padamu juga bagaimana cara melakukannya!” omelnya panjang lebar.
Fatta hanya menggaruk-garuk kepala. “Hei hei hei… aku sungguh-sungguh tidak tahu yang kau bicarakan, bro. Siapa yang aku manjakan? Siapa yang sudah besar?”
“Kemaluanmu.”
“Aku serius.”
“Aku juga. Memang besar, kan?”
“Apanya?”
“Kemaluanmu itu.”
“Ya, memang. Lalu kenapa? Sialan kau.” umpat Fatta kesal. “Jelaskan padaku, Zetta. Ada apa ini?”
DonZetta mencibir ketus. “Siapa lagi yang sedang kita bicarakan kalau bukan anak kesayanganmu itu? Yang selalu kau manja, kau perlakukan seperti bayi, dan selalu kau bela habis-habisan! Dan siapa lagi anak itu kalau bukan anak rewel yang selalu datang kepadaku setiap kali baru mendapat bantuan darimu dan memamerkan betapa kau baik hati padanya. Siapa lagi yang berani membanding-bandingkan aku dan kau, Fatta? Tentang betapa aku begitu berbeda darimu. Bahwa kau begitu hangat dan penyayang, sedangkan aku ini keras seperti batu. Siapa lagi kemungkinannya kalau bukan anak ingusan itu?!” sentaknya dengan begitu keras sehingga DonFatta terpaksa menjauhkan corong telepon dari telinganya supaya tidak jadi tuli.
DonFatta menghela nafas. “DonDrea?”
“Ya! Siapa lagi memangnya?! Kau tahu tidak, kemarin malam dia meneleponku hanya untuk bilang bahwa dia punya kakak yang sangat baik yaitu dirimu. Sedangkan dia berkata aku sebagai saudara sulungnya hampir tidak pernah peduli padanya! Nah! Lihat sendiri bagaimana hasil didikanmu itu! DonDrea jadi semakin kurang ajar setiap harinya!”
“Tapi itu benar, kan? Kau memang tidak pernah mau menunjukkan kasih sayangmu. Kau terlalu gengsi, Zetta. Kau terlalu kaku.”
“Enak saja! Kurang baik apa aku padanya, ha?! Dulu sewaktu dia belum terkenal, akulah yang membiayai seluruh kebutuhannya yang luar biasa banyak itu! Dia itu anak muda yang selalu mau seenaknya sendiri! Dia selalu membeli barang-barang mahal, hanya mau tinggal di tempat yang mewah, dan lagaknya –demi Tuhan, sombong sekali! Dia selalu mencibir pada orang-orang miskin! Sedangkan kemewahan yang dia dapatkan itu seratus persen dia hisap dari kantungku! Dari kantung yang kuisi dengan bekerja keras. Sedangkan DonDrea, mengelap sepatunya sendiri pun dia tidak mau!” tandasnya berapi-api.
DonFatta menghela nafas. Kali ini dia menyerah. DonZetta memang benar. “Ya, Zetta. Aku menyesal adik kita jadi begitu.”
“Menyesal?! Bagus!” bentaknya tidak henti-henti. “Dengar ya, Fatta! Dia jadi seperti ini karena kau! Karena kau yang selalu membela dan memanjakannya! Dia jadi tidak pernah mau tahu mana yang salah dan mana yang benar! Karena kau selalu membenarkan apapun perbuatannya! Lihat sendiri hasilnya, Fatta! Dia jadi kurang ajar dan tidak tahu diri! Semau udelnya sendiri saja!”
DonFatta tidak tahan lagi dibentak-bentak seperti itu. “Oke, aku minta maaf. Puas?” tanyanya kesal.
“Aku tidak butuh permintaan maafmu, adik kecil yang sok tahu!” makinya. “Aku butuh bukti bahwa kau memang benar-benar bisa mendidiknya seperti janjimu dulu!”
“Aku memang memenuhi janji itu.”
“Tidak, little bro! Kau salah! Janji itu sekarang hanya omong kosong! Kau gagal mendidiknya!” DonZetta menghunuskan kata-katanya yang tajam tepat ke ulu hati DonFatta. “Dulu kau bilang padaku bahwa kau sanggup mengurusnya sendiri. Kau minta aku untuk lepas tangan dan tidak ikut campur lagi. Oke! Aku serahkan pendidikan DonDrea padamu. Tapi apa buktinya sekarang? Lebih baik aku saja yang mengurusnya seperti dulu!”
“Kau menamparnya, Zetta!” sentak DonFatta emosi mengingat kejadian waktu mereka remaja dulu. Waktu DonZetta mendidik Drea dengan begitu keras hingga si bungsu itu merasa tertekan. Dan pada saat itulah DonFatta memutuskan untuk mengurus DonDrea –semata-mata hanya agar adiknya tidak lagi dicincang oleh kakaknya.
DonZetta diam mendengar kalimat itu.
“Kau sudah menampar adikku. Kau sudah menyakiti dia!” tandas DonFatta kesal –sekaligus sedih.
“Aku tidak sengaja, Fatta. Itu refleks. DonDrea sudah kelewatan.”
“Tapi dia masih anak-anak waktu itu, Zetta! Kau yang sudah lebih dewasa seharusnya bisa mengerti dia.”
“Tidak bisa, Fatta. Drea sudah keluar batas. Bayangkan, little bro, dia masih anak-anak dan sudah berani menghamili anak gadis orang.”
“Dia khilaf.”
“Itu memalukan! Itu aib!” DonZetta menurunkan suaranya. “Dan yang membuatku lebih marah lagi waktu itu adalah pada saat Drea dengan sombongnya berkata: ‘aku sudah besar, kak! Jangan atur aku! Aku tahu apa yang kulakukan! Aku akan bertanggung jawab atas perbuatanku!’” DonZetta tersenyum sedih. “Dan waktu aku tanya apakah dia akan menikahinya, DonDrea menolak. Dia bilang hanya akan bertanggung jawab secara materi. Dia akan memenuhi semua kebutuhan perempuan itu dan anaknya nanti secara finansial. Padahal, waktu itu dia sendiri belum bekerja. Dia sendiri masih hidup dari uangku. Berani sekali dia berkata seperti itu padaku! Jangan salahkan aku kalau harus menamparnya!”
DonFatta terdiam mengenang masa-masa menyedihkan itu.
“Akulah yang menghidupi perempuan itu, Fatta. Aku yang menafkahinya, bukan Drea! Hingga pada akhirnya, perempuan itu menginginkan suatu status yang pasti tentang dirinya dan anaknya. Begitu anaknya lahir, dia ingin sebuah perkawinan. Dia tidak mau putranya tidak punya ayah.”
“Dan dia meminta Drea menikahinya, tapi dia tidak mau.”
“DonDrea menolak mati-matian.”
“Kemudian dia memintamu menikahinya, tapi kau juga tidak bisa karena sudah bertunangan.”
“Dan satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah menyelenggarakan suatu pesta besar-besaran saat kaulah yang pada akhirnya bersedia menikahi wanita itu.”
“Elizabeth wanita yang baik. Dia hanya menjadi korban kelicikan DonDrea. Aku tidak menyesal menikahinya.” DonFatta berkata dengan datar.
“Dia pun tidak akan menyesal menikah denganmu. Kau sangat mencintainya.”
“Tapi aku selingkuh.”
“Itu jangan dibahas.”
“Agaknya aku lebih bajingan dari adikku yang telah menghamilinya, ya?” ujar DonFatta lirih.
“Jangan berkata begitu, little bro. Kau adalah laki-laki yang hebat. Kau mengorbankan dirimu untuk adikmu. Kau menikahi wanita yang tidak kau cintai. Padahal waktu itu kau baru berumur 24 tahun. Dan kau harus mengikat dirimu dengan seorang perempuan bekas adikmu dan sekaligus menjadi ayah tiri anak dari adik kandungmu sendiri itu. Kau berkorban terlalu besar, Fatta.”
“Tidak. Aku bejat.”
“Kau masih muda waktu itu. Wajar kalau kau masih suka tertarik pada perempuan-perempuan lain yang bukan istrimu. Kau bahkan belum tahu wanita seperti apa yang sebetulnya kau cari. Dan kau terpaksa menikah demi menyelamatkan adikmu dari Elizabeth yang mengancam kalau tidak dinikahi oleh salah satu di antara kita, maka dia akan mengadu ke pers dan menghancurkan karir DonDrea.”
“Kesetiaan adalah konsekwensi dari pernikahan yang aku lakukan. Seharusnya aku menerima itu.”
“Tapi kau masih terlalu muda untuk itu –untuk menjalani hidup sepenuhnya dengan wanita yang tidak kau cintai, yang membuatmu menjadi ayah tiri dalam usia semuda itu, dan dia juga adalah wanita yang menyerahkan keperawanan pada adikmu sendiri! Terlebih lagi,” DonZetta merendahkan suaranya, “kau tahu bahwa setelah menikah denganmu, Liz pun masih suka tidur dengan adikmu itu kalau kau sedang tidak ada di rumah. Drea-lah yang dia cintai, bukan kau! Kau tak mungkin melupakan itu!”
“Memang.” mengingat hal itu, DonFatta ingin menangis rasanya.
“Wajar kalau kau jadi senang berkencan dengan gadis-gadis lain secara sembunyi-sembunyi. Kau memang masih dalam level membutuhkan kebebasan itu. Lagipula, kau berhak untuk balas dendam. Makanya aku setuju sekali waktu kau mengambil Kathleen dari Drea. Anak itu betul-betul brengsek.”
“Tapi sepertinya aku agak lupa diri. Itu menjadi seperti hobi untukku. Sampai sekarang.”
“Itu trauma, adik kecil.”
“Mungkin.” DonFatta tersenyum sedih. “Dan maafkan aku karena selalu melibatkanmu dalam setiap rencana affair-ku itu. Tapi harus kuakui, rencana-rencanamu yang kau buat untukku betul-betul hebat. Hubungan itu aman tersembunyi seperti uang dalam lemari besi.”
“Dengan senang hati, kok.”
“Kau baik sekali.”
“Belum pernah ada orang yang berkata begitu padaku.”
“Aku senang menjadi orang yang pertama melakukannya.”
DonZetta tersenyum. “Dan setelah semua yang Drea lakukan padamu, masih tetap kau mau berkorban untuknya.”
“Maksudmu?”
“Jangan kau sangka aku tak tahu kalau kau bersedia menemui mantan klienmu yang produser itu demi memintakan peran utama untuk Drea.”
DonFatta terdiam sebentar. Suatu misteri tak terjawab darimana Zetta tahu semua tentangnya. Mungkin itu salah satu manfaat dari kekuasaan yang dia miliki. Dia lalu menjawab. “Itu benar.”
“Memang benar.”
“Aku tidak punya pilihan lain.”
“Kau tidak akan bisa melaksanakan niat sok baikmu itu, Fatta. Aku sudah menghubungi produser itu dan menceritakan segalanya. Soal Drea yang memanfaatkanmu. Dan dia sudah tahu segalanya. Dia kasihan padamu. Plus, dia membenci DonDrea.”
DonFatta terdiam. Rasanya kepalanya mulai berdenyut-denyut. “Kau gila, Zetta.”
“Aku hanya ingin melindungi kedua adikku. Yang pertama, aku tak ingin kau menghancurkan hidupmu hanya demi DonDrea. Dan yang kedua, aku tak ingin DonDrea menjadi orang yang tak bisa apa-apa hanya karena punya kakak seperti dirimu. Itu demi kebaikan kita semua. Aku memang orang bejat, tapi aku masih punya tanggung jawab sebagai kakak terhadap adik-adikku. Aku tak mau digentayangi arwah papa dan mama dari atas sana. Semenjak mereka meninggal dalam kecelakaan pesawat dulu, kalian berdua menjadi tanggung jawabku. Kalian telah menjadi tanggunganku sejak aku masih berumur 19 tahun. Aku harus pintar-pintar mendidik kalian supaya jadi anak manis, dan juga mengatur warisan orang tua kita supaya cukup untuk biaya hidup kita sehari-hari sebelum ada yang mampu bekerja. Nah, untuk mengurus kalian aku telah berusaha sangat keras. Dan aku tak rela kalau hal itu harus rusak begitu saja sekarang.”
DonFatta mendengus kesal. Malu dan bingung. “Aku tak tahu harus bilang apa.”
“Terimakasih mungkin adalah pilihan yang tepat.”
“Aku tidak mau.”
“Terserah kau.” DonZetta tersenyum senang. “Oya, di samping itu ada kabar baik.”
“Biasanya kabar baik untukmu bukanlah kabar baik untukku, Zetta.”
“Produser itu mengundang kau ke rumahnya hari ini untuk makan malam –romantis. Jangan sampai telat, ya.”
DonFatta terhenyak dan mengerjapkan matanya tiga kali karena bingung. “Sepertinya kau sudah salah produser, bro. Dia itu laki-laki.”
“Aku tahu.” jawab Zetta. “Dan omong-omong soal yang tadi, aku percaya padamu.”
“Soal apa?” tanya Fatta bingung dan tidak mengerti.
“Kemaluanmu. Bahwa itu besar, aku percaya sekali.”
DonFatta menggeram kesal.
“Dan produser itu juga percaya, sebab dia antusias sekali waktu kemarin malam kami membicarakannya.”
“Kalian membicarakannya?!” DonFatta terlonjak kaget.
“Ya. Kami membicarakannya.”
“Soal ukuran alat vitalku?!” tanyanya marah.
“Tepat. Dia juga bertanya apakah kau hebat di tempat tidur.”
“Brengsek!”
“Klienmu itu homo, little bro!”
“Dan kau menyuruhku makan malam bersamanya! Aku ingin tahu kalau-kalau kau juga sudah memesankan kamar di suatu hotel untuk kami, bangsat!” umpatnya geram.
“Hmm… aku sih belum. Tapi dia berjanji akan melakukannya.”
“Setan!” lalu telepon itu terputus begitu saja.
BAB VII…
“Dad,”
DonFatta menoleh dan mendapati putranya sedang berdiri di pintu dapur sambil memperhatikannya pulang kerja malam ini. Ini sudah pukul setengah dua belas. Sudah terlalu larut untuk orang normal yang pulang bekerja.
“Aku senang bisa bertemu daddy.”
DonFatta tersenyum kecil. “Terimakasih sudah mau menungguku, Tristan.”
“Sama-sama, dad.”
Dengan canggung DonFatta melepaskan dasinya dan melipat benda itu perlahan-lahan. Tangannya sedikit gemetar. Dia selalu salah tingkah kalau sedang berdua saja dengan putranya itu.
Anak adiknya.
“Banyak pekerjaan ya, dad?” tanyanya mencoba mengajak ayahnya berbicara. Pemuda 15 tahun itu tersenyum pada ayahnya yang mulai kebingungan.
“Ya, lumayan.”
“Kasus apa, kalau aku boleh tahu?”
“Oom Zetta. Urusan kantornya.”
“Oh, begitu.”
“Ya.”
Lalu percakapan itu terhenti lagi. DonFatta cepat-cepat melangkah menuju tangga ke kamar tidurnya. Semoga saja dia tidak terkesan terlalu terburu-buru.
“Daddy,” panggil Tristan lagi.
DonFatta berhenti di anak tangga terbawah. Dia lalu menengok ke arah putranya.
“Daddy, katakan bahwa daddy mencintaiku.”
“Aku mencintaimu.” jawab DonFatta cepat-cepat.
“Tapi daddy tidak pernah menunjukkannya padaku.”
“Aku tidak tahu bagaimana harus menunjukkannya padamu.”
“Daddy tidak pernah bersikap hangat padaku.”
“Aku harap aku bisa melakukannya.”
“Kenapa, daddy?”
“Apanya yang kenapa?”
“Kenapa daddy tidak bisa mencintaiku?”
“Aku sudah bilang aku mencintaimu.”
“Aku tidak percaya.”
“Kalau begitu jangan bertanya.”
“Dad,” Tristan berkata lirih, “daddy tahu aku sangat mencintai daddy.”
“Aku tahu. Terimakasih, Tristan.”
Pemuda itu tersenyum manis, walaupun senyuman itu begitu sedih. “Setidaknya daddy tahu hal itu. Selamat malam, dad.”
“Selamat tidur, Tristan.”
Pemuda itu berjalan lunglai menuju kamarnya. Saat dia membalik badan, Fatta bisa melihat wajahnya yang terluka. Ya, Tuhan! Dia telah melukai perasaan anak itu selama 15 tahun!
“Tristan,” panggilnya pelan.
Anak itu menoleh.
“Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku sangat menyayangimu. Tapi…” Fatta menghela nafas panjang. “Melihatmu selalu membuatku merasa sakit, Tristan.”
“Apa salahku kepada daddy?”
“Tidak ada.”
“Lalu kenapa? Apa ada perbuatanku yang menyakiti daddy?”
“Tidak.” Fatta tersenyum lemah. “Perbuatanmu tidak pernah menyakitkan.” dia menjawab. “Tapi justru kamu sendirilah yang terasa sangat menyakitkan untukku, Tristan.”
Tristan memandang ayahnya dengan pilu. “Aku tahu, dad.” dia tersenyum sedih. “Tapi aku tidak bisa mengerti. Maafkan aku.”
***
“Sayang,” Liz mencium bibirnya dalam-dalam begitu DonFatta melangkah masuk ke dalam kamarnya. Fatta meletakkan tasnya dan memeluk wanita itu.
“Malam sekali pulangnya, Fatta. Aku kangen sekali.” ujarnya menggoda. “Dia mengelus-elus dada suaminya dengan lembut.
DonFatta tersenyum menanggapinya. Dia memeluk pinggang Liz dan mencium wanita itu lagi. Sesaat kemudian, Liz mulai membuka kancing kemejanya satu per satu.
Setelah itu –seperti yang biasa mereka lakukan setiap hari, mereka bercinta dengan menggebu-gebu. Hingga akhirnya mereka terkulai lemas di atas ranjang mereka. Liz memeluk tubuh suaminya yang terbaring lemas di sampingnya. Fatta tidur berbantalkan kedua telapak tangannya.
“Kamu sangat seksi, sayang…” ujarnya sambil mengelus otot biseps Fatta yang liat dan kulitnya yang kencang. Liz menciumi tubuh Fatta yang beraroma khas permainan cinta mereka barusan.
“Kamu juga sangat menawan.” Fatta membalas pujian istrinya.
Elizabeth merangkak ke atas tubuh lelaki itu dan memainkan jemarinya yang lentik untuk menyusuri wajah DonFatta. Dia lalu mencium laki-laki itu. “Kamu betul-betul hebat. Kamu adalah pemain cinta terbaik yang aku tahu.”
Tentu saja. Kamu membandingkannya dengan DonDrea. Fatta hanya tersenyum. Dia melamun. Dia sebisa mungkin mengenyahkan pikiran itu.
“Aku beruntung menikah denganmu.”
Namun kalimat itu terdengar bagai petir yang menyambar dirinya tanpa belas kasihan. Hatinya langsung hangus terbakar. DonFatta terlonjak bangun dan duduk di samping tempat tidurnya. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Bayangan-bayangan mengerikan tentang masa lalunya kembali lagi –beterbangan tiada henti. Akhirnya dia bangkit berdiri.
“Mau kemana say–“
“Jangan sentuh aku!” bentaknya kasar. Dia tahu itu berlebihan, tapi dia tak ingin meminta maaf pada wanita itu. Dengan terburu-buru DonFatta membuka lemari pakaiannya, mengenakan kemeja asal-asalan dan tidak dikancingkan. Dia kemudian memakai jeans-nya yang ketat dengan terburu-buru. Dia tidak menarik ritsleting jeans-nya. Lalu dia meraih ponsel, dompet, dan kunci mobilnya.
“Kamu mau pergi?” tanya Liz. Tapi dia tahu dia tak akan mendapatkan jawaban begitu DonFatta membanting pintu keras-keras.
***
Mitha terbangun dari tidurnya yang lelap begitu mendengar klakson mobil di depan rumah kontrakannya. Dia berjalan menuju pintu dan melihat kekasihnya itu berdiri di ambang pintu rumahnya.
“Fatta?” tanyanya terkejut. “Ada apa malam-malam begini datang ke rumahku?”
“Aku ingin bercinta denganmu.”
Mitha mengerjapkan matanya dengan kaget. “Sekarang?”
“Kalau tidak sekarang, aku tidak akan ada di sini, jalang!” umpatnya kesal. Dia lalu berjalan masuk ke dalam rumah. Mitha menutup pintu itu dengan perasaan bingung. Dia melihat mimik wajah DonFatta dan menyadari bahwa laki-laki itu sedang kesal dan marah. Tak ada gunannya melawan pada saat seperti ini. Dia akan melayani DonFatta sesuai keinginannya.
DonFatta melepaskan kemeja dan jeans-nya. Dia lalu melemparkan pakaiannya asal-asalan. Dengan santai dia berbaring di atas lantai yang dingin. Dia menekuk kedua kakinya. Kaki-kaki yang panjang itu mengangkang lebar. DonFatta menekuk kedua lengan dan menyelipkannya di bawah kepala. Dia berbaring dengan bantal telapak tangan.
Mitha melihatnya. Dengan penuh kesadaran dia menyadari betapa mempesonannya laki-laki itu. Dia begitu jantan, seksi, sensual, panas, dan romantis. Dia adalah dambaan semua perempuan.
“Buat aku senang, baby…” gumamnya kepada gadis itu. “Aku ingin pada saat nanti aku pulang, tidak ada satu pun bagian tubuhku yang tidak basah oleh ludahmu, oke?”
Mitha tersenyum manis. “Sepertinya kamu sedang tidak ingin bermain, sayang.” ucapnya.
“Memang.” DonFatta mengiyakan. “Aku lelah. Oleh karena itulah aku suruh kamu saja yang bekerja. Senangkan aku. Aku akan diam saja menerima semua yang kamu lakukan. Ayolah.”
Mitha memandang kejantanan Fatta. “Hanya ‘dia’ yang perlu aku tangani atau…”
“Tidak, brengsek! Semuanya! Semua tanpa kecuali. Buat aku remuk.” perintahnya penuh gairah.
BAB VIII…
DonFatta berjalan melintasi ruang keluarga di rumahnya yang besar itu dengan wajah kusut. Rupanya bercinta dengan Mitha bukanlah pelarian yang baik dari kepenatan pikirannya semalam. Dengan rasa kesal yang sudah bertambah tiga kali lipat sejak tadi malam, dia berjalan lunglai menuju tangga. Mungkin mandi dan merapihkan dirinya adalah pilihan yang terbaik untuk saat ini. Kemudian dia akan langsung ke biro untuk bekerja sampai tengah malam.
Jam dinding menunjukkan pukul enam lebih sedikit. Dan di ruang tengah –tepat di dekat tangga, dia melihat Tristan sedang menelepon seseorang. DonFatta tidak ingin menyapa anak itu. Dia langsung berjalan ke tangga untuk naik ke kamarnya.
Di tengah tangga, dia berpapasan dengan istrinya. “Baru pulang, sayang?” tanya istrinya lembut, namun terdapat semacam nada tidak suka dalam suaranya. Liz yang melihat pakaian suaminya yang kusut masai itu tahu bahwa semalaman ini laki-laki itu tidur dengan perempuan lain. Coba saja cium aroma tubuhnya! Kental sekali dengan aura seks.
Tidak sekali sebetulnya DonFatta pulang dalam keadaan kacau begitu. Tapi Liz tidak berani bertanya soal siapakah perempuan lain itu. Atau bahkan, berapa banyak perempuan simpanan suaminya itu. Elizabeth tidak pernah berani mengungkit-ungkit soal perselingkuhan suaminya. Banyak alasan yang membuatnya mengambil keputusan begitu.
Yang pertama, sebab dia tahu pernikahannya tidak berlandaskan cinta. DonFatta tidak pernah mencintainya, tapi telah sangat bermurah hati bersedia menikah dengannya dan memberikan nama untuk putranya. Selama lima belas tahun pernikahan mereka, DonFatta tidak pernah keberatan dengan permintaan Liz untuk tidak bekerja. Dia pun setuju-setuju saja saat Tirstan didaftarkan di sebuah sekolah mahal ibukota. Selama ini, tanpa banyak ocehan DonFatta bersedia menanggung hidupnya. Itu adalah hutang budi yang tak mungkin bisa dibayar hingga kapanpun.
Yang kedua, mereka berdua sama-sama tahu siapa Tristan. Mereka berdua tahu siapa ayahnya. Dan mereka pun tahu ayah anak itu adalah adik DonFatta sendiri. Dan Liz sadar, setiap kali melihat putra tirinya itu, DonFatta selalu merasa sedih –sakit hati. Dan Liz tidak tahu bagaimana cara mengobati sakit itu, ataupun menebus kesalahannya karena dulu telah dengan sangat ceroboh mengancam akan menyebarkan kehamilannya ke pers sampai karir DonDrea hancur. Liz tahu DonFatta sangat menyayangi adiknya. Dan dia tahu DonFatta bersedia berkorban seumur hidup demi adiknya itu. Dan sekali lagi, itu adalah hutang yang sangat mahal yang tak mungkin bisa Liz bayar kepada Fatta.
Yang ketiga, sebetulnya Liz sendiri bukanlah istri yang setia. Beberapa kali setelah dia menikah dengan Fatta, dia pun masih sering berhubungan dengan DonDrea. Laki-laki itulah yang dia kira sungguh-sungguh dicintainya. Dan Liz pun tahu, pernah suatu kali DonFatta memergoki dai sedang tidur dengan adiknya. Liz kira waktu itu Fatta akan mengamuk, tapi ternyata laki-laki itu diam saja. Dia tetap menghormati Liz sebagai istrinya dan tidak membuka aib istrinya itu di hadapan putra mereka. Dan karena waktu itu DonFatta hanya mengintip, jadinya DonDrea juga tak tahu bahwa kakaknya itu melihat perbuataan mereka. Dan sepertinya, hingga detik ini pun DonDrea tetap tidak tahu apa-apa. Hal itu membuat rasa bersalah yang begitu dalam di hati Liz.
Yang keempat, karena seseorang telah memperingatkannya –mengancamnya, untuk tidak bertanya macam-macam seputar kehidupan seks DonFatta dengan perempuan lain. DonFatta paling tidak bisa berbohong, dia benci berbohong. Jadi Liz tidak boleh menanyakan suatu pertanyaan yang sudah dia tahu jawabannya –yang untuk menjawabnya DonFatta harus berbohong. Karena itu akan membuat Liz menyesal. Orang tadi telah mengancam akan membuat perhitungan kalau Liz sampai harus membuat DonFatta berbohong.
Orang itu adalah DonZetta. Dia telah mengatakan pada Liz bahwa suaminya itu punya simpanan. Tapi dia meminta Liz untuk tidak mengatakan pada Fatta bahwa Zetta telah menceritakannya. Zetta mengatakan semua itu semata-mata hanya apabila dia bertemu dengan Fatta dalam keadaan seperti pagi ini, dia tak perlu bertanya lagi. Jadi, Fatta tetap tak harus berbohong.
Dan Zetta tidak ingin Fatta tahu bahwa dia telah membeberkan semuanya. Dia ingin Fatta tetap beranggapan bahwa hingga detik ini Liz tetap tidak tahu apa-apa. Karena itu adalah satu-satunya kartu yang membuat Fatta tunduk pada Zetta. Dan Zetta tak ingin kehilangan kartu itu.
Siapa pula yang ingin kehilangan DonFatta?
***
DonFatta telah siap berangkat kerja pagi ini. Dia turun tangga sambil bersiul kecil dan menenteng tas kerjanya dengan tangan kanan. Di lantai bawah, dilihatnya Tristan sedang bicara dengan Elizabeth. DonFatta memberikan seulas senyum kecil pada keduanya. Dia mencium pipi Liz, lalu bibirnya, dan kemudian menyapa Tristan.
“Hai, Trist.”
“Hai, dad.” Tristan menjawab pendek. Dia lalu memalingkan wajah dari ayahnya itu. DonFatta melihatnya dengan sedikit terkejut, tapi maklum –mengingat pertengakaran kecil mereka semalam yang sangat menyakitkan hati.
“Tristan tidak akan ada di rumah akhir pekan nanti, sayang.” Liz menjelaskan kepada suaminya dengan gugup dan ragu-ragu.
“Oh.” hanya itu yang dikatakan DonFatta. Dia kemudian berjalan menuju ruang tamu untuk buru-buru berangkat kerja.
“Fatta!” panggil Liz dengan suara tercekik. “Dia akan pergi bersama DonDrea.”
Langkah Fatta kontan terhenti. Darahnya seperti berhenti mengalir. Jantungnya tidak lagi berdetak. Tapi, wajahnya tetap tenang. Dia adalah aktor yang sangat baik. Mungkin malah lebih baik dari adiknya yang brengsek itu.
“Oom Drea tidak ada jadwal Sabtu-Minggu nanti. Jadi tadi waktu aku meneleponnya, dia mengundangku untuk menginap di rumahnya akhir pekan ini.”
Tristan meneleponnya? Untuk apa?
Tapi DonFatta tidak mengutarakan pertanyaan hatinya itu. Dia hanya tersenyum kecil –terpaksa. “Baguslah. Selamat bersenang-senang, ya.” dia lalu berlari ke pintu.
“Daddy!” seru Tristan sambil berlari mengejar ayahnya dan menarik lengan ayahnya hingga pria itu menghadap ke arahnya. Tristan menatap mata ayahnya lekat-lekat. “Aku pergi dengan Oom Drea karena dia begitu menyayangiku, daddy.”
“Aku tidak bertanya soal alasannya, Tristan.”
“Tapi daddy perlu tahu.”
“Mengapa?”
“Karena daddy tidak begitu!” serunya sedih. “Daddy tidak pernah mencintaiku seperti Oom Drea mencintaiku! Padahal dia hanyalah oom-ku! Dan daddy adalah ayahku!” ujarnya berapi-api.
DonFatta tersentak mendengar itu. Dia menatap anaknya dengan tatapan penuh luka. Dipandangnya wajah anak itu. Wajahnya yang telah ternoda dengan rasa sedih dan luka yang begitu dalam.
“Mengapa daddy tidak pernah suka padaku?” tanya Tristan dingin.
“Aku suka padamu.”
“Apakah daddy menyesal punya anak seperti aku? Apa salahku, dad?!” tanyanya geram.
“Kamu tidak bersalah sama sekali, Tristan. Kamu anak yang baik.”
“Lalu kenapa, dad?! Kenapa?!” Tristan memukul-mukul dada ayahnya dengan fustrasi. “Asal daddy tahu saja! Daddy sangat jahat! Daddy telah menyakiti hatiku selama 15 tahun!”
Fatta menatap putranya dengan sedih. “Kita akan membawa rasa sakit itu sampai mati, Tristan.”
Tristan memeluk ayahnya erat-erat, membenamkan kepalanya di dada pria itu. Dia menangis tersedu-sedu, terisak, tersedak air matanya sendiri. Dia mencoba menikmati saat-saat yang sangat berharga itu –saat dia memeluk ayahnya, walaupun laki-laki itu tidak membalas pelukannya. Kedua tangan ayahnya sama sekali tidak mendekap dirinya.
“Aku tidak tahan lagi, daddy…”
DonFatta diam saja.
“Kalau memang daddy tidak menyukaiku, aku dengan ikhlas akan pergi dari sini…”
DonFatta tetap tidak bergeming.
“Seandainya saja, dad… khayalanku bisa menjadi kenyataan, aku akan sangat bahagia. Bahwa daddy akan bisa mencintaiku seperti Oom Drea–“
DonFatta refleks mendorong tubuh anak itu sampai terjatuh di lantai. Amarahnya meluap-luap.
“Daddy!” rintih Tristan kesakitan. Hatinya lebih sakit lagi melihat penolakan ayahnya. Tapi, saat dia akan mengutarakan hal itu kepada ayahnya, dia tiba-tiba terhenti oleh pemandangan baru yang sedang dilihatnya saat ini.
Air mata ayahnya. DonFatta menangis. Tangis itu tanpa suara, tapi sarat dengan kesedihan.
Kekecewaan.
***
“Dia mungkin akan segera pergi, Zetta.”
DonFatta tidak ke biro hari ini. Dia malah melajukan mobilnya ke arah kantor kakaknya untuk mencari tempat berkeluh kesah. Saat dia datang, kakaknya sedang sibuk meneliti laporan keuangan yang harus ditangani Fatta. Batas waktu yang diberikan Departemen Keuangan sudah semakin dekat. Kalau hingga waktunya mereka tidak menerima laporan yang diminta, mereka pasti akan mengambilnya sendiri dengan cara yang sangat tidak hormat.
DonZetta menghisap rokoknya dalam-daalm sebelum menghembuskan asapnya. Dia menyodorkan kotak rokok itu pada sang adik. “Merokok dulu, lah.”
“Tidak.”
“Ayo.”
“Tidak mau!” tolak DonFatta keras-keras. “Anakku akan pergi meninggalkanku, Zetta. Persetan dengan rokokmu itu.”
DonZetta menatap adiknya. “Tristan serius mau pergi dari rumah? Paling hanya bercanda. Biasalah, bro. Emosi anak muda. Itu hanya ungkapan kecewanya saja karena kau tidak pernah menyayanginya.”
“Kau tahu persis betapa aku mencintai Tistan, Zetta!” sergah Fatta sungguh-sungguh.
“Aku memang tahu.” Zetta mengangguk. “Tapi dia tidak. Itulah masalahnya.”
“Seharusnya dia tahu.”
“Bagaimana dia harus tahu?” tandas Zetta serius. “Dia hanya anak kecil yang haus akan kasih sayang seorang ayah, Fatta.”
“Dan sekarang dia mulai mencarinya dalam diri DonDrea. Itulah yang kumaksudkan dengan pergi, Zetta. Bukan berarti pergi dari rumah, tapi pergi dari aku. Dia akan berhenti mencintaiku dan berpaling pada DonDrea.”
“Dia memang ayahnya.”
“Itu dia.”
DonZetta menghela nafas. “Dosa tidak ya, kalau aku menghajar si bungsu jahanam itu?”
“Mengatakan dia jahanam saja kau sudah dosa, Zetta.”
“Ah, susah sekali hidup kalau begitu, ya? Padahal tanganku sudah gatal, nih.”
“Memangnya kau peduli dengan dosa?” tanya Fatta sambil menaikkan satu alisnya dengan gaya skeptis.
“Ya, aku peduli. Barusan aku memikirkannya.”
“Hmm…” gumam Fatta sambil tersenyum manis.
“Memang baru yang pertama kali, sih.” aku Zetta akhirnya.
Kedua kakak-beradik itu tertawa bersamaan. Kemudian DonFatta menggengam tangan kakaknya erat-erat. “Aku tidak tahu bagaimana bertahan tanpa dukunganmu, bro. Terimakasih.” ujarnya tulus.
DonZetta menatap adiknya. “Aku tidak pernah tahu bagaimana harus menanggapi seseorang yang berkata baik tentang diriku.”
“Diam saja, tolol.”
“Brengsek kau.”
Keduanya tertawa lagi.
“Fatta, mengapa tidak jujur saja kepada Tristan? Katakan bahwa Drea-lah ayahnya. Dan kau hanyalah korban malang yang harus menanggung ini semua.”
“Dan dia akan langsung lari kepada Drea. Padahal aku tidak mau kehilangan dia, Zetta. Aku tidak mau dia pergi. Dan pengakuan itu adalah tiket keluar untuknya. Aku tak mau!”
“Aku tidak tahu kalau mau keluar harus punya tiket juga. Setahuku hanya masuk yang perlu tiket.”
“Bukan itu intinya, sialan.”
“Itulah intinya!” seru Zetta. “Bahwa ini bukan tiket keluar, tetapi tiket masuk! Kejujuran ini adalah modal bagi kalian untuk sampai pada satu titik baru!”
“Lebih buruk?”
“Lebih baik –seharusnya.”
“Kalau ternyata tidak?”
“Itu urusanmu.”
“Setan kau, Zetta.”
“Trims.”
DonFatta menatap kakaknya lekat-lekat. “Apa kau benar-benar berpikir bahwa Tristan akan mengerti?” tanyanya bimbang.
“Hah! Munafik kau! Katamu tadi itu ide gila, tapi sekarang kau juga mempertimbangkannya!” DonZetta tersenyum senang. “Dia akan mengerti.” jawabnya singkat.
“Bagaimana kau bisa seyakin itu?” tanya Fatta ragu-ragu.
“Adik kecil…” ujar Zetta dengan disabar-sabarkan. “Usianya sudah 15 tahun. Dia memang belum dewasa, tapi sudah cukup besar untuk mengerti bahwa ayah kandungnya adalah seorang pemuda brengsek yang tidak bertanggung jawab, sok dan sombong, juga ceroboh hingga menghamili anak orang. Dia juga sudah cukup besar untuk bisa memahami bahwa ayahnya itu adalah aktor gadungan yang gila ketenaran, yang mau menempuh jalan apapun untuk sampai pada puncak karir, dan akan mengorbankan apapun untuk mempertahankan apa yang telah dia capai –tak peduli walaupun itu adalah kakaknya sendiri!”
DonFatta menghela nafas dengan sesak. Dia menutup wajahnya dengan tangan.
“Tristan akan mengerti, Fatta. Aku yakin. Dia tidak akan meninggalkanmu. Kau adalah pria yang telah bersedia mengawini ibunya walaupun kau tidak mencintai wanita itu –hanya supaya anak itu punya seorang ayah. Karena kau tak mau wanita itu membeberkan ke media betapa busuknya adikmu itu. Karena kau tak mau karir Drea hancur. Terlebih lagi, karena kau tidak mau orang lain tahu Tristan adalah anak haram dari adikmu yang sinting itu!”
DonFatta menatap kakaknya. “Tristan tak akan mau percaya. Selama ini dia menganggap aku tidak pernah mencintainya. Dia tak akan mau mendengarkan penjelasanku itu.”
“Bahwa kau merasa sakit setiap kali melihatnya? Itu wajar, bro! Kau setiap hari memandang Tristan dengan bayangan bahwa dia adalah anak dari adikmu! Dan satu lagi fakta bahwa anak itu adalah hasil percintaan antara pemuda pongah itu dengan wanita yang sekarang menjadi istrimu!”
“Mana anak itu peduli?!” potong Fatta sedih. “Satu-satunya yang dia pedulikan adalah bahwa aku –satu-satunya ayah yang dia kenal, tidak pernah mau mencintainya.”
“Bagaimana mungkin dia berkata begitu padamu? Sedangkan kau telah mencintainya setulus hatimu bahkan sebelum dia bisa bicara? Bahkan sebelum dia punya nama! Sebelum dia bisa membuka mata! Kau sudah mencintai dia pada detik pertama dia dilahirkan di dunia ini, Fatta!”
“Dan dia adalah anak adikku.”
“Dan kau mencintai anak itu! Kaulah yang menunggui Liz melahirkan dulu! Dan ingatkah kau kemana DonDrea? Syuting film! Brengsek!” umpat Zetta kesal. “Memangnya kau kira aku tolol, ya? Memangnya kau kira aku percaya waktu kau bilang mau menikahi Liz hanya karena kasihan pada wanita itu dan semata-mata demi menjaga nama baik DonDrea? Tidak, adik kecil! Aku tahu alasan yang sebenarnya! Tristan-lah motivasimu!” tembaknya.
DonFatta menunduk dan terdiam. Mungkin sebaiknya dia menangis saja lagi.
“Sejak pertama kau melihat bayi mungil itu, kau sudah tahu bahwa kau menginginkannya. Bahwa kau mencintainya. Bahwa dia telah ditakdirkan untuk menjadi milikmu.” DonZetta mengelus rambut adiknya. “Fatta… Tristan adalah putramu. Dia anakmu. Dia memang bukan darah dagingmu, tapi –setan, siapa yang peduli? Dia adalah bagian dari jiwamu. Dialah belahan hatimu. Kalian saling mencintai, Fatta. Ingatkah kau bagaimana bayi yang dulu baru berumur empat hari itu menatapmu?”
Fatta menatap kakaknya dengan mata berkaca-kaca. Dia mengangguk.
“Hanya kaulah yang dia tahu, Fatta. Hanya kepadamulah dia tersenyum, dan mempersembahkan tangisnya yang cempreng. Dan ingatkah kau bagaimana cara dia menggengam jari telunjukmu? Padahal tangannya belum cukup besar untuk itu. Tapi dia tetap berusaha. Dia ingin menyentuhmu. Dia ingin merasakan kehangatan kasihmu.”
Kali ini, Fatta betul-betul menangis lagi.
“Dan ingatlah saat dia baru bisa bicara. Siapa yang dipanggilnya? Apa yang dikatakannya? Kau, Fatta. Dia memanggilmu. Dia mau pamer padamu bahwa sekarang dia sudah bisa bicara. Dan dia mengucapkannya… ‘daddy’. Untukmu, Fatta. Kaulah ayahnya.”
DonFatta menatap kakaknya dengan putus asa dan bimbang.
“Dan itulah alasannya mengapa nanti kau harus bicara pada Tristan. Dan itu jugalah asalan mengapa aku yakin dia akan mau mendengarkan.”
“…”
“Kalian akan menemukan jalan.”
BAB IX…
Berhari-hari telah lewat semenjak pembicaraannya dengan DonZetta, tapi tetap saja hingga kini Fatta belum berani mengatakan yang sebenarnya pada Tristan. Besok anak itu akan mengabiskan akhir pekannya dengan DonDrea –ayah kandungnya. Dan hari ini adalah kesempatan terakhirnya untuk menjelaskan semua. Apabila besok setelah dia berlibur bersama Drea, Tristan merasa Drea lebih cocok dengannya daripada Fatta, maka berakhirlah segalanya. Tristan tidak akan menjadi miliknya lagi.
DonFatta duduk di balik meja ruang kerjanya sambil melamun. Di tangannya terdapat sebuah foto bergambar seorang bayi kecil –Tristan. Bayi itu sedang tersenyum manis ke arahnya. DonFatta sedang membelai pipi bayi itu di atas kasur. Saat itu dia tersenyum tulus. Senyuman yang sekarang tidak pernah lagi dilihat oleh Tristan.
Ya, Tuhan! Betapa dia sangat mencintai anak itu!
Dan dengan kepala yang penat, dia berjalan keluar dari ruang kerjanya –membawa foto tadi, menuju ke kamar putranya itu. Dengan hati-hati dia membuka pintunya, mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan kamar yang gelap gulita itu. DonFatta tidak menyalakan lampunya. Dia hanya duduk perlahan di samping tempat tidur anaknya.
Dia melihat anak itu terlelap sambil memeluk sebuah pigura berisi foto ayahnya. Di foto itu, DonFatta sedang tersenyum manis sendirian di atas kap mobilnya. Waktu itu Tristan yang mengambil fotonya sewaktu anak itu masih 12 tahun. Itulah satu-satunya foto yang dia punya tentang sang ayah.
DonFatta terharu melihat hal itu. dai bertanya dalam hati apakah Tristan selalu memeluk pigura itu setiap malam dalam tidurnya.
Dengan hati-hati DonFatta menarik pigura itu dari dekapan putranya dan menukarnya dengan foto Tristan sewaktu bayi yang dibawanya tadi. Kemudian dia meletakkan pigura tadi di samping tempat tidur.
DonFatta tersenyum melihat anak itu tertidur pulas dan tidak menyadari kehadirannya. Sebab dia tidak tahu apa yang harus dia katakan kalau Tristan sampai terbangun dan mendapatinya ada di sana.
Dengan lembut dikecupnya kening anak itu. Dielusnya rambutnya. Kemudian DonFatta berjalan keluar kamar itu dengan mengendap-endap seperti tadi.
Dia puas. Dia sangka Tristan tidak pernah tahu apa yang barusan dilakukannya.
***
Pintu itu menutup perlahan. Tanpa suara dan sangat lembut –sama lembutnya seperti ayahnya tadi. Suatu kelembutan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya, yang dia sangka seumur hidup pun tidak akan pernah mungkin dialaminya.
Tristan bangun dari tidurnya yang hanya pura-pura itu. Dia kemudian menyalakan lampu mejanya untuk melihat benda apa yang barusan diselipkan ayahnya di tangannya tadi.
Sebuah foto. Bayi itu sangat mungil dan menggemaskan. Dan ayahnya menatap bayi itu sambil tersenyum hangat, penuh kasih. Jari telunjuk ayahnya membelai pipi bayi itu dengan penuh rasa sayang. Tristan menatap foto itu sambil terpaku.
Siapa bayi itu?
***
“Masuk,”
DonFatta mengerutkan kening sewaktu mendengar ketukan di pintu ruang kerjanya. Hari itu adalah hari Minggu –hari dimana Tristan akan pergi bersama DonDrea. Dan sekarang, di pagi hari yang cerah ini, DonFatta hanya bisa duduk melamun di dalam ruang kerjanya sendirian sambil berpikir dalam hati tentang plot-plot mengerikan yang telah dilewatinya sepanjang hidup ini.
Saat sarapan tadi, tidak terdengar apapun dari Tristan. Dia tidak membatalkan rencananya pergi bersama DonDrea, dia tidak bertanya soal foto yang ditemukannya begitu bangun dari tidur, dia tidak berkata apapun.
Itu berarti tidak ada satu hal pun yang berubah di rumah ini. Tidak ada yang akan berubah, dan memang tidak ada yang harus berubah.
“Dad,” terdengar suara Tristan. DonFatta terlonjak kaget dan memandang putranya itu dengan tatapan tidak percaya. Anak itu menatap ayahnya sambil tersenyum dan segera menutup pintu. “Lagi kerja, dad?”
“Hmm… ya. Maksudku –tidak.” jawabnya salah tingkah. Dia sedang berada di ruang kerjanya –pada hari Minggu, tanpa satu lembar kertas pun di hadapannya. Dia hanya melamun dan dia pun yakin anaknya menyadari hal itu. Namun agaknya, DonFatta terlalu gengsi untuk mengakui bahwa dia juga adalah salah seorang pria penganut mimpi di siang hari.
Tristan duduk di kursi di hadapan ayahnya. “Boleh kan, aku duduk di sini?” tanyanya.
“Tentu saja.”
“Trims.” Tristan tersenyum hangat. “Oom Drea sudah ada di bawah, menungguku.” ujarnya.
“Oh, bagus. Selamat jalan-jalan, ya.”
Tristan menatap ayahnya. “Terimakasih, dad.”
Fatta tersenyum kecut.
“Untuk fotonya.”
“Apa?” sahut DonFatta terkejut karena tidak menyangka akan mendengar itu dari mulut anaknya.
“Ya, dad. Terimakasih untuk fotonya.”
DonFatta menatap anaknya tajam-tajam. “Sama-sama.”
Tristan diam untuk beberapa lama, menunggu penjelasan dari ayahnya mengenai foto itu. Tapi saat ayahnya tidak juga membuka mulut, dia akhirnya bangkit berdiri dan tersenyum kecewa.
“Aku pergi sekarang, dad.”
“Ya.”
“Dad,” Tristan berkata perlahan-lahan, “sebelum aku pergi, aku ingin daddy tahu bahwa aku sangat bahagia daddy mau menciumku tadi malam.”
DonFatta terkejut. Dia sangka Tristan tertidur lelap malam itu. Dia tidak bisa menjawab.
“Aku pun senang menerima foto yang bagus sekali ini. Walaupun aku tidak tahu… siaap bayi itu.”
DonFatta menatap anaknya. “Itu kamu.”
“Aku? Jadi begitu, ya? Oh.” sahut Tristan. “Daddy mencintaiku di foto ini, daddy mencintaiku tadi malam. Tapi kenapa daddy tidak pernah mau menunjukkannya saat berhadapan langsung denganku?”
Ayahnya menghela nafas. Dia menunduk sebentar, sebelum akhirnya menatap anaknya dengan ketegaran minim yang dimilikinya. “Mungkin inilah waktunya, Tristan. Inilah saat yang paling tepat untuk menceritakan semuanya.” dia menjawab. “Ayo, kita temui mommy dan oom-mu di bawah. Kita akan membicarakannya bersama-sama.”
Tristan menatap ayahnya yang sedang berjalan ke arahnya dengan wajah kusut. Dia mengikuti ayahnya dari belakang. Mereka berjalan menuruni tangga dan melihat ibu dan oom-nya sedang asyik bercakap-cakap. Tristan melihat langkah ayahnya agak goyah sedikit saat melihat mereka. Tapi kemudian dia segera menguasai diri dan melanjutkan jalannya.
“Halo, kak. Apa kabar?” tanya DonDrea seraya bangkit berdiri untuk memeluk kakaknya. Tristan melihat rasa sayang yang terpancar dari kedua pria itu secara terang-terangan.
“Baik, Drea.” jawab Fatta singkat. Dan pada saat kedua saudara itu saling bertatapan, Tristan bisa melihat suatu bara api yang menyala di tengah-tengah kasih sayang mereka. Entah apa yang membakarnya.
Wajah DonFatta terlihat begitu serius. Wajahnya memerah dan tubuhnya sedikit gemetar. “Kak, ada apa?” tanya DonDrea sambil mengelus pipi kakaknya. “Kakak sakit?” tanyanya. “Kalau kakak sakit, mungkin lebih baik aku batalkan saja rencana jalan-jalan ini supaya bisa menemani kakak istirahat. Jarang kan, aku bisa punya kesempatan seperti ini.” tawarnya sungguh-sungguh.
“Tidak usah, Drea. Dengarkan saja aku.” sahutnya perlahan. “Aku pikir, sudah saatnya kita membuka semua ini di hadapan Tristan. Kita tak bisa menyiksanya terus-menerus.”
Seketika itu pula wajah DonDrea menegang. “Jangan ngawur, kak.”
“Aku serius.”
“Ini ide gila! Siapa yang mengusulkannya?! Oya! Aku tahu! Pasti kakak sulung kita yang tercinta itu, ya?! Dia memang selalu mau ikut campur urusan orang!” tiba-tiba saja amarah DonDrea meledak. Tristan terkejut. Dia belum pernah melihat oom-nya itu marah.
DonFatta meremas lengan adiknya erat-erat sambil mengguncang-guncangkan tubuhnya agar adiknya itu kembali tenang. “Zetta benar, Drea. Kita tidak bisa menyembunyikan ini selamanya.”
DonDrea menatap kakaknya dengan emosi. Dadanya naik turun mengikuti deru nafasnya yang memburu. Dia menepiskan tangan Fatta yang ada di lengannya.
Tristan berpaling ke arah ibunya yang sedari tadi hanya duduk diam memandang kedua laki-laki itu sambil menangis. Wajahnya tertutup telapak tangan. Berkali-kali dia bergumam, “Ya Tuhan…”. Dan Tristan mengambil kesimpulan bahwa masalah ini serius.
“Dad, ada apa ini? Ceritakan padaku. Aku ingin tahu yang sebenarnya ada apa.”
“Tidak, Tristan!” DonDrea membentaknya. “Kamu tidak perlu tahu!”
“Tapi aku ingin tahu!” tantang Tristan.
“Kamu ini! Sudah dikasih tahu supay–“ kata-kata DonDrea terpotong oleh sentakan kakaknya yang menggelegar.
“Kalau kamu memang ingin tahu, Tristan,” ujarnya dingin, “DonDrea inilah ayahmu. Bukan aku.”
DonDrea, Elizabeth, dan Tristan serempak menatap DonFatta lekat-lekat. DonDrea merasa marah, Elizabeth merasa kaget, dan Tristan begitu terpukul. Bingung. Tidak percaya.
“Daddy…” ujarnya lirih. “kita tidak sedang bercanda, daddy… apa daddy tahu apa yang daddy barusan katakan?” tanyanya sedih.
“Itu benar, Tristan.” DonFatta menjawab dengan penuh penyesalan. “Maafkan aku karena telah menyembunyikannya dari kamu selama ini. Tapi inilah kenyataannya. Aku bukan ayahmu. DonDrea-lah orangnya. Dialah yang telah menghamili ibumu.”
Tristan berpaling ke ibunya. Menuntut kejujuran. “Itu… itu benar, ibu?”
Elizabeth tidak menjawab. Dia memalingkan wajah.
“Oom Drea… itu betul?” tanya Tristan putus asa.
“Diam!” bentak DonDrea kesal.
Tristan menutup wajahnya dengan tangan. Air matanya mulai menggenang di pelupuk matanya. “Tidak, daddy… daddy-lah ayahku… katakan itu, dad! Katakan!”
DonFatta menatap putranya. “Aku bukan ayahmu.”
“Tidak!!!” pekiknya. “Tidak!!!!!”
Dia berlari ke kamarnya.
BAB X…
“Trist,”
Anak itu masih menangis tersedu-sedu di atas ranjangnya saat DonFatta melangkah masuk. Laki-laki itu duduk di pinggir tempat tidur anaknya dan menatap sesosok pemuda tidak berdaya yang hatinya sedang hancur terkoyak-koyak itu.
“Ibumu juga sedang menangis di kamarnya. DonDrea pergi sambil marah-marah yang menyumpahiku dengan segala umpatan yang bisa diingatnya.” DonFatta mulai berbicara. “Mungkin adalah suatu ketololan karena aku sudah berani mengungkapkan semua ini, Tristan. Sepertinya aku tidak pernah bisa melakukan hal yang benar dalam hidupku –walaupun hanya sekali.” sesalnya.
“Daddy tidak mungkin menyembunyikan ini dariku selamanya.”
“Memang.”
Tristan membalik tubuhnya dan menatap ayahnya lekat-lekat. “Jadi ini alasannya, dad? Mengapa selama ini daddy tidak pernah mau mencintaiku? Karena aku bukan anak kandung daddy?”
“Aku sangat –betul-betul, dengan seluruh hatiku, mencintaimu, Tristan.” ungkapnya. “Kamu adalah anugrah paling indah yang pernah aku dapatkan dalam hidup ini.” dia mengelus pipi anaknya. “Kamu adalah segalanya bagiku.”
“Daddy tidak pernah mencintaiku.”
“Itu tidak benar.”
“Ya, itu benar!” sentak anaknya. Tapi begitu menyadari kepada siapa dia sedang berbicara, dia langsung menurunkan suaranya. “Daddy merasa rugi kalau harus menyayangi anak yang bukan darah daging daddy sendiri? Jadi selama 15 tahun ini aku hanya merepotkan daddy?”
“Tidak, Tristan, sungguh. Itu semua tidak benar.”
“Itulah yang aku rasakan, dad.”
“Tristan,” DonFatta menggengam tangan anaknya. “akulah yang ada di sana waktu kamu dilahirkan. Akulah yang pertama kali mendengar kamu menangis. Akulah yang pertama kali melihat waktu kamu mulai bisa membuka mata. Akulah orang yang pertama kali jatuh cinta pada seorang bayi mungil bernama Tristan AlFatta.”
“Tapi…”
“Tapi,” lanjut DonFatta, “aku tidak pernah bisa melupakan bagaimana akhirnya kamu bisa menjadi anakku, Tristan. Aku tidak pernah bisa melupakan bagaimana wajahku –dan juga Oom Zetta, sewaktu DonDrea datang ke hadapan kami berdua, dan dengan tanpa perasaan memukul hati kami sewaktu dia meyatakan bahwa seorang gadis bernama Elizabeth –teman dekatnya, sekarang sedang mengandung anaknya.”
“Mengandung aku.”
“Ya, mengandung kamu. Bisakah kamu mengerti perasaan kami, Tristan? Kami adalah dua orang kakak yang ditinggali tanggung jawab mendidik adik kami karena orang tua kami sudah meninggal lama sebelumnya. Dan kami gagal. Waktu itu DonDrea bahkan belum bekerja. Dia menumpang hidup pada DonZetta yang sudah mapan. Kebetulan waktu itu aku sendiri baru merintis karir, belum terlalu sukses. Dan dia akan punya anak, Tristan! DonDrea yang masih sangat muda waktu itu sudah akan punya anak! Siapa yang akan mengurus anak itu?”
Tristan menatap ayahnya –ayah tirinya. “Jadi daddy yang akhirnya menikahi mommy?”
DonFatta mengangguk. “Itulah garis besarnya.”
“Memangnya ada detail lain selain itu?”
“Banyak, Tristan. Banyak sekali.” DonFatta tersenyum. “Tapi kamu tidak usah tahu. Itu akan sangat menyakitkan bagimu.”
Tristan menatap ayahnya dengan ragu. Dia lalu tersenyum –sedih dan bingung. “Dad,” panggilnya pelan, “apa aku masih boleh memanggil dengan sebutan daddy?” tanyanya penuh harap.
DonFatta tersenyum lembut. “Apa kamu masih mau memanggiku dengan sebutan daddy?”
Tristan mengangguk.
“Kalau begitu, kamu boleh panggil aku dengan sebutan daddy.”
Tristan tersenyum bahagia.
“Dan sekarang, bolehkah daddy menciummu, Tristan?”
BAB XI…
“Kakak betul-betul lancang!” seru DonDrea marah-marah di hadapan DonZetta atas keberaniannya menyuruh DonFatta membeberkan rahasia masa lalu mereka. Drea langsung mendatangi kantor Zetta dan menyuruhnya segera ke sana. Tak lama, Zetta sudah berada di kantornya itu. “Ini bukan urusan kakak!” tandas Drea begitu melihat kakaknya.
“Tentu saja ini urusanku, anak bengal! Benalu tidak tahu diri! Parasit yang hanya bisa menyusahkan orang lain! Aktor tidak becus yang selalu memanfaatkan pengaruh orang demi kemajuan karirnya! Ciptaan Tuhan yang gagal! Kau titisan dewa dari neraka! Anak setan! Adik kurang ajar!” maki DonZetta kepada adik bungsunya tanpa tanggung-tanggung. Makian itu baru sebagian. Dia masih memikirkan kemungkinan melanjutkan barisan makian itu terhadap adiknya.
“Kakak yang tidak tahu diri!” balas DonDrea tak kalah sengit.
“Kau licik seperti ular!” sembur kakaknya. “Sudah cukup kau siksa DonFatta sebegitu rupa!”
“Hah!” DonDrea menepuk kedua pahanya dengan tangan. “DonFatta! DonFatta! DonFatta! Selalu saja DonFatta yang kakak bela! Ingat, kak! Aku ini juga adik kakak!”
“Dan DonFatta adalah kakakmu juga! Hargailah dia, keparat!” makinya lagi.
“Aku tidak pernah kurang ajar padanya!”
“Kau menyiksa batinnya selama 15 tahun, DonDrea! Mati sajalah kau!” ujarnya gusar. “Dia telah menyelamatkanmu berkali-kali dari jurang kehidupan sialan yang kau buat sendiri! Dan kau masih mau membela diri?! Rasanya belum pernah aku melihat anjing yang lebih busuk dari pada kau, Drea!”
“Jaga omongan kakak!”
“Kau yang tutup mulut! Atau akan kupotong lidahmu sekarang juga! Kukebiri kemaluanmu yang kecil itu! Biar saja kau jadi orang cacat yang tidak bisa apa-apa! Karena setahuku, selama ini kau pun memang tidak pernah bisa melakukan apa-apa!”
“Kelancangan kakak telah membuat semuanya kacau! Kakak selalu memanfaatkan kekuatan kakak untuk menguasai semua orang –termasuk kak Fatta! Aku heran kenapa dia mau berada di bawah kaki orang seperti kak Zetta!”
“Karena dia punya akal sehat dan dia tahu apa yang aku katakan itu benar, Drea!”
“Benar?! Oya! Benar sekali! Kakak pintar sekali mencari cara menyakiti aku, Tristan, dan Elizabeth! Yang kakak pikirkan hanya kak Fatta! Kalian berdua bersekongkol untuk membalas dendam pada kami, ya?!”
“Fatta tidak pernah dendam pada siapapun, anak lancang! Tapi –ya, aku memang ingin membalas dendam! Tapi bukan dengan cara ini! Tidak sebaik ini! Aku bahkan ingin mencincang badanmu menjadi seratus potong! Lalu akan kulemparkan ke kerumunan babi kelaparan!”
“Babi tidak makan daging orang!” ejeknya.
“Tentu saja makan, kalau babinya seperti kau! Kau bahkan tega memakan hati kakakmu sendiri!”
DonDrea terdiam mendengar sindiran itu. Wajahnya memerah karena marah. Emosinya meluap-luap. “Aku tidak akan pernah melupakan perhinaan kakak barusan.” ujarnya geram.
“Itu bagus! Pikirkanlah selamanya! Itu toh benar! Dan ingat satu hal lagi, Drea! Jangan pernah cari masalah denganku! Aku bisa menghancurkanmu semudah membalik telapak tangan!”
“Kakak yang cari gara-gara!”
“Kau yang membuat masalah dengan Fatta! Itu berarti masalahku juga! Jangan salahkan aku kalau setelah ini karirmu hancur berantakan! Kau tahu siapa aku kan, Drea?!” ancamnya.
“Jangan berani-berani lakukan itu.”
“Bedebah keparat kau.”
“Kakak yang bajingan!”
“Kau tidak tahu diri!” sahut DonZetta emosi. “Aku masih bersabar hingga sekarang karena DonFatta memohon-mohon padaku untuk tidak berbuat jahat padamu. Padahal, rasanya aku sudah ingin membunuhmu sejak dulu.”
“Aku ini adik kakak.”
“Persetan.”
“Tega sekali kakak ini!”
“Kau juga tidak pernah menghormati persaudaraan kita!” tandasnya. “Pergilah, Drea! Sebelum aku berbuat kasar!”
“Kakak tidak akan berani!”
“Kata siapa?! Aku bisa menembakmu sekarang juga!” Zetta membuka laci mejanya dan mengeluarkan sebuah pistol ilegal yang dimilikinya.
DonDrea melihat pistol itu dengan kaget. Rasa takutnya mulai timbul. Dia melangkah mundur.
“Pengecut.” tantang Zetta.
“Kakak tidak akan menembakku, kan? Kak Fatta tidak akan mungkin memaafkan kakak bila kakak melakukannya.”
Mendengar itu, rahang DonZetta menegang. Dia lalu meletakkan pistolnya kembali. Dia menatap adiknya dengan penuh rasa benci.
DonDrea menyeringai.
“Brengsek kau, Drea! Kapan kau akan berhenti menyusahkan kakakmu itu?! Dia sangat sayang padamu!” pekik Zetta putus asa.
“Aku tidak akan bawa-bawa lagi nama dia, asalkan kakak berhenti mencampuri urusanku.”
“Jadi kau mengancamku, Drea?”
“Kak Fatta adalah kelemahan kakak. Aku selalu bisa mengancam kakak dengan namanya.”
“Hatimu busuk sekali, Drea!”
“Terimalah kenyataan itu, kak. Kita bertiga sama busuknya.” DonDrea meringis seolah kesakitan. “Kakak sulungku adalah orang yang gila kekuasaan dan diperbudak oleh uang. Sedangkan kakak tengahku adalah pecandu seks dan wanita. Aku masih mending. Aku hanya mengejar karir dan ketenaran. Iya, kan? Rasa-rasanya, akulah yang paling baik di antara kita bertiga.”
“Tutup mulutmu.”
“Kakak adalah orang yang suka sekali menyogok dan bermain curang. Plus, mengancam orang lain.”
“Diam, anak setan.”
“Kakak juga kasar sekali.”
“Keparat kau.”
“Sekali lagi kakak berani menghinaku, atau mencampuri urusanku, aku akan mengadukan semuanya pada kak Fatta. Dan, dia akan membenci kakak karena telah membenci diriku.”
“Itu fitnah, Drea!”
“Wah wah wah… bagaimana rasanya ya, kalau kakak dibenci oleh kak Fatta? Kakak sangat menyayangi dia. Hmm… pasti sakit, ya?” ujarnya dengan nada menantang.
“Dia tahu aku tidak akan berbuat begitu! Dia mengerti semua pertimbanganku! Dan dia tahu betapa busuknya kau, Drea!”
“Tapi dia menyayangiku.” tukasnya santai. “Dia memang menghormati kak Zetta, tapi akulah yang paling disayanginya. Dan kakak boleh saja membela diri. Tapi walaupun dia selalu menuruti segala perintah kakak, tapi di dalam lubuk hatinya, aku tahu kak Fatta percaya padaku. Dia sayang padaku.”
“Kau culas, Drea!”
“Dan itulah yang membuat kak Zetta begitu membenciku. Karena aku telah membuat cinta kakak pada kak Fatta tidak tebalas. Kakak menyayangi dia penuh-penuh, padahal kakak tahu dia lebih menyayangiku daripada kakak. Walaupun aku sering menyusahkannya, dia tetap tidak bisa berhenti menyayangiku. Dan kakak cemburu padaku, kan? Akui saja, lah!”
DonZetta terdiam membendung amarahnya sendiri. Hatinya panas seperti dibakar api.
“Itu kelemahan kakak. Dendam pribadi namanya.”
“Semua yang ada di antara kita memang adalah urusan pribadi. Kita adalah saudara.”
“Memang, itu pribadi.” DonDrea tersenyum manis –licik. Dia lalu berjalan menuju pintu keluar ruangan. “Oleh karena itu, kak,” tambahnya, “jangan campuri urusan pribadiku.”
Setelah itu dia keluar dan menutup pintu perlahan-lahan.
BAB XII…
Sebetulnya dia sangat menganggumi DonFatta. Dia menyayanginya. Dia mencintainya.
DonDrea duduk memangku skenario filmnya dengan urung-uringan –memikirkan pertengkarannya dengan DonZetta tadi siang. Bisa-bisanya dia mengucapkan sumpah serapah kepada kakak sulungnya itu. Padahal, sebetulnya apa yang dikatakan DonZetta benar adanya. DonDrea hanya terlalu gengsi untuk mengakui hal itu.
Semata-mata hanya karena rasa cemburunya kepada DonFatta.
Tadi siang waktu Fatta mengatakan kepada Tristan yang sebenarnya tentang asal usul anak itu, DonDrea sangat marah. Tapi dia marah bukan karena kesal pada DonFatta. Tapi dia kesal terhadap dirinya sendiri.
DonFatta benar-benar seorang pemberani.
DonDrea mengumpat kesal pada dirinya sendiri. Selama ini dia hanya bertindak seperti pengecut dengan menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya dari Tristan. Dia tidak berani mengucapkan yang sebenarnya. Dia takut Trsitan akan membenci dan menyalahkannya. Dia takut tidak disukai oleh orang lain.
Sedangkan DonFatta bisa mengatakannya dengan begitu bijaksana. Padahal saat itu dia sedang bertaruh dengan nasibnya sendiri. Bagaimana kalau ternyata setelah tahu yang sebenarnya Tristan memilih hidup bersama Drea dan meninggalkannya? Padahal Drea tahu betul kakaknya sangat menyayangi anak itu. Dia buang ke mana rasa khawatir itu? Disingkirkan ke mana rasa takut itu?
Dan pada akhirnya, DonFatta kembali melakukan apa yang tidak sanggup dikerjakan oleh DonDrea. Sekali lagi menjadi pemenang. Dan seperti biasa, Drea hanyalah seorang pecundang.
Itulah yang membuatnya marah. Itulah yang menyulut emosinya hingga dia menjadi bermata gelap –mendatangi kakak sulungnya untuk menyalurkan hasrat menyumpah-nyumpah.
Sebetulnya, tadi siang DonDrea ingin sekali memuji kakaknya dengan mengatakan, “DonFatta benar-benar hebat. Dia adalah pemberani. Dia bersikap seperti ksatria sejati. Dia sangat hebat. Aku kagum padanya.”
Itulah yang sebetulnya ingin dia katakan. Bukan makian terhadap kakaknya. Tapi rasa cemburu menutupi kekagumannya pada DonFatta. Dia menepiskan rasa sayang dan hormatnya dengan melampisakan kemarahan kepada dirinya sendiri lewat memaki-maki kakaknya.
Sejak kecil, DonFatta selalu berada di atasnya. Mulai dari nilai pelajaran, popularitas di masyarakat luas, dan hal-hal lainnya. Dalam hal kecil pun –seperti membereskan tempat tidur, DonFatta selalu bisa melakukannya lebih baik dari Drea. Semua orang memuji DonFatta. Semua orang menyukainya. Tapi tak seorang pun mau memandang Drea.
Kakak sulungnya pun –Zetta, selalu menunjukkan secara terang-terangan bahwa dia lebih sayang kepada Fatta. Segalanya untuk Fatta, apa-apa untuk Fatta. Waktu orang tua mereka meninggal, Zetta dan Fatta diberikan bagian warisan mereka sendiri, sedangkan bagian Drea masih diatasnamakan DonZetta. Alasannya waktu itu, DonDrea belum cukup umur. Dalam semua hal, DonDrea selalu dipandang sebelah mata.
Keberadaan DonFatta bagai duri di matanya.
Namun betapapun dia mencoba bersikap melawan terhadap DonFatta, kakaknya itu tetap menyayanginya. Bahkan semakin dia melawan, DonFatta semakin sabar. Saat Zetta memarahinya, DonFatta sebisa mungkin membela. Dan hal itu semakin membuat DonDrea kesal. Masalahnya, perasaannya menjadi terbagi. Antara kesal kepada Fatta, dan rasa cinta yang begitu besar di sisi yang lain.
Ya, sejujurnya DonDrea menyayangi DonFatta lebih dari siapapun juga.
Tapi dia tidak mungkin mengatakannya. Dia malu mengungkapkannya. Sebab dia selalu menanamkan kesan kepada orang lain –dan kepada dirinya sendiri, bahwa dia membenci DonFatta. Dan agaknya, setiap orang percaya. Hanya satu orang yang tidak.
DonFatta sendiri.
Kakaknya itu tetap yakin bahwa DonDrea sebetulnya sangat sayang padanya. Dan sekali lagi, dia memang benar.
Cita-cita DonDrea menjadi aktor tenar pun didasarkan oleh masa lalunya yang penuh kecemburuan pada DonFatta. Dia ingin, bila nanti dia menjadi orang terkenal, setiap orang akan melihat kepadanya –dan bukan kepada DonFatta.
Tapi setelah ketenaran itu muncul, dia jadi lupa diri. Dia menjadi sombong. Pongah, lupa siapa dia sebenarnya. Dia pun mencoba untuk mendekati wanita sebanyak-banyaknya untuk menyaingi kakaknya yang berpredikat sebagai the lady killer. Dia harus mengalahkan DonFatta.
Tapi apa yang terjadi kemudian?
Wanita itu mengandung anaknya. Padahal siapa dia? Hanya aktor yang baru mulai menapaki karir. Tawaran main baru sesekali datang. Belum bisa disebut profesi tetap. Dia masih menumpang pada DonZetta. Dia masih bukan siapa-siapa. DonFatta-lah juru selamatnya. Keikhlasan kakaknya itu untuk menikahi Elizbeth betul-betul memecahkan semua masalah.
Dan sekali lagi, DonFatta menjadi pahlawan baginya.
Itu memuakkan. Sangat amat memuakkan. Dia lelah, capek, malu, karena terus-menerus harus hidup di bawah pantat DonFatta. Harus selalu dituntun supaya tidak terpleset. Harus selalu dipaksa untuk melihat kenyataan pahit bahwa DonFatta berada di atasnya –dan selamanya akan terus begitu.
Walau bagaimana pun, DonDrea tidak akan pernah bisa mengalahkannya.
Sakit sekali rasanya.
Betul-betul sakit.
***
DonFatta duduk di samping istrinya malam itu. Dia menatap wajah Liz yang masih sembab, isakannya yang sesekali masih terdengar.
“Maafkan aku, Liz.”
“Kamu tidak perlu minta maaf. Kamu tidak bersalah walau sedikit pun.”
DonFatta terdiam. Dia meraih tangan istrinya. “Aku membuat kacau keadaan rumah ini.”
“Cepat atau lambat harus ada yang melakukannya, Fatta. Terlepas dari itu adalah kamu atau bukan.” jawab Liz bijak. “Akulah yang seharusnya minta maaf. Aku telah menyusahkanmu selama ini.”
“Tidak, Liz… sama sekali tidak.”
“Aku tidak tahu diri.” lanjutnya. “Aku tahu kamu melihat waktu aku berselingkuh dengan Drea bertahun-tahun yang lalu. Tapi kamu diam saja.” ungkapnya.
“Tidak ada gunanya membahas itu. Aku tahu kamu masih mencintai DonDrea.”
“Dulu –memang.”
“Sampai sekarang.”
“Tidak, Fatta.”
DonFatta menatap wajah istrinya yang serius. Tidak ada kebohongan di sana.
“Aku mencintaimu. Lima belas tahun adalah waktu yang cukup lama bagiku untuk tahu betapa berharganya laki-laki yang kumiliki ini. Dan betapa tidak sudinya aku kalau harus kehilangan dia. Menyia-nyaikan semua pengorbanan hati yang telah dilakukannya.”
DonFatta menghela nafas. “Aku tidak sebaik itu, Liz.”
“Kamu bahkan lebih baik dari itu.”
“Tidak.”
“Iya.”
“Aku selingkuh.” ujar DonFatta pada akhirnya. Dia meremas tangan istrinya erat-erat. “Aku selingkuh!” ulangnya dengan keras saat dilihatnya wajah wanita itu tetap tenang.
“Aku tahu.”
DonFatta termangu mendengar jawaban singkat itu. Elizabeth mengatakannya sambil tersenyum –senyuman untuk perselingkuhan suaminya!
“Aku maklum. Rumah tangga ini terlalu menyakitkan untukmu.”
“Tapi… tapi…” sahutnya gagap. Entah apa yang harus dia katakan. “Kamu tidak bisa maklum, Liz! Kamu tidak boleh! Kamu harus marah! Kecewa! Atau… atau apalah! Terserah kamu! Katakan sesuatu! Katakan sesuatu yang membuatku tahu bahwa aku ini memang bejat!” ujarnya lirih. “Bahwa aku memang adalah seorang bajingan.”
“Kamu adalah laki-laki paling hebat yang pernah aku temui.”
“Sialan –Liz!” serunya lagi. “Aku tidak ingin pujian darimu! Tidak ingin! Aku ini pendosa, Elizabeth! Katakan sesuatu yang membuatku sadar akan itu!”
“Aku mencintaimu.”
“Elizabeth…”
“Aku sangat menganggumimu.”
“Setan! Katakan sesuatu!”
“Aku sudah mengatakannya, Fatta.” Elizabeth mengelus pipi suaminya. “Dan satu kata lagi. Terimakasih. Atas semua pengorbanan yang telah kamu lakukan untuk kami. Untukku, anakku, dan… adikmu.”
DonFatta menatap istrinya dengan pandangan miris. “Pengorbanan? Apa yang telah aku lakukan? Memangnya apa yang telah aku korbankan bila dibandingkan dengan… dengan apa yang telah kamu alami, Liz? Kamu menikah denganku padahal yang kamu inginkan –dulu, adalah Drea. Dan… selama lima belas tahun, Liz… lima belas tahun yang sangat panjang itu kamu telah dengan sangat ikhlas menutup matamu terhadap aku… suamimu yang berselingkuh kesana kemari. Aku tidak menghargai dirimu, ataupun janji setia perkawinan kita. Kamu pasti sakit hati kan, Liz…? Katakan itu!”
Elizabeth tersenyum lemah. “Yah, memang. Aku sedikit sakit hati. Tapi aku toh melakukan perselingkuhan juga, kan? Dengan adikmu. Adikmu, Fatta! Orang yang kamu sayangi, orang yang katanya juga menyayangimu. Adik tercinta yang rupa-rupanya telah berani mengkhianatimu, dengan bercinta dengan aku –perempuan tidak tahu diri yang setelah menggantungan seluruh hidupnya padamu, kemudian melecehkan posisimu begitu saja. Aku ini lebih jahat, Fatta.”
“Tidak, Liz.”
“Kamu memang selingkuh, tapi bukan dengan adikku. Bukan dengan kakakku. Bukan dengan orang yang aku percaya. Kamu melakukannya dengan orang yang tidak kukenal. Itu tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan apa yang telah aku lakukan dengan adikmu.”
DonFatta menutup mata. Perlahan-lahan. Mencoba mencerna semua ini.
“Aku mencintaimu, Fatta.” Liz bergumam. “Aku hanya ingin tahu apakah kamu juga mencintai aku.”
DonFatta terhenyak mendengar pertanyaan itu. Setelah dia harus menikahi wanita ini demi adiknya, setelah selama lima belas tahun dia bercinta dengan ratusan wanita tanpa peduli soal cinta, setelah istrinya selama kurun waktu itu juga harus menipu dirinya sendiri dan berpura-pura tidak menggubris perselingkuhan yang dilakukannya… masihkah cinta itu ada? Masihkah dia tahu apa itu cinta? Masihkah bisa dia merasakan cinta? Apa itu cinta? Untuknya… itu tidak berarti lagi. Pintu hatinya sudah tertutup bagi cinta. Sudah lama sekali semenjak terakhir kali dia mengenal cinta. Sekarang, cinta sudah pergi dari hidupnya. Tentang cinta antara perempuan dan laki-laki. Itu terdengar kosong di telinganya sekarang.
“Fatta… jawablah. Sejujurnya, Fatta.”
Sejak dulu dia belum pernah berbohong. Dia kira kebohongan yang akan dia katakan adalah tentang perselingkuhan yang harus dia tutupi. Tapi ternyata, pertanyaannya jauh lebih berat.
“Apakah kamu bisa mencintaiku, Fatta?” ulang Liz.
DonFatta memandang istrinya dalam-dalam. Cukup lama sebelum akhirnya dia menjawab, “Tidak.”
Elizabeth terdiam.
“Aku tidak bisa mencintaimu. Aku tidak bisa mencintai siapapun lagi kecuali Tristan.”
Wanita itu tersenyum sedih. Dia sadar, itulah bukti kejujuran suaminya yang paling dalam.
“Aku tidak bisa jatuh cinta lagi. Maafkan aku.”
“Tidak apa-apa.” Elizabeth menggenggam tangan suaminya.
DonFatta membalas genggaman tangan wanita itu. “Aku memang tidak bisa mencintaimu, Elizabeth. Tapi… bila kamu masih bersedia, aku akan merelakan diriku untuk dicintai olehmu.”
“Jadi aku masih boleh mencintaimu, Fatta? Menebus semua kesalahan ini?” tanya Liz serius.
“Selamanya, sayang.” dia mengecup bibir istrinya. “Cintai aku selamanya. Hanya itu satu-satunya bentuk cinta yang mampu aku rasakan.”
“Maafkan aku, Fatta…”
“Untuk?”
“Membuatmu tidak bisa mencintai lagi. Aku telah membuat hatimu lumpuh.” Elizabeth mulai menangis lagi. “Sejujurnya, Fatta, bisakah kamu memaafkan aku?”
“Ya.”
“Tapi untuk melupakan semua kesalahanku…”
“Tidak.”
Kemudian mereka berdua berpelukan sambil menangis.
Tristan mendengarkan dari balik daun pintu.
Anak itu juga menangis.
BAB XIII…
Tristan berlari untuk membuka pintu begitu mendengar bel dibunyikan. “Tunggu!” serunya dari dalam rumah seraya menarik gagang pintu dan membukanya.
“Hai, Trist.”
“Selamat sore, oom.” Tristan menjawab singkat dan dingin. Dia menatap DonDrea sekilas kemudian langsung membuang muka. “Masuk, oom.”
“Makasih.” DonDrea tersenyum manis. “Mana mommy-mu?”
“Di kamarnya. Mau aku panggilkan?” tawar Tristan enggan. Senyumnya jelas sekali dibuat-buat.
“Tidak usah. Oom ke sini untuk bicara sama kamu, kok.”
“Oh.” Tristan berjalan mendahului Drea ke ruang tamu. “Duduklah.”
DonDrea duduk di kursi tunggal sedangkan anak itu di hadapannya. DonDrea menatap wajah anak itu dengan perasaan bersalah. “Trist… oom betul-betul…”
“Sudahlah, oom. Semuanya sudah jelas. Aku adalah anak yang tidak oom harapkan.”
“Dengar dulu, Trist.”
“Oke, aku dengarkan. Apa lagi yang mau oom jelaskan?” jawabnya ketus.
DonDrea menghela nafas. “Sebenarnya… yah, tidak ada. Kamu benar. Oom memang salah. Oom menyesal sekali. Sebetulnya waktu itu oom mau saja menikahi ibumu tapi… tapi…”
“Tapi pada kenyataannya oom tidak mau, kan?”
“Ya.”
“Lalu apa lagi? Bukankah semuanya sudah jelas?” tandasnya kesal. “Aku ini memang anak oom, tapi jangan harap aku masih mau bermanis-manis di hadapan oom. Semua ini begitu… begitu menyakitkan bagiku.” ujar Tristan dengan sedikit marah. “Terutama bagi daddy.”
“Oom tahu.”
“Seharusnya oom minta maaf pada daddy.”
“Memang itu rencananya.”
“Kalau begitu, pergilah ke kantor daddy dan tinggalkan aku sendiri. Aku tidak ingin bicara dengan oom lagi.” Tristan berkata dengan lirih. “Untuk sementara waktu.”
DonDrea tersenyum lemah –tidak berdaya. “Oom mengerti. Kamu memang butuh waktu.”
“Waktu yang sangat lama, oom.”
DonDrea menghela nafas. “Oom hanya berharap kamu selalu ingat bahwa… oom adalah ayahmu –ayah kandungmu. Dan oom selalu menyayangimu.”
“Terimakasih banyak.”
“Tristan…” lanjut Drea putus asa. “Maafkan oom.”
“Akan aku coba. Sabar saja.”
Dengan berat, DonDrea bangkit berdiri dan merapihkan pakaiannya. “Oom pergi dulu, ya.”
“Silahkan.”
Tristan memandang oom-nya –ayahnya, berjalan ke pintu depan. Dia tidak menemaninya. Dia tidak ingin berlama-lama dengan laki-laki itu. Akhirnya, setelah DonDrea berbelok ke foyer, Tristan membalik badan untuk kebali ke dalam rumah.
Sebelum akhirnya dia mendengar teriakan DonDrea yang sedikit panik.
Karena penasaran, Tristan segera berlari ke teras untuk melihat apa yang terjadi. Dan yang dilihatnya kemudian adalah oom-nya sedang dibentak-bentak oleh seorang gadis yang sangat cantik. Tubuh gadis itu tinggi langsing. Tristan mengenalnya sebagai mantan kekasih DonDrea. Namanya Kathleen. Tapi untuk apa dia datang ke sini? Bagaimana dia tahu DonDrea ada di sini?
“Kembalikan sampah-sampah ini pada kakakmu yang brengsek itu, Drea! Dasar keluarga terkutuk! Kakak dan adik sama saja bejatnya! Fatta ternyata tidak lebih baik darimu!” sembur gadis itu.
Tristan mengerutkan dahi dengan bingung mendengar nama ayahnya disebut-sebut. Oom-nya juga hanya terdiam sambil berdiri memegang sebuah boneka berbentuk bunga serta sebuah buku tebal.
Tak lama kemudian, setelah mendorong tubuh DonDrea keras-keras, gadis itu pergi dengan mobilnya –ngebut.
“Oom,” panggil Tristan. “Untuk apa tante Kathy ke sini?”
DonDrea tampak terkejut melihat anak itu di ambang pintu –menyaksikan segalanya. Dengan gagap dia menjawab, “Eh… tidak… dia hanya… mengembalikan ini –maksud oom, dia itu… tadi…”
Tristan segera merebut buku dan boneka itu dari tangan DonDrea. Dia membaca selembar surat yang terselip di halaman depan buku puisi tersebut. Dia tercengang membacanya. Itu surat cinta.
DonDrea segera menarik buku dan boneka itu kembali. “Berikan pada oom, Tristan.”
“Apa itu?”
“Err… bukan apa-apa. Ini hanya… yah, hadiah ulang tahun. Begitulah kira-kira.”
“Dari siapa dan untuk siapa?”
“Untuk dia –Kathleen. Dari… dari… oom sendiri.” Drea berbohong.
“Jangan bohong, oom.” tembak Tristan. “Aku dengar tadi tante Kathy menyuruh oom mengembalikan barang-barang ini pada daddy. Pada DonFatta. Iya, kan? Ini semua dari daddy, kan?”
DonDrea terdiam. Dia menelan ludah.
“Apa yang sebenarnya terjadi, oom? Ada hubungan apa antara daddy dan tante Kathy?” tanyanya.
“Tidak ada apa-apa.”
“Jangan bohongi aku untuk kedua kalinya, oom.”
DonDrea menatap mata Tristan yang bening itu. Anak itu betul-betul ingin tahu. Dan cepat atau lambat dia memang akan tahu. Hanya saja, walaupun DonDrea begitu membenci Fatta yang selalu berada di atasnya dan selalu bertekad ingin mengalahkan kakaknya itu, tetapi DonDrea tetap tidak tega kalau harus mengatakan keburukan kakaknya yang satu itu –soal wanita, di hadapan anaknya. Itulah masalahnya. DonDrea tidak ingin merusak citra baik DonFatta di hadapan Tristan. Bagaimana pun, Fatta adalah kakaknya. Dan Tristan adalah anaknya. DonDrea tak mau membuat Tristan kecewa dan bersedih lagi.
“Oom, katakan padaku!”
Tapi kalau dia tidak menceritakannya sekarang, anak itu tetap akan menanyakannya pada DonFatta nanti malam setelah pulang kantor. Dan DonFatta tak mungkin mengelak. Dia tak bisa berbohong, tapi dia juga pasti tak ingin mengecewakan putranya. Aduh, bagaimana ini?
“Oom…” pinta Tristan melihat oom-nya yang diam saja.
“Kathy itu… dia…” DonDrea menjawab perlahan. “Kekasih ayahmu.”
Tristan terdiam.
“Salah satu.”
“Maksud oom….”
“Dia adalah salah satu kekasih ayahmu –yang banyak sekali.” jelasnya dengan berat hati. “Dia marah karena ayahmu memutuskan hubungan mereka tadi malam lewat telepon. Kata ayahmu, dia ingin berusaha membentuk sebuah rumah tangga yang normal denganmu dan juga ibumu. Makanya, dia memutuskan untuk mengakhiri semua affair yang dia punya –termasuk dengan Kathleen. Ayahmu ingin menjadi suami yang setia mulai sekarang.”
Tristan teringat percakapan ayah dan ibunya semalam. Rupanya setelah semuanya jelas di antara keduanya, ayahnya memutuskan untuk mengakhiri perselingkuhannya. Tapi, Tristan masih sulit percaya.
“Ayahmu mengusahakan yang terbaik untuk keluarga kalian, Tristan.” DonDrea menambahkan.
“Setelah sebelumnya berselingkuh, begitu?” tandas Tristan sakit hati.
“Trist… kamu harus mengerti… ayahmu itu–“
“Harus mengerti, harus mengerti, harus mengerti!” pekik Tristan. “Aneh sekali semua orang yang aku kenal –semua ayah yang aku kenal! Semua laki-laki jahat yang selalu memintaku untuk mengerti kekejaman mereka. ‘Mengertilah, Tristan’… hanya itu yang bisa kalian ucapkan! Aku capek!” teriaknya.
DonDrea mengusap kening dengan bingung. “Dia punya alasan untuk berbuat begitu, Trist.”
“Oya?! Apa itu?! Siapa yang bisa menjelaskan?!”
DonDrea menatapnya serius. “Oom.”
“Oom?!”
“Ya.”DonDrea tersenyum lelah. “Sebab ini semua adalah salah oom.”
Tristan mendengarkan.
“Ayahmu terpaksa menikahi ibumu demi untuk menyelamatkan karir oom. Karena dulu, ibumu adalah wanita yang suka sekali mengancam, kamu dengar itu? Waktu itu ayahmu masih berumur 24 tahun. Dia masih sangat muda, baru merintis karirnya. Dia adalah sosok idaman semua gadis yang ada. Sejak dulu, dia dikejar-kejar para wanita. Tapi ayahmu tidak menanggapi semua itu dengar serius. Kamu tahu kenapa? Karena dia tak mau main-main dengan cinta. Karena baginya cinta adalah suci. Dan dia tidak akan menyerah sebelum menemukan cinta sejatinya. Dan dia percaya suatu saat akan menemukannya.”
Tristan menatap mata oom-nya lekat-lekat. “Lalu?”
“Lalu datanglah musibah itu. Ibumu hamil dan meminta pertanggungjawaban. Tapi oom terlalu pengecut untuk mau bertanggung jawab. Dan seperti yang telah kamu ketahui, Trist, akhirnya ayahmulah yang mengambil alih tanggung jawab itu. Dia menyelamatkan oom, ibumu, sekaligus kamu sendiri.”
Tristan tersenyum masam. “Daddy kedengaran hebat.” cibirnya.
“Dia memang hebat. Dia menikah dengan Liz pada saat dia belum tahu sama sekali apa itu cinta. Dia belum pernah jatuh cinta seumur hidupnya, Tristan! Dan dia harus menikah. Menikah!” tegasnya. “Pernikahan itu menghancurkan impiannya akan cinta sejati yang sejak dulu dikhayalkannya. Hanya gara-gara oom, Tristan.”
Tristan merasa sedikit terguncang mendengar kenyataan itu.
“Ibumu dan oom pernah berselingkuh setelah pernikahan itu terjadi. Entah ayahmu tahu atau tidak, tapi oom rasa dia tahu. Tapi dia diam saja memendam sakit itu sendirian di hatinya. Apa itu cinta? Bagi Fatta cinta sudah menjadi omong kosong.”
Tristan mengangguk dengan enggan. “Aku dengar daddy pernah berkata begitu.”
“Jadi,” lanjut DonDrea, “kalau dia berselingkuh, itu bukan penghkianatan. Itu hanya pelampiasan rasa kecewanya, sakit hatinya, dan kesedihannya. Bentuk penyaluran fustrasinya yang teramat sangat. Bayangkan, Tristan… ayahmu tidak bisa jatuh cinta. Seumur hidupnya –gara-gara oom, dia tidak bisa merasakan cinta. Dan hidup tanpa cinta adalah hal yang paling mengerikan dalam hidup ini. Tidak ada orang yang lebih malang dari itu.” DonDrea menatap Tristan dalam-dalam. “Tidak ada orang yang lebih malang dari ayahmu.”
“Tapi…” sahut Tristan dengan mata berkaca-kaca, “tapi daddy seharusnya setia. Dalam pernikahannya, ada perjanjian bahwa–“
“Ayahmu bukan malaikat, Tristan.”
Tristan terdiam.
“Boleh oom minta satu hal padamu?”
Tristan mengangguk dengan enggan.
“Setelah kamu tahu semua ini, setelah oom menceritakan segalanya padamu, oom mohon –betul-betul memohon padamu, supaya tidak menanyakannya pada ayahmu. Jangan biarkan dia tahu bahwa kamu sudah tahu. Jangan biarkan dia merasa bersalah padamu, oke?”
“Tapi…”
“Jangan pernah tanyakan padanya. Karena dia tidak pernah ingin dengan sengaja menyakiti hatimu. Makanya, kalau nanti kamu bertanya soal apakah dia punya perempuan lain, dia pasti mengelak. Dia pasti berbohong, karena tidak ingin mengecewakanmu. Padahal,” DonDrea mengelus rambut Tristan, “kamu tahu persis kalau ayahmu benci berbohong.”
Tristan terdiam. Berpikir. Menimbang-nimbang.
“Jangan paksa dia untuk berbohong. Please, lakukan ini demi oom.” DonDrea memohon. “Paling tidak, lakukan ini demi ayahmu.”
Tristan memandang ayah kandungnya itu. “Kenapa oom begitu memaksa?”
“Karena,” ujarnya, “selama ini ayahmu adalah pahlawan bagi oom. Dia selalu berkorban untuk oom. Sedangkan oom belum pernah melakukan apapun untuknya.”
Tristan mulai mengerti. Dia tersenyum.
“Mungkin, ini adalah satu-satunya hal yang bisa oom lakukan untuknya. Kesempatan membalas kebaikannya selama bertahun-tahun. Kesempatan oom yang… mungkin, pertama dan terakhir kalinya.”
Tristan tersenyum hangat –tulus. “Baiklah, oom.”
Dia memang akan melakukannya demi DonFatta, tapi terlebih lagi –sayangnya tak seorang pun menyadari itu, Tristan bersedia melakukannya demi DonDrea. Karena bagaimana pun, dia adalah ayahnya.
Ayah kandungnya.
BAB XIV…
“Dad, telepon dari Oom Zetta.” ujar Tristan malam itu saat mereka sekeluarga sedang nonton TV di ruang keluarga bersama.
DonFatta mengucapkan terimakasih pada anaknya dan meraih gagang telepon. “Ada apa?”
“Galak amat.”
“Tidak, tapi ada apa?” ulangnya hangat. “Sudah kau selesaikan laporan keuangan yang aku minta?”
“Lusa pasti selesai.”
“Batasnya akhir minggu ini. Aku tidak mau tahu.”
“Mau tidak mau kau harus mau. Kau kan pengacaraku.”
“Sialan.”
DonZetta tertawa di seberang sana. “Hei, little bro, bagaimana kabarmu? Senang sudah mendapat kiriman itu?”
“Kiriman apa?”
“Buku puisi sok romantismu dan boneka tolol yang bisa bernyanyi sendiri itu.”
“Apa sih yang kau bicarakan?”
“Kathleen.”
“Kathleen?” ulang DonFatta tidak mengerti. “Ada apa dengan Kathleen?”
“Jangan pura-pura dungu, lah! Detektifku bilang bahwa–“
“Detektifmu?” potong DonFatta. “Hei hei hei, jangan bilang kau masih suka mengawasi aku dan Drea sampai sekarang.”
“Memang. Nah, sekarang dengarkan, ya! Kathleen datang ke rumahmu tadi sore, mengembalikan barang-barang tolol yang kau hadiahkan padanya sambil marah-marah. Iya, kan? DonDrea yang menerimanya. Dia lalu berbincang beberapa lama dengan anakmu, kemudian pulang. Barang-barang itu sekarang ada pada anakmu.”
“Pada Tristan?” sahut Fatta panik. Suaranya tercekik. Tertahan.
“Benar sekali.”
“Jadi menurutmu, Tristan sudah tahu soal… ya ampun. Perempuan-perempuan itu?”
“Sepertinya iya. DonDrea pasti menceritakannya.”
“Tapi Tristan tidak bilang apa-apa.”
“Lupa mungkin.”
“Aku tidak akan pernah lupa kalau bertemu dengan simpanan ayahku.”
“Mungkin anakmu lain.”
“Aku serius, Zetta.”
“Sama. Tanyakan saja padanya.”
DonFatta langsung menutup pesawat teleponnya dan memanggil Tristan untuk datang padanya. “Trist, kesini sebentar.”
“Ada apa, dad?” tanyanya ramah.
“Apa tadi ada kiriman untuk daddy?” tanyanya hati-hati.
“Hmm…” Tristan pura-pura berpikir. “Ya, ada. Tapi maafkan aku, dad, titipan itu hilang.”
“Hilang?”
“Ya. Titipan itu adalah sebuah buku. Aku tertarik untuk membacanya. Tapi aku kemudian ingat kalau permenku di kamar sudah habis. Jadi aku membawa buku itu sambil berjalan ke warung. Nah, kan kalau mau ke sana harus lewat sungai, jadi sebelum aku sempat membukanya… tiba-tiba ada seekor anjing menyalak padaku sehingga aku kaget dan buku itu terlempar ke sungai. Buku itu hanyut, dad…”
DonFatta menyipitkan mata dengan aneh. Alisnya terangkat dengan skeptis. “Benarkah? Kenapa kamu tidak cerita?”
“Aku takut daddy marah.”
DonFatta tersenyum kecil –walaupun agak ragu. “Ya sudah, tidak apa-apa. Sana, nonton lagi. Daddy mau kerja dulu.”
“Oke, dad.” Tristan tersenyum manis dan puas.
Kadang-kadang, kebohongan memang diperlukan.
***
“Begitulah ceritanya.”
“Anakmu bohong.” DonZetta mengucapkannya dengan santai. “Anakmu tidak pernah keluar rumah sore ini.”
“Tapi katanya begitu.” DonFatta melaporkan hasil interogasi dengan putranya itu lewat telepon genggam di ruang kerjanya.
“Dia bisa mengatakan apa saja. Dengarkan aku, detektifku bilang, segera setelah menerima titipan itu dia membakarnya di tempat sampah besar di depan rumah.”
“Membakarnya?”
“Ya. Karena dia tidak ingin meninggalkan jejak.”
DonFatta menggaruk-garuk kepala. “Tapi kenapa dia menyembunyikannya dariku? Bukankah normalnya dia menanyakan soal pacarku itu? Apalagi DonDrea –mungkin, sudah mengatakan yang sebenarnya.”
“Normalnya memang begitu.” DonZetta tertawa. “Tapi bukankah akhir-akhir ini keluarga kita memang sering ditimpa peristiwa yang tidak normal?” ledeknya.
Dan sambungan itu diputus tiba-tiba.
DonFatta bingung dibuatnya. Semua ini tidak masuk akal. Dan DonZetta tidak mau mengatakannya secara jelas kepada Fatta. Dia hanya bilang ‘kata detektifku… kata detektifku…’. Semua itu membuat Fatta kesal. Dia penasaran. Mungkin, satu-satunya orang yang mau memberi penjelasan adalah DonDrea.
DonFatta meraih gagang telepon di ruang kerjanya yang paralel dengan telepon di seluruh rumah ini. Baru saja dia ingin memencet nomor, dia mendengar sebuah suaar di sana. DonFatta terdiam.
Itu suara anaknya.
Sedang berbicara dengan DonDrea.
DonFatta berencana untuk langsung menutup pesawatnya karena tidak etis menguping pembicaraan orang lain. Tapi agaknya, rasa penasaran mengalahkan etikanya itu. Dia mendengarkan dengan seksama, hati-hati, menahan napas agar kedua orang yang sedang berbicara itu tidak menyadari keberadaannya.
“Daddy bertanya soal titipan dari tante Kathy, oom.” ujar Tristan.
Dia tahu soa Kathleen!
“Kamu bilang kalau kamu sudah tahu dia itu pacar ayahmu?” tanya Drea.
Berarti Drea sudah menceritakan semuanya.
“Tidak, oom. Aku tidak mau membuatnya merasa bersalah padaku. Aku kira oom benar. Daddy memang salah karena berselingkuh, tapi aku tidak bisa menyalahkannya. Seperti yang oom bilang, daddy-ku bukan seorang malaikat. Dia hanya manusia biasa.”
DonDrea berkata begitu?!
“Oom senang kamu mau memenuhi permohonan oom untuk tidak menceritakan apa yang sudah oom ceritakan padamu tadi. Karena oom yakin, ayahmu akan merasa sangat sedih karena telah membuatmu sakit hati dengan perbuatannya.”
“Aku juga percaya pada oom. Aku yakin, kalau aku bertanya pada daddy, demi untuk menjaga perasaanku, daddy pasti akan mengelak untuk mengatakan yang sebenarnya. Itu berarti, dia bohong.”
“Dan seperti yang sudah oom katakan…”
“Dia tidak bisa berbohong.”
“Dan dia memang tidak boleh berbohong.”
“Dan kita tidak boleh memaksanya untuk berbohong.” Tristan tersenyum. “Terimakasih karena sudah percaya padaku, oom. Karena sudah menceritakan yang sebenarnya.”
“Sama-sama, Trist.”
“Aku juga ingin bertanya,” dia sekarang terdengar ragu-ragu, “apa oom tidak keberatan kalau aku menolak memanggil oom dengan sebutan ‘dad’? Walaupun oom adalah ayah kandungku?”
DonDrea tersenyum. “Tentu tidak. DonFatta adalah daddy-mu… satu-satunya orang yang pantas kamu sebut ‘daddy’.”
Jadi begitu…
Kali ini DonDrea adalah pahlawan bagi Fatta.
BAB XV…
“DonFatta! Sudah lama kita tidak bertemu! Sebuah kejutan yang sangat menyenangkan!”
Irawan –produser film yang adalah mantan kliennya, berjalan menghampiri DonFatta yang baru saja masuk ke dalam ruang kerjanya. DonFatta sudah bersiap-siap menerima ciuman kecil di pipi –karena seperti yang sudah dikatakan Zetta, Irawan adalah seorang homoseksual dan laki-laki itu tertarik padanya.
Tapi ternyata Irawan hanya menjabat tangannya dengan bersahabat dan memyilakannya untuk duduk di sofa yang ada. Irawan duduk di depannya –bukan di sampingnya.
“Aku dengar kau sedang merencanakan film baru, ya?” tanya Fatta hati-hati. Sok-sok tidak terlalu peduli agar tidak menimbulkan kecurigaan.
“Ya… itu benar. Film yang menurutku sangat menarik.”
“Apa sutradaranya sudah menemukan pemain yang tepat?”
“Belum. Baru yang wanita. Peran utama prianya belum ditentukan.” Irawan menjawab. “Memangnya kenapa, Fatta?”
“Tidak,” DonFatta tersenyum. “Tidak apa-apa.” Sebetulnya DonFatta heran juga kenapa Irawan masih bertanya ‘ada apa’ padanya. Padahal DonZetta sudah pernah menceritakan kalau Fatta berniat mengajukan Drea sebagai pemainnya.
Keinginan Fatta untuk membantu Drea timbul lagi tadi malam begitu dia tahu DonDrea sudah mencoba melindungi dirinya. Makanya pagi ini dia datang menemui Irawan.
“Sayang ya, belum ketemu.” DonFatta berkomentar.
“Hmm…” gumam Irawan. “Aku sedang mempertimbangkan adikmu –DonDrea.”
“Adikku?” ulang Fatta heran. Dia belum mengatakannya, tapi Irawan sudah menembak duluan. Apa mungkin dia bisa membaca pikirannya?
“DonDrea aktor yang baik.”
“Memang.”
“Aku langsung tertarik begitu kakakmu… siapa namanya? DonZetta, ya? Dia meneleponku waktu itu.”
DonFatta memukul keningnya. Jadi ternyata Zetta serius. Dia sungguh-sungguh menceritakan semuanya. Dan dengan gugup, DonFatta mencoba untuk menjelaskan semua kejadian itu. “Ir, aku sangat menyesal. Aku tidak bermaksud… untuk memanfaatkan kebaikanmu padaku. Aku sungguh-sungguh tidak ingin memaksamu memakai Drea –sebetulnya. Tapi adikku memaksaku untuk–“
“Fatta,” potongnya, “aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan dan untuk apa kau meminta maaf?”
“Yah… seperti yang Zetta bilang–“
“Dia tidak pernah bilang apapun tentangmu. Dia hanya menanyakan apakah aku bersedia mempertimbangkan DonDrea sebagai bintangnya, sebab Zetta menawarkan untuk jadi sponsor filmku itu. Hanya begitu, kok! Tidak ada yang membawa-bawa nama kamu, Fatta, ataupun nama Drea. Ini hanya antara aku dan Zetta. Dan siapa yang memanfaatkan siapa di sini?”
DonFatta mendengarkannya dengan tertegun. “Zetta adalah sponsor filmmu?” ulangnya.
“Ya.”
“Dan dia yang memintamu untuk memakai Drea?”
“Benar. Tidak ada hubungannya denganmu. Kau tak usah minta maaf.”
“Sial!” dia memukul lututnya dengan geram. Dia lalu memandang Irawan dengan serius. “Dan apakah kau mengerti kalau aku minta maaf karena waktu itu tidak bisa datang makan malam denganmu?”
Irawan tertawa. “Makan malam? Zetta tidak bilang kalau dia akan mengajakmu juga.”
“Apa?”
“Ya, waktu itu kami makan malam bersama untuk membicarakan rencana selanjutnya. Tapi kau tidak ada di sana, Fatta. Hanya kami berdua. Aku kira kamu memang tidak diajak. Maaf, rupanya kamu berhalangan. Aku salah kira.”
“Tidak, Ir. Tidak.” Fatta buru-buru meluruskan. “Aku memang tidak diajak makan malam bersama dengan kalian.”
“Kok kamu tahu ada makan malam?” tanya Irawan heran.
“Karena yang Zetta katakan padaku adalah… adalah… sial!” makinya. “Dia membohongiku.”
“Bohong apaan, sih?” tanya Irawan mulai bingung. “Aku tidak mengerti.”
DonFatta tertawa geli –menertawakan dirinya sendiri. Betapa bodohnya dia karena tidak mengenal kakaknya yang sinting itu.
“Maafkan aku kalau sedikit lancang, Irawan, tapi aku ingin tahu apakah kau penganut homoseks?” tanya Fatta serius.
“Demi Tuhan, Fatta! Tentu saja tidak!” Irawan tertawa tebahak-bahak.
“Apakah kau dan Zetta pernah membicarakan ukuran alat vitalku?”
Tawa Irawan semakin meledak. “Itu menjijikkan, Fatta! Amit-amit!”
DonFatta menghela nafas panjang. “DonZetta sialan!” geramnya. “Ir, aku rasa aku harus pergi sekarang. Ada urusan dengan kakakku. Oke? Sampai ketemu lagi kapan-kapan.”
“Aku akan undang kau makan malam.”
“Dengan senang hati, Ir.”
***
DonFatta memukul meja kakaknya. “Aku tidak percaya kau tega membohongi aku, Zetta! Brengsek!” semburnya.
“Apa-apaan ini?” tanya Zetta kebingungan.
“Dasar gila! Untuk apa kau bilang padaku kalau kau sudah menceritakan semuanya pada Irawan?! Bahwa Drea memintaku memanfaatkan Irawan supaya dia mendapatkan peran di film itu! Terlebih lagi, untuk apa kau bilang dia mengundangku makan malam, ha?! Dan dia itu homo! Dan bahwa dia tertarik pada alat vitalku! Sialan kau!”
DonZetta menatap wajah adiknya yang merah padam itu untuk beberapa saat. Kemudian dia tertawa terbahak-bahak. “Jadi… jadi kau sudah tahu, ya?” tawanya meledak.
“Akan kupatahkan kemaluanmu itu, Zetta! Kau menyebalkan!” geramnya.
Zetta semakin tetawa. “Aku bisa menjelaskannya, oke?”
“Tidak ada oke-okean! Cepat katakan!” teriaknya.
DonZetta menghentikan tawanya, mengusap matanya yang mulai berair, menghela nafas, mengelus dadanya untuk menenangkan diri. “Ya, Fatta, aku memang menelepon Irawan untuk menyuruhnya memakai Drea. Kemudian kami makan malam bersama. Dan dia tidak homo, dan kami tidak punya waktu untuk membicarakan ukuran ‘anu’mu.”
“Tapi kenapa kau bohong, Zetta?!!!!” tanyanya tidak sabar.
“Karena,” jawab kakaknya senang, “aku mengatakan padamu bahwa Irawan sudah tahu semuanya, supaya kau tidak datang kesana, memohon-mohon padanya, mempertaruhkan harga dirimu hanya demi DonDrea. Mengerti? Aku melindungimu.”
DonFatta mengangguk.
“Tapi di sisi lain, aku tahu ini adalah batu loncatan yang hebat untuk Drea. Aku juga akan ikut senang kalau dia sukses. Jadi aku memutuskan untuk membantunya. Aku menawarkan satu perjanjian pada Irawan. Dia setuju. Akhirnya bagus, kan? DonDrea tetap mendapatkan perannya, tetapi kau juga tidak harus kehilangan harga dirimu. Aku memang pahlawan.” Zetta tersenyum-senyum sendiri.
“Lalu soal homo itu?”
“Aku mengatakannya supaya kau takut padanya dan tidak berani menemuinya lagi. Aku tahu kau paling jijik sama orang homo. Jadi aku merasa aman kalau kau tidak lagi bertemu dengannya. Kebohonganku tidak akan ketahuan. Aku tidak sangka kau masih nekad.”
“Kau pengecut.”
“Sudahlah, Fatta.”
“Lalu soal ‘anu’ku?” katanya sambil menunjuk kemaluannya.
“Yah… iseng saja.”
“Kau ini memang… memang…” DonFatta mengumpat pelan, lalu berlari mengitari meja dan langsung memeluk kakaknya. “Kau memang baik.”
“Ah, sok romantis.” Zetta tersenyum manis.
“Aku serius. Kau adalah saudaraku yang paling baik.”
“Bukannya Drea?”
“Bukan. Kaulah yang paling aku sayangi.”
“Benar?”
“Benar.” jawab Fatta serius. “Kau tahu aku tidak bisa berbohong.”
DonZetta tersenyum bahagia. “Aku senang sekali mendengarnya.”
“Bro,” ujar Fatta, “kau sebetulnya tidak perlu melakukan ini, kan? Kau tidak perlu bersusah payah demi aku dan Drea.”
“Itu tanggung jawabku. Aku kakak kalian.”
“Selalu itu alasannya.”
“Karena memang itu yang sebenarnya.” Zetta mengelus rambut adiknya. “Aku sayang pada kalian berdua. Aku tidak ingin kalian mengalami hal-hal yang buruk. Sebisa mungkin aku harus melindungi kalian berdua.”
“Tapi dengan perjanjian itu, berarti kau menyogok Irawan.”
“Aku sudah terbiasa menyogok.”
“Dan sedikit menjatuhkan nama baik Drea. Itu nepotisme –mirip. Dia mendapat peran karena kamu. Tidak sepenuhnya karena usaha dirinya sendiri. Tidakkah itu menyinggung harga diri Drea? Kau melakukan ini tanpa sepengetahuannya.”
“Segalanya butuh pengorbanan, Fatta. Lagipula, harga diri bukanlah hal yang terlalu penting bagi Drea.”
“Jangan terlalu sinis.”
“Kebiasaan.”
“Berubahlah, Zetta.”
“Akan aku coba.”
***
“Edith,” DonZetta memanggil pegawainya yang menangani laporan keuangan itu ke ruangannya begitu DonFatta pulang.
“Ada apa, pak?”
“Bereskan laporan itu.”
“Sedang saya kerjakan, pak.”
“Bukan, maksud saya, kamu urus semua pemberesannya. Dalam arti kata, bereskan semua masalahnya. Penuhi semua yang menjadi kewajiban kita, dan kembalikan yang bukan menjadi hak kita.”
Edith mengernyit bingung. Tumben. “Tapi, pak, kenapa jadi berubah begini?”
“Sudahlah, aku tidak ingin lagi menyusahkan adikku si pengacara sok suci itu dengan kecurangan kita.”
“Itu berarti kita akan keluar uang banyak, pak.”
“Biarkan. Hitung-hitung hadiah.”
“Untuk apa?”
“Mau tahu sekali sih kau? Cerewet!” DonZetta membentak. “Adikku itu ulang tahun hari ini, puas?!” serunya berbohong supaya Edith cepat-cepat pergi.
Edith tersenyum. “Baiklah, pak.”
***
“Sayang, sejak kapan kamu ganti tanggal ulang tahun?” Elizabeth bertanya heran saat menerima buket bunga besar untuk suaminya.
DonFatta juga sama herannya. Apalagi di situ tertulis bahwa pengirimnya adalah perusahaan kakaknya. Dia lalu tertawa. “Tidak usah kamu pikirkan, Liz. Hari ini Zetta memang sedang gila.”
“Tapi…”
“Simpan saja bunga itu. Lalu telepon kantornya dan bilang aku mengucapkan terimakasih. Sekarang aku mau mandi dulu.”
Dan DonFatta naik tangga sambil tertawa.
EPILOG…
Mereka bertiga sedang duduk menunggu pintu teater itu dibuka. Malam ini, DonZetta, DonFatta, dan DonDrea bersama-sama jalan ke bioskop untuk menonton film terbaru Drea yang diputar di sana. Ketiganya tertawa-tawa saat mengingat kembali kejadian berbulan-bulan yang lalu –yang hampir saja meretakkan persaudaraan mereka.
“Aku tidak percaya akhirnya film ini jadi milikku!” seru Drea girang menikmati kesuksesannya.
“Berterimakasihlah pada Zetta.”
DonDrea tersenyum. “Iya, kak. Dari dulu aku selalu mengira kakak tidak pernah sayang padaku. Bahwa kakak hanya sayang pada kak Fatta. Ternyata…”
DonZetta tersenyum.
“Aku salah.”
“Memang.”
“Kak, aku sedang mencoba bersikap manis. Jangan diledek, dong!”
“Kau memang enak untuk diledek, Drea!”
“Enak saja!”
“Memang enak.” Zetta tertawa. “Kau itu dungu.”
“Eh, sudah, sudah!” lerai DonFatta melihat kedua saudaranya yang sedang adu mulut itu. “Apa-apaan sih kalian ini?”
“Memangnya kenapa?” sergah Zetta kesal.
“Seperti anak kecil saja.”
“Itu bukan urusanmu, Fatta. Kami tidak sedang berdebat tentang kamu, kan?”
“Tapi tetap saja itu urusanku! Kalian kan sudaraku!”
“Ah, sok sentimentil!”
“Hei! Kalian berdua ini rese, deh!” gantian Drea yang marah. “Jangan berantem di sini, dong! Malu!”
“Malu?! Cuek saja, kemaluanmu kan kecil ini!” sahut Zetta asal-asalan.
“Enak saja! Tidak terlalu kecil, kok!”
“Ah, kecil. Kalau dibandingkan dengan punya Fatta.”
“Jangan bawa-bawa punyaku!” DonFatta berteriak sebal. “Ini bukan untuk umum.”
“Pernah untuk umum, kan?” ledek Zetta.
Drea tertawa.
Fatta tersipu malu.
Ya, selamanya memang mereka akan selalu begitu. Hubungan yang penuh warna –suka, duka, dan rasa. Kasih sayang yang tidak akan bisa dihapuskan oleh apapun juga. Rasa cinta yang selalu bisa mengubah segalanya.
Karena itulah mereka bersaudara.
- Blogger Comment
- Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar
Sundul gan! Ane ga kenal yang namanya spam...