Apakah Anda Dibayar Terlalu Murah?
Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
Salah satu keluhan manusia paling umum adalah tentang betapa murahnya
kita dibayar. Keluhan ini muncul terutama ketika surat kenaikan gaji
rutin kita terima. Betapa kenaikan take-home-pay itu tidak bisa
mengimbangi kenaikan kebutuhan hidup kita. Meskipun komplain itu
tidak selamanya jelek. Namun, untuk soal gaji kita perlu bertanya
lagi; benarkah kita ini dibayar terlalu murah?
Ada sahabat yang getol mengomel tentang gaji. Suatu kali, kami
berkesempatan makan siang setelah sekian lama tidak berjumpa.
Komplain itu masih menjadi bagian dari dirinya. Lalu saya
bertanya; "Memangnya elo digaji berapa?" Sebuah pertanyaan untung-
untungan. Tidak dijawab juga tidak apa-apa.
"Yaaa, sekitar segini lah." Saya terbelalak karena dia begitu terbuka
dengan gajinya, dan juga karena menurut hemat saya gajinya sudah
tergolong besar untuk ukuran pekerjaan dan jabatan yang dia sandang.
"Pren, elu tahu rata-rata pendapatan orang Indonesia itu hanya
sekitar $1,600 setahun. Artinya, cuma sekitar satu setengah juta
setiap bulan. Lha, elo sudah lebih dari sepuluh kali lipat dari itu."
"Heh, elo jangan anggap gue pekerja kelas bawah gitu ye. Ya nggak
berlaku lah rata-rata pendapatan semua penduduk termasuk kelas
pekerja kasar dikampung-kampung dan pelosok desa tuch!" dia menukas
dengan nada sengit.
"Oke, oke," saya mengangkat tangan. "Tapi, rata-rata pendapatan orang
yang kerja di Jakarta pun cuma sekitar $5,167, Man. Empat setengah
jutaan doang." Mata saya tertuju kearah piring. Tapi saya tahu teman
saya ini melotot. "Gaji elu masih berkali-kali lipat dari itu."
"Heh, boy, udah gua bilang jangan pake rata-rata dong. Kemampuan gue
juga kan diatas rata-rata!" katanya.
"Dan elo juga sudah dibayar jaoooh diatas rata-rata," tangkis saya.
"Ah, susah kali ngomong sama kau tuch!" Saya tidak kaget ketika dia
menggebrak meja. Sifat aslinya keluar kalau sedang terdesak. "Orang
harus dibayar sesuai dengan kemampuan dan kontribusinya masing-
maaaasing!" Gayanya mirip Giant dalam film Dora Emon.
"Wah, kalau yang satu itu gue setuju abis, Man. Masalahnya, elu udah
dibayar tinggi, masih komplen juga." Saya bilang. "Atas dasar apa elu
merasa pantas mendapatkan bayaran lebih tinggi?"
"Pertama, teman gue." katanya "Diperusahaan lain dibayar lebih
tinggi, padahal kemampuan gue nggak kalah dari dia."
lanjutnya. "Kedua, gue udah kerja disini lebih dari lima tahun.
Maasak, cuma segini-segini doang!"
"Menurut gue," saya meneguk teh botol. "ada satu cara yang lebih
objektif untuk menentukan apakah elo dibayar terlalu murah atau
tidak."
"Gimana?"
"Caranya," saya berhenti sejenak. "Elu harus menentukan satu hal.
Yaitu; kalau elu tidak bekerja diperusahaan manapun, elu bisa
mendapatkan penghasilan berapa?" Sesendok sayur bayam masuk kemulut
saya. "Nah, kalau elu dibayar dibawah angka itu, maka elu dibayar
terlalu murah. Jika tidak, artinya elu sudah mendapatkan bayaran yang
layak."
Saya tahu bahwa gagasan ini agak kurang lazim. Tetapi anehnya,
meskipun kita tidak puas dengan bayaran yang kita terima, kita masih
juga bercokol disitu. Pertanda bahwa sesungguhnya kita tidak memiliki
dasar yang kuat untuk menuntut bayaran lebih dari itu. Sebab, jika
kita benar-benar memiliki alternatif lain yang jauh lebih baik,
tidaklah mungkin kita berdiam diri.
Mungkin, hengkang ketempat lain bisa jadi pilihan. Tidak aneh. Kalau
perusahaan pesaing merekrut kita, pastilah mereka bersedia membayar
ekstra dimuka. Karena, itu bagian dari strategy persaingan bisnis
mereka. Kadang, perusahaan lama melakukan 'buy back' juga. Tapi hal
ini tidak selalu bisa menggambarkan kemampuan dan kelayakbayaran kita
sebagai individu secara utuh. Sebab, ada 'benchmark' disetiap
industry. Artinya, selalu ada saat dimana gaji kita tidak bisa naik
lagi kecuali kita layak untuk dipromosi kepada jabatan dan tugas yang
lebih tinggi. Makanya, tidak aneh jika ada karyawan yang direkrut
dengan bayaran awal yang tinggi, tapi kenaikan gaji berkalanya tak
terlalu bermakna.
Sebaliknya, jika kita bisa menentukan; 'berapa pendapatan yang bisa
kita hasilkan jika tidak bekerja untuk perusahaan manapun'. Maka kita
akan bisa menentukan 'nilai' kita yang sesungguhnya. Misalnya, jika
kita bisa menghasilkan 30 juta sebulan, maka kita bisa bernegosiasi
dengan manajemen untuk mendapatkan bayaran yang sekurang-kurangnya
setara dengan itu. Mengapa kita harus bertahan disana, jika
bayarannya jauh lebih rendah dari yang bisa kita hasilkan sendiri?
Namun, jika perusahaan sudah membayar kita lebih tinggi dari itu;
kita tahu apa artinya itu, bukan?.
Sahabat saya menggugat: "Kalau gua bisa kerja sendiri ngapain gua
disini? Dari dulu gua pasti sudah berhenti! Gua disini, karena gua
nggak bisa kerja sendiri!" Betul. Disitulah point utamanya. Kita
menyandarkan diri kepada perusahaan itu, tanpa ada alternatif lain
yang lebih baik. Jika demikian situasinya, bukankah akan lebih baik
jika kita berfokus kepada kontribusi yang bisa kita berikan ditempat
kerja? Tanpa harus terlebih dahulu berhitung-hitung soal gaji. Sebab,
jika kita hanya bisa menjadi karyawan dengan prestasi rata-rata,
mengapa perusahaan harus mengistimewakan kita? Sebaliknya, jika
memang kita berprestasi sangat tinggi; tidaklah mungkin perusahaan
menyia-nyiakan kita. Bahkan, kenaikan gaji 'tidak lazim' mungkin bisa
kita terima tanpa terduga. Dan, jikapun perusahaan tempat kerja kita
benar-benar menutup mata; masih banyak perusahaan baik yang bersedia
mempekerjakan kita, dengan bayaran yang sepantasnya. Asal kita bisa
menunjukkan 'siapa sesungguhnya' kita ini.
- Blogger Comment
- Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar
Sundul gan! Ane ga kenal yang namanya spam...