Gerak sosial
Gerak sosial (Mobilitas sosial) adalah perubahan, pergeseran, peningkatan, ataupun penurunan status dan peran anggotanya. Misalnya, seorang pensiunan pegawai rendahan salah satu departemen beralih pekerjaan menjadi seorang pengusaha dan berhasil dengan gemilang. Contoh lain, seorang anak pengusaha ingin mengikuti jejak ayahnya yang berhasil. Ia melakukan investasi di suatu bidang yang berbeda dengan ayahnya. Namun, ia gagal dan akhirnya jatuh miskin. Proses perpindahan posisi atau status sosial yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang dalam struktur sosial masyarakat inilah yang disebut gerak sosial atau mobilitas sosial (social mobility)
Pengertian
Definisi
Menurut Paul B. Horton, mobilitas sosial adalah suatu gerak perpindahan dari satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya atau gerak pindah dari strata yang satu ke strata yang lainnya. Sementara menurut Kimball Young dan Raymond W. Mack, mobilitas sosial adalah suatu gerak dalam struktur sosial yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Struktur sosial mencakup sifat hubungan antara individu dalam kelompok dan hubungan antara individu dengan kelompoknya.
Dalam dunia modern, banyak orang berupaya melakukan mobilitas sosial. Mereka yakin bahwa hal tersebut akan membuat orang menjadi lebih bahagia dan memungkinkan mereka melakukan jenis pekerjaan yang peling cocok bagi diri mereka. Bila tingkat mobilitas sosial tinggi, meskipun latar belakang sosial berbeda. Mereka tetap dapat merasa mempunyai hak yang sama dalam mencapai kedudukan sosial yang lebih tinggi. Bila tingkat mobilitas sosial rendah, tentu saja kebanyakan orang akan terkukung dalam status nenek moyang mereka. Mereka hidup dalam kelas sosial tertutup.
Mobilitas sosial lebih mudah terjadi pada masyarakat terbuka karena lebih memungkinkan untuk berpindah strata. Sebaliknya, pada masyarakat yang sifatnya tertutup kemungkinan untuk pindah strata lebih sulit. Contohnya, masyarakat feodal atau pada masyarakat yang menganut sistem kasta. Pada masyarakat yang menganut sistem kasta, bila seseorang lahir dari kasta yang paling rendah untuk selamanya ia tetap berada pada kasta yang rendah. Dia tidak mungkin dapat pindah ke kasta yang lebih tinggi, meskipun ia memiliki kemampuan atau keahlian. Karena yang menjadi kriteria stratifikasi adalah keturunan. Dengan demikian, tidak terjadi gerak sosial dari strata satu ke strata lain yang lebih tinggi.
Cara untuk melakukan mobilitas sosial
Secara umum, cara orang untuk dapat melakukan mobilitas sosial ke atas adalah sebagai berikut :
Perubahan standar hidup
Kenaikan penghasilan tidak menaikan status secara otomatis, melainkan akan mereflesikan suatu standar hidup yang lebih tinggi. Ini akan memengaruhi peningkatan status.
Contoh: Seorang pegawai rendahan, karena keberhasilan dan prestasinya diberikan kenaikan pangkat menjadi Menejer, sehingga tingkat pendapatannya naik. Status sosialnya di masyarakat tidak dapat dikatakan naik apabila ia tidak mengubah standar hidupnya, misalnya jika dia memutuskan untuk tetap hidup sederhana seperti ketika ia menjadi pegawai rendahan.
Perkawinan
Untuk meningkatkan status sosial yang lebih tinggi dapat dilakukan melalui perkawinan.
Contoh: Seseorang wanita yang berasal dari keluarga sangat sederhana menikah dengan laki-laki dari keluarga kaya dan terpandang di masyarakatnya. Perkawinan ini dapat menaikan status si wanita tersebut.
Perubahan tempat tinggal
Untuk meningkatkan status sosial, seseorang dapat berpindah tempat tinggal dari tempat tinggal yang lama ke tempat tinggal yang baru. Atau dengan cara merekonstruksi tempat tinggalnya yang lama menjadi lebih megah, indah, dan mewah. Secara otomatis, seseorang yang memiliki tempat tinggal mewah akan disebut sebagai orang kaya oleh masyarakat, hal ini menunjukkan terjadinya gerak sosial ke atas.
Perubahan tingkah laku
Untuk mendapatkan status sosial yang tinggi, orang berusaha menaikkan status sosialnya dan mempraktekkan bentuk-bentuk tingkah laku kelas yang lebih tinggi yang diaspirasikan sebagai kelasnya. Bukan hanya tingkah laku, tetapi juga pakaian, ucapan, minat, dan sebagainya. Dia merasa dituntut untuk mengkaitkan diri dengan kelas yang diinginkannya.
Contoh: agar penampilannya meyakinkan dan dianggap sebagai orang dari golongan lapisan kelas atas, ia selalu mengenakan pakaian yang bagus-bagus. Jika bertemu dengan kelompoknya, dia berbicara dengan menyelipkan istilah-istilah asing.
Perubahan nama
Dalam suatu masyarakat, sebuah nama diidentifikasikan pada posisi sosial tertentu. Gerak ke atas dapat dilaksanakan dengan mengubah nama yang menunjukkan posisi sosial yang lebih tinggi.
Contoh: Di kalangan masyarakat feodal Jawa, seseorang yang memiliki status sebagai orang kebanyakan mendapat sebutan "kang" di depan nama aslinya. Setelah diangkat sebagai pengawas pamong praja sebutan dan namanya berubah sesau dengan kedudukannya yang baru seperti "Raden"
Faktor penghambat mobilitas sosial
Ada beberapa faktor penting yang justru menghambat mobilitas sosial. Faktor-faktor penghambat itu antara lain sebagai berikut :
Nelson Mandela, pejuang persamaan hak kulit hitam di Afrika selatan
Perbedaan kelas rasial, seperti yang terjadi di Afrika Selatan di masa lalu, dimana ras berkulit putih berkuasa dan tidak memberi kesempatan kepada mereka yang berkulit hitam untuk dapat duduk bersama-sama di pemerintahan sebagai penguasa. Sistem ini disebut Apartheid dan dianggap berakhir ketika Nelson Mandela, seorang kulit hitam, terpilih menjadi presiden Afrika Selatan
Agama, seperti yang terjadi di India yang menggunakan sistem kasta.
Diskriminasi Kelas dalam sistem kelas terbuka dapat menghalangi mobilitas ke atas. Hal ini terbukti dengan adanya pembatasan suatu organisasi tertentu dengan berbagai syarat dan ketentuan, sehingga hanya sedikit orang yang mampu mendapatkannya.
Contoh: jumlah anggota DPR yag dibatasi hanya 500 orang, sehingga hanya 500 orang yang mendapat kesempatan untuk menaikan status sosialnya menjadi anggota DPR.
Kemiskinan dapat membatasi kesempatan bagi seseorang untuk berkembang dan mencapai suatu sosial tertentu.
Contoh: "A" memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya karena kedua orangtuanya tidak bisa membiayai, sehingga ia tidak memiliki kesempatan untuk meningkatkan status sosialnya.
Perbedaan jenis kelamin dalam masyarakat juga berpengaruh terhadap prestasi, kekuasaan, status sosial, dan kesempatan-kesenmpatan untuk meningkatkan status sosialya.
Beberapa bentuk mobilitas sosial
Mobilitas sosial horizontal
Mobilitas horizontal merupakan peralihan individu atau obyek-obyek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Tidak terjadi perubahan dalam derajat kedudukan seseorang dalam mobilitas sosialnya.
Contoh: Pak Amir seorang warga negara Amerika Serikat, mengganti kewarganegaraannya dengan kewarganegaraan Indonesia, dalam hal ini mobilitas sosial Pak Amir disebut dengan Mobilitas sosial horizontal karena gerak sosial yang dilakukan Pak Amir tidak mengubah status sosialnya.
Mobilitas sosial vertikal
Mobilitas sosial vertikal adalah perpindahan individu atau objek-objek sosial dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang tidak sederajat. Sesuai dengan arahnya, mobilitas sosial vertikal dapat dibagi menjadi dua, mobilitas vertikal ke atas (social climbing) dan mobilitas sosial vertikal ke bawah (social sinking).
Mobilitas vertikal ke atas (Social climbing)
Mobilitas vertikal ke atas atau social climbing mempunyai dua bentuk yang utama
Masuk ke dalam kedudukan yang lebih tinggi. Masuknya individu-individu yang mempunyai kedudukan rendah ke dalam kedudukan yang lebih tinggi, di mana kedudukan tersebut telah ada sebelumnya.
Contoh: A adalah seorang guru sejarah di salah satu SMA. Karena memenuhi persyaratan, ia diangkat menjadi kepala sekolah.
Membentuk kelompok baru. Pembentukan suatu kelompok baru memungkinkan individu untuk meningkatkan status sosialnya, misalnya dengan mengangkat diri menjadi ketua organisasi.
Contoh: Pembentukan organisasi baru memungkinkan seseorang untuk menjadi ketua dari organisasi baru tersebut, sehingga status sosialnya naik.
Mobilitas vertikal ke bawah (Social sinking)
Mobilitas vertikal ke bawah mempunyai dua bentuk utama.
Turunnya kedudukan. Kedudukan individu turun ke kedudukan yang derajatnya lebih rendah.
Contoh: seorang prajurit dipecat karena melakukan tidakan pelanggaran berat ketika melaksanakan tugasnya.
Turunnya derajat kelompok. Derajat sekelompok individu menjadi turun yang berupa disintegrasi kelompok sebagai kesatuan.
Contoh: Juventus terdegradasi ke seri B. akibatnya, status sosial tim pun turun.
Mobilitas antargenerasi
Mobilitas antargenerasi secara umum berarti mobilitas dua generasi atau lebih, misalnya generasi ayah-ibu, generasi anak, generasi cucu, dan seterusnya. Mobilitas ini ditandai dengan perkembangan taraf hidup, baik naik atau turun dalam suatu generasi. Penekanannya bukan pada perkembangan keturunan itu sendiri, melainkan pada perpindahan status sosial suatu generasi ke generasi lainnya.
Contoh: Pak Parjo adalah seorang tukang becak. Ia hanya menamatkan pendidikannya hingga sekolah dasar, tetapi ia berhasil mendidik anaknya menjadi seorang pengacara. Contoh ini menunjukkan telah terjadi mobilitas vertikal antargenerasi.
Mobilitas intragenerasi
Mobilitas sosial intragenerasi adalah mobilitas yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang dalam satu generasi.
Contoh: Pak Darjo awalnya adalah seorang buruh. Namun, karena ketekunannya dalam bekerja dan mungkin juga keberuntungan, ia kemudian memiliki unit usaha sendiri yang akhirnya semakin besar. Contoh lain, Pak Bagyo memiliki dua orang anak, yang pertama bernama Endra bekerja sebagai tukang becak, dan Anak ke-2, bernama Ricky, yang pada awalnya juga sebagai tukang becak. Namun, Ricky lebih beruntung daripada kakaknya, karena ia dapat mengubah statusnya dari tukang becak menjadi seorang pengusaha. Sementara Endra tetap menjadi tukang becak. Perbedaan status sosial antara Endra dengan adiknya ini juga dapat disebut sebagai mobilitas intragenerasi.
Gerak sosial geografis
Gerak sosial ini adalah perpindahan individu atau kelompok dari satu daerah ke daerah lain seperti transmigrasi, urbanisasi, dan migrasi.
Faktor-faktor yang memengaruhi mobilitas sosial
Mobilitas sosial dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut.
Perubahan kondisi sosial
Struktur kasta dan kelas dapat berubah dengan sendirinya karena adanya perubahan dari dalam dan dari luar masyarakat. Misalnya, kemajuan teknologi membuka kemungkinan timbulnya mobilitas ke atas. Perubahan ideologi dapat menimbilkan stratifikasi baru.
Ekspansi teritorial dan gerak populasi
Ekspansi teritorial dan perpindahan penduduk yang cepat membuktikan cirti fleksibilitas struktur stratifikasi dan mobilitas sosial. Misalnya, perkembangan kota, transmigrasi, bertambah dan berkurangnya penduduk.
Komunikasi yang bebas
Situasi-situasi yang membatasi komunikasi antarstrata yang beraneka ragam memperkokoh garis pembatas di antara strata yang ada dalam pertukaran pengetahuan dan pengalaman di antara mereka dan akan mengahalangi mobilitas sosial. Sebaliknya, pendidikan dan komunikasi yang bebas sertea efektif akan memudarkan semua batas garis dari strata sosial uang ada dan merangsang mobilitas sekaligus menerobos rintangan yang menghadang.
Pembagian kerja
Besarnya kemungkinan bagi terjadinya mobilitas dipengaruhi oleh tingkat pembagian kerja yang ada. Jika tingkat pembagian kerja tinggi dan sangat dispeliasisasikan, maka mobilitas akan menjadi lemah dan menyulitkan orang bergerak dari satu strata ke strata yang lain karena spesialisasi pekerjaan nmenuntut keterampilan khusus. Kondisi ini memacu anggota masyarakatnya untuk lebih kuat berusaha agar dapat menempati status tersebut.
Tingkat Fertilitas (Kelahiran) yang Berbeda
Kelompok masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi dan pendidikan rendah cenderung memiliki tingkat fertilitas yang tinggi. Pada pihak lain, masyarakat kelas sosial yang lebih tinggi cenderung membatasi tingkat reproduksi dan angka kelahiran. Pada saat itu, orang-orang dari tingkat ekonomi dan pendidikan yang lebih rendah mempunyai kesempatan untuk banyak bereproduksi dan memperbaiki kualitas keturunan. Dalam situasi itu, mobilitas sosial dapat terjadi.
Kemudahan dalam akses pendidikan
Jika pendidikan berkualitas mudah didapat, tentu mempermudah orang untuk melakukan pergerakan/mobilitas dengan berbekal ilmu yang diperoleh saat menjadi peserta didik. Sebaliknya, kesulitan dalam mengakses pendidikan yang bermutu, menjadikan orang yang tak menjalani pendidikan yang bagus, kesulitan untuk mengubah status, akibat dari kurangnya pengetahuan.
Saluran-saluran mobilitas sosial
Angkatan bersenjata
Angkatan bersenjata merupakan salah satu saluran mobilitas sosial
Angkatan bersenjata merupakan organisasi yang dapat digunakan untuk saluran mobilitas vertikal ke atas melalui tahapan yang disebut kenaikan pangkat. Misalnya, seorang prajurit yang berjasa pada negara karena menyelamatkan negara dari pemberontakan, ia akan mendapatkan penghargaan dari masyarakat. Dia mungkin dapat diberikan pangkat/kedudukan yang lebih tinggi, walaupun berasal dari golongan masyarakat rendah.
Lembaga-lembaga keagamaan
Lembaga-lembaga keagamaan dapat mengangkat status sosial seseorang, misalnya yang berjasa dalam perkembangan Agama seperti ustad, pendeta, biksu dan lain lain.
Lembaga pendidikan
Lembaga-lembaga pendidikan pada umumnya merupakan saluran yang konkret dari mobilitas vertikal ke atas, bahkan dianggap sebagai social elevator (perangkat) yang bergerak dari kedudukan yang rendah ke kedudukan yang lebih tinggi. Pendidikan memberikan kesempatan pada setiap orang untuk mendapatkan kedudukan yang lebih .
tinggi.
Contoh: Seorang anak dari keluarga miskin mengenyam sekolah sampai jenjang yang tinggi. Setelah lulus ia memiliki pengetahuan dagang dan menggunakan pengetahuannya itu untuk berusaha, sehingga ia berhasil menjadi pedagang yang kaya, yang secara otomatis telah meningkatkan status sosialnya.
Organisasi politik
Seperti angkatan bersenjata, organisasi politik memungkinkan anggotanya yang loyal dan berdedikasi tinggi untuk menempati jabatan yang lebih tinggi, sehingga status sosialnya meningkat.
Organisasi ekonomi
Organisasi ekonomi (seperti perusahaan, koperasi, BUMN dan lain-lain) dapat meningkatkan tingkat pendapatan seseorang. Semakin besar prestasinya, maka semakin besar jabatannya. Karena jabatannya tinggi akibatnya pendapatannya bertambah. Karena pendapatannya bertambah akibatnya kekayaannya bertambah. Dan karena kekayaannya bertambah akibatnya status sosialnya di masyarakat meningkat.
Organisasi keahlian
Seperti di wikipedia ini, orang yang rajin menulis dan menyumbangkan pengetahuan/keahliannya kepada kelompok pasti statusnya akan dianggap lebih tinggi daripada pengguna biasa.
Perkawinan
Sebuah perkawinan dapat menaikkan status seseorang. Seorang yang menikah dengan orang yang memiliki status terpandang akan dihormati karena pengaruh pasangannya.
Dampak mobilitas sosial
Gejala naik turunnya status sosial tentu memberikan konsekuensi-konsekuensi tertentu terhadap struktur sosial masyarakat. Konsekuensi-konsekuensi itu kemudian mendatangkan berbagai reaksi. Reaksi ini dapat berbentuk konflik. Ada berbagai macam konflik yang bisa muncul dalam masyarakat sebagai akibat terjadinya mobilitas.
Dampak negatif
Konflik antarkelas
Dalam masyarakat, terdapat lapisan-lapisan sosial karena ukuran-ukuran seperti kekayaan, kekuasaan, dan pendidikan. Kelompok dalam lapisan-lapisan tadi disebut kelas sosial. Apabila terjadi perbedaan kepentingan antara kelas-kelas sosial yang ada di masyarakat dalam mobilitas sosial maka akan muncul konflik antarkelas.
Contoh: demonstrasi buruh yang menuntuk kenaikan upah, menggambarkan konflik antara kelas buruh dengan pengusaha.
Konflik antarkelompok sosial
Di dalam masyatakat terdapat pula kelompok sosial yang beraneka ragam. Di antaranya kelompok sosial berdasarkan ideologi, profesi, agama, suku, dan ras. Bila salah satu kelompok berusaha untuk menguasai kelompok lain atau terjadi pemaksaan, maka timbul konflik.
Contoh: tawuran pelajar, perang antarkampung.
Konflik antargenerasi
Konflik antar generasi terjadi antara generasi tua yang mempertahankan nilai-nilai lama dan generasi mudah yang ingin mengadakan perubahan.
Contoh: Pergaulan bebas yang saat ini banyak dilakukan kaum muda di Indonesia sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut generasi tua.
Penyesuaian kembali
Setiap konflik pada dasarnya ingin menguasai atau mengalahkan lawan. Bagi pihak-pihak yang berkonflik bila menyadari bahwa konflik itu lebih banyak merugikan kelompoknya, maka akan timbul penyesuaian kembali yang didasari oleh adanya rasa toleransi atau rasa penyesuaian kembali yang didasari oleh adanya rasa toleransi atau rasa saling menghargai. Penyesuaian semacam ini disebut Akomodasi.
Dampak positif
Orang-orang akan berusaha untuk berprestasi atau berusaha untuk maju karena adanya kesempatan untuk pindah strata. Kesempatan ini mendorong orang untuk mau bersaing, dan bekerja keras agar dapat naik ke strata atas.
Contoh: Seorang anak miskin berusaha belajar dengan giat agar mendapatkan kekayaan dimasa depan.
Mobilitas sosial akan lebih mempercepat tingkat perubahan sosial masyarakat ke arah yang lebih baik.
Contoh: Indonesia yang sedang mengalami perubahan dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Perubahan ini akan lebih cepat terjadi jika didukung oleh sumber daya yang memiliki kualitas. Kondisi ini perlu didukung dengan peningkatan dalam bidang pendidikan.
Mobilitas Sosial Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan”
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam dunia modern, banyak orang berupaya melakukan mobilitas sosial. Mereka yakin bahwa hal tersebut akan membuat orang menjadi lebih bahagia dan memungkinkan mereka melakukan jenis pekerjaan yang paling cocok bagi diri mereka. Bila tingkat mobilitas sosial tinggi, meskipun latar belakang sosial berbeda. Mereka tetap dapat merasa mempunyai hak yang sama dalam mencapai kedudukan sosial yang lebih tinggi. Bila tingkat mobilitas sosial rendah, tentu saja kebanyakan orang akan terkukung dalam status nenek moyang mereka. Mereka hidup dalam kelas sosial tertutup.
Mobilitas sosial lebih mudah terjadi pada masyarakat terbuka karena lebih memungkinkan untuk berpindah strata. Sebaliknya, pada masyarakat yang sifatnya tertutup kemungkinan untuk pindah strata lebih sulit. Contohnya, masyarakat feodal atau pada masyarakat yang menganut sistem kasta. Pada masyarakat yang menganut sistem kasta, bila seseorang lahir dari kasta yang paling rendah untuk selamanya ia tetap berada pada kasta yang rendah. Dia tidak mungkin dapat pindah ke kasta yang lebih tinggi, meskipun ia memiliki kemampuan atau keahlian. Karena yang menjadi kriteria stratifikasi adalah keturunan. Dengan demikian, tidak terjadi gerak sosial dari strata satu ke strata lain yang lebih tinggi. Jika kita berbicara tentang mobilitas sosial, biasanya kita berpikir tentang perpindahan dari suatu tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi.
Sesungguhnya, mobilitas sosial dapat berlangsung dalam dua arah. Sebagian orang mencapai status yang lebih tinggi, dan sebagian orang lagi mengalami kegagalan atau mengalami mobilitas sosial menurun. Ada pula orang-orang yang tetap tinggal pada status yang dimiliki oleh orang tua mereka, atau tidak mengalami mobilitas.
B. Rumusan Masalah
1. Apa defenisi dari Mobilitas Sosial?
2. Bagaimana Mobilitas Sosial masyarakat pedesaan dan perkotaan?
C. Tujuan Penulisan
Kami penulis makalah ini berharap pembaca dapat memperoleh tambahan pengetahuan mengenai mobilitas sosial sehingga nantinya dapat bermanfaat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mobilitas Sosial
Secara definisi, mobilitas berasal dari bahasa Latin mobilis, artinya mudah dipindahkan atau banyak bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Mobilitas sosial (social mobility) adalah suatu mobilitas dalam struktur sosial, yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Struktur sosial mencakup sifat-sifat hubungan antara individu dalam kelompok dan hubungan antara individu dengan kelompoknya.
Mobilitas sosial (social mobility) secara umum adalah perpindahan individu, keluarga, atau kelompok sosial dari satu lapisan ke lapisan sosial lainnya.
Berikut adalah pengertian mobilitas sosial yang dikemukakan oleh beberapa ahli sosiologi.
v William Kornblum (1918: 172)
Mobilitas sosial adalah perpindahan individu-individu, keluarga-keluarga, dan kelompok sosialnya dari satu lapisan ke lapisan sosial lainnya.
v Michael S. Bassis (1988: 276)
Mobilitas sosial adalah perpindahan ke atas atau ke bawah lingkungan sosial ekonomi yang mengubah status sosial seseorang dalam masyarakat.
v H. Edward Ransfrod (Sunarto, 2001: 108)
Mobilitas sosial adalah perpindahan ke atas atau ke bawah dalam lingkungan sosial secara hierarki.
Berikut adalah beberapa jenis mobilitas sosial berdasarkan tipenya, yaitu:
1. Mobilitas sosial vertikal
Mobilitas sosial vertikal adalah perpindahan individu atau objek sosial dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang tidak sederajat. Dilihat dari kemungkinan arah yang dapat dilakukan, maka mobilitas sosial vertikal dibedakan menjadi dua.
a) Mobilitas sosial vertikal naik (social climbing mobility)
Mobilits sosial vertikal naik, artinya perpindahan seseorang ke kelas sosial yang lebih tinggi dari sebelumnya. Mobilitas sosial vertikal ke atas mempunyai dua bentuk yang utama, yaitu:
· Masuknya individu-individu yang mulanya memiliki kedudukan lebih rendah ke dalam kedudukan yang lebih tinggi. Contoh, pak Erwin adalah seorang guru sosiologi di salah satu sekolah SMA. Karena menuhi persyaratan, ia diangkat menjadi kepala sekolah.
· Pembentukan suatu kelompok baru yang kemudian ditempatkan pada derajat yang lebih tinggi dari kedudukan individu-individu pembentuk kelompok tersebut. Contoh, Pembentukan organisasi baru memungkinkan seseorang untuk menjadi ketua dari organisasi baru tersebut, sehingga status sosialnya naik.
b) Mobilitas sosial vertikal turun (social sinking mobility)
Mobilitas sosial vertikal turun, artinya perpindahan seseorang ke kelas sosial yang lebi rendah dari sebelumnya. Mobilitas sosial turun terdiri atas dua bentuk utama, yaitu:
· Turunnya kedudukan individu ke kedudukan yang lebih rendah dari sebelumnya. Contoh, seorang direktur suatu perusahaan turun statusnya menjadi operator mesin.
· Turunnya derajat suatu kelompok individu yang dapat berupa disintegrasi kelompok dalam suatu kesatuan. Contoh, saat suatu perusahaan keluarga bangkrut karena perpecahan di antara pengelolanya, maka kelas sosial keluarga pemilik sebagai kelompok sosial akan turun ke kelas sosial yang lebih rendah dan bukan lagi kelas atas.
2. Mobilitas sosial horizontal
Mobilitas sosial horizontal adalah peralihan individu atau kelompok sosial dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Misalnya:
a) Berganti kewarganegaraan dari warga negara Malaysia menjadi warga negara Republik Indonesia.
b) Seorang guru sekolah SMA pindah menjadi guru sekolah SMK.
3. Mobilitas sosial lateral/geografis
Mobilitas sosial lateral/geografis adalah perpindahan orang-orang, baik secara individu maupun kelompok, dari unit-unit wilayah (ruang) satu ke unit wilayah lain yang secara tidak langsung mengubah status sosial seseorang. Mobilitas sosial lateral ada dua, yaitu:
· Mobilitas permanen, yaitu mobilitas yang bermaksud melakukan perpinddahan permanen/menetap.
· Mobbilitas tidak permanen, yaitu segala bentuk mobilitas individu atau kelompok yang bersifat sementara, jangka pendek, dan tidak bermaksud pindah secara permanen.
4. Mobilitas sosial struktural
Menurut bassis, mobilitas sosial struktural adalah mobilitas yang disebabkan oleh inovasi teknologi, urbanisasi, pertumbuhan ekonomi, peperangan, dan kejadian-kejadian lainnya yang mengubah struktur dan jenis kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Berikut adalah mobilitas sosial berdasarkan ruang lingkup, yaitu:
1. Mobilitas intragenerasi
Mobilitas sosial intragenerasi adalah mobilitas sosial yang dialami seseorang selama masa hidupnya (dalam satu generasi). Misalnya, pengcer koran yang berhasil menjadi agen utama koran, seorang staf pengajar berhasil menjadi kepala sekolah tempat ia mengajar.
2. Mobilitas antargenerasi
Mobilitas antargenerasi adalah mobilitas sosial yang terjadi antara dua generasi atau lebih. Mobilitas antargenerasi mengacu kepada keluarga sendiri dibandingkan dengan status sosial yang dimiliki orang tuanya.
B. Faktor-Faktor Mobilitas Sosial
1. Faktor-Faktor Pendorong Mobilitas Sosial
a. Perubahan kondisi sosial
Struktur kasta dan kelas dapat berubah dengan sendirinya karena adanya perubahan dari dalam dan dari luar masyarakat. Misalnya, kemajuan teknologi membuka timbulnya mobilitas ke atas.
b. Pembagian kerja
Besarnya peluang terjadinya mobilitas dipengaruhi oleh tingkat pembagian kerja yang ada. Jika tingkat pembagian kerja tinggi dan sangat dispeliasisasikan, maka mobilitas akan menjadi lemah dan menyulitkan orang bergerak dari satu strata ke strata yang lain karena spesialisasi pekerjaan menuntut keterampilan khusus. Kondisi ini memacu anggota masyarakat untuk lebih kuat berusaha agar dapat menempati status tersebut.
c. Tingkat fertilitas (kelahiran) yang berbeda
Kelompok masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi dan pendidikan rendah cenderung memiliki tingkat fertilitas yang tinggi. Pada pihak lain, masyarakat kelas sosial yang lebih tinggi cenderung membatasi tingkat reproduksi dan angka kelahiran. Pada saat itu, orang-orang dari tingkat ekonomi dan pendidikan yang lebih rendah mempunyai kesempatan untuk banyak bereproduksi dan memperbaiki kualitas keturunan. Dalam situasi itu, mobilitas sosial dapat terjadi.
d. Kemudahan dalam mengakses pendidikan
Jika pendidikan berkualitas mudah didapat, tentu mempermudah orang untuk melakukan pergerakan/mobilitas dengan berbekal ilmu yang diperoleh saat menjadi peserta didik. Sebaliknya, kesulitan dalam mengakses pendidikan yang bermutu, menjadikan orang yang tak menjalani pendidikan yang bagus, kesulitan untuk mengubah status, akibat dari kurangnya pengetahuan.
2. Faktor-Faktor Penghambat Mobilitas Sosial
a. Perbedaan ras dan agama
Mobilitas sosial dapat terhambat karena faktor ras dan agama. Perbedaan ras menimbulkan perbedaan status sosial. Misalnya, seperti yang terjadi di Afrika Selatan dimasa lalu, dimana ras berkulit putih berkuasa dan tidak memberi kesempatan kepada mereka yang berkulit hitam untuk dapat duduk bersama-sama di pemerintahan sebagai penguasa. Sistem ini disebut Apharteid dan dianggap berakhir ketika Nelson Mandela, seorang kulit hitam, terpilih menjadi presiden Afrika Selatan.
b. Diskriminasi kelas dalam sistem kelas terbuka
Diskriminasi kelas dalam sistem kelas terbuka dapat menghalangi mobilitas ke atas. Hal itu terbukti dengan adanya pembatasan keanggotaan suatu organisasi tertentu dengan berbagai syarat dan ketentuan, misalnya jumlah anggota DPR dibatasi hanya 500 orang.
c. Kemiskinan
Kemiskinan dapat membatasi kesempatan bagi seseorang untuk berkembang dan mencapai suatu sosial tertentu. Contoh, seorang anak memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya karena kedua orangtuanya tidak mampu membiayai, sehingga ia tidak memiliki kesempatan untuk meningkatkan status sosialnya.
d. Perbedaan jenis kelamin (gender) dalam masyarakat
Perbedaan jenis kelamin dalam masyarakat juga berpengaruh terhadap prestasi, kekuasaan, status sosial, dan kesempatan-kesempatan untuk meningkatkan status sosialnya. Contoh, wanita yang hidup di desa yang masih sederhana merasa bahwa perannya hanyalah sebagai ibu rumah tangga.
C. Mobilitas Sosial Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan
Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antarentitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.
1. Mobilitas Sosial Masyarakat Pedesaan
a. Mobilitas sosial bisa saja tidak dapat terjadi karena terdapat sistem kelas sosial yang tertutup, seperti penggunaan kasta.
b. Mobilitas sosial berjalan lambat karena saluran mobilitas sosial terbatas.
c. Pada masyarakat pedesaan terdapat lebih banyak faktor-faktor yang menghambat mobilitas sosial, misalnya saja masih terdapat pembedaan jenis kelamin (gender).
d. Mobilitas sosial pada masyarakat desa lebih sulit terjadi karena masyarakat desa cenderung tidak mau menerima sesuatu yang baru, sehingga pengetahuan masyarakat cenderung tidak berkembang.
e. Pada masyarakat desa, yang terpenting bagi mereka adalah melakukan segala sesuatu sesuai dengan adat atau tradisi. Mereka tidak ingin melakukan inovasi ataupun perubahan, sehingga hampir tidak ada mobilisasi.
f. Dengan adanya sistem kasta pada masyarakat desa, maka tertutuplah peluang bagi masyarakat kelas rendah untuk melakukan mobilisasi dari saluran manapun.
2. Mobilitas Sosial Masyarakat Perkotaan
a. Pada masyarakat kota tidak terdapat kelas sosial yang tertutup, sehingga setiap orang dapat dengan bebas melakukan mobilitas sosial.
b. Saluran mobilitas sosial di kota sangat banyak, sehingga memungkinkan setiap penduduknya selalu melakukan mobilitas sosial dari berbagai saluran.
c. Mobilitas sosial pada masyarakat kota berlangsung sangat cepat, hal ini disebabkan karena banyaknya saluran yang tersedia serta keinginan dari masing-masing individu yang ingin maju.
d. Faktor penghambat mobilitas sosial yang ditemui pada masyarakat kota lebih sedikit jika dibandingkan dengan faktor pendorong mobilitas sosial.
e. Penduduk kota selalu bersifat terbuka terhadap sesuatu hal yang baru, sehingga penduduk kota memiliki kesempatan yang lebih besar dalam melakukan mobilitas sosial.
f. Masyarakat kota selalu bahkan senang melakukan inovasi, sehingga selalu terjadi mobilisasi pada masyarakat kota.
g. Dengan tidak adanya sistem kasta pada masyarakat kota, maka tidak tertutup segala kemungkinan untuk melakukan mobilisasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam mobilitas sosial masyarakat pedesaan cenderung sulit untuk terjadinya mobilisasi karena masyarakat desa memiliki sifat masyarakat yang tertutup sehingga hal yang bersifat baru sulit merubah adat atau tradisi yang sudah ada dalam masyarakat pedesaan.
Sedangkan mobilitas sosial masyarakat perkotaan, masyarakatnya cenderung bersifat terbuka sehingga mobilitas sosial pada masyarakat kota berlangsung sangat cepat, hal ini disebabkan karena banyaknya saluran yang tersedia serta keinginan dari masing-masing individu yang ingin maju kemudian didukung dengan kondisi lingkung yang modern dan bersifat baru.
B. Saran
Kami penulis sadar bahwa makalah kami ini jauh dari kata sempurna sehingga kami harapkan kritik dan saran yang membangun untuk lebih menyempurnakan makalah kami ini.
DAFTAR PUSTAKA
Muin, Udianto. 2006. Sosiologi SMA/MA Kelas XI. Jakarta: Erlangga.
Bagaimana mobilitas sosial yang terjadi di masyarakat perkotaan?
dan apa perbedaannya dengan mobilitas sosial di masyarakat pedesaan?
1. Masyarakat kota mempunyai pola-pola budaya dan tingkah laku, lembaga, pranata, serta struktur sosial yang berbeda dari masyarakat primitif maupun masyarakat desa.
2. Terjadinya urbanisasi yang semakin meningkat. Pada umumnya mereka mereka pergi ke kota tanpa membawa bekal ketrampilan kecuali tenaga. Setibanya di kota, mereka dapati dirinya berada pada situasi dan kondisi yang berbeda dari pada sewaktu berada di desa.
3. Semakin luasnya pengaruh kehidupan kota atas kehidupan daerah pedesaan yang berada di sekitarnya, baik positif maupun negatif.
4. Semakin merosotnya nilai-nilai manusiawi oleh berkembangnya teknologi di kota.
Pentingnya Mobilisasi Masyarakat
Kegiatan mobilisasi masyarakat menjadi elemen kunci dalam upaya pemberantasan wabah demam berdarah dengue (DBD) di rumah dan lingkungan sekitar.
DBD masih merupakan salah satu masalah kesehatan utama masyarakat Indonesia. Belakangan, penderita penyakit akibat gigitan nyamuk Aedes aegypti ini terus meningkat. Bahkan, Badan Kesehatan Dunia PBB (WHO) mencatat negara kita sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara.
Sementara dari 30 negara di dunia, Indonesia menempati urutan kedua, setelah Brasil. Data menyebutkan, pada 2004–2010 terdapat sekitar 129.435 kasus DBD di Tanah Air. Adapun yang mengerikan, jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah dari waktu ke waktu seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. Selain itu, penyakit ini juga sering kali menimbulkan kejadian wabah lima tahunan di sejumlah wilayah dan umumnya terjadi pada musim peralihan antara musim hujan dan musim kemarau, seperti pada Maret atau Desember.
Husein Habsyi SKM MHComm, Wakil Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) menuturkan, penanggulangan DBD perlu upaya intensif semua pihak, yaitu dengan menjalankan kegiatan yang bersifat promotif dan preventif serta strategi advokasi, pemberdayaan, dan mobilisasi. Cara ini sudah terbukti efektif. Buktinya di Kuba, dengan melakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) secara serentak, rutin, dan sepanjang tahun, kasus DBD di negara tersebut dapat ditekan, bahkan hilang sama sekali.
“Sekitar 2.000 kasus yang terjadi di sana dapat diberantas tuntas. Kita harus belajar dari mereka,” tuturnya dalam simposium SC Johnson yang diselenggarakan di Kongres Nasional IAKMI di Grand Mutiara Ballroom and Conference, Kupang, Nusa Tenggara Timur, Jumat (6/9). Dia mengemukakan, saat ini telah mencapai tingkat di mana publik merasa cuek dengan kejadian DBD karena demam penyakit tersebut dapat dengan mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Karena itu, lanjut Husein, sinergi upaya pemberantasan mesti dicanangkan untuk mencapai hasil nasional dan satu pihak harus menjadi motor penggerak. “Pemda DKI misalnya, dengan program Jumat Bersih PSN 30 menit adalah kegiatan yang bagus karena menjadi kunci untuk mengurangi kasus DBD di rumah dan lingkungan sekitar,” ujarnya.
Untuk lebih menguatkan hal tersebut, SC Johnson, IAKMI, Indomaret, Dinas Kesehatan (Dinkes) Jakarta dan Surabaya, serta Direktorat Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang (P2B2) Kementerian Kesehatan juga menyosialisasikan kampanye Lawan DBD. Ini merupakan kampanye pencegahan DBD yang dirancang untuk mengatasi peningkatan kejadian BDB. Kampanye ini mengetengahkan partisipasi masyarakat, pemberdayaan kader jumantik (juru pemantau jentik), dan tokoh masyarakat di dua target kecamatan di Jakarta dan satu kecamatan di Surabaya.
Alur kampanye ini, ujar dia, dimulai dari audiensi kepala Dinkes provinsi, focus group discussion, pelatihan jumantik, pelatihan mahasiswa, hingga kegiatan utama, yaitu Aksi Jumat 30 Menit. Mahasiswa datang ke permukiman warga, bersama para jumantik serta didukung oleh ketua RW/RT untuk memobilisasi warga agar melaksanakan PSN di lingkungan masing-masing.
“Tidak sekadar berdialog dan membagikan stiker serta poster, mereka juga ikut warga memberantas nyamuk dengan menguras bak mandi misalnya,” kata Husein. Kampanye yang telah berlangsung pada Mei–Juli 2013 lalu ini ternyata menghasilkan pencapaian positif. Hasil survei cepat masyarakat usai kegiatan ini menunjukkan, pengetahuan masyarakat terhadap DBD semakin meningkat.
Misalnya tentang nyamuk penular DBD, media tempat bertelurnya nyamuk, dan gejala utama penyakit. Peningkatan partisipasi dalam PSN di antara anggota keluarga juga terus merangkak naik. Juga diketahui, ibu yang dulu dianggap sebagai penggerak keluarga dalam PSN, kini telah bergeser kepada anak-anak dan ayah dengan masing-masing peningkatan mencapai 58% dan 56%. Hal yang menggembirakan, terjadi peningkatan bertahap melalui partisipasi masyarakat dalam membersihkan semua penampungan air di sekitar rumah mereka.
“Kampanye Lawan DBD ini telah mencakup dan mentransfer edukasi kepada kurang lebih 8.750 rumah tangga,” kata Husein. Prof Charles Suryadi MPH, ahli kesehatan perkotaan dari Universitas Atma Jaya, Jakarta, mengutarakan program kemitraan antara pemerintah dan swasta seperti kampanye Lawan DBD ini perlu diperluas. Termasuk kota-kota yang mengadakan kegiatan ini mesti diperbanyak, harus lebih dari 10 kota agar hasilnya lebih efektif.
MOBILITAS SOSIAL MASYARAKAT DESA DAN KOTA
A. Pengertian Mobilitas Sosial
1. Paul B. Horton
Mobilitas sosial adalah suatu gerak perpindahan dari satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya atau gerak pindah dari strata yang satu ke strata yang lainnya.
2. Kimball Young dan Raymond W. Mack
Mobilitas sosial adalah suatu gerak dalam struktur sosial yakni pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Struktur sosial mencakup sifat hubungan antara individu dalam kelompok dan hubungan antara individu dengan kelompoknya.
Dalam dunia modern, banyak orang berupaya melakukan mobilitas sosial. Mereka yakin bahwa hal tersebut akan membuat orang menjadi lebih bahagia dan memungkinkan mereka melakukan jenis pekerjaan yang peling cocok bagi diri mereka. Bila tingkat mobilitas sosial tinggi, meskipun latar belakang sosial berbeda. Mereka tetap dapat merasa mempunyai hak yang sama dalam mencapai kedudukan sosial yang lebih tinggi. Bila tingkat mobilitas sosial rendah, tentu saja kebanyakan orang akan terkukung dalam status nenek moyang mereka. Mereka hidup dalam kelas sosial tertutup.
Mobilitas sosial lebih mudah terjadi pada masyarakat terbuka karena lebih memungkinkan untuk berpindah strata. Sebaliknya, pada masyarakat yang sifatnya tertutup kemungkinan untuk pindah strata lebih sulit. Contohnya, masyarakat feodal atau pada masyarakat yang menganut sistem kasta. Pada masyarakat yang menganut sistem kasta, bila seseorang lahir dari kasta yang paling rendah untuk selamanya ia tetap berada pada kasta yang rendah. Dia tidak mungkin dapat pindah ke kasta yang lebih tinggi, meskipun ia memiliki kemampuan atau keahlian. Karena yang menjadi kriteria stratifikasi adalah keturunan. Dengan demikian, tidak terjadi gerak sosial dari strata satu ke strata lain yang lebih tinggi.
Jika kta berbicara tentang mobilitas sosial, biasanya kita berpikir tentang perpindahan dari suatu tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Sesungguhnya, mobilitas sosial dapat berlangsung dalam dua arah. Sebagian orang mencapai status yang lebih tinggi, dan sebagian orang lagi mengalami kegagalan atau mengalami mobilitas sosial menurun. Ada pula orang-orang yang tetap tinggal pada status yang dimiliki oleh orang tua mereka, atau tidak mengalami mobilitas.
B. Bentuk Mobilitas Sosial
1. Mobilitas sosial horizontal
Mobilitas sosial horizontal merupakan peralihan individu atau obyek-obyek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Dalam mobilitas sosial ini, tidak terjadi perubahan dalam derajat kedudukan seseorang dalam mobilitas sosialnya.
Misalnya, Pak Amir seorang warga negara Amerika Serikat, mengganti kewarganegaraannya dengan kewarganegaraan Indonesia, dalam hal ini mobilitas sosial Pak Amir disebut dengan Mobilitas sosial horizontal karena gerak sosial yang dilakukan Pak Amir tidak mengubah status sosialnya
2. Mobilitas sosial vertikal
Mobilitas sosial vertikal adalah perpindahan individu atau objek-objek sosial dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang tidak sederajat. Sesuai dengan arahnya, mobilitas sosial vertikal dapat dibagi menjadi dua, mobilitas vertikal ke atas (social climbing) dan mobilitas sosial vertikal ke bawah (social sinking).
a. Mobilitas sosial vertical ke atas mempunyai dua bentuk yang utama, yaitu:
1) Masuk ke dalam kedudukan yang lebih tinggi, hal ini ditandai dengan masuknya individu-individu yang mempunyai kedudukan rendah ke dalam kedudukan yang lebih tinggi yang ada. Contoh: A adalah seorang guru sejarah di salah satu SMA. Karena memenuhi persyaratan, ia diangkat menjadi kepala sekolah.
2) Membentuk kelompok baru. Pada bentuk ini terjadi pembentukan suatu kelompok baru yang kemudian ditempatkan pada derajat yang lebih tinggi daripada kedudukan individu pembentuk kelompok tersebut. Contoh: Pembentukan organisasi baru memungkinkan seseorang untuk menjadi ketua dari organisasi baru tersebut, sehingga status sosialnya naik.
b. Mobilitas sosial vertikal ke atas mempunyai dua bentuk yang utama, yaitu:
1) Turunnya kedudukan. Pada bentuk ini, kedudukan individu turun ke kedudukan yang derajatnya lebih rendah. Contoh: seorang prajurit dipecat karena melakukan tidakan pelanggaran berat ketika melaksanakan tugasnya.
2) Turunnya derajat kelompok. Pada bentuk ini, derajat sekelompok individu dan kelompok merupakan satu kesatuan. Contoh: Juventus terdegradasi ke seri B. akibatnya, status sosial tim pun turun.
3. Mobilitas antargenerasi, intragenerasi dan gerak social geografis
a. Mobilitas antargenerasi
Mobilitas antargenerasi secara umum berarti mobilitas dua generasi atau lebih, misalnya generasi ayah-ibu, generasi anak, generasi cucu, dan seterusnya. Mobilitas ini ditandai dengan perkembangan taraf hidup, baik naik atau turun dalam suatu generasi. Penekanannya bukan pada perkembangan keturunan itu sendiri, melainkan pada perpindahan status sosial suatu generasi ke generasi lainnya.
Contoh: Pak Parjo adalah seorang tukang becak. Ia hanya menamatkan pendidikannya hingga sekolah dasar, tetapi ia berhasil mendidik anaknya menjadi seorang pengacara. Contoh ini menunjukkan telah terjadi mobilitas vertikal antargenerasi.
b. Mobilitas intragenerasi
Mobilitas sosial intragenerasi adalah mobilitas yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang dalam satu generasi.
Contoh: Pak Darjo awalnya adalah seorang buruh. Namun, karena ketekunannya dalam bekerja dan mungkin juga keberuntungan, ia kemudian memiliki unit usaha sendiri yang akhirnya semakin besar. Contoh lain, Pak Bagyo memiliki dua orang anak, yang pertama bernama Endra bekerja sebagai tukang becak, dan Anak ke-2, bernama Ricky, yang pada awalnya juga sebagai tukang becak. Namun, Ricky lebih beruntung daripada kakaknya, karena ia dapat mengubah statusnya dari tukang becak menjadi seorang pengusaha. Sementara Endra tetap menjadi tukang becak. Perbedaan status sosial antara Endra dengan adiknya ini juga dapat disebut sebagai mobilitas intragenerasi.
c. Gerak sosial geografis
Gerak sosial ini adalah perpindahan individu atau kelompok dari satu daerah ke daerah lain seperti transmigrasi, urbanisasi, dan migrasi.
C. Faktor yang Memengaruhi Mobilitas Sosial
1. Faktor pendorong mobilitas sosial
a. Perubahan kondisi sosial
Struktur kasta dan kelas dapat berubah dengan sendirinya karena adanya perubahan dari dalam dan dari luar masyarakat. Misalnya, kemajuan teknologi membuka kemungkinan timbulnya mobilitas ke atas. Perubahan ideologi dapat menimbilkan stratifikasi baru.
b. Ekspansi teritorial dan gerak populasi
Ekspansi teritorial dan perpindahan penduduk yang cepat membuktikan cirti fleksibilitas struktur stratifikasi dan mobilitas sosial. Misalnya, perkembangan kota, transmigrasi, bertambah dan berkurangnya penduduk.
c. Komunikasi yang bebas
Situasi-situasi yang membatasi komunikasi antarstrata yang beraneka ragam memperkokoh garis pembatas di antara strata yang ada dalam pertukaran pengetahuan dan pengalaman di antara mereka dan akan mengahalangi mobilitas sosial. Sebaliknya, pendidikan dan komunikasi yang bebas sertea efektif akan memudarkan semua batas garis dari strata sosial uang ada dan merangsang mobilitas sekaligus menerobos rintangan yang menghadang.
d. Pembagian kerja
Besarnya kemungkinan bagi terjadinya mobilitas dipengaruhi oleh tingkat pembagian kerja yang ada. Jika tingkat pembagian kerja tinggi dan sangat dispeliasisasikan, maka mobilitas akan menjadi lemah dan menyulitkan orang bergerak dari satu strata ke strata yang lain karena spesialisasi pekerjaan nmenuntut keterampilan khusus. Kondisi ini memacu anggota masyarakatnya untuk lebih kuat berusaha agar dapat menempati status tersebut.
e. Tingkat Fertilitas (Kelahiran) yang Berbeda
Kelompok masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi dan pendidikan rendah cenderung memiliki tingkat fertilitas yang tinggi. Pada pihak lain, masyarakat kelas sosial yang lebih tinggi cenderung membatasi tingkat reproduksi dan angka kelahiran. Pada saat itu, orang-orang dari tingkat ekonomi dan pendidikan yang lebih rendah mempunyai kesempatan untuk banyak bereproduksi dan memperbaiki kualitas keturunan. Dalam situasi itu, mobilitas sosial dapat terjadi.
f. Kemudahan dalam akses pendidikan
Jika pendidikan berkualitas mudah didapat, tentu mempermudah orang untuk melakukan pergerakan/mobilitas dengan berbekal ilmu yang diperoleh saat menjadi peserta didik. Sebaliknya, kesulitan dalam mengakses pendidikan yang bermutu, menjadikan orang yang tak menjalani pendidikan yang bagus, kesulitan untuk mengubah status, akibat dari kurangnya pengetahuan.
2. Faktor penghambat mobilitas sosial
a. Perbedaan rasial dan agama
Mobilitas sosial dapat terhambat karena faktor ras dan agama. Perbedaan ras menimbulkan perbedaan status sosial.
Misalnya seperti yang terjadi di Afrika Selatan di masa lalu, dimana ras berkulit putih berkuasa dan tidak memberi kesempatan kepada mereka yang berkulit hitam untuk dapat duduk bersama-sama di pemerintahan sebagai penguasa. Sistem ini disebut Apharteid dan dianggap berakhir ketika Nelson Mandela, seorang kulit hitam, terpilih menjadi presiden Afrika Selatan
b. Diskriminasi kelas dalam sistem kelas terbuka
Diskriminasi kelas dalam sistem kelas terbuka dapat menghalangi mobilitas ke atas. Hal itu terbukti dengan adanya pembatasan keanggotaan suatu organisasi tertentudengan berbagai syarat dan ketentuan, misalnya jumlah anggota DPR dibatasi hanya 500 orang.
c. Kemiskinan
Kemiskinan dapat membatasi kesempatan bagi seseorang untuk berkembang dan mencapai suatu sosial tertentu.
Contoh: "A" memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya karena kedua orangtuanya tidak bisa membiayai, sehingga ia tidak memiliki kesempatan untuk meningkatkan status sosialnya.
d. Perbedaan jenis kelamin (gender) dalam masyarakat
Perbedaan jenis kelamin dalam masyarakat juga berpengaruh terhadap prestasi, kekuasaan, status sosial, dan kesempatan-kesempatan untuk meningkatkan status sosialnya.
Contoh: wanita yang hidup di desa yang masih sederhana merasa bahwa perannya hanyalah sebagai ibu rumah tangga. Hal ini dipengaruhi oleh pandangan yang umum ada pada masyarakatnya.
D. Cara Melakukan Mobilitas Sosial dan Salurannya
1. Cara mobilitas sosial
a. Perubahan standar hidup
Kenaikan penghasilan tidak menaikan status secara otomatis, melainkan akan mereflesikan suatu standar hidup yang lebih tinggi. Ini akan memengaruhi peningkatan status.
Contoh: Seorang pegawai rendahan, karena keberhasilan dan prestasinya diberikan kenaikan pangkat menjadi Menejer, sehingga tingkat pendapatannya naik. Status sosialnya di masyarakat tidak dapat dikatakan naik apabila ia tidak mengubah standar hidupnya, misalnya jika dia memutuskan untuk tetap hidup sederhana seperti ketika ia menjadi pegawai rendahan.
b. Pernikahan
Untuk meningkatkan status sosial yang lebih tinggi dapat dilakukan melalui pernikahan.
Contoh: Seseorang wanita yang berasal dari keluarga sangat sederhana menikah dengan laki-laki dari keluarga kaya dan terpandang di masyarakatnya. Perkawinan ini dapat menaikan status si wanita tersebut.
c. Perubahan tempat tinggal
Untuk meningkatkan status sosial, seseorang dapat berpindah tempat tinggal dari tempat tinggal yang lama ke tempat tinggal yang baru. Atau dengan cara merekonstruksi tempat tinggalnya yang lama menjadi lebih megah, indah, dan mewah. Secara otomatis, seseorang yang memiliki tempat tinggal mewah akan disebut sebagai orang kaya oleh masyarakat, hal ini menunjukkan terjadinya gerak sosial ke atas.
d. Perubahan tingkah laku
Untuk mendapatkan status sosial yang tinggi, orang berusaha menaikkan status sosialnya dan mempraktekkan bentuk-bentuk tingkah laku kelas yang lebih tinggi yang diaspirasikan sebagai kelasnya. Bukan hanya tingkah laku, tetapi juga pakaian, ucapan, minat, dan sebagainya. Dia merasa dituntut untuk mengkaitkan diri dengan kelas yang diinginkannya.
Contoh: agar penampilannya meyakinkan dan dianggap sebagai orang dari golongan lapisan kelas atas, ia selalu mengenakan pakaian yang bagus-bagus. Jika bertemu dengan kelompoknya, dia berbicara dengan menyelipkan istilah-istilah asing.
e. Perubahan nama
Dalam suatu masyarakat, sebuah nama diidentifikasikan pada posisi sosial tertentu. Gerak ke atas dapat dilaksanakan dengan mengubah nama yang menunjukkan posisi sosial yang lebih tinggi.
Contoh: Di kalangan masyarakat feodal Jawa, seseorang yang memiliki status sebagai orang kebanyakan mendapat sebutan "kang" di depan nama aslinya. Setelah diangkat sebagai pengawas pamong praja sebutan dan namanya berubah sesau dengan kedudukannya yang baru seperti "Raden"
f. Bergabung (berafiliasi) dengan asosiasi tertentu
Seseorang dapat meningkatkan statusnya dengan melibatkan diri pada salah satu organisasi tertentu.
Contoh: orang-orang yang tidak berpendidikan dapat menjadi anggota ormas tertentu. Setelah bergabung dengan ormas, ia menyadari potensi dalam dirinya. Akhirnya, dia diangkat menjadi ketua di organisasi itu dan menjadi popular di masyarakat. Dengan demikian, status sosialnya telah berubah.
2. Saluran mobilitas sosial
Dalam gerak sosial, terutama gerak social ke atas, menurut Pitrim A. Sorokin (1960), terdapat saluran-saluran tertentu di dalam masyarakat. Proses gerak sosial vertikal melalui saluran-saluran tersebut disebut social circulation (sirkulasi social). Saluran-saluran tersebut adalah sebagai berikut:
a. Angkatan bersenjata
Angkatan bersenjata merupakan organisasi yang dapat digunakan untuk saluran mobilitas vertikal ke atas melalui tahapan yang disebut kenaikan pangkat. Misalnya, seorang prajurit yang berjasa pada negara karena menyelamatkan negara dari pemberontakan, ia akan mendapatkan penghargaan dari masyarakat. Dia mungkin dapat diberikanpangkat/kedudukan yang lebih tinggi, walaupun berasal dari golongan masyarakat rendah.
b. Lembaga-lembaga keagamaan
Lembaga-lembaga keagamaan dapat mengangkat status sosial seseorang, misalnya yang berjasa dalam perkembangan Agama seperti ustad, pendeta, biksu dan lain lain.
c. Lembaga pendidikan
Lembaga-lembaga pendidikan pada umumnya merupakan saluran yang konkret dari mobilitas vertikal ke atas, bahkan dianggap sebagai social elevator (perangkat) yang bergerak dari kedudukan yang rendah ke kedudukan yang lebih tinggi. Pendidikan memberikan kesempatan pada setiap orang untuk mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi.
Contoh: Seorang anak dari keluarga miskin mengenyam sekolah sampai jenjang yang tinggi. Setelah lulus ia memiliki pengetahuan dagangdan menggunakan pengetahuannya itu untuk berusaha, sehingga ia berhasil menjadi pedagang yang kaya, yang secara otomatis telah meningkatkan status sosialnya.
d. Organisasi politik
Seperti angkatan bersenjata, organisasi politik memungkinkan anggotanya yang loyal dan berdedikasi tinggi untuk menempati jabatan yang lebih tinggi, sehingga status sosialnya meningkat.
e. Organisasi ekonomi
Organisasi ekonomi (seperti perusahaan, koperasi, BUMN dan lain-lain) dapat meningkatkan tingkat pendapatan seseorang. Semakin besar prestasinya, maka semakin besar jabatannya. Karena jabatannya tinggi akibatnya pendapatannya bertambah. Karena pendapatannya bertambah akibatnya kekayaannya bertambah. Dan karena kekayaannya bertambah akibatnya status sosialnya di masyarakat meningkat.
f. Organisasi keahlian
Organisasi keahlian merupakan wadah bagi mereka yang memiliki keahlian tertentu. Melalui organisasi keahlian, orang dapat menjadi terkenal dan menduduki lapisan atas di masyarakat lingkungannya.
g. Pernikahan
Sebuah pernikahan dapat menaikkan status seseorang. Seorang yang menikah dengan orang yang memiliki status terpandang akan dihormati karena pengaruh pasangannya.
E. Masyarakat Desa dan Masyarakat Kota
Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antarentitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.
Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta system atau aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan kemaslahatan.
Masyarakat sering diorganisasikan berdasarkan cara utamanya dalam bermata pencaharian. Pakar ilmu sosial mengidentifikasikan ada: masyarakat pemburu, masyarakat pastoral nomadis, masyarakat bercocoktanam, dan masyarakat agrikultural intensif, yang juga disebut masyarakat peradaban. Sebagian pakar menganggap masyarakat industri dan pasca-industri sebagai kelompok masyarakat yang terpisah dari masyarakat agrikultural tradisional.
Masyarakat dapat pula diorganisasikan berdasarkan struktur politiknya: berdasarkan urutan kompleksitas dan besar, terdapat masyarakat band, suku, chiefdom, dan masyarakat negara.
Kata society berasal dari bahasa latin, societas, yang berarti hubungan persahabatan dengan yang lain. Societas diturunkan dari kata socius yang berarti teman, sehingga arti society berhubungan erat dengan kata sosial. Secara implisit, kata society mengandung makna bahwa setiap anggotanya mempunyai perhatian dan kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan bersama.
1. Masyarakat desa
Warga pedesaan, suatu masyarakat mempunyai hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam ketimbang hubungan mereka dengan warga masyarakat lainnya. Sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar sistem kekeluargaan. Penduduk masyarakat pedesaan pada umumnya hidup dari pertanian. Walaupun terlihat adanya tukang kayu, tukang genteng dan bata, tukang membuat gula, dan bahkan tukang catut, inti pekerjaan penduduk adalah pertanian. Pekerjaan-pekerjaan di samping pertanian hanya pekerjaan sambilan saja karena bila tiba masa panen atau masa menanam padi, pekerjaan-pekerjaan sambilan tadi ditinggalkan. Namun demikian, tidaklah berarti setiap orang mempunyai tanah. Suatu contoh adalah 480 jiwa setiap kilometer persegi dan bahkan ada tempat-tempat di mana kepadatan penduduk mencapai 800 jiwa setiap satu kilometer persegi. Mengingat hal itu semuanya, di pulau Jawa dikenal adanya empat macam system pemilikan tanah, yaitu:
a. Sistem milik umum atau milik komunal dengan pemakaian beralih-alih;
b. Sistem milik komunal dengan pemakaian bergilir;
c. Sistem komunal dengan pemakaian tetap;
d. Sistem milik individu.
Di luar Jawa, misalnya di Sumatera, di samping pertanian penduduk pedesaan juga berkebun lada, karet, kelapa sawit, dan sebagainya. Pada umumnya penduduk pedesaan di Indonesia ini, apabila ditinjau dari segi kehidupan, sangat terikat dan sangat tergantung dari tanah (earth-bound). Karena sama-sama tergantung pada tanah, kepentingan pokok juga sama sehingga mereka juga akan bekerja sama untuk mencapai kepentingan-kepentingannya. Misalnya pada musim pembukaan tanah atau pada waktu menanam tiba, mereka akan bersama-sama mengerjakannya. Hal itu dilakukan karena biasanya satu keluarga saja tak akan cukup memiliki tenaga kerja untuk mengerjakan tanahnya. Sebagai akibat kerja sama tadi, timbullah lembaga kemasyarakatan yang dikenal dengan nama gotong-royong, yang bukan merupakan lembaga yang sengaja dibuat. Oleh sebab itu, pada masyarakat-masyarakat pedesaan tidak akan dijumpai pembagian kerja berdasarkan keahlian, tetapi biasanya pembagian kerja didasarkan pada usia, mengingat kemampuan fisik masing-masing dan juga atas dasar pembedaan kelamin.
Cara bertani sangat tradisional dan tidak efisien karena belum dikenalnya mekanisasi dalam pertanian. Biasanya mereka bertani semata-mata untuk mencukupi kehidupannya sendiri dan tidak untuk dijual. Cara bertani yang demikian lazim dinamakan subsistence farming. Mereka merasa puas apabila kebutuhan keluarga telah tecukupi.
Golongan orang-orang tua pada masyarakat pedesaan umumnya memegang peranan penting. Orang akan selalu meminta nasihat kepada mereka apabila ada kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Kesukarannya adalah golongan orang-orang tua itu mempunyai pandangan yang didasarkan pada tradisi yang kuat sehingga sukar untuk mengadakan perubahan-perubahan yang nyata. Pengendalian sosial masyarakat terasa sangat kuat sehingga perkembangan jiwa individu sangat sukar untuk dilaksanakan. Itulah sebabnya mengapa sulit sekali mengubah jalan pikiran yang sosial ke arah jalan pikiran yang ekonomis, yang juga disebabkan karena kurangnya alat-alat komunikasi. Salah satu alat komunikasi yang berkembang adalah desas-desus, biasanya bersifat negatif. Sebagai akibat sistem komunikasi yang sederhana tadi, hubungan antara seseorang dengan orang lain dapat diatur dengan saksama. Rasa persatuan erat sekali, yang kemudian menimbulkan saling mengenal dan saling menolong yang akrab.
Apabila ditinjau dari sudut pemerintahan, hubungan antara penguasa dengan rakyat berlangsung secara tidak resmi. Segala sesuatu dijalankan atas dasar musyawarah. Di samping itu, karena tidak adanya pembagian kerja yang tegas, seorang penguasa sekaligus mempunyai beberapa kedudukan dan peranan yang sama sekali tidak dapat dipisah-pisahkan atau paling tidak sukar untuk dibeda-bedakan. Apalagi di desa yang terpencil, sukar sekali untuk memisahkan antara kedudukan dengan peranan seorang kepala desa sebagai orang tua yang nasihat-nasihatnya patut dijadikan pegangan, sebagai seorang pemimpin upacara adat dan lain sebagainya. Pendeknya segala sesuatu disentralisasikan pada diri kepala desa tersebut.
2. Masyarakat kota
Masyarakat perkotaan atau urban community adalah masyarakat kota yang tidak tertentu jumlah penduduknya. Tekanan pengertian “kota”, terletak pada sifat serta ciri kehidupan yang berbeda dengan masyarakat pedesaan.
Antara warga masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan terdapat perbedaan dalam perhatian, khususnya terhadap keperluan hidup. Di desa yang diutamakan adalah perhatian khusus terhadap keperluan utama kehidupan, hubungan-hubungan untuk memerhatikan fungsi pakaian, makanan, rumah, dan sebagainya. Hal ini berbeda dengan orang kota yang mempunyai pandangan berbeda. Orang kota sudah memandang penggunaan kebutuhan hidup, sehubungan dengan masyarakat sekitarnya. Kalau menghidangkan makanan misalnya, yang diutamakan adalah makanan yang dihidangkan tersebut memberikan kesan bahwa yang menghidangkannya mempunyai kedudukan social yang tinggi. Pada orang-orang desa, hal itu tidak dipedulikan. Mereka masak makanan sendiri tanpa mempedulikan apakah tamunya suka atau tidak. Bagi orang kota, makanan yang dihidangkan harus kelihatan mewah dan tempat menghidangkannya juga harus mewah dan terhormat. Di sini terlihat perbedaan penilaian, orang desa menilai makanan sebagai suatu alat untuk memenuhi kebutuhan biologis, sedangkan pada orang kota, makan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan sosial.
Demikian pula soal pakaian bagi orang desa, bentuk dan warma pakaian tidak menjadi soal karena yang terpenting adalah fungsi pakaian yang dapat melindungi diri dari panas dan dingin. Bagi orang kota, nilai pakaian adalah alat kebutuhan social. Mahalnya bahan pakaian yang dipakai merupakan perwujudan dari kedudukan social si pemakai. Ada beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat kota, yaitu sebagai berikut:
a. Kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan agama di desa. Ini disebabkan cara berpikir yang rasional, yang didasarkan pada perhitungan eksak yang berhubungan dengan realita masyarakat. Memang di kota-kota, orang juga beragama, tetapi pada umumnya pusat kegiatan hanya tampak di tempat-tempat ibadah seperti masjid, gereja, dan lain-lain. Di luar itu, kehidupan masyarakat berada dalam lingkungan ekonomi, perdagangan, dan sebagainya. Cara kehidupan demikian mempunyai kecenderungan ke arah keduniawian (secular trend), dibandingkan dengan kehidupan warga desa yang cenderung ke arah agama (religious trend).
b. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. Hal yang penting di sini adalah manusia perseorangan atau individu. Di desa orang lebih mementingkan kelompok atau keluarga. Di kota, kehidpan keluarga sering sukar untuk disatukan karena perbedaan kepentingan, paham politik, agama, dan seterusnya. Di kota, para individu kurang berani untuk seorang diri menghadapi orang-orang lain dengan latar belakang pendidikan dan kepentingan yang berbeda, serta perbedaan lainnya. Jelas terlihat bahwa kebebasan yang diberikan kepada individu tak dapat memberikan kebebasan yang sebenarnya kepada yang bersangkutan.
c. Pembagian kerja di antara warga kota juga lebih tegas dan punya batas-batas nyata. Di kota, terdapat orang-orang dengan aneka warna latar belakang sosial dan pendidikan yang menyebabkan individu memperdalami suatu bidang kehidupan khusus. Ini melahirkan suatu gejala bahwa warga kota tak mungkin hidup sendirian secara individualistis. Pasti akan dihadapinya persoalan-persoalan hidup yang berada di luar jangkauan kemampuan sendiri. Gejala demikian menimbulkan kelompok-kelompok kecil (small group) yang didasarkan pada pekerjaan, keahlian dan kedudukan sosial yang sama. Semuanya dalam batas-batas tertentu membentuk pembatasan-pembatasan di dalam pergaulan hidup. Misalnya seorang guru SLTA lebih banyak bergaul dari rekannya sesame guru pula, daripada dengan padagang kelontong. Seorang sarjana ekonomi akan lebih banya bergaul dengan rekannya dengan latar belakang pendidikan yang sama ketimbang dengan sarjana-sarjana ilmu sejarah. Bahkan dalam lingkungan yang lebih sempit, mahasiswa tingkat II akan lebih banyak mengadakan hubungan dengan rekan yang setingkat daripada dengan mahasiswa tingkat lain, walaupun mereka semua berasal dari satu fakultas yang sama.
d. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan, juga lebih banyak diperoleh warga kota daripada warga desa karena sistem pembagian kerja yang tegas tersebut di atas.
e. Jalan pikiran rasional yang pada umumnya dianut masyarakat perkotaan, menyebabkan interaksi-interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada faktor kepentingan daripada faktor pribadi.
f. Jalan kehidupan yang cepat di kota mengakibatkan pentingnya faktor waktu, sehingga pembagian waktu yang teliti sangat penting untuk dapat mengejar kebutuhan-kebutuhan seorang individu.
g. Perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota karena kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh luar. Hal ini sering menimbulkan pertentangan antara golongan tua dengan golongan muda karena golongan muda yang belum sepenuhnya terwujud kepribadiannya, lebih senang mengikuti pola-pola baru dalam kehidupan.
F. Karakteristik Mobilitas Sosial Masyarakat Desa dan Masyarakat Kota
1. Karakteristik Sosial Masyarakat Desa
a. Mobilitas sosial bisa saja tidak dapat terjadi karena terdapat sistem kelas sosial yang tertutup, seperti penggunaan kasta.
b. Mobilitas sosial berjalan lambat karena saluran mobilitas sosial terbatas.
c. Pada masyarakat pedesaan terdapat lebih banyak faktor-faktor yang menghambat mobilitas sosial, misalnya saja masih terdapat pembedaan jenis kelamin (gender).
d. Mobilitas sosial pada masyarakat desa lebih sulit terjadi karena masyarakat desa cenderung tidak mau menerima sesuatu yang baru, sehingga pengetahuan masyarakat cenderung tidak berkembang.
e. Pada masyarakat desa, yang terpenting bagi mereka adalah melakukan segala sesuatu sesuai dengan adat atau tradisi. Mereka tidak ingin melakukan inovasi ataupun perubahan, sehingga hampir tidak ada mobilisasi.
f. Dengan adanya sistem kasta pada masyarakat desa, maka tertutuplah peluang bagi masyarakat kelas rendah untuk melakukan mobilisasi dari saluran manapun.
2. Karakteristik Sosial Masyarakat Kota
a. Pada masyarakat kota tidak terdapat kelas sosial yang tertutup, sehingga setiap orang dapat dengan bebas melakukan mobilitas sosial.
b. Saluran mobilitas sosial di kota sangat banyak, sehingga memungkinkan setiap penduduknya selalu melakukan mobilitas sosial dari berbagai saluran.
c. Mobilitas sosial pada masyarakat kota berlangsung sangat cepat, hal ini disebabkan karena banyaknya saluran yang tersedia serta keinginan dari masing-masing individu yang ingin maju.
d. Faktor penghambat mobilitas sosial yang ditemui pada masyarakat kota lebih sedikit jika dibandingkan dengan faktor pendorong mobilitas sosial.
e. Penduduk kota selalu bersifat terbuka terhadap sesuatu hal yang baru, sehingga penduduk kota memiliki kesempatan yang lebih besar dalam melakukan mobilitas sosial.
f. Masyarakat kota selalu bahkan senang melakukan inovasi, sehingga selalu terjadi mobilisasi pada masyarakat kota.
g. Dengan tidak adanya sistem kasta pada masyarakat kota, maka tidak tertutup segala kemungkinan untuk melakukan mobilisasi.
Hubungan Kegiatan Mobilisasi Masyarakat dengan Pertolongan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan dalam Wilayah Kerja Puskesmas di Propinsi Banten dengan Memperhatikan Variasi Geografi Puskesmas
1. Pendahuluan
Angka Kematian Ibu di Indonesia berdasarkan SDKI 2007 adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup masih yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Dengan jumlah ibu hamil 5.191.116 pada tahun 2010 maka jumlah kematian ibu diperkirakan 11.534 kematian (26,59). Hasil Study Impac di Kabupaten Serang dan Pandeglang pada tahun 2005 diperkirakan Angka Kematian Ibu di propinsi Banten sebesar 421 per 100.000 kelahiran hidup (49).
Menurut hasil penelitian dari 97 negara didapatkan korelasi yang signifikan antara pertolongan persalinan dengan kematian ibu. Semakin tinggi cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan terampil di suatu wilayah akan diikuti dengan penurunan kematian ibu di wilayah tersebut (41). WHO, UNFPA, UNICEF dan Bank Dunia membuat pernyataan bersama yang meminta negara “menjamin semua wanita dan bayi baru lahir mendapatkan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan terampil selama masa kehamilan, persalinan dan nifas”. Pelayanan kesehatan yang berkualitas oleh tenaga kesehatan terampil sangat diperlukan untuk memastikan ibu lahir selamat dan bayi sehat. Meningkatkan proporsi pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terampil yang dilaksanakan dalam sistem kesehatan dianggap sebagai strategi intervensi yang sangat penting dan banyak dianjurkan oleh badan-badan internasional (55).
Beberapa wilayah di Indonesia masih banyak pertolongan persalinan dilakukan oleh dukun bayi yang masih menggunakan cara-cara tradisional yang merugikan dan membahayakan keselamatan ibu dan bayi baru lahir. Persentase pelayanan persalinan oleh tenaga kesehatan berdasarkan Riskesdas tahun 2010 sudah mencapai 82% namun untuk propinsi Banten baru mencapai 70% dimana masih ada 30% ibu hamil yang persalinannya tidak ditolong oleh tenaga kesehatan (37).
Banyak faktor yang menyebabkan pertolongan persalinan tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan diantaranya adalah aksesibilitas/keterjangkauan fasilitas pelayanan kesehatan terutama di pedesaan, peran serta masyarakat untuk terlibat aktif dalam meningkatkan derajat kesehatannya serta dukungan pembiayaan baik untuk kegiatan penggerakan masyarakat maupun untuk pelayanan kesehatan itu sendiri. Faktor tersebut mempunyai pengaruh yang berbeda-beda bagi setiap wilayah sesuai dengan kondisi dan karekteristik geografi dari wilayah itu sendiri (28).
Studi ini bertujuan untuk menilai pengaruh kegiatan mobilisasi masyarakat di tingkat desa terhadap cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dalam suatu wilayah kerja puskesmas di propinsi Banten dengan mempertimbangkan variasi geografis Puskesmas. Setiap wilayah kerja Puskesmas mempunyai karakteristik yang berbeda, sesuai dengan budaya, sosio-ekonomi dan letak geografis yang berpengaruh terhadap kegiatan mobilisasi masyarakat. Kegiatan mobilisasi masyarakat dieksplorasi dengan memperhatikan juga faktor lain yang berpengaruh terhadap pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan seperti variasi geografis Puskesmas, ketersediaan pelayanan kesehatan dan pembiayaan kegiatan KIA di tingkat desa.
2. Metodologi
Studi ini merupakan studi ekologi dan data yang digunakan adalah data sekunder hasil survey pemetaan desa (Village Mapping/VM) dan sarana pelayanan kesehatan Puskesmas (Service Availability Mapping/SAM) GAVI-HSS tahun 2010. Sampel pada studi ini adalah seluruh Desa/Kelurahan dan Puskesmas yang ada di Propinsi Banten pada tahun 2010. Sebanyak 4.686 orang menjadi responden yang terdiri dari 1.532 responden Kepala/Sekretaris Desa/Kelurahan, 1.532 ketua PKK/koordinator kader Posyandu, 1.414 Bidan desa dan 208 Kepala Puskesmas/Pengelola program KIA/Imunisasi.
Data kegiatan mobilisasi masyarakat di tingkat desa diperoleh berdasarkan pertanyaan kusioner kepada 1.532 responden Kepala/Sekretaris Desa/Kelurahan dan 1.532 responden Ketua PKK/Koordinator Kader Posyandu. Data ketersediaan pembiayaan untuk kegiatan KIA di tingkat desa diperoleh berdasarkan pertanyaan kuesioner kepada 1.532 Responden Kepala/Sekretaris Desa, 1.532 responden Ketua PKK/Koordinator Kader Posyandu dan 1.414 responden Bidan desa. Sedangkan data ketersediaan pelayanan pertolongan persalinan di tingkat desa diperoleh berdasarkan pertanyaan kuesioner kepada 1.532 Responden Kepala/Sekretaris Desa dan 208 responden kepala Puskesmas/Pengelola program KIA/Imunisasi. Untuk data persentase pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dan variasi geografis Puskesmas (jarak, waktu tempuh dan biaya transportasi ke desa terjauh) diperoleh berdasarkan pertanyaan kepada 208 responden Kepala Puskesmas/Pengelola program KIA/Imunisasi di Puskesmas.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik statistik deskriptif, analisis bivariat menggunakan persamaan regresi linear dan analisis multivariat menggunakan persamaan regresi global (ordinary least square/OLS) dan Geographically Weighted Regression (GWR) dengan diperkuat uji signifikansi terhadap nilai statistiknya. Analisis deskriptif untuk melihat distribusi kegiatan mobilisasi masyarakat, ketersediaan pelayanan kesehatan dan pembiayaan kesehatan di tingkat desa serta sebaran wilayah geografi Puskesmas.
Analisis bivariat menggunakan persamaan regresi linear untuk menilai hubungan antara variabel independen dan variabel dependen. Nilai koefisien beta digunakan untuk menunjukkan kekuatan hubungan dengan interval keyakinan 95%. Regresi linier ganda (Ordinary Least Square/OLS) digunakan untuk menemukan pengaruh variabel lainnya terhadap variabel kegiatan mobilisasi masyarakat dan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di suatu wilayah kerja Puskesmas di Propinsi Banten. Hanya variabel yang memiliki nilai p < 0,25 dalam uji pearson-correlation yang digunakan dalam analisis regresi linier ganda. Geographically Wieghted Regression (GWR) digunakan untuk melihat pengaruh geografis masing-masing wilayah kerja Puskesmas terhadap pola hubungan antara kegiatan mobilisasi masyarakat dengan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan. Variabel yang dimasukkan adalah variabel yang digunakan dalam persamaan regresi linier ganda (OLS) di atas. Peningkatan nilai R-square dan penurunan nilai AIC (Akaike’s Information Criterion) menunjukkan adanya pengaruh geografis di masing-masing wilayah kerja Puskesmas atau dapat dikatakan persamaan hasil analisis GWR lebih baik dari persamaan regrsi global (OLS). Analisis OLS dan GWR menggunakan Software analisis pemetaan. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Distribusi Pertolongan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan dan Kegiatan Mobilisasi Masyrakat dalam Wilayah Kerja Puskesmas di Propinsi Banten Tabel di atas menunjukkan bahwa persentase pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terendah adalah 10.42% di Puskesmas Cinangka yang terletak di Kabupaten Serang. Sedangkan nilai rata-rata persentase pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dalam wilayah kerja Puskesmas di propinsi Banten adalah 73.51%. Hasil ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2010 dimana pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di Propinsi Banten hanya sebesar 70.4% (17). Data pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan pada penelitian ini diperoleh dari data sekunder laporan Puskesmas sehingga kemungkinan terjadinya bias sangat besar. Tidak seluruh persalinan terdata oleh Puskesmas terutama persalinan yang terjadi di rumah. Selain itu juga adanya unsur subyektifitas dari petugas Puskesmas terhadap laporan yang dibuat. Kedua hal tersebut dapat memberikan angka persentase pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang lebih tinggi dari yang sebenarnya. Dari hasil pemetaan persentase pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dapat dilihat bahwa persentase pertolongan persalinan lebih dari 75% ada di wilayah Banten bagian Utara, utamanya di Kota Tangerang dan wilayah di sekitarnya. Sementara persalinan dengan nilai kurang dari 75% sebagian besar ada di wilayah Banten bagian selatan dan beberapa wilayah di bagian Barat. Distribusi sebaran Puskesmas paling banyak ada di wilayah Banten bagian Utara – Timur. Secara diskriptif dapat disimpulkan bahwa persentase persalinan lebih dari 75% terdapat di wilayah dengan kerapatan Puskesmas paling tinggi yaitu di wilayah Banten bagian Utara yang didominasi oleh wilayah perkotan. Kegiatan mobilisasi masyarakat dihitung berdasarkan pelaksanaan kelima jenis kegiatan yang telah diidentifikasi yaitu kepemilikan buku KIA oleh seluruh ibu hamil di desa, pendataan ibu hamil oleh kader, keaktifan seluruh Posyandu di desa, program Dasolin dan ketersediaan ambulan desa. Tidak dilaksanakannya salah satu kegiatan tersebut maka kegiatan lainnya yang dilaksanakan tidak akan berpengaruh terhadap pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan disuatu wilayah kerja Puskesmas. Pemilihan kelima variabel tersebut sebagai parameter kegiatan mobilisasi masyarakat yang berpengaruh terhadap pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan didasarkan pada model perilaku teori Andersen yaitu tentang pencarian pelayanan pertolongan persalinan oleh individu (1). Melalui kegiatan pemberian buku KIA untuk ibu hamil, pendataan ibu hamil oleh kader dan Posyandu aktif diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang proses kehamilan dan persalinan yang aman. Kegiatan Dasolin dan ambulan desa merupakan salah satu bentuk dukungan masyarakat agar ibu hamil mendapatkan pertolongan persalinan yang aman oleh tenaga kesehatan. Kegiatan Dasolin dapat meringankan pembiayaan bagi ibu yang akan bersalin. Sedangkan ambulan desa merupakan bentuk dukungan penyediaan transportasi yang akan memudahkan ibu hamil untuk menjangkau pelayanan pertolongan persalinan. Berdasarkan tabel di atas, masih ada Puskesmas yaitu sebanyak 80 Puskesmas dimana tidak ada satupun desa di wilayah kerjanya yang melaksanakan seluruh kegiatan mobilisasi. Puskesmas tersebut sebagian besar ada di Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang. Nilai rata-rata persentase desa dalam wilayah kerja Puskesmas yang melaksanakan seluruh kegiatan mobilisasi masyarakat adalah 21.33%. Hasil pemetaan kegiatan mobilisasi masyarakat menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah di Propinsi Banten, persentase desa yang melaksanakan kegiatan mobilisasi masyarakat dalam wilayah kerja Puskesmas sebagian besar dibawah 20%. Kondisi tersebut terjadi hampir merata di seluruh wilayah Banten dan terjadi di seluruh wilayah kerja Puskesmas di Kabupaten Lebak. Gambaran distribusi gradasi warna kegiatan mobilisasi masyarakat juga tidak mengikuti pola sebaran kerapatan Puskesmas. Persentase desa yang melaksanakan kegiatan mobilisasi masyarakat dalam wilayah kerja Puskesmas di wilayah dengan kerapatan Puskesmas tinggi bervariasi. Hal sebaliknya terjadi untuk daerah dengan kerapatan Puskesmas rendah atau jarang dimana hampir seluruhnya menggambarkan persentase yang rendah untuk desa yang melaksanakan kegiatan mobilisasi masyarakat dalam wilayah kerja Puskesmas. 3.2. Hubungan Mobilisasi Masyarakat dengan Persalinan oleh tenaga kesehatan Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov, sebagai prasyarat untuk melakukan analisis regresi linier, dihasilkan variabel dependen yang berdistribusi normal. Tabel dibawah menunjukkan adanya hubungan yang positif antara kegiatan mobilisasi masyarakat dengan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, diperoleh nilai koefisien B kegiatan mobilisasi masyarakat sebesar 0.106 dengan p-value 0.026 (p < 0.05). Hubungan kegiatan mobilisasi masyarakat terhadap persalinan oleh tenaga kesehatan sangat lemah dimana diperoleh nilai r sebesar 15.5%. Kontribusi kegiatan mobilisasi masyarakat di tingkat desa terhadap pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan hanya 2.4%, artinya 97.6% persalinan oleh tenaga kesehatan tidak dapat dijelaskan hubungannya dengan kegiatan mobilisasi masyarakat. Lemahnya hubungan antara kegiatan mobilisasi masyarakat dengan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan pada penelitian ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain adanya bias seleksi data pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dan bias informasi data kegiatan mobilisasi masyarakat. Bias informasi yang terjadi disini adalah kemungkinan terjadinya overestimasi persepsi responden dan adanya unsur subyektifitas responden dalam menjawab pertanyaan kuesioner terkait dengan berbagai kegiatan mobilisasi masyarakat yang dilaksanakan di desa. 3.3. Analisis Multivariat (Ordinary Least Suquare/OLS) Pertolongan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan dalam Wilayah Kerja Puskesmas Berdasarkan teori model perilaku Andersen, keputusan ibu hamil untuk memilih tenaga kesehatan dalam membantu proses persalinannya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang relevan. Faktor-faktor tersebut adalah faktor predisposing, faktor pendukung, kebutuhan untuk perawatan kesehatan dan kepuasan terhadap pelayanan kesehatan (1). Dalam penelitian ini, tidak seluruh faktor tersebut dapat dinilai mengingat keterbatasan data yang dikumpulkan. Penelitian ini, lebih menekankan penilaian terhadap faktor-faktor pendukung yang dapat berpengaruh terhadap pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan seperti dukungan masyarakat melalui kegiatan mobilisasi masyarakat, ketersediaan pelayanan pertolongan persalinan dan ketersediaan pembiayaan kegiatan KIA di tingkat desa serta faktor geografis seperti kategori wilayah perkotaan, jarak tempuh, waktu tempuh dan biaya transport dari Puskesmas ke desa terjauh. Dari analisis bivariat, hanya variabel ketersediaan pelayanan pertolongan persalinan di tingkat desa yang tidak ada hubungannya dengan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan. Hal ini ditandai dengan nilai R-square yang kecil (0.4%) dan p-value > 0.25% (0.37%). Sehingga variabel kertersediaan pelayanan pertolongan persalinan tidak dilibatkan dalam analisis multivariat. Variabel yang diteliti dalam analisis multivariate adalah kegiatan mobilisasi masyarakat, alokasi anggaran desa untuk kegiatan KIA, kategori wilayah kerja Puskesmas dengan tipe perkotaan serta waktu tempuh, jarak tempuh dan biaya transportasi Puskesmas ke desa terjauh.
Hasil akhir dari analisis multivariat diperoleh koefisien B kegiatan mobilisasi masyarakat 0.067 dan R-Squared sebesar 27.2% dengan Akaike’s Information Criterion (AIC) sebesar 1722.99. Nilai R-square sebesar 27.2% artinya lebih dari 70% faktor-faktor yang mempengaruhi pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan tidak dapat dijelaskan dari variabel-variabel dalam analisis multivariat tersebut. Uji Moran’s Index untuk melihat apakah residu dari hasil model regresi tersebut mengalami spasial autocorrelation. Hasilnya, diperoleh nilai z score 1.84 secara statistik tidak bermakna (p > 0.05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi spasial autocorrelation disini.
Rendahnya nilai R-square yang diperoleh tersebut dapat diakibatkan dari bias informasi dan bias seleksi yang terjadi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Selain itu, rendahnya nilai R-square juga dapat dijelaskan sebagai akibat dari faktor-faktor yang dinilai dalam penelitian ini memang bukan sebagai faktor yang mempunyai pengaruh sangat kuat terhadap pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan. Berdasarkan teori perubahan perilaku Andersen, ada beberapa faktor yang tidak dinilai dalam penelitian ini. Seperti faktor pendidikan ibu dan suami, status ekonomi, jumlah anak, usia dan pemahaman terhadap persalinan aman serta kepuasan terhadap pelayanan kesehatan yang pernah diterima merupakan faktor prediktor yang sangat berpengaruh terhadap keputusan ibu hamil untuk bersalin ditolong oleh tenaga kesehatan.
5.4. Geographically Weighted Regression (GWR)
Untuk melihat adanya pengaruh variasi geografis/heterogenitas spasial dilakukan analisis regresi data spasial menggunakan Geographically Weighted Regression (GWR). Perbedaan wilayah geografis akan berdampak pada perbedaan sistem pemerintahan, tingkat pendapatan, gaya hidup dan adat istiadat antara daerah yang satu dengan daerah lainnya maupun perbedaan bentuk luas wilayah kerja Puskesmas itu sendiri. Penggunaan metode GWR adalah menentukan model regresi untuk masing-masing titik lokasi sehingga model-model regresi yang diperoleh akan bersifat unik, yaitu model regresi untuk titik yang satu berbeda dengan titik-titik lainnya (16).
Variabel yang dimasukkan dalam analisis GWR adalah lima variabel prediktor yang dihasilkan dari analisis multivariatdenganpersamaan regresi global. Hasil analisis GWR diperoleh peningkatan nilai R-square yang signifikan dari 27.2% pada persamaan regresi linear global (Ordinary Least Square/OLS) menjadi 46.29% (R-square meningkat > 10%) dengan bandwith optimum sebesar 0.25279. Juga terjadi penurunan nilai AIC dari 1722.99 pada analisis OLS menjadi 1709.22 pada analisis GWR (turun 13.77). Uji Moran’s Index untuk melihat apakah residu dari hasil analisis GWR tersebut mengalami spasial autocorrelation diperoleh nilai z score 0.05 secara statistik tidak bermakna (p > 0.05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa residual terdistribusi secara acak atau tidak terjadi spasial autocorrelation disini.
Berdasarkan hasil analisis GWR tersebut menunjukkan bahwa variasi geografis sangat berpengaruh terhadap pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan. Sesuai dengan teori bahwa wilayah geografis memberikan dampak adanya perbedaan adat istiadat atau kebiasaan masyarakat, tingkat pendidikan masyarakat khususnya pendidikan ibu, status ekonomi serta sistem pemerintahan termasuk sistem pengelolaan program Puskesmas.
Secara umum besarnya parameter yang dihasilkan model GWR berbeda-beda nilainya disetiap wilayah kerja Puskesmas. Gambar di bawah menunjukan besarnya pengaruh variabel mobilisasi masyarakat terhadap pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di setiap wilayah kerja Puskesmas. Kegiatan mobilisasi masyarakat memiliki pengaruh terhadap pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terutama di wilayah kerja Puskesmas di Kabupaten Lebak bagian selatan dan Pandeglang bagian tengah. Koefisien dengan nilai > 0.25 terdapat di wilayah Lebak bagian selatan dan Pandeglang bagian tengah.
Kegiatan mobilisasi masyarakat tidak berpengaruh terhadap pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terutama di bagian utara Banten yang mayoritas merupakan wilayah kota. Hal ini terjadi karena sebagian besar perkotaan, karakteristik masyarakatnya bersifat individual sehingga kegiatan mobilisasi masyarakat kemungkinan tidak menarik minat dan memberikan dampak terhadap pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan.Banyaknya Puskesmas dalam suatu wilayah Kabupaten/Kota, tidak menjamin pelaksanaan kegiatan mobilisasi masyarakat di tingkat desa. Hal ini ditandai dengan rendahnya koefisien mobilisasi masyarakat pada daerah dengan tingkat kerapatan Puskesmas yang tinggi.
4. Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan hasil penelitian ini adalah:
Masih banyak desa dalam wilayah kerja Puskesmas tidak menjalankan seluruh kegiatan mobilisasi masyarakat yang direkomendasikan oleh program dalam rangka peningkatan persalinan oleh tenaga kesehatan. Kegiatan mobilisasi masyarakat tersebut adalah pendataan ibu hamil oleh kader, kepemilikan buku KIA oleh seluruh ibu hamil, keaktifan seluruh Posyandu, ambulan desa dan program pembiayaan dana sosial bersalin (Dasolin).
Terdapat korelasi yang bervariasi antara kegiatan mobilisasi masyarakat di tingkat desa dengan persalinan oleh tenaga kesehatan dalam wilayah kerja Puskesmas sesuai dengan wilayah geografis Puskesmas. Hubungan paling kuat antara kegiatan mobilisasi masyarakat dengan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terdapat di Puskesmas Bayah (dengan koefisien 0.54).
Rekomendasi hasil penelitian adalah:
Pemerintah Daerah melalui intansi terkait (Dinas Kesehatan, PMD, PKK) harus mendorong pelaksanaan kegiatan mobilisasi masyarakat yang terdiri dari pendataan seluruh ibu hamil oleh kader, pemanfaatan buku KIA oleh seluruh ibu hamil, mengaktifkan seluruh Posyandu, melaksanakan program Dana Sosial Bersalin/Jampersal serta menyediakan ambulan desa. Seluruh kegiatan mobilisasi masyarakat yang direkomendasikan tersebut dilaksanakan secara bersamaan, terutama untuk wilayah Puskesmas yang secara statistik memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan seperti di wilayah Puskesmas Lebak bagian selatan (Puskesmas Cihara, Cigemblong, Panggarangan, Cibeber, Bayah, Cilograng).
Pemerintah daerah melalui intansi terkait (BAPPEDA) harus menyediakan anggaran untuk kegiatan KIA di tingkat desa yang terdiri dari anggaran operasional untuk seluruh Posyandu, anggaran kegiatan KIA di setiap desa dan insentif untuk dukun dalam program kemitraan bidan dukun. Dari ketiga pembiayaan tersebut, minimal terdapat 2 pembiayaan yang disediakan, terutama untuk wilayah Puskesmas yang secara statistik memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan seperti di wilayah Puskesmas Banten bagian selatan (Puskesmas Binuangeun, Parung Sari, Bojong Juruh, Malingping, Gunung Kencana, Cijaku, Cirinten, Cigemblong, Cihara).
Perlu dilakukan penelitian kualitatif untuk melihat lebih dalam lagi pelaksanaan kegiatan mobilisasi masyarakat di tingkat desa dan hubungannya dengan persalinan oleh tenaga kesehatan di wilayah kerja Puskesmas sesuai dengan wilayah geografis Puskesmas.
5. Daftar Pustaka
Andersen RM. Revisiting the Behavioral Model and Access to Medical Care: Does It Matter. Journal of Health and Social Behaviour. 1995 March; 36:1-10. (1)
Anselin, L. Spatial Econometric. Methods and Models. Kluwer Academic Publisher: Dordrecht; 1988.
Biro Pusat Statistik. Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2007. Jakarta: BPS; 2008.
Brundson, C. Fotheringham, A.S. Charlton, M. (1998), Gheographically weighted regression: a method for exploring spatial nonstationarity, Gheographical Analysis 28, 281 – 298.
Dinas Kesehatan Propinsi Banten. Laporan Rutin Kesehatan Ibu Propinsi Banten Tahun 2009. Banten: Bidang Pelayanan Kesehatan; 2009.
Fotheringham, A.S. Brundson, C. Charlton, M. (2002), Gheographically Weighted Regression. Jhon Wiley and Sons, Chichester, UK. (16)
Gabrysch S, Champbell OM. Still too far to walk: Literature review of the determinants of delivery service use. BMC Pregnancy and Childbirth 2009, 9:34. (17)
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Analisis Kematian Ibu di Indonesia tahun 2010 Berdasarkan Data SDKI tahun 2010, Riskesdas dan Laporan Rutin KIA. Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan Ibu; 2011. (26)
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pelaksanaan Making Pregnancy Safer (MPS). Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan Ibu; 2009. (28)
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar tahun 2010. Jakarta: Badan Litbangkes; 2011. (37)
Marge Koblinsky, ZoĆ« Matthews, Julia Hussein, Dileep Mavalankar, Malay K Mridha, Iqbal Anwar, Endang Achadi, Sam Adjei, P Padmanabhan, Wim van Lerberghe. Going to scale with professional skilled care. Lancet 2006; 368: 1377–86. (41)
Mei, C.L. (2005), Geographically Weighted Regression Technique for Spatial Data Analysis, School of Science Xi’an Jiaotong University.
Pusat Kajian Kesehatan Universitas Indonesia. Laporan Hasil Studi Impact Kematian Ibu di Propinsi Banten. Jakarta: Puska UI; 2008. (49)
Vincent De Brouwere and Wim Van Lerberghe. Safe Motherhood Strategie: a Review of the Evidence. Antwerp, Belgium: ©ITGPress; 2001. (55)
WHO, UNFPA, UNICEF and The World Bank. Trends in Maternal Mortality: 1990 to 2008. Geneve: Department of Reproductive Health and Research WHO; 2010. (59)
Pengertian mobilitas sosial :
perpindahan status seseorang atau kelompok dari satu kedudukan ke kedudukan lain.
Bentuk-bentuk mobilitas sosial :
1. Mobilitas sosial horizontal : perpindahan status pada lapisan yang sama atau sederajat.
Contoh : Pak Fajar, yang sebelumnya mengajar di SMK, sekarang mengajar di SMA.
2. Mobilitas sosial vertikal : perpindahan status pada lapisan yang berbeda atau tidak sederajat.
a. Vertikal naik
Contoh : Ketika masih remaja, para perwira tinggi TNI adalah taruna Akademi Militer.
b. Vertikal turun
Contoh : Seorang pengusaha yang pada awalnya sukses kemudian bangkrut.
Vertikal naik-turun
Contoh :
Seorang anggota TNI yang sangat berprestasi berhasil mencapai pangkat perwira tinggi di kesatuannya, namun ia harus pensiun karena faktor usia.
Bentuk mobilitas sosial terkait dengan generasi :
1. Mobilitas intragenerasi : mobilitas yang terjadi dalam satu generasi.
Mobilitas intragenerasi bisa digunakan untuk:
a. satugenerasi dalam keluarga (kakak dan adik)
b. satu angkatan
Contoh :
Kakak dokter, adiknya guru. (Mobilitas intragenerasi vertikal turun) => satu generasi dalam keluarga
Mantan pejuang menjadi pengusaha. (Mobilitas intragenerasi vertikal naik) => satu angkatan
2. Mobilitas antargenerasi : mobilitas yang terjadi pada dua generasi atau lebih.
Contoh : Ayah dokter, anaknya dokter. (Mobilitas antargenerasi horizontal)
Mobilitas geografis : perpindahan individu atau kelompok dari satu daerah ke daerah lain.
Contoh : urbanisasi dan transmigrasi.
Faktor pendorong mobilitas sosial :
a. perubahan kondisi sosial
b. ekspansi teritorial (perluasan daerah)
c. pembagian kerja
d. situasi politik
Faktor penghambat mobilitas sosial :
a. tingkat pendidikan yang rendah
b. sudah puas dengan apa yang dimiliki
c. diskriminasi kelas
d. kemiskinan
Cara mobilitas sosial :
a. perubahan standar hidup
b. perubahan tempat tinggal
c. perubahan tingkah laku
d. perubahan nama
e. pernikahan
f. bergabung dengan asosiasi tertentu
Contoh cara mobilitas sosial dengan perubahan tempat tinggal:
Keluarga A sebelumnya tinggal di kampung kemudian pindah ke perumahan elit.
Saluran mobilitas sosial vertikal naik :
a. organisasi politik
b. organisasi ekonomi
c. perkawinan
d. organisasi keagamaan
e. organisasi pendidikan
f. angkatan bersenjata
Proses mobilitas sosial seorang individu atau kelompok melalui saluran-saluran dalam masyarakat dinamakan sirkulasi sosial.
Contoh sirkulasi sosial melalui organisasi politik :
Ahmad Heryawan adalah kader Partai Keadilan Sejahtera. Ia menjadi gubernur Jawa Barat dengan dukungan dari Partai Keadilan Sejahtera.
Lembaga pendidikan merupakan elevator sosial karena lembaga pendidikan dapat mengantarkan seseorang ke lapisan sosial atas, tahap demi tahap.
Penjelasannya: seseorang yang hanya lulusan SD/SMP/SMA tentu akan mendapatkan peluang pekerjaan yang berbeda (dan gaji yang tentu juga berbeda) dengan yang lulusan S1.
Akibat mobilitas sosial :
a. Konflik
b. Penyesuaian
Contoh :
Bila terjadi persaingan untuk merebutkan posisi tinggi dalam perusahaan, pihak yang gagal mungkin tidak suka, kemudian konflik dengan pihak yang berhasil. Atau pihak yang gagal menerima kegagalan dan menyesuaikan diri dengan pihak yang berhasil.
_____________
Bilingual
social mobility : gerak sosial : mobilitas sosial
social movement : gerakan sosial
social climbing : mobilitas sosial vertikal naik
social sinking : mobilitas sosial vertikal turun
urbanization : urbanisasi : perpindahan penduduk dari desa ke kota
transmigration : transmigrasi : perpindahan penduduk dari satu daerah yang berpenduduk padat ke daerah lain yang berpenduduk jarang
social circulation : sirkulasi sosial
social elevator : elevator sosial
_______________
Referensi
Kun Maryati dan Juju Suryawati. 2007. Sosiologi untuk SMA dan MA Kelas XI. Jakarta : Erlangga.
Niniek Sri Wahyuni dan Yusniati. 2007. Manusia dan Masyarakat, Pelajaran Sosiologi untuk SMA/MA Kelas XI. Jakarta : Ganeca Exact.
Soal UN Sosiologi SMA 2008, 2009, 2010
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Bagaimana Mobilitas Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan
12.59
Asia
,
BAHASA INDONESIA
,
ILMU PENDIDIKAN
,
India
,
Indonesia
,
Let Me Try
,
makalah
,
MANAJEMENT
,
Mobilitas Sosial
,
Nelson Mandela
,
Pada (foot)
,
Reference Question
,
Social Science
,
Sociology
,
TUGAS
0 komentar:
Posting Komentar
Sundul gan! Ane ga kenal yang namanya spam...