BAB I…
“Ulangan, Pak?!”
Anak-anak itu memekik kaget saat Joe menyuruh mereka memasukkan semua buku ke dalam tas dan mengeluarkan selembar kertas ulangan. “Bagi yang belum punya kertas ulangan, belum meraut pensil, tidak punya ballpoint, dan bagi yang mau pinjam kalkulator ke kelas lain, saya beri waktu tujuh menit. Mulai dari sekarang.”
“Pak!” seorang siswa menyerukan namanya dari bangku paling belakang.
“Ya?”
“Saya sudah punya kertas ulangan. Saya punya pensil, saya punya bolpen, saya punya kalkulator. Tapi masalahnya saya belum belajar, Pak.” ujarnya konyol –berharap leluconnya itu bisa sedikit mengendurkan suasana tegang dan menyebalkan itu. Atau setidaknya, mengulur waktu singkat yang diberikan gurunya itu sebelum ulangan dimulai.
Namun harapannya itu tidak terjadi. Joe tetap dalam posisi diamnya, tanpa senyum, tanpa amarah, tanpa emosi, tanpa rasa. Yang tersirat di mimiknya hanyalah kekosongan, dingin. Dengan perlahan dia menundukkan kepala, menghitung cepat jumlah soal ulangan yang dibuatnya, dan mencocokkan dengan anak-anak yang hadir. Dan tepat tujuh menit kemudian dia berjalan mengitari kelas, membagikan soal-soal ulangan, dan duduk kembali bak raja di kursi guru depan kelas, bagaikan elang mengawasi para siswa itu bekerja memutar otak.
Satu hal yang kemudian terlintas di benaknya –betapa nikmatnya bila nanti siang dia membeli sekantung sosis, beberapa lembar daging asap, dan mencairkan keju sebagai makan siangnya. Kemudian dia akan membeli jus anggur sebagai minumannya. Rasanya pasti lezat sekali. Sebetulnya –sesal Joe dalam hati, wine atau cognac akan terasa lebih nikmat. Namun dia sudah bertekad dalam hati untuk tidak menyentuh haram jadah itu lagi. Gara-gara alkohol bejat itulah perutnya rusak seperti sekarang.
Adelia menarik perhatiannya. Gadis itu sekarang sedang curi-curi pandang ke bangku belakang, berusaha meraih kertas contekan yang ditujukan padanya. Tanpa kentara Joe memperhatikan operasi itu –Adelia si mentor, dan Dodi si pecundang. Maka dengan sigap Joe manarik daftar nama kelas itu, mencari nama Dodi dan Lia, lalu dengan tanpa perasaan dia mencoret kedua nama itu. Tidak akan ada nilai. Diskualifikasi. Tidak ada ulangan susulan.
“Adelia, Dodi, kalian bisa keluar sekarang.”
Kedua anak itu menoleh dengan terkejut dan panik. Takut. “Keluar? Ta… ta… tapi kenapa?”
“Tidak ada gunanya kalian kerjakan soal itu. Sia-sia. Saya tidak akan memberikan nilai untuk itu.”
Dodi pura-pura tidak berdosa dan dengan polosnya dia bertanya, “Kok? Saya tidak tahu apa salah saya!” protesnya.
“Kamu tidak tahu? Baiklah. Tapi kamu tahu dimana pintu keluar berada.” jawab Joe berwibawa sambil menatap anak itu. “Silakan.”
“Tapi nilai kami bagaimana…?”
“Bukan kewajiban saya memberi tahu kalian. Sekarang, apa perlu saya ulangi perintah itu untuk kedua kalinya?” Joe berkata memandang pintu keluar.
Tanpa komentar, mereka berdua berjalan lunglai ke sana bagai anak ayam yang dicabuti bulunya.
***
Demi setan Joe betul-betul membenci orang itu. Dengan muak di memandang gambar si mentri pendidikan yang sedang entah melakukan apa di halaman depan koran itu. Laki-laki tolol itu harusnya menjemur keripik saja di rumah, bukannya berada di departemen dan mengurus masalah pendidikan negara ini. Bahkan untuk mendidik otak bebalnya itu saja dia tidak becus. Apa sih yang benar dia lakukan? Nol.
Joe sangat membenci keputusan yang turun sehubungan dengan tidak adanya libur di bulan puasa. Beginilah jadinya, maki Joe dalam hati. Dalam tiga puluh hari yang membosankan dia harus tetap masuk sekolah dan dengan sok-sok ikhlas mengajari anak-anak berperut kosong berotak melompong itu matematika. Dalam hati dia tahu pemadatan materi dengan meniadakan libur puasa hanya omong kosong. Siapa yang akan serius belajar saat puasa? Siapa yang akan konsen mengajar bila stamina tidak prima? Dan bila tidak ada interaksi yang baik antara pelajar dan pengajar, akankah ada yang tambah pintar? Bahkan setan pun enggan berkata ‘ya’.
Dengan sebal Joe mengunyah permen di mulutnya. Dia sangat lapar hari ini. Di tengah hari puasa begini tidak ada catering dari sekolah, kantin tidak buka, dan istrinya tidak menyediakan makanan untuk bekalnya sekarang. Satu-satunya harapan Joe hanyalah permen jahe yang secara kebetulan ada di ritsleting tasnya –dan secara kebetulan pula permen itu tidak enak rasanya. Maka dengan konyol, Joe berkata pada dirinya sendiri bahwa besok dia akan ikut puasa juga. Sudah tiga hari ini dia tidak puasa. Mungkin untuk beberapa hari kedepan dia akan berpuasa. Lagipula, tidak ada gunanya dia tidak puasa besok. Setahunya, daging burger di kulkas sudah habis, telur sudah tidak ada, yang tersisa hanya supermi. Untuk apa dia memakan makanan instan itu? Hanya akan membuatnya tidak sehat. Jadi lebih baik dia puasa selama dua atau tiga hari. Lagipula puasa itu akan bisa mengurangi jadwalnya fitness. Tiga hari tanpa makanan berarti korting fitness selama 30 menit.
“Pak Joe, handphone-nya bunyi, tuh!” seru guru yang duduk dua meter di sampingnya.
Dengan sedikit terkejut Joe menoleh ke arah ponsel di atas mejanya yang sedang bergetar-getar sendiri dengan sangat tidak jelas itu. Dia menyipitkan mata dan membaca nama yang muncul. Ivan.
“Halo?”
“Joe? Lagi dimana?”
“Sekolah. Yah, kamu tahu kan tahun ini puasa tidak libur,” keluh Joe pada salah satu sobatnya itu.
Ivan tertawa meledek. “Rasain. Biar capek loe! Tapi, memangnya pengaruh untukmu? Bukankah kamu tidak puasa, Joe? Atau… kamu sudah taubat, ya?” candanya.
“Well… tidak persis begitu. Besok aku puasa, kok.”
“Hari ini?”
“Tidak. Lagi malas. Oh ya, by the way… ada apa kamu telepon? Urusan apa?” tanyanya serius.
“Hmm… begini, teman. Aku hanya mau konfirmasi tentang pertemuan gabung universitas-universitas terkemuka asal Australia yang akan diadakan tiga hari lagi. Jadi datang tidak? Kalau jadi nanti aku carikan tempat yang enak. Kamu kan ‘ex’ pelajar sana, masa tidak datang? Payah!”
“Lho? Enak saja ngatain. Tunggu dulu, jangankan untuk datang, aku bahkan tidak tahu pertemuan itu akan diadakan. Kamu tahu dari mana?”
“Kamu ini tolol apa bego, sih? Ya tahu, lah! Orang jelas-jelas acaranya diadakan di hotelku!” ujar Ivan. Dia adalah manager HRD sebuah hotel berbintang di Jakarta yang memang sering dipakai untuk seminar-seminar atau pertemuan semacam itu.
“Memangnya acaranya seperti apa?”
“Ya aku belum tahu pasti. Tapi kata organizer-nya, itu merupakan temu wicara antar expert-expert universitas di sana. Banyak kok yang hadir sebagai pembicaranya! Kalau tidak salah, dosenmu dulu juga akan hadir. Lalu participants-nya adalah orang-orang kampus lokal sini, sama ditambah beberapa mahasiswa yang ditunjuk. Mereka sudah dikirimi undangan, kok!”
“Aku enggak dapat.”
“Masa?”
“Iya.”
“Memangnya kamu enggak dikasih dari kampus? Mustahil kalau kamu tidak dikasih, mereka tahu kamu dulu mahasiswa terbaik di sana. Sampai-sampai ditarik jadi dosen untuk kampus mereka cabang Indonesia. Kamu bohong kalau bilang tidak dapat undangan.”
“Mungkin ada. Tapi memang sudah beberapa hari aku tidak ke kampus. Enggak tahu kenapa, setiap mau kesana ada saja halangannya. Waktu itu macet sampai jam kelas berakhir, lalu aku ada urusan keluarga, terus harus mengantar Terry ke dokter gigi, dan yang terakhir kemarin dulu aku terserang flu berat. Yah, beginilah jadinya. Tidak ada kelas, kena damprat dekan, dan yang terburuk, aku tidak tahu soal undangan itu.”
“Tapi kan sekarang kamu sudah tahu. Bagaimana, mau datang?”
“Pasti. Carikan aku tempat. Hari ini aku ke kampus ambil undangannya. Trims.” ujar Joe puas sambil menutup flip ponselnya. Dia lalu meraih agendanya dan melihat tanggal tiga hari yang akan datang. Di sana tertulis: Pesantren kilat. Seharusnya dia ikut serta acara itu karena acara itu melibatkan seluruh siswa dan dia adalah salah seorang wali kelasnya. Namun, setelah dipikir-pikir, temu wicara itu kelihatan lebih menjanjikan.
Maka dengan ringan dia meraih pena dan mencoret pesantren tersebut –dan menggantinya dengan Aust. Universities’ Meeting.
BAB II…
“Dad, beli apa?” tanya Terry antusias saat melihat ayahnya menurunkan berbagai kantung belanjaan dari bagasi mobil. Terry langsung mencampakkan mobil-mobilannya dan berlari ke teras rumah untuk menyambut sang ayah.
“Sini, jagoan kecil! Say hello to daddy!” seru Joe sambil berjongkok –bersiap-siap menangkap anak kecil yang sedang berlari ke arahnya dengan penuh rasa rindu.
“Daddy! Aku kangen sama daddy!” ujarnya sambil merangkul leher Joe. Dengan penuh rasa sayang Joe mencium puncak kepala bocah itu dan mengatakan bahwa dia juga sama rindunya.
Sudah beberapa hari ini Joe sibuk terus. Sepulang mengajar dia langsung mengunci diri di kamar dan menyibukkan diri dengan komputernya. Paling-paling dia hanya keluar apabila ingin ke kamar mandi. Maklumlah, guru jenius kita yang satu ini memang sedang sangat berambisi untuk merampungkan bukunya secepat mungkin. Dia berharap dalam empat-lima bulan ini bukunya bisa segera dipublikasikan. Dia berangan-angan untuk me-launching buku itu pada awal Juni –bertepatan dengan hari ulang tahunnya. Deadline itu membuat Joe bekerja tanpa kenal waktu, sampai-sampai dia kurang memberi perhatian pada putranya itu selama dua hari terakhir. Oleh karena itulah, hari ini Joe memutuskan untuk langsung pulang begitu tidak ada jam lagi di sekolah, melupakan buku itu untuk beberapa waktu, dan mengajak Terry jalan-jalan.
“Lihat apa yang daddy bawa,” ujar Joe pada anaknya sambil menepuk-nepuk sebuah kantung belanjaan yang besar. Kemudian dengan cepat dia membuka kantung plastik itu dan mengeluarkan sebuah boneka mickey mouse besar yang sedang memakai jas hujan warna merah. “Ini untukmu.”
Terry meraih boneka itu dan menimang-nimangnya dengan senang. Dia mengelus-ngelus kepala boneka tikus itu yang botak, dan mencium hidungnya. “Thanks, daddy.” dia memeluk ayahnya dengan sayang dan tersenyum geli. Bocah lima tahun itu tertawa-tawa melihat mimik ayahnya.
“Apa yang kamu tertawakan, sayang?” tanya Joe heran.
“Dad.”
“Dad?”
“He-eh.” Terry mengangguk. “Habisnya, setiap kali daddy membelikan aku boneka, selalu saja boneka mickey atau minie mouse. Dan,” Terry tertawa lagi melihat ayahnya yang tersipu malu, “selalu saja barang-barang yang dad belikan mengandung warna merah.” Terry menunjuk jas hujan bonekanya. “Kenapa sih daddy suka sekali sama warna merah dan mickey mouse?” tanyanya penasaran.
“Well…” Joe mengerutkan kening dengan bingung saat anaknya mengajukan pertanyaan itu. “Sebenarnya ya, sayang, daddy juga tidak terlalu fanatik dengan tikus itu ataupun warna merah. Semua itu… yah, terjadi begitu saja. Kebetulan ada boneka bagus –dan kebetulan itu mickey, ya dad beli. Begitu juga dengan warna merah tersebut. Semuanya tidak disengaja, kok.”
“Itu berarti dad memang suka sekali. Tanpa disengaja saja sudah begitu. Berarti rasa senang tersebut sudah ada dari sananya.” ujar Terry sok dewasa.
Joe tertawa melihat tingkah putranya. Dengan lembut dia mengacak-acak rambut bocah itu dan berkata, “Ya terserah, deh.” lalu kedua laki-laki itu tertawa bersamaan.
“Apa lagi yang dad beli?” tanya Terrry tiba-tiba –mengingatkan Joe tentang belanjaannya.
“Oh ya! Ini dad belikan beberapa kaos untukmu. Lihat, ada gambar bola rugby-nya. Bagus, kan?” kata Joe bersemangat. “Lalu beberapa macam camilan untuk kamu makan bila mom tidak ada masakan –ingat ini bulan puasa. Terus…” Joe berkata dengan misterius, “dad juga membeli ini untukmu. Buku mengenai kisah hidup George Washington –orang Amerika yang kamu kagumi itu. Bagaimana, kamu senang?”
Dengan mata berbinar-binang Terry memandang barang-barang yang di keluarkan ayahnya itu di lantai teras. “Waw! Ini luar biasa, daddy! Aku senang sekali!” teriaknya dan serta merta ia melompat ke pelukan ayahnya. “Aku sayang daddy.”
“Daddy juga sayang padamu. Nah, sekarang kamu bawa semua ini ke kamarmu, lalu kamu ganti baju. Kita pergi jalan-jalan sekarang. Tadi dad sudah minta izin mom dan dia bilang ‘iya’. Mau, kan?”
“Mau! Oh ya, dad, kalau plastik yang itu apa isinya? Aku bawa masuk juga?” tanya Terry sambil menunjuk dua kantung lain.
“Jangan. Itu baju daddy. Tadi dad juga sekalian beli sepatu dan arloji baru.”
Selama anak itu bersiap-siap dengan pakaiannya, Joe memutuskan untuk membuat segelas susu coklat. Baginya, susu adalah minuman favorit –kebalikan dari kopi. Joe membenci kopi. Mungkin memang tidak lazim bagi seorang pria –apalagi yang pernah tinggal selama 2 tahun di negara empat musim seperti dirinya, tidak suka kopi. Tapi Joe memang begitu. Tenggorokannya selalu bagai tersedak apabila minum kopi dan perutnya pasti langsung terasa mual.
Lalu sambil membawa gelas susu itu, dia beranjak ke ruang kerjanya dan menyalakan komputer sekedar untuk melihat hasil kerjanya sepintas. Komputer Pentium 4 itu langsung sigap sedia pakai begitu dia menekan tombol ‘on’-nya.
“Dad?” terdengar suara Terry di ambang pintu.
Joe menoleh. “Ya?”
“Jadi pergi tidak?”
“Jadi, dong! Dad hanya sebentar, kok. Cuma mau melihat-lihat sepintas tulisan daddy. Sini, sayang!” ujar Joe pada putranya dan lalu memangku anak itu di paha kirinya.
Dengan sedikit tertarik Terry membaca tulisan yang terpampang di monitor, lalu mengerutkan dahi. “Mengapa dad menulisnya dalam bahasa inggris?” tanyanya tidak mengerti.
“Bahasa inggris adalah bahasa internasional dan lazim dipakai dimana saja. Lagipula, nantinya buku ini tidak hanya akan disebar di Indonesia, tapi juga untuk dikirim ke Australia –terutama ke kampus tempat dad dulu belajar. Dan,” kata Joe sabar, “apabila respon mereka baik, dad mungkin akan bisa dengan lebih lancar mengambil S3 disana. Karena paling tidak, apabila kualitas buku itu baik, otomatis kemampuan dad juga sudah teruji. Enak, kan? Selain memperoleh keuntungan dari penerbitan buku disini, dad juga bisa menarih manfaat sehubungan dengan lanjutan pendidikan dad.”
Terry mengerutkan dahi dengan bingung. “Aku sedikit tidak mengerti, dad. Memangnya untuk mengambil S3 harus menulis buku dulu?”
“Tidak dong, sayang… Tapi coba kamu pikir. Apabila buku itu bagus, mereka akan lebih respect sama dad, lebih menghargai, dan ide-ide dad akan lebih diperhatikan. Paling tidak, belajar akan lebih mudah karena di mata dosen-dosen itu dad sudah punya nilai lebih ketimbang yang lain.”
“Memangnya dad serius mau sekolah lagi? Ngapain, dad? Aku saja SD belum tamat, kok dad sudah mau sekolah lagi?” tanyanya menggemaskan.
Joe tertawa. “Bagi dad, sekolah itu penting.”
“Untuk?”
“Karir, sayang! Kemajuannya. Peningkatan status, taraf hidup yang lebih baik. Yah, hal-hal semacam itulah. Mengerti, kan?”
“Lalu apa harus di Australia lagi?” tanya Terry sedih. “Apa dad akan pergi lagi dan meninggalkan aku dan mom?” tanyanya sendu.
Joe tersenyum lembut dan mencium hidung anaknya. “Apa kamu pikir dad setega itu? Tentu tidak. Bila nanti dad pergi, bisa dad pastikan dad sudah akan memiliki cukup banyak uang untuk ikut membawa juga kalian berdua. Kita akan berada di sana bertiga.”
Dengan lembut Joe mengecup anaknya sekali lagi, mematikan komputernya, meraih dompet serta ponselnya, lalu dengan hangat dia menggenggam tangan putranya, lalu membimbing anak itu ke mobil. Lima menit kemudian mereka sudah melaju di tengah keramaian kota sambil berdendang-dendang ceria bersama.
BAB III…
“Kenapa kamu tidak ikut?”
Joe memandang sahabatnya itu dengan rikuh. “Err… begini, Aldi. Aku ada urusan yang lebih penting. Jadinya aku tidak bisa ikut kalian pesantren kilat di sana. Maaf, Al. aku terpaksa meninggalkan kamu sendirian. Kamu tidak marah, kan?” ujarnya salah tingkah.
“Aku tidak marah, Joe.” Aldi memandangnya dengan prihatin. “Tapi aku menyesal dan sangat menyayangkan ketidak hadiranmu itu. Tidak masalah bagiku apakah kamu ikut atau tidak. Kamu memang sahabat baikku, tapi aku juga berteman dengan guru-guru yang lain. Ketidakikutsertaanmu itu tidak terlalu berpengaruh untukku. Tapi untukmu sendiri, Joe.” katanya sedih. “Rohanimu yang akan sangat terpengaruh. Aku sangat mengenalmu, Joe –luar dalam. Bahkan mungkin aku lebih mengenalmu ketimbang istrimu. Kalau kamu ada masalah, kamu selalu menceritakannya padaku. Aku tahu semua tentangmu, Joe. Dan aku juga tahu betapa minim pengetahuanmu tentang agama yang kamu anut sekarang.”
“Yah, aku tahu.” Joe berkata dengan lirih.
“Pesantren kilat yang sekolah ini adakan bisa sangat berguna untukmu. Memang, para guru disini diminta ikut serta untuk membimbing para siswa. Tapi itu bukan berarti hanya murid saja yang boleh belajar, guru-guru juga boleh ikut menimba ilmu. Apabila ada yang tidak kamu mengerti, bisa kamu tanyakan. Kita semua bisa saling tukar pengetahuan. Manfaatnya sangat besar, Joe.”
“Tapi tetap saja aku tidak bisa ikut, Al. Aku sudah ada janji dengan Ivan ke seminar itu.”
“Mengapa tidak kamu coba untuk menyeimbangkan antara kehidupan duniamu dengan agamamu, Joe? Coba aku tanya sekarang. Sudah berapa banyak seminar seperti itu yang kamu hadiri –entah yang nasional, bilateral, atau internasional, dan juga rapat-rapat para expert dunia pendidikan dalam menyusun kurikulum semester?”
“Well… sudah banyak. Sering. Dengan departemen pendidikan sering, dengan orang-orang kampus sering –kadang-kadang sama orang kampus yang dikirim dari Australia juga… yah, pokoknya seperti itulah. Kamu tahu semuanya, Al.” jawab Joe senang.
“Ya, memang aku tahu. Dan sekarang coba kamu pikir, kapan terakhir kali kamu berpuasa dengan betul-betul ikhlas dari dalam hatimu –lillahi ta’ala? Pernahkah kamu tarawih di mesjid bersama teman-teman, menceritakan pengalamanmu setelah sehari berpuasa? Pernahkan kamu tadarusan bareng-bareng, menikmati segala bentuk ibadah itu dengan tulus? Tidakkah kamu ingin mencoba untuk melakukannya?”
Joe terdiam dan menunduk saat sahabatnya itu bertanya dengan prihatin. “Aku…”
“Kamu tidak perlu menjawabnya, Joe. Karena tanpa kamu jawab pun aku sudah tahu apa jawabanmu. Kamu memang tidak menginginkannya. Sudahlah, tak ada gunanya aku bicara panjang lebar lagi padamu. Tak perlulah kamu ikut pesantren bila kamu memang tidak ingin. Tak ada gunanya ibadah bila atas unsur keterpaksaan. Bila kamu memang ingin ke seminar itu karena menurutmu lebih berguna, maka pergilah.”
Joe memandang Aldi dengan perasaan tidak enak dan salah kaprah. “Maaf, Aldi. Bukan maksudku untuk…”
“Satu yang kuminta selalu kamu ingat. Hidup ini tidak abadi. Mungkin sekarang kamu adalah Johan si jenius yang bisa melakukan apapun –yang dihormati siapapun. Namun nanti saat kamu mati, tanpa taqwa dimata Tuhan kamu tetaplah bukan siapa-siapa. Dialah yang membuat wujudmu di dunia ini, Joe. Cobalah berendah hati dan menunduklah pada-Nya.”
Setelah mengatakan hal itu Aldi berjalan tegap ke ruang guru, mengambil ranselnya, dan keluar gerbang menuju bus tempat yang lain telah menunggu. Tepat sesaat sebelum roda bus mulai berputar, Aldi menoleh ke arah Joe –berharap sahabatnya itu akan berubah pikiran dan segera melangkah naik ke bus dimana dirinya berada.
Namun hal itu tidak kunjung terjadi.
***
“Joe! Cepetan ke sini! Aku kira kamu tidak jadi hadir! Cepat, lima belas menit lagi acara dimulai, lho!” teriak Ivan saat melihat Joe berdiri di ambang pintu sambil menunjukkan undangannya pada pemerima tamu. Joe melemparkan senyumnya yang paling memikat dan segera melangkah masuk begitu si pemerima tamu menyilakannya.
Tepat sebelum dia berteriak ‘halo’ pada Ivan, seseorang menepuk bahunya dari belakang. Dengan terkejut bukan kepalang dia memutar badannya dan melotot secara refleks. Dan ternyata orang yang berdiri di belakangnya itu membuat darah Joe hampir muncrat karena bahagia.
“Sean!” pekiknya seraya langsung memeluk pria setengah baya itu. “How I miss you, Sean –oh, you wouldn’t imagine! You look so… Oh Lord… Sean!” ujarnya tidak keruan.
Sean Hawthorne adalah lelaki asal Ohio, dekan fakultasnya sewaktu di Australia dulu. Sejak saat itu mereka berteman akrab dan hingga kini masih sering berkomunikasi lewat e-mail kampus. “Joe, you look great. Become more adult, don’t you? Years ago you’re still kid.” candanya hangat. Mereka berbincang-bincang beberapa saat dan membicarakan tentang kehidupan universitas mereka saat ini. Sean menceritakan betapa telah banyak berubah mahasiswa-mahasiswa yang sekolah disana –dan betapa tambah cantik-cantik gadis-gadisnya. “Well, Joe. Look over there. You see? The man in a black tuxedo? You still remember him, don’t you?” tanya Sean akhirnya.
Dengan bersusah payah Joe mencoba melihat pria yang dimaksud oleh Sean. Dan dia memang melihatnya. Seorang laki-laki tua –66 tahun, memakai stelan tuksedo hitam, dengan wajah serius dan kaca mata berbingkai tebal. Sedikit menakutkan, tentu saja. Sambil memutar otak Joe berfikir tentang pria yang dulu sudah pernah ditemuinya itu. “That man… who?” tanya Joe pelan. Dan tiba-tiba dia teringat. Tentu saja. Rektornya. Pimpinan universitas yang dulu sempat ada masalah dengan dirinya –sewaktu Joe diam-diam menjalin affair dengan putri si rektor yang kebetulan satu fakultas dengannya. “If I’m not mistaken… that is… Mr. Lambert. Ya, that must be him. Gary Lambert.” ujar Joe.
“Gray Lambert.”
“Ok. Gray.” Joe membetulkan kata-katanya yang keliru. “But by the way, what is he doing here?”
“What do you mean? He is the most important person in this event –as always. He’s the expert from our university. And our university is the main of all.”
“The main of all which are here this time.” koreksi Joe. Kampusnya belum sehebat itu.
“Yap. Ok. You’re right. Now, why don’t we go there –to Lambert, and say at least ‘helo’ to him?” ajak Sean. Dan setelah memikirkannya beberapa waktu, Joe akhirnya setuju. Dan berjalanlah mereka berdua ke sana, menuju si rektor yang angkuh. Joe mengumpulkan segenap keberaniannya untuk menyapa Gray. Dia tahu, dulu Gray sangat membencinya saat dia berhubungan dengan Claire.
“Afternoon, Mr. Gray Lambert. Still recognize me? So nice to see you again, Mr. Lambert.” sapa Joe hati-hati.
Lambert menoleh dan memperhatikan wajah Joe dengan seksama. Seluruh profil wajahnya. Tanpa ada yang terlewat. Dan akhirnya, setelah ketegangan yang panjang itu, dia menjawab dengan dingin. “Johan. I knew you, boy.”
Boy?! Dia menyebut pria 38 tahun ini dengan ‘boy’? Lucu sekali!
“Have you married?” tanya Gray tanpa basa-basi.
Joe gelagapan dibuatnya. “Well… yeah. I have.”
Tanpa disangka, Gray tertawa dan menepuk bahu Joe –sesuatu yang tak pernah dilakukannya dulu. “My daughter has too, Joe. That’s good. It means we can make such a normal relationship –between you and me, without any related with your past with my Claire.” Gray tersenyum dan Joe merasa lega karenanya. “I’m glad, Johan. Back then, proffesionally I like you. And now –fortunately, I can do it personally too.”
Tepat saat Joe ingin menjawab, si pembawa acara mengumumkan bahwa acara akan segera dimulai dan akan ada pidato pembuka dari tamu kehormatan –Mr. Gray Lambert. Joe tahu sudah saatnya mengakhiri percakapan itu. Maka dia hanya berkata, “I wish you luck, Mr. Lambert.” sambil menjabat tangannya.
Setelah itu Joe berpamitan pada Sean, berjanji untuk makan malam bersama, kemudian dia berjalan ke kursinya di depan –tepat di sebelah Ivan. Dia menepuk bahu Ivan dan tersenyum manis padanya. Dalam hati dia berterimakasih pada sahabatnya itu karena telah mengingatkannya pada seminar ini, sehingga dia menemukan kembali segalanya –hidupnya, dunianya, kaumnya.
Joe betul-betul merasa disanalah dia seharusnya berada. Bersama teman-temannya, topik-topik pembicaraannya, cara-cara komunikasinya –pokoknya semuanya.
Semua yang pernah didapatnya di Australia.
BAB IV…
“Kok dirumah? Memangnya tidak ada kelas di kampus?” Ivan bertanya dengan bingung saat Joe mengatakan bahwa dia sedang berada di rumah untuk melanjutkan bukunya. Ivan meremas gagang telepon dengan gemas –iri dengan kesantaian yang diperoleh sahabatnya itu. “Curang kamu, Joe. Aku disini kerja mati-matian, sedang kamu dirumah hanya duduk-duduk saja di depan komputer.” teriaknya didepan corong telepon.
Joe tertawa. “Nanti siang baru aku ke kampus. Pagi ini aku bisa santai. Lagipula, aku masih agak ngantuk. Tadi pagi aku sahur.”
“Kamu puasa hari ini?” tanya Ivan terkejut.
“Yap.” Joe menjawab dengan cepat. “Kamu akan terkejut bila tahu berapa banyak kalori dan lemak yang kusantap kemarin malam. Puasa dua-tiga hari kedepan adalah hukuman yang pas.”
“Memangnya kemarin malam kamu ngapain?” tanya Ivan ingin tahu.
“Semalam aku ada janji dinner sama Sean di Toscana. Kami sekalian ngobrol-ngobrol, lah. Sampai tengah malam, makanya aku teler saat dibangunkan Shinta untuk sahur.” ungkap Joe.
“Memangnya kemarin Shinta tidak ikut bersama kalian? Kamu hanya berdua dengan Sean?”
“Iya, lah! Shinta mana mau ikut? Dia bilang mau tarawih. Sedangkan seharian kemarin Terry main-main terus, dia merasa capek jadi aku biarkan dia tidur di rumah ditunggui pembantu.”
“Kamu pasti senang sekali bisa bertemu lagi dengan Sean, kan? Bisa kubayangkan betapa banyak yang kalian bicarakan semalam.”
Joe tersenyum senang. “Kamu tahu, Van, apa yang dikatakan Sean padaku? Dia menawariku melanjutkan S3 disana lagi. Dia bilang bersedia membantuku mengurus semuanya.”
“Lalu kamu bersedia?” tanya Ivan.
“Belum. Aku masih ada masalah dengan biayanya. Kamu tahu kan, biaya S3 disana itu besar sekali dan aku juga harus memikirkan tempat tinggalku nanti, transportasinya, dan masih banyak hal lain yang jelas pasti tinggi biayanya. Lagipula, aku rasa Terry belum siap bila harus pindah hidup di sana.”
“Kamu mau mengajak Shinta dan Terry sekalian, Joe? Kenapa tidak kamu tinggal saja? Beberapa tahun kan tidak lama. Lagipula, kalau kamu kangen kan kamu bisa telepon. Atau mungkin kamu bila ada libur dan ada rezeki, bisa pulang menjenguk mereka disini.”
“Tidak. Aku tidak pernah berfikir untuk berpisah dengan anakku. Hmm… sebenarnya Sean juga menawarkan alternatif lain. Dia bilang karena aku menyelesaikan S2ku dengan sangat baik, dan aku dianggap cukup profesional, Sean bilang bila aku bersedia dia bisa berusaha untuk menarikku dari kampus cabang Indonesia dan memindahkanku ke salah satu kampus cabang lain di Australia. Dengan begitu aku akan mendapatkan gaji yang besar –yang dalam waktu singkat akan dapat memenuhi tuntutan biaya kelanjutan S3ku, serta aku akan dapat hidup layak –walau sederhana, di sana bersama istri dan anakku.”
“Maksudmu Sean menawarimu untuk jadi dosen di kampus kalian yang disana? Cabang yang dimana? Setahuku kampus kalian punya puluhan cabang di sana.”
“Entahlah. Kemungkinan besar yang di Barat –induknya, tempat aku sekolah dulu. Tapi aku tidak tahu pasti. Kami tidak membicarakannya lebih lanjut karena aku sudah bilang aku tidak mau.”
“Ah, kamu ini bagaimana, sih?! Kenapa kamu tolak? Ini kesempatan bagus, Joe!”
“Jangan salahkan aku! Shinta tidak mau. Dia yang melarangku pergi ke sana. Aku tidak mau bertengkar dengannya hanya karena itu.”
“Kamu kan kepala keluarga, Joe! Dia istrimu dan dia harus menuruti apa yang kamu katakan. Lagipula, aku yakin itu hanya awalnya saja. Lama kelamaan Shinta pun pasti akan senang hidup di sana. Australia itu menyenangkan, Joe!”
“Ah, tidak tahu, lah! Aku tidak mau memikirkan itu sekarang. Aku mau konsentrasi dulu pada bukuku. Gara-gara kamu telepon bukuku jadi macet, nih! Sudah deh! Nanti aku telepon lagi saja.”
“Well, oke. Aku tunggu, ya. Bye.”
Segera setelah menutup flip ponselnya, Joe kembali memfokuskan perhatiannya pada buku yang sedang dia tulis. Sedikit lagi buku itu selesai. Hanya tinggal kurang beberapa chapter, dan Joe juga masih harus menuliskan kata pembuka, ucapan terimakasih, lalu tinggal di edit serta diberi sentuhan akhir. Sepertinya harapan untuk meluncurkan buku itu awal Juni bisa terlaksana. Dalam beberapa bulan kemudian, diramalkan buku itu sudah akan laku terdistribusikan ke berbagai daerah. Barulah pada kuartal. pertama buku itu beredar di Indonesia, buku-buku itu akan dipasarkan secara eksklusif di kampus-kampus Australia. Buku itu tidak akan dijual secara umum di sana, dan tidak semua kampus juga bisa memperolehnya. Paling tidak, dalam satu state akan dipilih empat kampus untuk dikirimi buku-buku itu, dan setiap kampus hanya akan dikirimi lima belas buku saja. Selanjutnya mengenai siapa-siapa saja orang yang akan menerima buku itu, terserah pada kebijakan kampus. Yang jelas, semua dosen matematika pasti akan mendapatkannya. Apabila mereka menganggapnya bagus, mereka akan menjadikan buku itu sebagai salah satu sumber pelajaran mereka dalam semester-semester yang akan datang –dan itu berarti para mahasiswa juga harus memilikinya, sehingga buku Joe akan dapat dijual umum ditoko-toko buku, baik untuk para pelajar maupun masyarakat luas. Tidak ada promosi yang lebih baik dari itu.
Merupakan keuntungan baginya karena sejak dulu dia telah menjalin hubungan baik dengan pihak Australia –siapapun mereka. Pemikiran-pemikirannya yang cemerlang –apalagi karena dia seorang pendatang, membuatnya dikagumi dan mendapat sorotan dari pihak universitas. Rasa percaya dirinya yang tinggi tidak pernah membuatnya cangung bergaul dengan semua orang, tak peduli apakah orang itu sesama mahasiswa seperti dirinya, ataupun orang itu adalah dekan paling dihormati di kampus itu. Pride yang sangat tinggi membuat Joe dihormati orang-orang disekitarnya. Sikapnya yang easy going membuat teman-temannya senang, karena Joe menganut satu faham idealis: bila kau butuh saranku, aku berikan; bila kau ingin aku hanya mendengarkan, aku dengarkan; dan bila kau anggap aku tidak pantas untuk tahu; maka aku juga tidak mau tahu.
Selama dua tahun di Australia, Joe telah melalang buana ke berbagai lingkungan kehidupan disana. Dia pernah bermain catur dengan petugas kebersihan taman disana, dia pernah secara bersahabat diundang main golf oleh salah seorang dosennya, dia pernah bersama teman-temannya lomba minum-minuman keras di bar termurah yang ada, dia pernah bersama salah satu teman kencannya kursus dansa cha-cha –yang membuat kakinya terlikir selama dua hari. Bersama bujang-bujang satu flatnya, Joe pernah berpetualang mendaki puncak Pegunungan Hamersley –yang setelah dua ratus meter akhirnya mereka memutuskan untuk pulang dan menghabiskan waktu di bioskop saja, lalu dia juga pernah nekad membolos kuliah selama seminggu, khusus untuk pergi ke Danau Mackay dan memotretnya demi untuk mengikuti lomba foto terbaik bertema air. Dan sebulan kemudian Joe bisa berteriak kegirangan saat namanya muncul sebagai satu diantara tiga pemenang hadiah tur gratis dari pelabuhan Perth hingga pulau Tazmania –dengan melalui teluk Australia Besar dan satu transit di Port Linkoln.
Beberapa saat setelah dia pulang ke Indonesia pun dia masih mencoba untuk terus berhubungan baik dengan negara yang sangat dicintainya itu. Tak segan dia datang ke kedutaan Australia untuk perijinan visa –untuknya, juga istri dan anaknya, walaupun dia tidak berniat pergi ke sana dalam waktu dekat. Joe juga pernah beberapa kali menelepon ke kedutaan itu untuk menanyakan nomor telepon kampus yang ingin diketahuinya, ataupun lokasi kota dimana kampus itu terletak –bila kota tersebut tidak tertulis di atlasnya. Jadilah, hingga kini Joe memiliki relasi yang sangat baik dengan negara itu.
Dia punya banyak teman disana, punya nama baik dan kredibilitas disana, pernah punya kehidupan yang sangat menyenangkan disana.
Satu-satunya yang dia inginkan sekarang adalah: kembali ke Australia.
BAB V…
Bentley, Perth, Western Australia.
“Ashley! How are you?” pekik Sean di telepon saat mendengar suara Ashley. Sore hari yang cerah ini dihabiskan Sean di ruangannya di kampus. Segelas kopi hangat menemaninya saat dia membaca dengan teliti tugas-tugas mahasiswanya. Namun kertas-kertas itu dilemparkannya bak barang tolol saat Ashley meneleponnya.
“Fine, Sean. Thanks. How is there doing?” tanya Ashley senang. Wanita 37 tahun ini telah betul-betul seperti ayah-anak dengan Sean.
“Well… everything goes well –nothing to worry about. The university is fine, I’m fine, and… Gray Lambert is fine too.”
“Oh, that Godfather.” umpat Ashley. Dia tidak pernah menyukai sikap sombong Gray, dan memang tidak pernah mencoba untuk menutupinya. Merupakan suatu keajaiban Gray tidak juga memecat Ashley, karena selain sebagai rektor kampus cabang barat, Gray juga adalah orang nomor satu yang dipercaya untuk mengontrol seluruh kampus mereka –dalam regional bagiannya di negara itu.
“Ok. What’s up, Ash? Why do you call me? Is there something happening there on your side?”
“Well… nothing. I… I just want to talk to you. I miss you, Sean. And that’s all.”
“A-a-a-a.” Sean memotong kata-katanya. “No, honey! There must be something happening there. I know, ‘just-want-to-say-hello call’ is not your habit.”
Ashley tertawa karena lelucon masam itu. “Well –ya, you’re right. I got a pretty big problem here. But don’t get me wrong, okay? It’s not about me –it’s about the college. I… I think we need more tutors here –based on lots of reason I can’t describe to you. But the problem is, Sean, I don’t know how to tell Gray about this.”
“Just tell him –that simple. Why do you get it so complicated?” saran Sean.
“Well, I’m afraid Gray will be upset.” ujar Ashley lirih. Hal itu mengingatkan Sean pada kata-kata Gray dulu –beberapa bulan lalu, bahwa dalam kondisi perekonomian yang tidak menentu seperti saat ini, semua personil kampus mereka –dimana pun mereka berada, harus sebisa mungkin menekan biaya yang dikeluarkan. Mereka tidak lagi membuat seminar-seminar mewah seperti dulu, melainkan seminar efektif dengan pengeluaran yang efisien. Dan melihat hal itu, mustahil memang untuk menjelaskan pada Gray tentang keinginan Ashley menambah dosen di cabang kampus termpatnya bertugas sebagai penanggung jawab lokal. Penambahan beberapa dosen berarti penambahan tanggungan kampus, penambahan biaya anggaran, dan sudah pasti hal itu tidak akan diloloskan oleh Gray.
Padahal kampus Ashley betul-betul membutuhkan dosen tambahan.
“Don’t worry, Ash. I’ll try my best to help you.” katanya pada Ashley.
Ashley tersenyum masam. “So what is your suggest?”
“Tell Gray right away. And then call me –tell me about his respond. And if –just in case, you got him mad, I will try to tell him –explain to him how important it is. I know you think he’s horrible, but actually he’s good inside.”
Ashley tersenyum. “Okay, I’ll try. Thanks, Sean for all your help. You’re the best –the best of all.” ujarnya senang kemudian meletakkan gagang telepon. Sejurus kemudian dia melamun menerobos jendela ruangannya –menatap langit Broad Meadows yang mendung. Sejenak dia berfikir tentang apa yang akan dikatakannya pada Gray supaya laki-laki tua itu tidak meledak. Apa yang dapat dikatakannya untuk menjelaskan pada Gray bahwa kampus betul-betul membutuhkan tenaga baru –yang betul-betul kompeten dan profesional? Karena bila tidak, banyak mahasiswa disini yang akan keteter. Dan apabila hal itu sampai terjadi, Ashley tidak akan dapat lagi menjamin mutu kampus ini. Dan sudah pasti itu berarti ancaman bagi jabatannya. Sebagai rektor cabang kampus yang berada di kawasan Melbourne itu, Ashley wajib dan mutlak harus menjaga nama baik kampus tersebut, mutu dan kualitasnya, segalanya yang positif baginya. Dan bila tidak, sudah pasti pada Thanksgiving tahun depan dia hanya akan menjadi pengangguran.
Dengan penat dia melihat catatannya. Dia telah menuliskan secara ringkas beberapa fakultas yang membutuhkan tenaga baru. Banyak jurusan yang memerlukan beberapa dosen baru. Namun rasanya masih ada yang kurang. Ah, Ashley baru ingat. Ada satu materi lagi yang memerlukan tambahan tenaga. Ashley tertawa. Ekonomi-matematika.
BAB VI…
Pukul sebelas malam. Joe mematikan komputer itu dan berjalan ke kamar mandi untuk cuci muka. Dia lelah, capek, penat, dan dia merasa perlu sedikit istirahat sekarang. Tapi jauh di lubuk hatinya, dia sangat bahagia dan kebahagiaan itu mengalahkan semua keletihannya. Karena entah mengapa, dalam beberapa hari ini inspirasinya muncul dengan bertubi-tubi –lancar seperti mata air. Gejolak yang timbul di dadanya untuk menulis betul-betul gila. Entah angin mana yang sedang bertiup, lembar demi lembar buku itu digarapnya dengan mudah dan ringan –jauh lebih ringan daripada sebelumnya. Joe bahkan sudah tidak peduli lagi dengan apapun, entah itu siang atau malam, panas atau dingin, pokoknya yang ada dalam pikirannya hanyalah menulis. Hanya bukunya. Saat dia mengajar di sekolah, atau waktu dia mengisi jam di kampus, bahkan saat dia berhubungan dengan orang departemen, yang ada di benaknya hanyalah keinginannya untuk melanjutkan buku itu.
Bagi Joe, menulis buku itu kini bukan hanya sekedar batu loncatan menuju garis yang lebih baik. Namun sekarang dia menulisnya lebih kepada keinginannya –kebutuhannya, akan tempat mencurahkan rasa, membentuk dunia yang baru. Dunianya sendiri.
Siapa bilang hanya novelis yang bisa membangun suatu alam maya menganggumkan lewat novelnya? Siapa yang bilang dunia merah jambu itu hanya bisa dibangun lewat puisi, drama, lagu, dan macam-macam karya seni seperti itu? Joe tersenyum memikirkannya. Tentu saja pemikiran itu salah besar. Seni bukanlah kesenian. Seni adalah daya –yang dimiliki setiap orang, untuk melakukan apa yang dia inginkan dengan penuh rasa sehingga hal itu tampak indah. Dan dia juga bisa melakukannya. Siapapun akan bisa melakukannya –seandainya saja mereka sudi mencoba.
Memang betul dia sedang menulis sebuah buku matematika –yang secara ilmiah memang dibuat untuk dibaca, dipelajari, dihafal, dimengerti. Tapi apakah memang hanya sebatas itu? Tidak –tentu tidak. Setidaknya, bagi Joe buku itu bermakna lebih dari apa yang dapat dideskripsikan orang lain.
Buku itu dibuat untuk dirasakan.
Dia menuliskan seluruh isi buku itu didasari oleh rasa cintanya yang teramat besar pada matematika –dan lewat buku itulah dia menyampaikannya pada orang lain. Bahwa matematika bukan hanya sekedar matematika. Matematika adalah sesuatu. Matematika adalah sesuatu yang punya jiwa –bila kita mau merasakannya.
Tidak ada satu angka pun yang sulit dalam matematika. Semua persoalan matematika pasti ada jalan keluarnya –sama seperti segala dilema hidup kita, pasti ada pemecahannya. Itulah yang ingin Joe sampaikan pada para pembacanya nanti. Bahwa tidak adil bila mereka memandang matematika hanya dengan sebelah mata. Cobalah lihat lebih dekat, pasti akan kalian temukan sesuatu yang berbeda –rasa yang berbeda di setiap sensasi yang dibuatnya.
“Joe…”
Seseorang memanggil namanya. Dia menoleh. “Oh, Shinta. Ada apa?” tanyanya linglung.
Istrinya itu tersenyum manis. “Ada telepon, tuh. Dari Ivan. Dia tanya apakah kamu sudah tidur, dan aku bilang belum. Jadi dia ingin bicara denganmu.”
Joe melangkah keluar kamar mandi dengan kepala berputar. “Well, oke. Terimakasih, ya.”
Sesaat sebelum Joe melangkah ke ruang tengah, Shinta menahan lengannya dan memutar tubuh suaminya itu. Dengan lembut dia mengecup bibir Joe yang lembab, membiarkan bibir mereka menyatu untuk beberapa lama. “Setelah bicara dengan Ivan, langsung tidur, ya?” ujar Shinta pelan. Kemudian dia mengelus rambut suaminya yang terjurai di dahi. “Kamu terlihat tidak keruan. Jangan kecapekan, ya? Aku tidak mau kamu sakit.”
Joe tersenyum dan mengangguk.
“Aku mencintaimu.”
“Aku juga.” Joe mencium puncak kepala istrinya dengan cepat dan berlari menuju pesawat telepon –enggan membuat Ivan menunggu terlalu lama.
Shinta memperhatikan suaminya bicara di telepon sambil berjalan kembali ke kamarnya. Sebetulnya dia malas menyampaikan telepon dari Ivan tadi. Shinta tidak menyukai Ivan –tidak pernah. Shinta merasa laki-laki itu memberikan terlalu banyak pengaruh buruk kepada suaminya. Memang Joe telah menganut faham ‘bebas’ itu semenjak dia kembali dari Australia dulu. Tapi pergaulannya dengan Ivan membuat semua itu makin parah. Bila Australia membuatnya angkuh dan liar –itu masih bisa ditolelir. Namun Ivan –laki-laki hidung belang itu, telah mengubah Joe-nya yang hangat dan romantis menjadi robot gila kerja, pengejar karir, pemuja ketenaran. Shinta sudah cukup pusing memikirkan cara menyadarkan Joe agar mau menyelami agamanya –kembali sholat, belajar mengaji, dan mau berpuasa. Namun belum sampai hal itu kesampaian, penyakit suaminya itu sudah bertambah. Keinginannya untuk melanjutkan S3 dan kembali ke Australia, akhir-akhir ini sering membuat Shinta prihatin. Apalagi, Joe tidak menyebutnya dengan ‘pergi ke Australia’, melainkan dia berkata, ‘aku ingin kembali ke Australia’. Shinta tidak mengerti, apa yang membuat Joe begitu mencintai Australia –melebihi tanah airnya sendiri? Shinta sudah berkali-kali bilang tidak, jangan. Namun rem yang dia tanamkan pada suaminya telah dilanggar oleh Ivan –yang setiap hari selalu saja merong-rong Joe agar membujuk dirinya agar mau ikut ke sana.
Tubuh Shinta bergetar karena kesal. Dia masih belum bisa lupa, satu minggu yang lalu saat Ivan menghubungi suaminya agar mau ikut seminar yang akan diadakan di hotelnya. Dimana Joe bertemu lagi dengan teman-teman Australianya, dan bergabung lagi dengan kehidupannya yang dulu. Padahal, seharusnya waktu itu Joe ikut bersama teman-temannya, untuk membimbing murid-murid pesantren kilat. Shinta sudah senang sekali saat Joe waktu itu bilang bersedia ikut pesantren –atas bujukan Aldi sahabatnya. Namun hal itu sirna tak berbekas saat Ivan sekali lagi mempengaruhinya untuk meninggalkan segala sesuatu yang baik baginya.
Shinta memeluk selimutnya erat-erat. Dia tahu, sungguh naif karena dia menyalahkan Ivan atas semua kekacauan di diri suaminya itu. Dia sebetulnya tak boleh menyalahkan Ivan. Ini bukan salah Ivan. Toh, selama ini Ivan tidak pernah memaksa Joe melakukan segala sesuatu. Sebagai sahabat –anggapnya begitu, Ivan hanya menawarkan apa yang dia tahu disukai oleh Joe, dan sebisa mungkin membuat Joe senang. Masalahnya, Ivan tidak sadar bahwa kesenangan itu menjerumuskan.
Lalu kalau bukan Ivan, siapa lagi yang bisa dia salahkan? Apakah dia harus menyalahkan Sean Hawthorne? Ataukah dia harus melimpahkan kesalahan itu pada Claire Lambert? Shinta memejamkan matanya dengan sedih. Bukan, bukan mereka yang salah. Shinta sebetulnya tahu. Joe-lah satu-satunya orang yang telah menghancurkan dirinya sendiri.
Namun kenyataannya, Shinta terlalu mencintainya untuk dapat menyalahkannya.
BAB VII…
“Ayo.” Ivan menarik lengan Joe dan membawanya ke counter spa hotelnya. Semalam Ivan meneleponnya untuk menawarkan kenikmatan spa yang baru dibuka di hotelnya. Hari ini ada promosi gratis, dan dengan senang hati Joe menerima ajakannya. Apalagi, sekolah baru akan dimulai besok –sebab hingga hari ini orang-orang masih berada di luar kota untuk pesantren kilat. Kampus juga baru ada jam sore nanti. Jadi, hingga pukul duabelas siang, Joe bisa bebas bersantai.
Joe melepaskan semua pakaiannya –kecuali celana dalamnya, dan meraih sebuah kimono handuk yang tergantung di bilik ganti itu. Setelah mengikat tali kimononya, dia keluar dan menyerahkan pakaiannya kepada penjaga bilik. Kemudian dengan santai dia berjalan ke arah dipan dan tengkurap di atasnya.
Wanita yang bertugas menanganinya segera membuka kimononya dan melampirkan sebuah handuk besar untuk menutupi tubuh Joe dari pinggang ke bawah. Lalu wanita muda itu tersenyum dan dengan sopan memintanya berbaring tengkurap.
“Semalam aku kira kamu sudah tidur, Joe.” ujar Ivan yang sedang berbaring sama seperti dirinya di dipan sebelah.
“Belum. Aku masih melanjutkan bukuku.” jawab Joe senang –dengan sedikit merinding saat wanita yang tadi itu meratakan cream beraroma rempah-rempah yang sangat dingin di punggungnya. Namun lama kelamaan hangat juga –setelah wanita itu mulai me-massage-nya. “Beberapa hari ini aku rajin sekali menulis, Van. Aku sendiri saja sampai tidak mengira bisa seperti itu.”
“Inspirasimu mengalir deras rupanya.”
“Begitulah.” Joe menjawab sambil terpejam. “Aku akan dapat menyelesaikannya jauh lebih cepat dari deadline.”
“Kira-kira kapan?”
Joe membuka matanya dan menoleh ke arah Ivan. “Well… actually it’s done. I gave it to the editor just now. Produksinya mungkin dimulai akhir puasa.”
“Tidak jadi dong, kamu meluncurkannya bertepatan dengan ulang tahunmu?” goda Ivan.
“Hmm… aku sebetulnya masih ingin. Barangkali aku tetap akan meluncurkannya pada awal Juni –di Australia. Tapi untuk di sini, ya kalau bisa secepatnya.” ujar Joe penuh harap.
Ivan memperhatikan Joe dengan seksama, kemudian tersenyum sendiri. “Kamu itu memang tampan, Joe. Ganteng sekali.” katanya serius.
Joe tertawa mendengarnya. “Hei, apa apa denganmu? Sejak kapan kamu jadi homo begitu?” candanya.
“Sialan. Bukannya begitu, Joe. Cuma, kemarin waktu seminar itu –sebelum kamu datang, aku sempat ngobrol sebentar dengan Gray–“
“Lambert?”
“Yap. Kami bertukar kartu nama, dan tepat saat dia mengambil kartunya dari dalam dompet, aku melihat foto seorang gadis cantik… cantik sekali! Coba tebak siapa.” kata Ivan jahil.
“Hmm… aku tak tahu.” Joe menjawab dengan penasaran. “Memangnya siapa?”
Ivan tertawa. “Anaknya! Claire, sobat! Mantan kekasihmu. Aku tanya pada Gray siapa itu. Dan dia bilang, itu anaknya. Wuih… cantik sekali! Makanya tadi aku bilang kamu ganteng, makanya kamu bisa dapet cewek secantik dia. Well, kuakui dia memang cantik sekali. Bagaimana rasanya dulu kamu pacaran sama dia? Cerita-cerita, dong!” bujuk Ivan nakal.
Mengingat petualangan cintanya yang dulu, membuat mata Joe berbinar riang. “Menyenangkan. Yeah, sangat menyenangkan.”
“Masa cuma itu komentarmu? Yang lebih spesifik, dong!”
“Well… yah, memang menyenangkan. Dan memang begitu keadaannya. Aku bisa bilang apa lagi?” jawab Joe protektif.
Namun Ivan rupanya pantang menyerah. “Alright, now tell me, Joe. Kamu sudah tidur dengannya, kan?”
Joe berusaha sebisa mungkin untuk tidak tertawa –namun tidak bisa. Dengan geli dia memandang Ivan yang penasaran. “Ivan, Ivan. Kamu ini ada-ada saja. You asked me for a question you’ve already known the answer. Dasar otak udang.”
“Sudah, kan?” tanya Ivan serius.
Joe tersenyum. Dia mengangguk. “Sudah. Memangnya kenapa?”
“Nah, begitu dong! Berapa kali? Dan apakah dia hebat?”
“Rahasia perusahaan, dong.”
“Joe! Please. Kita berteman, kan? Masa kamu tidak mau bagi-bagi cerita denganku?” rengek Ivan manja. “Bagaimana? Berapa kali?”
“Hmm… aku tak tahu. Tidak pernah kuhitung. Pokoknya setiap kali kami jalan bersama setiap malam minggu, keesokan harinya aku tidak pernah terbangun sendirian di motel. Kamu puas, Van?” jawab Joe ringan. “Dan apa kamu tahu? Percayakah kamu bila kukatakan Claire tidak pernah duduk tegak di kursi mobil setiap kami jalan-jalan dan bahwa kepalanya selalu berada miring di bawah dashboard?” Joe menikmati saat dimana Ivan ternganga mendengar ceritanya. “Dan hampir setiap orang di pinggir jalan menyangka aku gila karena tersenyum-senyum dan terkadang meringis kesakitan sendiri,” Joe tertawa. “Mereka mungkin mengira ada anjing sedang menggigit-gigit ‘itu’ku.” ujarnya konyol.
“Padahal jelas bukan anjing yang melakukannya.” timpal Ivan.
“Claire tidak lebih jinak daripada hewan itu.”
“Joe!” pekik Ivan. “Hebat, kawan! Kisah yang sangat menakjubkan. Kamu sangat beruntung, sobat, karena pernah tidur dengan gadis seperti dia.”
“Walaupun besoknya aku harus kehilangan beberapa dolar untuk obat-obatan.” ungkap Joe sambil mencibir. Melihat mimik muka Ivan yang bingung, Joe menambahkan, “Tidak ada satu pun anggota tubuhku yang selamat dari siksaannya, Van. Memar disana, babak belur disini, berdarah di bibirku, telingaku, hidungku. Leherku dihiasi tato-tato merah yang dapat terlihat walau dari jarak satu meter. Seluruh kampus tahu apa yang barusan aku lakukan tadi malam, namun mereka tidak tahu dengan siapa aku melakukannya.”
“Sampai?” pancing Ivan.
“Sampai si Lambert tua itu memergoki kami bercinta di sofa rumahnya –tepat saat aku akan menghadapi ujian semester terakhirku.”
“Busyet.”
“Bukan salahku, Van. Itu kecerobohan Claire. Dia bilang ayahnya akan pergi sampai besok, namun kenyataannya? Bah! Aku yang jadinya kena gebuk si Lambert itu.” Joe berkata dengan pelan. “Aku putus dengan Claire ketika skandal itu tercium oleh fakultasku. Gosip mulai menyebar, jadinya aku memutuskan untuk berpisah dengannya. Aku memfokuskan diri dengan pendidikanku –untuk paling tidak menjaga nama baik. Dan selama beberapa bulan tak satupun gadis mau berhubungan denganku. Sebab waktu itu aku lagi jadi pusat perhatian, jadi siapapun yang ada di dekatku pasti terekspos. Dan kamu tahu sendiri, para gadis membenci publisitas semacam itu. Mereka mulai biasa lagi setelah pada semester akhir aku memperoleh nilai tertinggi di fakultas. Namun sayangnya, dua bulan kemudian aku ditarik kembali ke Indonesia karena studiku telah selesai dengan baik. Yah, begitulah nasibku.”
“Warna-warni kehidupanmu di Australia. Tapi kelihatannya kamu sangat menikmatinya, Joe.” Ivan berkata dengan ramah dan bersahabat.
“Sangat. Kamu tak mungkin bisa membayangkannya.”
“Tapi aku bisa membayangkan betapa ingin kamu kembali kesana.”
Joe menoleh dan tersenyum. Ya, dia memang ingin kembali ke sana. Sangat ingin. “Setiap kali aku berbicara tentang Australia…” ujarnya melamun, “it feels like I am home.”
BAB VIII…
Bentley, Perth, Western Australia.
“He deserves it, Gray. Please, you know that.” Sean mencondongkan dirinya ke hadapan Gray, membuat pria itu terpaksa mendengarkannya dengan lebih serius. “Look, I’ve been here for years, Gray. I’ve tried everything to pleased you. I want the best for you –for us, for the university.” ujarnya lirih. “You trust me, don’t you?”
“Sean… you know it for sure. I trust you, I believe you.” jawab Gray pelan. “But I don’t trust him. I can’t trust Johan.”
“But why?” pekik Sean. “You yourself said that right from now you will start to like him profesionally and personally. I still remember that, Gray! I thought you can… keep your words.”
“I am trying, Sean! I am!” teriaknya. “But it’s still to early to trust him. I’m still in the beginning to know him closer. I won’t say that I can trust him all over.”
“He’s a good man, Gray –you know that. He’s smart, he’s polite, he’s profesional. You know he’s a hard-working man. He will do anything to get the best. He has the integrity needed as a good tutor here.”
“But I still can’t decide. I still… I don’t know. Deep in my heart I’m still afraid he’s not the right person. I’m scared we couldn’t make such a good team-work.”
“Don’t lie to your heart, Gray. You like him. You like that guy. But you’re still surrounded by the past he had with your daughter. Please, forget them all, Gray. It’s been years ago. Now Claire has her own way of living –and Joe does too. It’s nothing to worry about.”
“You don’t understand, Sean.” potongnya lirih. “You don’t understand how it feels to be a father. You never know how it feels to love a daughter.” Gray mengatakan dengan mata berkaca-kaca. “I love Claire so much, Sean. And Joe used to take her from me.”
“Don’t say that again, Gray. I beg you.”
“Joe is not one of us, Sean. He’s never, and he never would. I won’t let that happen.” ujarnya penuh emosi.
Sean menarik nafas panjang. “Ok. It’s up to you. But please reconsider your decision.”
Setelah mengatakan itu, Sean berjalan keluar ruangan dan meninggalkan Gray termenung sendirian. Trauma masa lalu membuat laki-laki tua itu sulit sekali memaafkan Joe atas pelecehan –katanya begitu, yang dilakukannya terhadap Claire. Walaupun tahun-tahun telah berlalu, masih saja kebencian itu menghantuinya. Namun sekarang, agaknya Sean mengira bahwa Gray sebetulnya sudah mau memaafkan Joe, hanya saja masih gengsi untuk menunjukkannya. Oleh karena itulah, Gray bersikeras menolak rekomendasi Sean untuk menjadikan Joe salah seorang dosen tambahan yang dibutuhkan kampus Ashley.
Bagaimanapun, Gray sudah tua. Dia sudah tidak sekuat dulu, tidak setegar dulu. Mungkin dia malu mengakuinya. Mungkin dia malu menerima kenyataan bahwa Joe yang masih muda dan ambisius itu sedang merangkak naik menuju impiannya dengan bekal dan kemampuan yang mengaggumkan. Gray mungkin takut akan ramalan yang mengatakan bahwa Joe dapat dengan sangat mudah –dalam beberapa tahun kedepan, menjadi dosen yang terpandang, lalu dekan yang profesional, dan pada akhirnya, mungkin saja berdiri di posisi Gray sekarang.
Sean mengerti ketakutan Gary itu. Namun dia juga tahu, bahwa cepat atau lambat Gray harus menerimanya. Roda kehidupan harus tetap berputar. Segalanya harus berubah, dan masa lalu harus bisa dilupakan. Sebab orang yang nekad memutar balik roda sejarah akan mengalami kehancuran. Namun sayangnya, Gray belum sadar akan hal itu.
***
“Dad, Australia itu seperti apa?” tanya Terry saat mereka bertiga –Joe, Shinta, dan Terry sedang menikmati hidangan buka puasa mereka. “Apa yang membuat dad senang sekali berada disana?” tanyanya antusias.
“Australia itu sangat indah, sayang. Dunia yang sangat menarik untuk dijelajahi.”
“Lebih indah dari Indonesia?” tanyanya lagi.
Joe tersenyum. “Bagi ayah –ya.”
Kata-kata itu langsung membuat nafsu makan Shinta hilang melayang. Dia benci bila Joe membicarakan Australia. Dia benci mengetahui suaminya ingin kembali lagi ke sana.
Terry tertawa senang. “Kapan dad akan membawa kami kesana? Aku ingin lihat koala.” Terry berkata dengan riang.
“Kapan-kapan. Dad berharap sesegera mungkin. Nanti akan dad perkenalkan kamu dengan lingkungan disana. Dan –ya, tentu saja dengan koalanya. Kalau kamu mau, kita juga bisa pelihara satu untuk teman mainmu dirumah.”
“Betul? Dad mau belikan?”
Joe mengangguk.
“Kangguru juga?”
Joe mengerutkan bibir. “Kalau kangguru ya jelas tidak bisa dong, sayang. Itu kan repot sekali. Nanti kita bisa susah mengurusnya.” Joe tetawa melihat mimik anaknya yang kecewa.
“Kalau begitu aku tidak mau ke sana. Aku tidak mau kalau tidak bisa ketemu kangguru.” kata Terry kecewa.
“Sayang…” bujuk Joe. Dia menyuruh anaknya mendekat dan memangkunya di paha. “Kamu ingin bertemu kangguru di Australia?”
“Iya.”
“Ingin memegangnya?”
“He-eh.”
“Kalau begitu, tidak perlu dipelihara. Kamu bisa bertemu kanggru kapan saja di kebun binatang. Lagipula, kangguru itu adalah binatang yang dilindungi. Jadi tidak sembarang orang bisa memeliharanya. Dengar, perdana menteri saja tidak punya kangguru. Masa kamu mau mengalahkan dia dengan membeli kangguru sendiri?” canda Joe.
Terry menoleh dan memegang pipi ayahnya. “Tapi dad berjanji akan mengajakku ke kebun binatang kalau kita kesana nanti?”
“Pasti, sayang. Dulu dad juga suka ke sana dan belajar naik kuda selama empat hari disana. Ada tempat latihan khususnya, lho.” kisah Joe.
“Naik kuda? Dad bisa?”
“Lumayan. Nanti kalau kamu mau, kamu juga boleh belajar.”
“Mau, dong!” seru Terry senang. “Kudanya besar-besar? Kalau tinggi sekali, aku tidak sampai, dong!” katanya sambil memandang kakinya.
Joe tertawa. “Nah, makanya kamu harus makan yang banyak. Nih, dad suapin, ya?” ujar Joe sambil menyuapi anaknya. Mereka bercanda dengan hangat dan Terry meminta ayahnya menceritakan tentang musim salju di Australia. Sambil makan dan bercerita, nasi satu piring itu habis dilahap Terry dalam limabelas menit saja.
Shinta melihatnya dengan pedih. Bahkan dia –ibunya sendiri, tidak bisa membujuk Terry dengan begitu mudah seperti apa yang dilakukan Joe. Satu lagi kenyataan menyedihkan yang harus dihadapinya. Apabila nanti Joe memutuskan kembali ke Australia, mau tidak mau dia harus ikut, karena bila dia menolak, sama saja dengan kehilangan segalanya –juga anaknya.
Sebab sudah jelas Terry tidak akan mau dipisahkan dengan ayahnya.
BAB IX…
Tahun ini puasa tidak diliburkan. Mungkin pemerintah berusaha untuk memaksimalkan waktu belajar para siswa itu, namun pada kenyataannya tidak begitu adanya. Kebijakan sekolah memutuskan untuk memotong tiap-tiap jam pelajaran sehingga mereka bisa pulang lebih cepat karena puasa. Dan coba bayangkan, apalah gunanya belajar hanya tiga puluh menit per satu jam pelajaran? Apalagi mata pelajaran yang dipengang oleh Joe –matematika. Pelajaran eksak macam itu tidak cukup hanya satu jam sehari. Dan keesokan harinya saat dia mau melanjutkan materinya, terpaksa dia harus mengulang sedikit materi yang kemarin guna menyegarkan ingatan anak-anak –hingga satu jam yang sedikit itu pun terpotong beberapa menit lagi. Lalu apa manfaatnya masuk sekolah dengan segala ketidakefektifan itu?
Dengan sebal Joe membanting stirnya ke lajur kiri untuk menghindari kemacetan. Sore-sore begini dia terpaksa menempuh lalu lintas padat itu hanya demi buka puasa bersama di sekolah. Joe betul-betul tidak mengerti. Sebetulnya dia tidak mau hadir, namun mau bagaimana lagi? Shinta memaksa bahwa mereka harus datang. Wanita itu tidak mengerti. Dia tidak mengerti betapa menyakitkannya menginjak kopling terus-menerus di jalanan macet begini.
Satu lagi hal yang membuat Joe kesal. Empat hari ini adalah hari buka bersama. Hari pertama untuk siswa kelas 3, hari kedua untuk anak kelas 2, hari ketiga untuk siswa kelas 1, dan di hari terakhir ini adalah untuk para guru/karyawan serta keluarganya. Sepertinya jadwal Ramadhan sekolah itu padat sekali. Baru juga seminggu berselang dari usai pesantren kilat, sekarang sudah ada acara buka bersama. Dan sepertinya, empat hari lagi akan diadakan acara pembagian zakat pada fakir miskin. Setelah itu libur seminggu sebelum Lebaran hingga beberapa hari sesudahnya. Kemudian masuk dan belajar efektif selama seminggu, lalu ulangan akhir semester. Ya, ampun. Kasihan betul anak-anak itu. Tidak adakah sistem pembelajaran yang lebih baik dari ini? Joe berkata prihatin dalam hati.
Dengan enggan dia memarkir mobilnya di depan sekolah. “Ayo.” ujarnya –entah pada siapa, pada istrinya, anaknya, atau mungkin hanya pada dirinya sendiri. Yang jelas secara refleks dia turun dari mobil dan membukakan pintu belakang untuk anaknya. Sambil tersenyum dia mengangkat tubuh Terry dan menggendongnya di lengan kanan. Sementara tangan kirinya memencet tombol remote untuk mengunci mobilnya kembali, Terry terus saja menyuruk-nyurukkan wajahnya pada kuping Joe dan berkata bahwa dia lapar.
“Sabar sebentar ya, sayang. Tidak sampai dua puluh menit lagi kita sudah boleh makan, kok.” Joe berusaha untuk membuat anaknya mengerti. Dengan lembut dikecupnya pipi bocah itu. “Anak dad senyum, dong. Masa mukanya masam begitu?” ujarnya membujuk. “Rugi kan kalau lesung pipitmu diumpetin saja?”
Untuk sesaat Terry menunduk menatap tanah sambil merenung. Kemudian dia mengangkat wajahnya menatap sang ayah yang sedang tersenyum penuh kasih padanya. Dan entah apa yang membuatnya begitu, Terry refleks langsung memeluk kepala ayahnya erat-erat. “Aku sayang daddy. Betul, aku sayang sekali sama daddy.”
Joe tertawa bahagia dan mencium putranya lagi. “Oke, cukup sudah sayang-sayangannya. Sekarang kita masuk ke dalam, ya?” katanya seraya menurunkan anak itu ke tanah dan menggandengnya menuju gerbang sekolah. Shinta ikut berjalan di sampingnya. Sepintas mereka terlihat sangat serasi –ayah yang tampan, ibu yang lembut, dan anak yang mungil. Namun tak seorang pun tahu ada bara api yang diam-diam menyala diantara mereka. “Inilah acara yang kamu tunggu-tunggu itu, Shinta.” Joe menyindir dengan dingin.
“Jaga kata-katamu, Joe. Aku sudah jelaskan apa alasanku ingin kita datang ke acara ini. Selama ini setiap kali ada acara-acara pertemuan dengan rekan-rekan sekolahmu, kamu tidak pernah mau datang.”
“Lalu apa masalahnya? Apa yang aku lakukan bukan urusan mereka, tidak usah mereka pedulikan –dan pada kenyataannya mereka memang tidak peduli.”
“Tapi aku peduli.”
“Itu bukan urusanku. Lagipula apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku masih punya banyak pekerjaan yang jauh –sangat jauh lebih penting yang harus kukerjakan, ketimbang hanya makan-makan konyol disini.”
“Aku hanya tidak mau kamu terlalu mengeksklusifkan dirimu diantara mereka, Joe. Aku hanya mau kamu berbaur dan menyatu dengan mereka. Bergaullah, Joe. Bergaul! Apa sih salahnya? Jangan hanya orang-orang Australia itu saja yang mau kamu temani. Mereka bukan bagian dari kita –bangsa kita. Jangan kamu percaya mereka sepenuhnya. Kamu tidak tahu juga kan, kalau mereka bisa saja menikammu dari belakang? Jangan sok naif, lah! Cara mereka menghargai sebuah pertemanan saja sudah berbeda dengan kita!” sindir Shinta.
Joe serta merta menarik lengan istrinya itu dan menekannya dengan keras. Dia mengangkat tubuh Shinta dan mendekatkan wajah wanita itu ke wajahnya sendiri –memaksanya untuk menatap matanya, menyimak perkataannya. Lalu dengan suara rendah dan dingin Joe berkata, “Jangan sekali-sekali kamu berkata seperti itu tentang mereka. Jangan pernah berani melakukannya, atau…” Joe menghentikan kata-katanya dan mendorong Shinta menjauh. Lalu dengan menyeringai dia berlutut, memeluk Terry yang sejak tadi bingung melihat pertengakaran kedua orang tuanya, dan mencium sayang bocah itu –yang kemudian tersenyum dan mendekap erat ayahnya. “Atau kamu akan segera tahu akibatnya, Shinta. Hargai aku, seperti aku masih menghargaimu sekarang.”
“Aku memang tidak pernah menghinamu, Joe. Aku mencintaimu, hanya itu.” Shinta berkata lirih.
“Tapi kamu menghina negeriku.”
“Australia bukanlah negerimu. Kamu tidak boleh menganggapnya seba–“
“Kamu!” bentak Joe kasar sambil menunjukkan jarinya tepat dihadapan Shinta. “Kamu tidak berhak menentukan apa yang boleh dan tidak boleh aku lakukan. Dengarkan aku, Shinta –camkan kata-kataku! Kamu,” ujarnya merendahkan suaranya hingga nyaris tidak terdengar, “kamu tidak berhak mengaturku. Sebab kamu,” Joe berdiri dan menggendong Terry bersamanya, “kamu bukanlah siapa-siapa.”
“Joe… aku istrimu. Aku pendamping hidupmu…” ujar Shinta menahan air matanya. “Jangan pergi, Joe. Aku… aku mencintaimu. Aku sangat–”
“Aku akan pergi bila aku mau pergi. Dan kamu harus ikut bersamaku.”
“Tidak ke Australia.”
“Bila aku mau kesana?”
“Aku tidak mau.”
Joe tertawa kecil. “Tapi Terry mau. Iya kan, sayang?” tanyanya lembut pada anaknya.
Terry tersenyum senang dan melompat ke pelukan ayahnya. “Tentu, dad! Tentu aku mau.” Terry mencium tangan ayahnya. “Aku akan ikut kemanapun dad pergi.”
Mendengar hal itu membuat air mata Shinta tidak dapat dibendung lagi. Keluarnya tangis itu disambut dengan adzan yang berkumandang. Tepat pada saat buka puasa, terbuka pulalah bendungan air matanya –dan air itu perlahan-lahan keluar, mengalir tiada henti.
Dengan pedih dilihatnya Joe berjalan –bersama anaknya, menuju ruang guru. Dalam diam Shinta menerawang masa lalu mereka, saat pertama kali mereka bertemu, dan pada saat itu pulalah dia jatuh cinta pada Joe –teramat dalam. Entah apa yang membuatnya langsung memuja pria itu. Apakah mungkin mata tajamnya yang bening itu? Atau suaranya yang dengan mudah bisa membuat wanita manapun terlena? Ada keromantisan dalam keangkuhannya. Dan ada pesona dalam kemisteriusannya. Ya Tuhan, waktu itu Shinta betul-betul mabuk kepayang dengannya. Hingga kini pun perasaannya masih tetap sama.
Berkali-kali sudah Shinta mengalah. Dia selalu membiarkan Joe melakukan apapun terhadapnya, merenggut segalanya. Bahkan Shinta pun tetap tersenyum saat para wanita –entah siapa mereka, dengan penuh keakraban mendekati suaminya, dengan betul-betul memuja memandang laki-laki itu. Shinta tahu, Joe menikmati saat-saat itu –saat dimana dia dipuja, dikagumi. Joe senang apabila dirinya dianggap lebih dari yang lain. Setelah itu, malam harinya Joe akan tetap membelainya dengan penuh keinginan seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa. Dan selama itu, Shinta tidak pernah menolak. Shinta selalu ikhlas memberikan apapun yang diinginkan suaminya –semampunya.
Hingga kapanpun Shinta tetap akan merasa bangga berjalan disamping suaminya. Dia punya kebanggaan yang tiada terkira terhadap suaminya itu. Apapun akan diserahkannya untuk mempertahankan laki-laki itu agar tetap mencintainya. Bersamanya. Dia menganggumi Joe untuk segalanya –kharismanya, kecerdasannya, ketampanannya, kehangatannya. Dan selamanya dia akan tetap menunduk pada laki-laki itu. Dia akan memberikan segalanya.
Tapi tidak bila itu berarti dia harus kehilangan Terry.
BAB X…
Broad Meadows, Melbourne.
“Ms. Lasch, there was a phone call for you.” gadis penjawab telepon kampus mereka memberitahunya begitu dia kembali dari kedai kopi di seberang jalan.
“Who was that?” tanya Ashley datar. Akhir-akhir ini dia tidak begitu bersemangat menjawab telepon, tidak begitu tertarik lagi untuk mengurus fakultas dan keseluruhan universitas. Dia tidak lagi seenerjik dulu semenjak Gray membentaknya dan menolak permohonannya itu. Tua bangka itu bilang dengan seadanya Ashley harus bisa mempertahankan –bahkan meningkatkan, mutu sekolah mereka. Huh, mana mungkin? Itu adalah tugas yang absurd!
“Mr. Lambert, Miss.” jawab gadis itu.
Dengan kaku Ashley menoleh. “Lambert? Gray?” tanyanya memastikan. Mungkin dia salah dengar.
“Yes. He called you twice. After the first time he called and I said you’re out for a cup of coffee, ten minutes after he called again. He said you had spent too much of your time just to look for some coffee.” ujarnya iseng. Namun –ya, dia jujur.
Ashley tersenyum lemah. “Okay, thanks, Sharon.” jawabnya sekadarnya pada gadis itu dan berjalan lunglai menuju ruangannya. Dalam hati dia bertanya-tanya, untuk apa Gray meneleponnya? Untuk memaki-makinya lagi? Untuk memecatnya? Ya, rasanya itu yang paling mungkin. Apapun intinya, yang jelas pasti itu bukan kabar baik. Dengan resah Ashley meletakkan tasnya di atas meja dan menjatuhkan diri di kursinya. Belum lagi lima menit dia beristirahat, teleponnya berdering.
“Ms. Lasch, it’s a phone for you.” ujar Sharon di sana.
“Lambert again?”
“No, Miss. It’s Sean Hawthorne.”
Mendengar nama Sean membuat kening Ashley berkerut. Ada apa ini? Tadi Gray, sekarang Sean? Tanyanya penasaran dalam hati. Dia lalu menyuruh Sharon menyambungkannya dengan Sean dan kemudian berbasa-basi sebentar dengan laki-laki itu sebelum menanyakan maksudnya yang sebenarnya. “Alright, Sean. Now tell me, what’s up?”
“I wish you were here, Ash. You have to pay me a glass of champagne for the news I’m gonna tell you. We have to celebrate it.”
“What do you mean? You’re not having a birthday, are you?” ujarnya datar. “Please, Sean…”
“We did it, Ash! We did it! Eventually, Gray agreed. He said ‘yes’. And it’s also ‘yes’ for us, Ash!”
“You mean…” ujar Ashley bingung, tidak percaya atas kemungkinan yang dipikirkannya.
“Yes! More tutors for your college.” ujarnya akhirnya.
Dengan rasa bahagia yang tak terbayangkan, Ashley meremas gagang telepon. Akhirnya, ya Tuhan! Akhirnya Gray setuju untuk menambah jumlah pengajar di kampusnya. Syukurlah, akhirnya permintaannya itu lolos juga. Entah apa yang dilakukan Sean untuk merayu Gray, yang jelas segalanya berakhir dengan baik. Akhirnya Ashley bisa tenang sekarang. Hanya perlu menunggu waktu sampai orang-orang baru itu sampai ke sini. Dan itu tidak akan lama. Paling-paling beberapa minggu –mungkin sebulan.
Setelah itu dia betul-betul bisa tenang.
***
“Maafkan aku, Aldi. Aku merepotkanmu.” ujar Shinta pada sahabat suaminya itu saat dia meminta kesediaan Aldi untuk bertemu dengannya di sebuah restoran –tanpa makanan, tanpa minuman. Aneh memang, mengadakan janji pertemuan dengan seseorang di tempat makan di bulan puasa. “Aku terpaksa mengambil jalan ini. Aku terpaksa minta tolong padamu.”
“Tidak apa, Shin. Kamu bilang ini ada hubungannya dengan Johan. Kamu tahu dia itu sahabatku. Dan aku bersedia melakukan apapun untuk kebaikannya.” jawab Aldi
Shinta tersenyum. “Terimakasih, Al. Kamu memang baik. Sangat baik.”
“Memangnya ada apa sebetulnya?” tanya Aldi sabar.
“Kamu tahu Sean Hawthorne? Dekannya waktu di Australia?” tanya Shinta memulai cerita itu.
Aldi mengeleng. “Tidak. Aku memang sahabatnya, tapi aku tidak mengenal teman-temannya waktu di Australia dulu. Apalagi dekannya.”
“Baik, kalau begitu aku jelaskan. Sean adalah dekan fakultas Joe, yang juga merupakan mantan dosen sekaligus sahabat kental suamiku –mungkin sama seperti kamu.” jelas Shinta. “Bahkan mungkin lebih dekat. Maaf, Al. Tapi aku mengatakan yang sebenarnya.”
“Tak apa. Lanjutkanlah.”
“Sean adalah orang kampus yang akan membantu pemasokan buku Joe nantinya di Australia. Sean adalah orang kepercayaan Lambert –si rektor yang juga penanggung jawab regional kampus itu seAustralia. Sean dan Joe sering berhubungan membicarakan buku itu. Namun akhir-akhir ini Joe jadi semakin sering berhubungan dengan Sean –apalagi setelah seminar beberapa minggu lalu, dan yang membuatku risau adalah mereka tidak hanya membicarakan soal buku itu. Tapi juga soal yang lain.”
“Soal apa memangnya?”
“Sean tahu mengenai ambisi Joe untuk melanjutkan S3nya di sana. Dia terus merong-rong Joe untuk kembali ke Australia. Apalagi, Sean tahu bahwa beberapa hari lalu buku itu telah selesai ditulis dan sedang diperiksa editor –yang kuyakin tak akan banyak tingkah. Sebentar lagi buku itu akan diproduksi dan awal tahun ini akan diterbitkan. Jadi menurut Sean, Joe tak punya banyak keperluan lagi yang mendesaknya tetap tinggal disini. Segera setelah buku itu dicetak, Joe akan mendapatkan uang yang banyak. Popularitas yang tinggi di dunia pendidikan. Dia bisa pergi ke sana kapan pun dia mau.”
“Aku tahu.” Aldi menjawab singkat.
“Klimaksnya, tadi pagi Sean meneleponnya dari Bentley. Dia mengatakan bahwa beberapa fakultas di kampus tersebut –cabang Melbourne tepatnya di Broad Meadows, sedang membutuhkan beberapa tenaga baru. Sean dan Ashley –kalau tidak salah memang itu namanya–”
“Siapa itu Ashley?” potong Aldi.
“Rektor kampus state Melbourne. Jadi Ashley bertempat di Melbourne, sedangkan Sean dan Gray di Bentley.” jawab Shinta. “Mereka berdua telah berhasil meyakinkan Lambert untuk menambah dosen yang diperlukan. Dan kau tahu, Al? Mereka juga kekurangan dosen pengajar ekonomi-matematika.”
“Lalu Sean meminta suamimu untuk mengambil kesempatan itu dan pergi ke Melbourne.”
“Betul. Dan seperti yang sudah kita semua kira, Joe menyambutnya dengan senang hati. Langsung setelah dia menutup telepon dari Sean, dia mengambil semua berkas yang diperlukan untuk mengurus visa tinggal disana. Dan khusus untuk aku dan dia, Joe juga mengurus izin untuk bekerja di Australia. Bayangkan, Al. Dia ingin aku bekerja di sana –di negeri orang.”
“Kamu tidak bekerja sekarang?”
Shinta menggeleng. “Joe punya penghasilan cukup besar untuk dapat memaksaku tinggal dirumah.” jawabnya sengit. “Kini dia berharap aku mau bekerja di Australia dan mengurus surat izinnya. Dia tahu mengurus perijinan seperti itu makan waktu, jadinya dia melakukannya sesegera mungkin. Dia menghitung, nanti pada saat bukunya diterbitkan –dan dia mendapatkan uangnya, visa kami sudah selesai dan kami bisa secepatnya pergi dari sini.”
Keheningan yang pahit menyelimuti mereka berdua. Aldi mendengarkan dengan seksama –setiap detailnya. Hingga Shinta berhenti sejenak dari cerita itu, Aldi menyuarakan komentarnya. “Jadi dia ingin secepatnya angkat kaki dari sini, ya?” ujarnya sok tidak peduli. Walaupun sebetulnya dia merasa sangat sedih. Joe memang bukan orang yang baik, tapi dia adalah teman yang sangat baik bagi Aldi. “Lalu bagaimana dengan tempat tinggal kalian nantinya? Sekolah Terry?”
“Terry akan sekolah diinternational school. Joe memutuskan begitu. Lagipula, kampus memberi tunjangan dan bersedia menanggung biaya pendidikan putra-putri staff mereka.”
“Terry sudah lancar berbahasa inggris?” tanya Aldi takjub.
“Lebih lancar dari yang kamu bayangkan. Joe mengajari anak itu sejak dia masih bayi. Sehari-hari, setidaknya setiap mengantar Terry tidur, Joe berbicara padanya dalam bahasa inggris.”
“Lalu kalian akan tinggal dimana?”
“Di sebuah apartemen sederhana –katanya itu untuk sementara. Kami tidak akan mengambil tempat di pusat kota sebab rate-nya terlalu tinggi. Joe lebih memilih tinggal sedikit kepinggir dan membeli sebuah mobil. Tidak baru, memang. Tapi setidaknya masih bagus untuk dipakai. Lagipula, kampusnya memang tidak terletak di pusat kota. Kamu tahu kan, Al, bahwa di Australia sana kampus-kampus yang berkualitas justru malah dibangun di tempat yang jauh dari keramaian kota besar. Supaya suasananya lebih kondusif. Jadi tidak ada masalah mengenai jarak dan transportasi dari sana ke tempat tinggal kami nanti.”
“Mustahil kalian langsung menemukan tempat yang cocok begitu pindah ke sana. Pasti butuh waktu. Selama mencari, kalian mau tinggal dimana?” tanya Aldi was-was –walau tak ada alasan baginya untuk begitu.
Shinta tertawa. “Kamu akan terkejut, Al! Joe sudah mulai mencarinya dari sekarang. Dia punya banyak orang yang membantunya. Sean, kedutaan, bahkan Ivan –kamu kenal, kan? Manager sok tahu itu ternyata juga punya banyak kenalan disana dalam bisnis rumah tinggal. Sekarang, dirumah kami ada setumpuk brosur apartemen yang dibaca Joe setiap hari.”
Pada kenyataannya Aldi memang terkejut mendengar persiapan yang sangat matang itu. “Lalu apa masalahnya, Shin? Segalanya akan berjalan dengan lancar. Apa lagi yang kamu permasalahkan?”
Shinta melotot padanya saat Aldi menanyakan hal itu. “Apa? Kamu tanya apa masalahnya?” cibirnya. “Masalahnya adalah, Aldi, bahwa aku tidak mau pergi ke sana. Tidak mau. Aku tetap ingin disini. Di negaraku.”
“Kamu sudah bicarakan dengannya?”
“Ya, dan dia bersikeras. Dia dan Terry bersikeras –tepatnya.” ujar Shinta lemah. “Aku tidak bisa berbuat apa-apa, Al. Dengan atau tanpa aku, Joe akan tetap pergi –bersama Terry. Dia akan membawa anakku.”
“Lalu mengapa kamu menceritakan ini padaku, Shin? Apa yang bisa kulakukan?”
“Kamu sahabatnya.” Shinta menatap tajam mata Aldi. “Katakan padanya bahwa dia jangan bodoh, bahwa dia tidak boleh pergi.”
“Dia tak akan mau menurut.”
“Setidaknya dia akan mendengarkanmu. Karena kamu bebas, Aldi. Kamu tidak terikat. Dia bisa menguasaiku karena ada Terry. Dia mengancamku dengan anakku.”
Aldi membalas tatapan Shinta dan dia menemukan kilatan tekad di sana. Dan sayatan penderitaan.
“Aldi, Johan tidak punya apapun untuk mengancammu. Hanya kamu yang bisa menolongku.”
Guntur di langit menyadarkan Aldi dari lamunannya. Dia menatap Shinta dan tersenyum. “Akan kucoba.”
Shinta tersenyum dan berterimakasih padanya. Kemudian wanita itu pergi dengan taksinya. Aldi menatap kendaraan itu melaju sedikit demi sedikit –sama perlahannya dengan hujan yang mulai turun.
Dan sama juga lambatnya dengan otaknya yang berfikir tentang bagaimana cara menahan Joe agar tidak jadi pergi.
BAB XI…
Tak ada siang ataupun malam bagi Johan. Semenjak telepon dari Sean waktu itu, Joe bekerja seolah tiada hari esok. Biasanya dia adalah guru yang baik bagi siswa-siswanya, namun sekarang hal itu sedikit berubah. Dia tidak lagi menyediakan dirinya setiap saat di ruang guru untuk memberikan nasihat pada siswa-siswinya. Semenjak hari itu dia menjadi guru paling akhir yang datang sebelum kelas dimulai, dan yang pulang paling awal setelah kelas berakhir. Bahkan tidak sampai lima menit Aldi mencoba untuk menyakinkannya agar tetap tinggal, Joe langsung meraih tasnya dan berkata bahwa tak satupun dapat menghalangi kepergiannya –lalu dia menuju mobil dan melesat pergi.
Waktunya lebih banyak dihabiskan di jalanan. Dia melajukan mobilnya ke Departemen untuk mengurus surat-surat yang bahkan satu halaman ini pun tak akan muat untuk menuliskannya. Kenyataan bahwa sebentar lagi dia akan meninggalkan Indonesia membuat Joe harus mengurus itu semua, sebab dalam waktu dekat ini dia akan bukan lagi seorang pegawai negeri. Dan waktu yang dihabiskannya di Departemen itu masih harus dia lanjutkan ke suatu tempat dimana bukunya diolah. Sebagai seorang penulis dia merasa perlu dan harus memantau sejauh mana orang-orang itu menangani karyanya.
Dan jangan dikira aktivitas Joe berhenti sampai disitu. Dia masih harus ke kedutaan mengurus visanya, lalu dia masih juga harus ke kampus membereskan segala sesuatu. Yang jelas, selama beberapa saat terakhir ini dia tidak lagi terlalu tertarik untuk melakukan hubungan sosial dengan siapapun. Kecuali istri dan anaknya –tentu saja. Setidaknya, Joe masih cukup berperasaan untuk menyapa dan menyayangi keluarganya sepulang dari beraktivitas seharian itu. Dia masih punya waktu untuk berbincang-bincang, menonton televisi bersama, dan menceritakan kisah dongeng untuk Terry sebelum anak itu tidur. Dia pun masih sempat tersenyum apabila Shinta bertanya baju apa yang pantas dikenakannya esok hari.
Untuk hal itu, Shinta bersyukur. Namun dia khawatir Joe akan sakit dengan kegiatannya yang tidak mengenal lelah tersebut. Suaminya itu bahkan tidak lagi makan di meja makan, melainkan di hadapan komputernya –sambil bekerja, berhubungan dengan kolega-kolega yang berperan dalam rencana kepindahannya itu. Johan bahkan tidak lagi memakan nasi, melainkan hanya sepotong sandwich dan segelas susu coklat. Dia tidak lagi berdiri di depan lemari pakaiannya setiap sebelum tidur untuk memilih kemeja apa yang akan dipakainya besok, dan sekarang dia hanya akan mengambil pakaian bersih yang berada dikeranjang setrikaan –yang baru selesai dicuci kemarin, untuk dia kenakan –jadi dia tak perlu repot-repot membuka lemari baju. Melihat itu semua, akhirnya Shinta-lah yang mengambil alih pekerjaan itu. Dialah yang sekarang memilihkan baju apa yang akan dikenakan suaminya, saputangan warna apa yang akan dibawanya, kaus kaki yang mana, sampai menyemir sepatunya dan mencuci kaca matanya, Shinta pulalah yang mengerjakan.
Saat dia mengutarakan kekhawatirannya itu, Joe hanya berkata datar, “Ini hanya sementara. Nanti juga aku akan bisa santai seperti dulu. Masalahnya adalah, sekarang aku harus mengerjakan semuanya secara kilat sebab kita dikejar waktu. Mengertilah.”
Satu lagi pengertian yang diberikan oleh Shinta adalah bahwa kemarin dia membelikan suaminya itu handsfree sehingga Joe tidak perlu memegang ponselnya setiap saat dia menerima panggilan. Ada dua alasan. Yang pertama karena dia tak mau Joe terkena radiasi ponselnya, dan yang kedua semata-mata karena Shinta tak mau Joe menolak teleponnya karena sudah pegal memegang benda itu seharian. Karena akhir-akhir ini benda itu berdering lebih sering daripada benda apapun yang ada didunia ini. Rutinitas baru Joe adalah menerima panggilan telepon dari orang-orang aneh itu –Sean, Ivan, si Ashley siapalah entah namanya, lalu dari orang kedutaan, orang departemen, agen pesawat. Dan ditambah lagi dengan Joe yang setiap ada kesempatan selalu menghubungi berbagai apartemen yang ada di sana –yang salah satunya nanti akan menjadi tempat tinggal mereka.
“Mom, isn’t dad tired?” pertanyaan Terry membuyarkan lamunan Shinta. “Seems that daddy has married the phone.” candanya saat melihat Joe berbicara ditelepon sejak setengah jam yang lalu. Bahkan bocah itu telah terpengaruh suasana rumah mereka –yaitu dengan bicara dalam bahsa inggris. Sebab setiap kali Joe menerima telepon, mayoritas dia berbicara dalam bahas asing itu, sehingga kini telinga dan mulut Terry lebih akrab dengan bahasa inggis. Shinta senang putranya mahir berbahasa inggris, asalkan dia tetap menguasai bahasanya sendiri dengan fasih.
“Terry, daddy-mu memang bekerja keras belakangan ini. Dia memang lelah, namun tidak dia gubris. Karena apa? Itu karena dad menikmati pekerjaannya. Dia senang dan merasa bahagia. Jadi dia tidak capek.” jawab Shinta.
Terry tersenyum mendengarnya. “Dad memang hebat. Ya kan, mom?” ujarnya.
“Ya. Daddy-mu memang hebat.” jawabnya. “Yang paling hebat.”
Terry lalu duduk di sebelah ibunya. “Dad sangat senang pergi ke Australia. So do I. Tapi aku ingin tahu, apakah mom juga senang? Aku tidak mau mom marah-marah lagi pada daddy seperti waktu itu. Dad kan hanya mau yang terbaik bagi kita, jadi mom jangan marah-marah padanya. Kasihan daddy.”
Shinta menoleh terkejut ke arah anaknya. “Apa maksudmu?” Terry memang selalu membela daddy-nya, namun selama ini dia tidak pernah mengasihani pria itu. Pasti ada yang tidak beres sekarang.
“Well… yeah. Itu betul, mom. Aku pernah bertanya pada daddy segera setelah kalian bertengkar waktu itu. Dia sangat sedih karena mom tidak mau mengerti alasannya ingin pergi ke Australia. Padahal, dia menceritakan padaku bagaimana negara itu –apa yang dilakukannya dulu disana, dan apa saja yang mungkin akan bisa kita dapatkan disana. Menurutku, negara itu sangat baik untuk kemajuan karir dad. Dan aku juga tidak mengerti kenapa mom tidak menyukai ide itu.”
“There is no place like home, Terry.” Shinta menjawab singkat.
“I know, mom. And daddy does too. We all do.” bujuk Terry. “Tapi apa salahnya pergi kesana bila ada manfaatnya? Lagipula, memangnya mom pikir kita akan selamanya tinggal disana? Tidak, mom. Suatu saat nanti daddy akan membawa kita pulang –kembali ke sini.”
“Mom takut, Terry. Mom khawatir dia akan menolak pulang bila dia sudah merasa terlalu enak disana. Dan mom tidak mau itu.”
“Walaupun disana dad dijadikan raja sekalipun, dia akan tetap pulang.”
“Kamu terlalu yakin.”
“Mom…” rajuk Terry. “Daddy punya keluarga disini dan dia mencintai mereka. Daddy loves grand ma, grand pa, all the family members. He has Uncle Ivan, Uncle Aldi, his friends.” Terry berlutut dan menggengam tangan ibunya. “But most of all, mommy… he loves you. And if you really want to come back, then he’ll take you back.”
“Bila daddy-mu betul-betul mencintai mom, dia akan mendengarkan permintaan mom untuk tetap disini!”
“He loves you. But he also loves himself too. Mom harus mengerti. Dia tahu apa yang terbaik baginya, tanpa melupakan apa yang baik bagi kita berdua juga. Rencana kepergian ini telah matang dan… everyting’s gonna be alright.” Terry menunduk. “Please, mom. I’m sorry for saying this but… jangan egois. Jangan sakiti daddy. Dia sudah cukup sedih dengan kenyataan bahwa perbaikan masa depannya selalu membuat kalian bertengkar.”
Shinta menatap putranya. Saat mata mereka bertemu, Terry melihat keraguan disana. “Dad sangat mencintai mom, percayalah. Bila terkadang dad bicara ketus atau keras kepala,” ujar Terry berat, “atau bahkan bila dia terlihat terlalu angkuh, percayalah itu sama sekali bukan maksudnya. Hanya saja, memang begitulah dad. Kita harus menerimanya. Well… aku juga tahu mom kesal pada dad karena dad bukan seorang Islam yang baik. Aku tahu.” Terry merangkul ibunya. “Kita akan berusaha bersama untuk menyadarkannya, mom. Aku berjanji. Tapi untuk sekarang, tolong mengalahlah sekali lagi.”
Shinta memandang anaknya dalam-dalam. “Untuk pergi bersamanya ke Australia?”
Terry mengangguk. “Aku mohon.”
Selang beberapa saat, Shinta membungkuk dan memeluk putranya. Setetes air membasahi rambut anak itu. Shinta menangis.
“Mom… say ‘yes’.” pinta Terry.
Shinta mengangguk. “Yes, dear. I will. We’ll be there together.”
Terry memeluk ibunya. “I know, Mom. I know, however it takes, finally you’ll agree. You love daddy. I know you will do it for him.”
Shinta melepaskan pelukannya dan memandang anaknya dengan tajam. “No, Terry.” ujarnya pelan. “I do it for you.”
BAB XII…
Waktu terasa bergerak cepat semenjak hari itu –hari dimana Shinta secara tegas menyetujui rencana suaminya untuk pergi ke Australia. Walaupun persetujuan itu dikemukakannya dengan persyaratan. Shinta akan mengikuti apapun yang dikatakan suaminya, asalkan suaminya itu dapat membuktikan bahwa dirinya adalah seorang kepala keluarga yang baik –yang bisa bertanggung jawab dan mampu membimbing istri serta anaknya di jalan yang benar. Dan itu berarti Joe harus mau mulai mempelajari agamanya secara serius, dan menjalankan ibadah itu dengan sungguh-sungguh. Dialah tauladan di rumah itu, dan dia harus bisa berlaku serta memberi contoh yang baik.
Lucu memang, melihat isi perjanjian yang mereka buat. Shinta bersedia ikut pergi dan secara sukarela mengurus semua perijinan dirinya sendiri –sehingga beban Joe bisa sedikit berkurang. Namun sebagai balasannya, Joe harus telah berada di rumah sebelum waktu berbuka puasa. Joe juga harus berpuasa setiap hari, dilarang mengomel apabila dibangunkan untuk sahur, mau mematuhi aturan Shinta untuk belajar membaca Al-Quran dari Subuh hingga pukul enam. Joe juga harus sholat lima waktu, selalu berbuka puasa bersama dirumah, dan dia harus mau ikut tarawih ke mesjid bersama Shinta. Kemudian Shinta juga membimbing Joe untuk meninggalkan semua kebiasaan buruknya. Mulai kini, tak ada alkohol, tak ada keluyuran malam, tak ada kata-kata kasar yang terlontar. Pokoknya, Joe harus jadi anak manis.
Dan satu peraturan yang paling penting adalah untuk semua itu Joe tak boleh mengeluh.
Sebenarnya, Joe malas mengikuti permainan ini. Hanya demi Australia-lah dia mau menjalankannya. Sama halnya dengan siang ini di sekolah. Selama ini dia selalu malas untuk sholat Zuhur di sekolah. Habisnya, musholanya jelek –pikirnya begitu. Lagipula, untuk apa sih?
Namun sekarang mau tidak mau dia harus melakukannya. Memang sih bila mau dipikir, Shinta pun tidak akan tahu apakah dia sholat Zuhur atau tidak –sebab wanita itu kan ada di rumah, dan dia di sekolah. Wanita itu tidak akan tahu apapun yang dibuat suaminya di luar. Tetapi kehormatanlah yang akhirnya membawa kaki Joe menuju pancuran air wudhu. Dia akui, dia memang bukan Islam yang baik, bukan manusia yang sopan. Namun diatas semua itu, dia punya martabat –dan demi mempertahankan martabat itulah dia enggan untuk melanggar janjinya. Mulutnya adalah modal untuk mencapai kejayaan, dan itu berarti ucapan mulutnya harus bisa dipercaya –dipertanggung jawabkan. Dia tidak akan pernah melanggar apa yang sudah diucapkannya dengan mulutnya sendiri. Dan apabila itu terjadi, berarti dia telah kehilangan harganya –dimatanya sendiri.
Saat dia melangkahkan kakinya ke mushola, Aldi melihatnya dengan bahagia. Entah angin apa yang membuat sahabatnya itu insyaf, yang jelas kini dia telah sedikit demi sedikit berubah menjadi orang baik.
Tanpa sadar sedang diperhatikan, Joe pun memulai sholatnya. Dia membuang apa yang ada dalam pikirannya, tidak mempedulikan apa yang terjadi disekitarnya. Hanya satu yang dia tahu: dia sedang bicara pada Tuhan. Aneh memang, bila kita melihat laki-laki seperti dia –yang kita sudah tahu seperti apa dia sebetulnya, berdiri di atas sajadah dan sholat dengan khusyuk. Namun memang itulah kenyataannya. Sejak kecil, Joe telah dididik untuk bersungguh-sungguh. Bila dia melakukan sesuatu, dia harus melakukannya secara total –atau lebih baik tidak usah dilakukan sama sekali. Bila dia mau membunuh seseorang, maka dia akan melaksanakannya dengan serius, dan apabila sekarang dia beribadah maka dia juga akan melakukannya secara keseluruhan.
Semenjak dia masih balita, dia sudah terbiasa untuk memandang jauh ke depan. Bukan berarti dia enggan melihat ke belakang, tapi idealnya dia hanya akan menoleh pada masa lalunya, merencanakan masa depannya, namun tetap menjalankan kehidupan nyatanya dengan baik.
Dulu dia pernah punya tetangga seorang Cina. Pria tua itu pernah mengajarinya mengenai zodiak, shio, dan hal-hal semacam itu. Joe sebetulnya tidak mempercayainya. Namun dia terbiasa untuk mengingat apapun yang pernah didengarnya –masa bodoh itu benar atau tidak, baik atau buruk. Dia yakin, suatu saat setiap detail pengalaman hidupnya akan memberi manfaat baginya.
Laki-laki Cina itu pernah mengatakan bahwa dia –sebagai seorang Gemini bershio Naga, memiliki sekumpulan bakat dan kemampuan. Dia juga adalah seorang lak-laki berdaya tarik menarik, dan dengan mudah dapat mempesona lawan jenisnya. Dia adalah laki-laki berpendirian teguh, berkemauan keras, dengan intelektualitas yang tinggi. Sayangnya –kata kakek itu, Joe dengan segenap kelebihannya adalah orang yang angkuh, tidak mau mengalah, posesif, ambisius, keras kepala, dan sedikit materialistis. Ciri utamanya adalah mengutamakan keduniawian. Dia benci segala sesuatu yang bersifat sosial, dan hanya menyukai keeksklusifan, dimana dia bisa menyendiri dan menikmati miliknya tanpa campur tangan orang lain.
Hingga detik ini Joe hanya menganggap hal itu omong kosong. Dia tidak percaya pada ramalan. Karena dia yakin, segala sesuatu yang ada dan terjadi di dunia ini adalah tergantung dari individu itu sendiri. Persetan dengan zodiak. Siapa peduli dengan bait yang mengatakan bahwa dia adalah laki-laki tampan luar biasa? Dan bila dia sengaja berkubang di lumpur dan kemudian jalan-jalan di tengah kota, masih adakah yang mau menganggapnya tampan? Tentu tidak. Bila selama ini dia dikenal sebagai Johan yang tampan, itu karena dia memang berusaha untuk tampil begitu. Dia senantiasa memikirkan betul-betul kerapihan pakaiannya, kepantasan penampilannya, menjaga pesonanya. Dan apabila pada kenyataannya dia tampan, maka itu semata-mata hanyalah karena memang dirinya menginginkan hal tersebut –dan bukan atas pengaruh zodiak tolol itu.
Dia menganut kepercayaan bahwa dia menguasai segala yang ingin dia kuasai. Dan sebagai buktinya, dia berhasil memenangkan pertaruhannya dengan Shinta. Akhirnya wanita itu bersedia ikut ke Australia dengannya. Walaupun syarat yang diajukan Shinta cukup merepotkan, namun itu kan tidak selamanya. Shinta hanya berkata, dia mau pergi asalkan Joe bisa membuktikan bahwa dia adalah kepala keluarga yang baik –dan Shinta memberinya waktu hingga akhir Ramadhan ini, satu minggu lagi. Dan setelah itu, pada bulan Januari, mereka akan terbang ke Australia dan perjanjian itu musnahlah sudah.
Segera setelah semua itu berakhir, Joe akan mendapatkan segalanya. Dia akan meraih impiannya, mendapatkan apa maunya, dan tetap dapat menjalankan hidupnya sesuai caranya.
Alangkah indahnya bila hal itu dapat menjadi kenyataan.
Joe melipat sajadah dan meletakkannya di tempat penyimpanan alat-alat sholat. Kemudian dia tersenyum sendiri. Hari ini dia harus pulang cepat, dan segera setelah jam di kampus berakhir, dia akan langsung pulang. Dia masih harus mempersiapkan beberapa hal lagi –sebab hari ini adalah pertama kali Shinta memintanya untuk menjadi imam sholat Maghrib mereka. Seumur hidup, Joe tidak pernah melakukannya. Dan kali ini –dia tak mau menanggung malu atas ketidakmampuannya, dia akan berusaha dengan sungguh-sungguh menjalankan misi itu. Dia akan membuktikan pada Shinta bahwa dia adalah kepala keluarga yang baik, suami yang baik, imam yang baik, dan dia memang mampu melakukan segalanya dengan sempurna. Sebab dia memang adalah manusia yang dilahirkan dalam garis takdir kesempurnaan. Dan dia tidak mau ada satu orangpun yang meragukannya, apalagi bila orang itu adalah istrinya –wanita yang dia nikahi.
BAB XIII…
Dia tidak bisa. Johan tidak bisa membuat ketupat dan dia memang tidak pernah tertarik untuk bisa melakukannya. Lalu untuk apa dia sekarang duduk bersila di lantai dapurnya dihadapan sekeranjang benda-benda hijau memuakkan yang panjang-panjang itu?
“Dad, tanganku terbelit!” pekik Terry panik saat jari telunjuknya terlilil oleh anyaman ketupat. “Lepaskan, daddy.”
“Kamu ini… ya sudah, kemari.” Joe menarik lembut anak itu dan meraih tangannya yang terbelit. “Setelah ini lebih hati-hati, ya?”
Terry mengangguk. Shinta tertawa melihatnya. “Terry, kalau kamu menganyamnya begitu, kamu akan terlilit daunnya terus. Begini nih, caranya yang benar…” ujar wanita itu dengan riang sambil memberi contoh untuk kesekian kalinya pada Terry.
Dengan fustrasi Joe menjatuhkan anyamannya ke lantai. “Shinta, please.” mohonnya. “Aku lelah, aku capek, dan aku tidak bisa melakukannya!” pekiknya kesal. “Aku benci anyaman tolol ini.”
“Eh, besok kan Lebaran, kamu tidak boleh lagi bicara kasar seperti itu.”
“Tapi aku sungguh-sungguh.”
“Apanya? Bahwa kamu tolol?” tanya Shinta sok polos.
Joe meliriknya dengan sinis. “Bukan aku. Tapi ketupatnya.”
Shinta tertawa. “Masa kamu tidak bisa membuatnya?” ledeknya. “Seingatku, nih… kamu pernah bilang bahwa kamu bisa melakukan segalanya dengan baik, kan?”
Ya, tantangan itulah semata-mata yang membuatnya masih bertahan mencoba membuat ketupat itu. Dia memang pernah bilang dia bisa melakukan semuanya. Dan untuk mempertahankan kalimat itulah dia belajar membuat ketupat sekarang.
“Tapi, Shin… aku tidak bisa membuat benda ini. Lihatlah, ketupat itu terlalu kecil, terlalu merepotkan. Aku tidak berminat mengerjakannya.” ujarnya kesal.
“Tapi aku mau kamu membuatnya untukku. Untuk merayakan lebaran kita besok.”
“Shinta…” Joe menyentuh lengan istrinya dan menghadapkan wanita itu padanya. “Begini saja ya, kalau kamu memang mau ketupat… oke. Aku akan memenuhi permintaanmu itu. I will do anything for you. Aku berjanji akan membelikan ketupat yang banyak untukmu.”
“Aku tidak mau kamu beli. Aku mau kamu membuatnya.”
“Memangnya apa bedanya? Begini ya, aku tidak berbakat membuat ketupat dan aku rasa buatan tukang-tukang itu akan jauh lebih enak.”
“Jadi kamu kalah dengan tukang-tukang itu?”
“Bu… bukan itu maksudku.”
“Kalau begitu, buatlah.”
“Tapi aku sudah bilang tidak, kan? Kenapa kamu begitu ngotot?”
Shinta menatapnya tajam. “Kamu bilang kamu bisa segalanya. Kamu bilang kamu sempurna, kan?”
“Shinta…”
“Buktikan, Johan.”
“…” Joe terdiam memikirkan jawaban yang harus dia berikan. Mengalah dalam berkata-kata bukanlah sifatnya. “Aku…”
“Aku tidak butuh ‘aku’mu, Joe.”
Johan menatap istrinya.
Shinta balas memandangnya dengan tajam.
“Shinta…” Joe meremas rambutnya dengan risau. “Aku…” dia mengepalkan tangan dengan geram. “Baiklah! Oke! Aku tahu apa maksudmu! Aku tahu apa maumu!”
Shinta tetap tidak bergeming.
“Aku tidak bisa melakukan segalanya, Shinta. Aku akui itu. Aku tidak sempurna, kamu dengar itu? Aku bukan yang paling hebat. Aku bukan si Maha Bisa! Karena aku… karena…”
“Karena apa, Joe?”
“Aku…” ujarnya lirih. “Karena aku bukan Tuhan.” Joe sendiri bingung atas ucapannya –yang keluar begitu saja. Namun walau sangat berat mengucapkan kalimat itu, anehnya dia merasa lega justru setelah mengungkapkannya.
Dengan tersenyum lemah Shinta bangkit berdiri dan menarik suaminya. Dia membelai lembut pipi pria itu dan berkata, “Aku tidak butuh ketupatmu, Joe.”
Joe memandang istrinya dalam-dalam, mencari kebenaran disana.
“Aku tidak butuh –aku tidak peduli dengan ketupat itu, atau apapun yang ingin kamu beli untuk Lebaran esok hari. Aku hanya butuh pengakuan itu. Pengakuanmu atas Tuhan –Tuhanmu, yang telah menciptakanmu.”
“Aku sudah melakukannya.”
“Ikhlas?”
“…”
“Kamu betul-betul mengatakannya dari lubuk hatimu?”
“Aku…”
Saat itu suara orang-orang yang takbiran mulai terdengar. Shinta dan Johan sama-sama terlonjak kaget dan menoleh secara bersamaan. Sesaat kemudian, Shinta menatap suaminya lagi. “Sudah, Joe. Sudah tepat 30 hari. Kesempatanmu telah berakhir. Waktumu sudah habis.”
“Maksudmu…”
“Bulan Ramadhan telah berakhir. Dan kamu bahkan… kamu belum bisa memenuhi perjanjian kita, Joe.”
“Shinta… tolong…”
“Kamu tidak bisa memenuhinya. Maafkan aku. Tapi memang itulah isi perjanjian kita.”
Joe menatap istrinya dengan tidak percaya. “Kamu…”
“Mom.” seru Terry memecahkan keheningan itu. “Aku ngantuk. Aku mau tidur.”
Shinta tersenyum. “Oke. Mom antarkan kamu ke kamar.”
Joe hanya bisa memandang keduanya berjalan pelan menjauhi dapur dan masuk ke dalam rumah. Dengan lemas Joe jatuh terduduk di lantai, menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Dia kecewa. Tetapi pada apa? Mengapa dia harus kecewa? Bukankah selama ini dia adalah Joe yang tidak pernah tersentuh oleh apapun? Bukankah selama ini perasaannya telah berbingkai oleh dinding baja yang kuat? Lalu apa yang membuatnya kecewa –sedih seperti ini? Dan terlebih lagi, dia kecewa terhadap apa? Kepada siapa?
Apakah dia kecewa terhadap keputusan Shinta yang mengatakan kegagalannya? Bahwa wanita itu tidak akan ikut dengannya ke Australia? Apakah itu yang membuatnya sedih?
Tidak! Masalah Australia itu bukanlah masalah besar. Dia bisa pergi kesana sendirian tanpa istrinya sekalipun. Namun yang dia pertanyakan adalah, mengapa lidahnya terasa kaku waktu Shinta menanyakan keikhlasannya atas pengakuan itu? Mengapa dia tidak bisa mengatakan ‘ya, aku mengakui Tuhanku’? Mengapa dia bisa sesombong itu?
Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Joe berbisik lirih, entah pada siapa, dan entah mengapa. “Ya Tuhan…” dia menunduk dan –ya, air mata menggenangi pelupuknya. “Ya Tuhan… apa yang telah aku lakukan?”
Dan hatinya bagai tersayat saat dia seolah mendengar bisikan batinnya, yang berkata bahwa pada kenyataannya dia memang tidak melakukan apa-apa.
Dan bahwa dia bukanlah siapa-siapa.
***
Malam itu, sendirian di dalam kamarnya Joe tidak merasa bersemangat untuk melakukan apapun. Dia tidak makan, dia tidak mendengarkan musik, dia tidak bekerja, dia tidak mempedulikan berkas-berkas yang tergeletak di sudut tempat tidurnya. Namun satu hal yang pasti sedang dia lakukan: menangis.
Dia mengingat-ingat kapan terakhir kali dia menangis. Sudah lama –lama sekali. Dia tidak pernah lagi mau menangis semenjak dia tahu bahwa tangisan adalah ungkapan suatu kelemahan. Dia benci mengutarakan perasaannya dalam bentuk apapun. Dia tidak akan membiarkan satu orang pun mengetahui air matanya, wujud dari emosinya. Dia tidak mau ada orang yang tahu bahwa dia tidaklah sesempurna yang mereka duga. Hingga saat ini Joe berhasil mengelabui orang-orang itu, dan seluruhnya menganggap dirinya dewa yang maha bisa. Tidak pernah satu kali pun dalam hidupnya Johan mengalami kegagalan, dia tidak pernah jatuh tersungkur, tidak pernah terantuk batu, dia selalu berhasil.
Namun lihatlah siapa dia sekarang.
Dia hanya tinggal puing-puing belaka. Pertama kali dalam hidupnya dia dihantam oleh kenyataan bahwa dia ternyata tidak punya apapun untuk dibanggakan. Dia merasa begitu hina, begitu kotor. Begitu memalukan. Apalah arti hidupnya selama ini? Dia begitu sombong, angkuh, dia terlalu merendahkan orang lain –merendahkan Tuhannya. Dan coba lihatlah dirinya dicermin saat ini. Wajahnya merefleksikan raut muka seorang pendosa, penghuni neraka.
Jangan, jangan masukkan aku kedalam neraka itu! Joe memekik dalam hati. Tetapi apa yang dapat digadaikannya untuk menghindari jalan kesana? Apa yang dapat dipersembahkannya kepada Tuhan untuk merubah keputusan itu? Apa yang bisa dia tawarkan pada malaikat penjaga neraka agar mereka sudi berunding menegosiasikan hal itu? Apa yang dia miliki? Apakah dia akan menunjukkan kepandaiannya? Atau dia akan memperlihatkan seluruh kekayaannya? Atau dia akan mengatakan bahwa di dunia ini dia adalah tokoh yang hebat? Itukah yang dia miliki?
Tidak, dia tidak memiliki apa-apa.
Apakah kamu beriman, Johan? Tidak. Apakah kamu menyembah Tuhanmu? Tidak. Apa kamu mengakui agamamu? Tidak.
Ya Tuhan! Apakah itu yang harus dikatakannya? Serendah itukah dia dihadapan Tuhannya –yang telah menciptakannya, menyayanginya, memberinya berkah sebanyak yang dia miliki sekarang? Tuhan yang tanpa lelah terus menyuapinya dengan kesenangan, sementara dia bahkan tidak pernah mau tersenyum padaNya. Apakah dia memang seorang manusia tidak tahu terimakasih?
Tidak. Jawabannya adalah tidak. Dan memang tidak pernah ada kata terlambat untuknya bertaubat. Dan sekarang dia enggan membuang-buang waktu lagi. Tidak lagi.
Tidak lagi dia akan menyia-nyiakan kesempatannya seperti apa yang pernah dia lakukan. Bahkan tahun ini dia tidak menyempatkan diri pergi ke kampung halamannya untuk bertemu dengan sanak keluarga. Dan hal yang membuatnya sibuk setiap waktu hanyalah Australia. Padahal jelas-jelas negara itulah yang telah membuatnya jadi seperti ini. Kehidupannya disana dululah yang mengubahnya menjadi manusia mengerikan yang tidak punya perasaan. Seorang manusia yang sombong.
Dengan tertatih-tatih Joe melangkah keluar kamar untuk mengambil air wudhu, dan kemudian bersimpuh di hadapan Tuhannya –memohon ampun dalam sholat Isya-nya.
BAB XIV…
“Kamu mau ikut?” tanya Shinta datar namun tersirat keheranan dalam nada suaranya. Perkataan suaminya yang tiba-tiba itu membuat gerakan tangannya terhenti dan dia tidak jadi meneguk minumannya.
Dengan serius Joe mengangguk. “Ya.”
“Disana penuh, Joe.”
“Aku tahu.”
“Ceramahnya panjang dan membosankan.”
“Biarkan.”
“Jalanannya kotor dan lembab.”
“Shinta… kumohon. Aku tidak akan seperti itu lagi.” Joe membujuk Shinta saat istrinya itu mengulangi kembali semua alasan yang biasa dia katakan untuk menolak ajakan Shinta saat wanita itu mengajaknya sholat Ied ke mesjid agung.
Shinta memandang suaminya dengan seksama. Laki-laki itu sudah mandi, dan tadi Shinta melihatnya sholat Subuh –yang membuat Shinta terkejut. Joe mengenakan celana panjang cream dengan kemeja lengan panjang bewarna maroon. Joe memang tidak mengenakan baju koko, karena dia tidak pernah memilikinya dan selalu menolak bila Shinta menawarkan diri untuk membelikannya. Namun walau tanpa pakaian itu, hari ini dia tampak betul-betul telah siap untuk pergi.
Shinta menarik nafas panjang dan menegak air minumnya. Lalu dia menuangkan segelas lagi seraya menyodorkannya ke hadapan Joe. “Minumlah dulu.”
Joe meraih gelas itu dan mengikuti perintah istrinya.
“Duduklah.” ujarnya pada Joe, lalu dengan wajah lelah dia berkata, “Apa yang terjadi padamu?”
Joe meremas kedua tangannya dengan resah. “Aku tidak tahu. Sungguh, aku betul-betul tidak tahu apa yang terjadi padaku.”
Shinta tersenyum lemah. “Kalau memang kamu mau sholat Ied, kamu bisa melakukannya sendiri. Kamu tahu dimana mesjidnya.” Shinta menatapnya. “Namun kalau kamu melaksanakannya hanya karena ingin mengubah keputusanku, maaf saja, Joe. Kamu sia-sia. Aku tetap tidak akan pergi ke sana. Dan sesuai perjanjian kita, bila kamu kalah, maka aku akan tetap di negara ini bersama Terry.”
Joe memandang ke arah jam dinding. “Sholat dimulai empat puluh lima menit lagi, Shin. Kita masih punya cukup banyak waktu untuk bicara.”
“Memang. Namun aku rasa kita tidak memiliki cukup banyak bahan untuk dibicarakan.”
Joe menerima jawaban dingin itu dengan lapang dada. Oke, dia tidak akan memberikan kesempatan pada Shinta sekali lagi untuk salah mengerti tentang apa yang ingin dia katakan. “Tapi aku tahu ada sesuatu yang harus kita bicarakan.”
“Aku tahu ada sesuatu yang akan kamu katakan.” ujar Shinta mengoreksi perkataan suaminya.
Joe terdiam, lalu mengangguk. “Awal Januari nanti seharusnya kita bertiga pergi ke Australia.”
Shinta tediam dalam kepahitannya mengetahui bahwa masih saja Australia yang memenuhi pikiran suaminya. “Aku tahu.” jawabnya pendek.
“Tapi aku tidak tahu.”
Shinta terkejut dan mendongak, memandang suaminya. “Apa maksudmu?” tanyanya heran.
Dengan sigap Joe bangkit berjalan mendekati istrinya, berlutut, menggengam tangan wanita itu. “Aku tidak tahu, Shinta. Aku tidak tahu… haruskah aku pergi ke sana? Haruskah kita pergi kesana?”
Shinta menatap suaminya dengan takjub. “Itu yang kamu inginkan.”
“Itu yang pernah kuinginkan.”
“Jadi… jadi maksudmu…” Shinta menutup mulutnya dengan tangan. Tidak percaya. Terharu. “Sekarang…”
“Tidak ada lagi Australia.” Joe merangkul istrinya dan memeluk wanita itu. “Teman-temanku memang ada disana, karirku memang ada disana, bahkan masa depanku pun ada disana.”
“…” Shinta terdiam.
Joe melepaskan pelukannya dan mendekatkan wajahnya ke wajah istrinya. “Tapi diatas semua itu, hidupku ada disini, sayang… bersamamu, dan anak kita.” dia mengecup lembut bibir istrinya dan tersenyum.
“Joe…”
Laki-laki itu menyuruh istrinya diam. Kemudian dia melanjutkan kata-katanya. “Aku pernah ada disini,” Johan menyentuh letak hati istrinya, “dan aku berharap aku memang masih ada didalam sana saat ini.”
“Johan… aku…”
“Dan aku akan terus berusaha untuk berada disana selamanya.” dia tersenyum memandang istrinya. “Karena aku sungguh-sungguh mencintaimu, Shinta…”
Shinta menelan ludah. “Aku tahu.” dia tersenyum hangat. “Sama seperti kamu juga tahu bahwa aku sangat mencintaimu. Dan Tuhan tahu betapa besar cintaku padamu.”
“Dia memang tahu.” Joe menjawabnya pelan. “Aku tahu bahwa Dia tahu, karena Dia-lah yang telah memberitahuku. Dia yang telah membuat aku tahu, betapa bodohnya aku karena telah membuat cinta yang tulus itu menderita.” ujarnya penuh penyesalan. “Maafkan aku.”
Shinta tidak sanggup lagi berkata-kata. Dia hanya berlutut di hadapan suaminya, meraih tangan pria itu dan menciumnya.
Johan bahagia atas jawaban itu. Dia membungkuk dan menyuruh istrinya berdiri, lalu mencium puncak kepalanya.
“Ayo kita berangkat.”
“Terry masih main di kamar.” ujar Shinta.
“Ajaklah dia juga. Dia pasti mau.”
“Dia selalu menurut padamu.”
“Sayangnya begitu.” ujar Joe konyol.
Shinta memeluk suaminya. “Tapi sejauh ini kan kamu belum pernah mengajarinya sesuatu yang buruk. Semuanya baik-baik saja.”
“Untungnya begitu.” Joe mengelus lembut punggung istrinya dan tersenyum bahagia. “Untung aku belum melakukannya.”
Shinta menatap mata suaminya dan dengan sedikit terkejut. Dia melihat laki-laki itu lagi. Laki-laki yang dulu telah membuatnya jatuh cinta di dalam telaga cintanya yang tanpa dasar.
Dia melihat Johan.
Johan yang sesungguhnya.
EPILOG…
Shinta melipat sajadahnya dan tersenyum pada seorang wanita yang barusan sholat disebelahnya. “Saya permisi dulu, bu.” pamitnya pada wanita itu segera setelah khotbah usai. Dengan sedikit terburu-buru Shinta melangkah menerobos kerumunan orang yang sedang sibuk beres-beres itu dan mencari-cari pintu keluar.
Di gerbang dia dicegat oleh seorang pengemis tua yang lusuh, dan dengan tergesa-gesa dia mengeluarkan selembar uang seribuan untuk diberikan pada laki-laki itu. Dengan anak matanya dia berusaha mencari mobilnya –tempat dimana suami dan anaknya tengah menunggu.
Dia berjalan ke kanan dan lurus kedepan selama beberapa meter, sebelum akhirnya menemukan anaknya sedang duduk diatas kap mobil dengan sang ayah berjongkok di bawah. Sejenak Shinta menghentikan langkahnya saat melihat Joe disana. Laki-laki itukah suamiku? Tanyanya tidak percaya dalam hati.
Dia terlihat begitu berbeda, lebih bahagia. Dia terlihat seolah begitu bercahaya. Dan dengan hati bercampur aduk Shinta berjalan mendekati mereka berdua. “Mom,” seru anaknya saat dia sampai di sebelah mereka.
“Hai, Terry.”
“Ayo, Mom. Kita pulang. Aku sudah lapar.”
“Kita akan makan ketupat,” Joe menyambar. “Tapi beli dari tukang itu.” dia menunjuk gerobak ketupat sayur yanga da di hadapan mereka. Secara halus dan penuh humor dia mengingatkan Shinta tentang ‘malam ketupat’ itu lagi.
Shinta tersenyum dan membukakan pintu belakang mobil untuk anaknya. Kemudian dia masuk kedalam mobil seraya menutup pintunya.
“Well, kita sekarang pulang dan sarapan. Lalu kita pergi ke rumah Oom Ivan dan Oom Aldi, oke?” ujar Joe pada putranya yang langsung mengangguk-angguk setuju.
“Dad, kemarin aku dengar dad bilang pada Oom Ivan bahwa dad tidak jadi pergi ke Australia, ya?”
Joe menarik nafas panjang. “Iya, sayang.”
“Kenapa, dad? Bukankah dad sudah berjanji padaku akan kesana? Bukankah dad sudah berjanji bahwa dad akan mengajariku naik kuda, dan kita akan membeli koala? Bukankah dad berjanji akan mengajakku menemui kangguru?” desak Terry.
Joe memandang anaknya dengan sedih. “Mungkin suatu saat nanti kalau dad ada rezeki, kita bisa berlibur beberapa hari disana. Sekalian menemui teman-teman dad.”
Terry memandang ayahnya dengan kecewa. “Bukan liburan itu yang dad janjikan padaku. Dad berjanji kita akan tinggal disana.”
“Sayang… dad memang pernah berjanji padamu. Sama seperti dad telah berjanji pada Sean, Gray, dan Ashley untuk pergi kesana. Memang, kebatalan kepergian dad ini telah mengecewakan mereka –dan juga dirimu. Dad tahu itu. Dad tahu bahwa dad telah melanggar janji dad pada kalian. Daddy juga berat melakukan ini.”
“Lalu kenapa daddy lakukan itu? Dad selalu jujur, dad tak pernah bohong. Seumur hidup dad tidak pernah menarik kata-kata dad sendiri –apapun yang terjadi. Dad adalah orang yang paling bisa dipercaya. Selama ini, janji dad adalah jaminan bagi yang lain. Kenapa dad mengecewakan kami? Kenapa daddy berubah? Daddy bukan yang dulu lagi. Daddy tidak peduli lagi padaku. Daddy tidak lagi sayang padaku. Daddy tidak pernah mau lagi memikirkan aku.” ujar Terry dengan wajah menyedihkan. Kecewa.
Joe mengelus rambut anaknya dan menarik nafas panjang. Bingung. “Sayang… dad memang pernah berjanji. Namun ada beberapa hal di dunia ini yang tidak bisa dinilai hanya sebatas janji.” Joe mengelus rambut anaknya. “As we go through life we’ll see there is so much that we don’t understand. And the only thing we know is things don’t always go the way we planned.”
“But, daddy… I don’t understand. I can’t get your reason in mind.”
Joe tertawa kecil. “Wajar bila kamu tidak mengerti. You’re still too young. Your journey has only begun.” dia mencium kening putranya. “You’ll understand someday.”
Terry terdiam dan menunduk. “Apa aku akan mengerti?”
Joe mengangguk.
“Apa dad yakin aku akan mengerti?” tanyanya lagi.
“Ya. Dad yakin.”
Terry mengulum bibirnya. “Apa itu sebuah janji?”
Joe tertawa kecil. “Tentu saja, sayangku. Itu adalah sebuah janji.”
Terry menunduk lagi. Dia terus dalam posisi itu hingga di hatinya terbesit satu hal. Mungkin ayahnya memang pernah melanggar janjinya, namun tidak ada salahnya memberi pria itu satu kesempatan lagi. Dan kesempatan itu akan diberikannya sekarang. Dia akan memegang kata-kata ayahnya bahwa suatu saat nanti dia akan mengerti makna perkataan ayahnya barusan. Bila dia betul-betul dapat mengerti, berarti ayahnya jujur dan tidak lagi berbohong. “Alright, dad. I trust you. Tapi kalau sampai dad berbohong, seumur hidup aku tidak akan mempercayai dad lagi.”
Joe tersenyum. Dia segera menyalakan mesinnya. Dan tepat saat mesin itu mulai menyala, Shinta berkata, “Bagaimana? Lancar tadi sholatnya?”
Joe tersenyum simpul. “Alhamdullilah.”
- Blogger Comment
- Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar
Sundul gan! Ane ga kenal yang namanya spam...