BAB I…
Rizal menatap layar televisi itu dengan pandangan kosong. Walaupun stasiun televisi swasta itu sedang menayangkan film tentang para gadis penjaga pantai dengan bikini seksi mereka, Rizal sama sekali tidak merasa tergerak untuk memperhatikannya. Semua gadis berbaju renang merah yang sedang berlalu lalang di hadapannya itu sama sekali tidak menarik minatnya.
Satu-satunya hal yang menyita perhatiannya kini hanyalah dirinya sendiri –masalahnya sendiri. Ia sama sekali tidak peduli apakah orang-orang di film Baywatch Hawaii itu mau tenggelam, atau dimakan ikan hiu, menjelma jadi amoeba, atau bahkan diculik Nyai Roro Kidul sekalipun, itu bukan urusannya. Rizal tidak mau pusing-pusing memikirkan apa yang tidak berhubungan dengan dirinya.
Ini sudah hampir jam sebelas. Film itu sudah akan berakhir. Kemudian akan ditayangkan Sex And The City hingga tengah malam nanti. Rizal menyandarkan kepalanya di sandaran sofa. Ia hafal jadwal televisi untuk malam ini, sebab biasanya dia selalu menyukai dirinya duduk sendiri didepan televisi dengan lampu remang-remang, lalu menyaksikan Sarah Jessica Parker berakting dengan lihainya. Namun untuk malam ini, agaknya dia ragu apakah aktris cantik itu sekalipun mampu membangkitkan semangatnya kembali.
Akhirnya Rizal memutuskan untuk mematikan televisi itu dan berjalan menuju bagian tengah rumah, berjalan pelan menuju kamar anak-anaknya. Dengan hati-hati dia mendorong pintunya yang bercat putih, melangkah masuk sambil berjingkat-jingkat, kemudian duduk di pinggir tempat tidur anak-anaknya. Dengan penuh rasa sayang dia mengecup dahi Linda –putri bungsunya, dan mengelus rambut putranya –Marco.
Setelah memastikan keduanya tidur dengan nyenyak, Rizal melangkah keluar kamar anak-anak itu dan berjalan menuju kamarnya sendiri. Saat dia membuka pintunya, dia melihat Trudy telah tertidur dengan sangat lelap. Bisa-bisanya –umpat Rizal dalam hati. Ingin rasanya dia berlari ke arah ranjang dan segera menyingkapkan selimut yang dipakai istrinya itu, menarik wanita itu sampai dia benar-benar bangun, lalu dengan penuh kepuasan dia akan menendang setan wanita itu ke jalanan. Kalau bukan karena anak-anak tentu saja hal itu pasti sudah lama terjadi –ujarnya dalam hati.
Maka dengan pahit Rizal berjalan perlahan-lahan menuju lemari pakaiannya supaya Trudy tidak terbangun –bukan karena Rizal menyayanginya, namun semata-mata karena dia malas berbicara dengan wanita itu. Setiap kali didengarnya suara Trudy, ingin betul dia menyumpal mulut istrinya itu dengan batu kali.
Rizal menarik kopernya dari atas lemari dan mengisinya dengan semua pakaiannya yang cukup untuk dimasukkan ke dalam koper itu. Tidak perlu semua –putusnya. Dia hanya memerlukan empat potong celana panjang, enam kemeja, tiga polo shirt, tiga kaus kaki, seluruh pakaian dalamnya, dan beberapa sapu tangan. Setelah semua itu siap, Rizal menaruh koper itu di sofa ruang tamu, lalu dia beranjak menuju ruang kerjanya. Dia mengambil semua keperluannya di sana dan memasukkannya ke dalam sebuah kantong besar. Kalkulatornya, buku-bukunya, peralatannya, arsip-arsipnya, pokoknya semua yang dia perlukan untuk pekerjaannya. Setelah itu juga siap, dia segera menarik selembar kertas dan lalu menuliskan memo untuk anak-anaknya.
Papa ada urusan pekerjaan selama beberapa hari. Bos papa tiba-tiba saja telepon tadi malam, jadinya papa tidak sempat pamit pada kalian. Mungkin papa baru akan kembali seminggu lagi. Kalian baik-baik sama mama, ya! Papa akan sering menelepon kalian. Kalau sempat, papa juga akan menjemput kalian di sekolah lalu kita akan jalan-jalan. Tapi papa belum bisa pulang sebab papa harus menginap di tempat bos papa. Kalau kalian kangen, kalian bisa telepon kapan saja. Papa mencintai kalian. Cium sayang dari papa.
Dia lalu berjalan menuju kamar anak-anaknya, meletakkan memo itu di sebelah lampu meja, dan mencium dahi anak-anaknya sekali lagi. Paling tidak, isi memo itu telah menjelaskan sesuatu yang perlu mereka ketahui. Hanya sebatas itu –ya. Karena Linda dan Marco tak perlu tahu bahwa orang tua mereka baru saja bertengkar hebat –yang ketiga kali dalam minggu ini.
Setelah merasa semuanya siap terlaksana, Rizal membuka kunci pintu rumahnya lalu berjalan menuju mobil, memasukkan semua bawaannya ke bagasi, kemudian dia meluncur pergi. Dalam hati dia bertekad suatu saat akan membawa Linda dan Marco pergi dari situ bersamanya. Karena bila itu terjadi, paling tidak Rizal bisa merasa lega.
Sebab dia tidak akan meninggalkan segala sesuatu yang berharga di rumah itu –termasuk Trudy.
***
“Rizalza!” dia memekik dengan terkejut saat mendapati sahabatnya itu di depan pintunya. “Apa yang sedang kau lakukan di depan pintuku malam-malam begini?”
“Ini sudah pagi, Ric.”
Eric melotot melihatnya. Kemudian dia melirik jam dinding di ruang tamunya. “Setengah dua pagi. Sinting, apa yang kau lakukan?”
“Nothing! Hanya sekedar mencari tempat berlindung dari panas dan hujan. Dengan kata lain aku sedang mencari rumah.”
“Disini?”
“Disini.”
“Kau gila.”
“Maaf?”
“Kau gila –aku bilang! Apa-apaan, sih kau ini! Malam-malam suntuk kau datang ke rumahku, membangunkan aku dari tidurku, dan dengan tanpa dosa kau bilang mau tinggal di sini?! Apa –Ya Tuhan, apa yang ada dalam otak dungumu itu, Rizal?!”
“Tunggu, tunggu sebentar, Eric. Dengarkan aku, oke?” kata Rizal perlahan-lahan. “Dengarkan aku.” Rizal menarik nafas panjang. “Aku baru saja bertengkar lagi dengan Trudy. Aku sudah tidak tahan lagi, Eric. Aku tidak bisa hidup bersamanya lagi. Jangankan untuk tidur satu ranjang dengannya, melihat wajahnya saja aku muak. Aku tidak bisa terus-menerus hidup dalam kepalsuan seperti itu, kau dengar? Aku tidak bisa lagi berpura-pura tersenyum dihadapan semua orang, pura-pura merangkul istriku seolah-olah aku mencintainya. Aku tidak bisa lagi. Bila sekarang kenyataannya memang aku berpisah dengan Trudy, maka biarkan orang-orang tahu seperti itu!”
“Ya ampun, Rizal. Aku kira kalian sudah bisa mengatasi masalah-masalah kalian waktu itu. Tapi ternyata tidak.”
“Memang tidak. Masalah itu tidak akan selesai sampai aku berpisah dengan Trudy. Aku harus bercerai dengannya. Itulah satu-satunya jalan.”
Eric memandangnya dengan takjub. “Kau tidak sungguh-sungguh, Rizal.”
“Aku serius.”
“Itu sama saja dengan menghancurkan hidupmu sendiri, Rizal. Pikirkan apa yang akan terjadi setelah itu. Pikirkan anak-anakmu. Aku tidak tahu bahwa kau ternyata tega membiarkan mereka mengalami hal konyol seperti itu. Mereka masih kecil, Rizal.”
“Itulah masalahnya. Hingga saat ini aku belum mengajukan gugatan cerai karena aku masih memikirkan anak-anak.”
“Lalu bagaimana dengan karirmu? Kau seorang guru, Rizal. Sangat tidak relevan bila seorang guru –seorang pengajar, pembimbing, malah mengalami kehancuran dalam hidupnya sendiri. Kau adalah seorang guru –seorang tauladan, kau dicontoh oleh banyak orang. Tindakanmu itu betul-betul tidak rasional.”
“Kau tidak mengerti.”
“Oh ya? Tentu saja aku mengerti! Aku mengenalmu, Rizal! Aku mengenalmu semenjak kita masih remaja, kita kuliah sama-sama. Lalu apa yang mesti aku mengerti lagi darimu, Rizal…?! Apa lagi yang kurang?”
“Ada satu.” Rizal tersenyum pahit padanya. “Bila kau belum bisa memahami alasanku ingin berpisah dengan Trudy, itu berarti kau belum memahamiku sepenuhnya.”
BAB II…
Pada saat-saat seperti ini, Rizal sering merasa bingung tentang apa yang harus dia lakukan. Sekarang sudah pukul dua –sudah setengah jam berlalu semenjak bel pulang sekolah berbunyi. Normalnya, sekarang seharusnya Rizal sudah berada dalam mobilnya, melajukan Starlet hitam mungil itu membelah kota Jakarta, terus ke barat menuju arah Tanggerang melalui Karawaci, dan syukur-syukur bila tidak macet dia bisa sampai di rumahnya yang berada di Kecamatan Cibodas Baru itu pukul setengah empat atau jam empat sore.
Namun sekarang dia enggan pulang –dan memang dia tidak akan pulang. Dia tahu dia tidak akan pernah mau menginjakkan kakinya lagi di neraka itu untuk melanjutkan hidupnya bersama Trudy. Tidak, dia tidak akan sudi melakukannya. Lagipula, dia sudah bilang pada anak-anaknya untuk tidak pulang selama seminggu, jadi paling tidak untuk tujuh hari kedepan dia tidak perlu susah-susah memberi penjelasan. Tapi yang menjadi pikiran Rizal adalah, alasan apa yang harus dikatakannya pada Marco dan Linda bila setelah seminggu ini dia tetap tidak pulang –dan Rizal yakin memang itulah yang akan terjadi.
Sebelum dia mendapatkan tempat tinggal, untuk sementara dia menginap di rumah Eric. Laki-laki yang tujuh tahun lebih tua darinya itu telah menjadi sahabatnya semenjak mereka kuliah dulu. Kebetulan waktu di universitas dulu, Eric adalah asisten dosen Rizal. Sering mereka bertemu, dan karena bus mereka satu jurusan, mereka sering pulang bersama. Jadilah hingga kini mereka bersahabat kental.
Beberapa tahun lalu, saat Rizal sedang berada di Australia untuk melanjutkan pendidikannya dengan biaya negara karena dianggap berpotensi, istri Eric meninggal karena kanker rahim. Hingga saat ini, Rizal tidak melihat tanda-tanda Eric memiliki hubungan dekat dengan wanita manapun. Dan hal itu sangat membuat Rizal kagum. Rizal sangat memuja orang-orang yang memiliki rumah tangga berdasarkan cinta yang tulus dan murni seperti itu –karena dia sendiri tidak memilikinya bersama Trudy.
Lalu apa yang harus dilakukannya sekarang?
Siang-siang begini, anak-anak pasti sudah diantar pulang ke rumah oleh antar-jemput sekolah itu. Rumahnya juga pasti kosong, hanya ada anak-anak dan seorang pembantu. Ia tak yakin apakah Trudy ada di rumah, merasa panik atas kepergian suaminya. Bahkan bila aku mati pun jangan-jangan dia masa bodoh, pikir Rizal dalam hati.
Sedangkan bila sekarang dia pulang ke rumah Eric, rumah itu juga pasti kosong. Eric baru akan kembali sekitar jam enam sore nanti. Sebagai dosen, jadwalnya sangat padat.
Lalu apa yang harus dia kerjakan kini?
Dengan pikiran kacau Rizal membolak-balik halaman buku Mathematical Development yang ada dihadapannya. Cover buku itu sudah mulai menguning, dan halaman-halamannya ada beberapa yang terlipat saking sering dia membacanya.
Apa yang dilakukan seorang musikus bila bertengkar dengan istrinya? Menyanyi. Apa yang dilakukan fotografer bila sedang mengalami hal yang sama? Tentu saja menyibukkan diri dengan kamera-kameranya. Apa yang dilakukan sastrawan bila dihadapkan pada situasi tersebut? Mungkin membaca puisi, atau karya sastra yang lainnya.
Sedangkan dia adalah seorang guru. Apa yang harus dilakukannya? Tentu saja belajar. Dia akan mencoba menelaah apa yang harus dia terapkan pada siswanya, makin memperdalam bidangnya. Ya, itulah yang sedang dia lakukan sekarang.
Namun ternyata dia merasa bosan. Dia bosan dengan pelariannya. Bila memang dia sedang stress, bukan ini cara yang terbaik untuk menanggulanginya.
Maka dia menutup bukunya dan berjalan perlahan menuju pintu ruang guru itu. Dengan perasaan kosong dia menatap ke lapangan yang dipenuhi oleh anak-anak yang sedang latihan ekskul basket. Dulu waktu dia SMA, dia juga mengikuti ekskul itu. Dia dulu cinta olahraga, namun entah mengapa sekarang kebiasaan itu hilang entah kemana. Perutnya sudah sedikit membuncit sekarang –hanya sedikit memang, namun Rizal bertekad untuk menghilangkannya sesegera mungkin.
Dan mungkin sekarang dia sebaiknya ke toko buku –mencari buku panduan diet sehat, lalu dia akan pulang karena dia yakin Eric pasti sudah ada dirumahnya. Ya, itulah yang harus dilakukanya sekarang. Rizal menarik nafas pendek dengan lesu. Dia tahu apa yang harus dilakukannya dalam jangka pendek, namun dalam jangka panjang? Apa yang mesti dia lakukan?
BAB III…
Rizal memacu kendaraannya memasuki pom bensin itu. Dia segera memilih lajur paling kanan, dan sembari mengantri, dia melihat-lihat kendaraan lain yang ada di sekitarnya.
Semenjak balita, Rizal sudah merasa sangat tertarik pada kendaraan. Dia paling suka bila diajak ibunya naik kereta api, naik becak, dan bila sore tiba dia dan ayahnya akan duduk-duduk di teras sambil menghitung jumlah kendaraan yang lewat.
Hingga kini dia masih menyimpan kebiasaan itu sendirian. Sebetulnya, dia ingin sekali bisa melakukannya bersama anak-anaknya –menunggu kedatangan senja bersama Marco dan Linda di beranda rumah mungil mereka sambil memperhatikan jalanan. Namun dia tidak bisa melakukan hal itu karena Trudy tidak mengizinkannya. Istrinya itu selalu berkata bahwa hawa pinggir jalan tidak baik bagi anak-anaknya yang masih kecil. Katanya debu dan kotoran itu sangat berbahaya –seolah-olah benda-benda kecil itu adalah meteor yang sekonyong-konyong dapat menabrak bumi.
Rizalza mencibir seorang diri sambil melepaskan kopling dari injakan kakinya untuk memajukan mobil menuju tangki bensin. Kemudian dia keluar dan meminta tukang isi bensin itu untuk memenuhkan tangkinya.
Dengan jenuh Rizal melayangkan pandangan ke samping. Dia lalu tersenyum melihat sebuah Land Cruiser yang sedang mengisi bensin di sebelahnya. Mobil itu adalah impiannya. Sejak dulu –sejak pertama melihat mobil itu di jalanan, dia langsung merasa alangkah senangnya bila mobil itu dapat menjadi miliknya. Mobil itu besar, tinggi, kekar, dan tidak terlalu boros. Masalahnya adalah bahwa mobil itu mahal dan hingga sekarang Rizal tidak mampu membelinya.
Rizal ingat, saat dia mengatakan pada Trudy betapa dia menyukai mobil itu, Trudy malah menjawab dengan ketus, “Kalau saja kamu tidak menjadi guru negeri yang gajinya kecil begitu, pastinya kita tidak akan semiskin sekarang.”
Itulah satu hal lagi yang membuat Rizal benci pada istrinya. Trudy selalu tidak pernah puas dengan apa yang Rizal berikan padanya. Apakah rumah mereka terlalu kecil? Tidak –rumah berhalaman luas dan bertingkat dua yang kini mereka tempati itu sudah lebih dari cukup. Apakah mobilnya begitu buruk? Tidak –walaupun Starlet itu tidak mewah, namun masih terlihat sangat bagus. Apakah selama ini Rizal membuat keluarganya melarat? Tidak –setiap kali dia sempat pergi ke toko, dia selalu membelikan anak-anaknya mainan, mereka bisa sekolah dengan baik, diajari dengan benar, dan setiap akhir pekan Rizal selalu mengajak mereka jalan-jalan. Rizal telah berusaha semaksimal mungkin. Namun Trudy tidak pernah mau mengerti.
Trudy selalu menghina pekerjaannya –profesinya. Trudy tidak pernah menyukai apa yang dia sukai. Sama seperti saat Linda berulang tahun yang ke-5, Rizal membeli sebuah tart berbentuk oval –dan Trudy memakinya. Kata istrinya itu lebih baik kue berbentuk persegi.
Rizal mengalah. Oke, bila itu memang yang diinginkan istrinya.
Rizal berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan yang dibuatnya itu. Maka, saat Marco berulang tahun, dia membeli kue persegi –namun lagi-lagi Trudy membentaknya. Wanita itu berteriak-teriak betapa bodohnya Rizal. Dia bilang kue oval lebih baik.
Saat itu Rizal kehabisan kesabarannya. Dia menjawab amarah Trudy. Rizal berkata bahwa dia membeli kue persegi karena dulu Trudy menyuruhnya begitu. Namun Trudy malah berkilah bahwa kue untuk Marco dan Linda harus berbeda, sebab mereka berlainan jenis kelamin. Klimaks dari pertengkaran itu adalah teriakan histeris Trudy yang menandakan bahwa pesta ulang tahun Marco batal dilaksanakan.
Saat itulah Rizal menyadari bahwa istrinya benar-benar sudah tidak waras.
***
“Ini Johnny. Dia keponakanku. Dia akan tinggal disini untuk sementara waktu.”
Eric memperkenalkan Rizal pada Johnny –keponakannya itu. Saat ini mereka sedang duduk-duduk di ruang TV sambil menikmati pop corn. Acara TVmalam ini tidak terlalu bagus, jadi mereka memutuskan untuk memutar salah satu film favorit mereka –James Bond 007; Golden Eye.
“Senang berkenalan denganmu, John.”
“Saya juga,… saya harus panggil dengan sebutan apa, nih?” tanya John hangat.
“Panggil saja Rizal. Saya beberapa tahun lebih muda dari Oom-mu itu, kok!” jawab Rizalza sambil tersenyum.
“Oke, Rizal. Senang bertemu dengan Anda.” Johnny bangkit untuk mengambil pop corn lagi. “Saya dengar dari Oom Eric bahwa sekarang Anda tinggal disini juga, ya?”
“Panggil aku biasa saja –tidak usah pakai Anda-Anda segala. By the way… yah, memang sekarang aku numpang di sini sementara aku mencari tempat tinggal yang pasti. Aku belum sempat cari rumah, soalnya sekolahan sedang sibuk sekali.” ujar Rizal rikuh.
Melihat keponakannya berbincang-bincang dengan Rizal, Eric pun mengedipkan mata pada Johnny sebagai isyarat minta diri. Kemudian tanpa kentara, Eric beranjak meninggalkan ruangan itu.
Johnny kembali memusatkan perhatiannya pada Rizal. “Sekolah katamu tadi? Kamu memangnya bekerja sebagai apa? Guru atau… mungkin kamu sedang sekolah lagi? Ambil S2?”
“Tidak, tidak begitu. Aku sudah menyelesaikan pendidikan terakhirku beberapa tahun lalu. Kebetulan waktu itu aku dapat beasiswa ke Australia, dan aku melanjutkan pendidikanku di sana. Sekarang aku jadi guru saja, sambil sekalian kadang-kadang bantu-bantu di Departemen Pendidikan kalau ada waktu.”
“Itu hebat, Zal! Australia? Menakjubkan! Dimana kamu sekolah dulu?”
“Curtin University of Technology. Di Western Australia.”
“Wow.” ujar Johnny kagum. “Dan yang lebih hebat lagi, kamu pergi ke sana atas beasiswa. Itu sangat membanggakan, bukankah begitu?”
“Biasa saja.”
“Tidak, itu tidak biasa. Itu hebat. Kamu berarti dinilai berpotensi. Oh ya, ngomong-ngomong sekarang kamu ngajar dimana?”
“Aku ngajar SMA. Di Kebayoran Baru.”
“Wah, kalau begitu kita bakal sering-sering ketemu dalam semacam… katakanlah seminar.”
“Memangnya kamu… mengajar juga? Kamu guru juga?” tanya Rizalza pada Johnny.
“Ya, sama. SMA juga. Di daerah sekitar Tebet.”
Rizal terkejut mendengarnya. “Bukankah SMA itu SMA unggulan? Nomor satu di Jakarta, kan?”
Johnny mengangguk.
Rizal menyipitkan matanya, menilik dengan cermat pemuda yang sedang duduk dihadapannya itu. “Kamu masih muda. Sekitar… mungkin antara duapuluh…”
“Duapuluh enam. Bulan depan saya akan berulang tahun yang ke duapuluh enam.”
“Kamu masih duapuluh lima kalau begitu–“
“Dua puluh enam! Hanya kurang satu bulan lagi, kok!” protes Johnny.
Rizal geli mendengarnya. “Oke. Dua puluh enam. Dan kamu sudah mengajar di sebuah SMA unggulan. Itu hebat, John. Jauh lebih mengaggumkan daripada scholarship-ku ke Australia.”
“Unsur keberuntungan sangat berperan dalam kehidupanku.” Johnny mengorek-ngorek tempat pop corn itu untuk mencari remah-remah yang masih tersisa. “Aku sangat berterimakasih atas anugerah tersebut.”
Rizal mengangguk-angguk. Dia memandang pemuda itu mengais-ais tempat pop corn tersebut dan dengan sangat kekanakan merasa kesal saat mengetahui bahwa makanannya betul-betul habis.
Rizal tersenyum kecil. Dia ingat dulu Eric pernah bercerita padanya tentang salah seorang keponakannya yang luar biasa manja –merupakan anak bungsu kesayangan kakak paling tua Eric. Konon, kata Eric anak itu sangat kolokan pada ibunya. Apapun yang dia inginkan selalu dipenuhi oleh ibunya.
Rizal lalu memandang Johnny. Sikapnya memang mirip dengan anak dalam cerita itu. Seingat Rizal, Eric juga bilang bahwa keponakan manjanya itu sangat tampan –dan itu memang benar. Johnny adalah pemuda yang sangat tampan, bersih, maskulin, beraroma khas pria, dan tubuhnya bisa dibilang seksi –dengan perut rata, dada bidang, bahu lebar, dan walau tidak terlalu tinggi, Johnny memang ramping dan langsing.
Dulu Eric juga bercerita bahwa keponakannya pandai –dan Johnny terbukti pandai dengan prestasinya mengajar di SMA unggulan itu. Satu hal lagi yang paling ditekankan oleh Eric adalah bahwa keponakannya itu merupakan pujaan semua gadis yang ada.
Rizal tersenyum pahit. Jadi di rumah ini sekarang ada tiga jenis laki-laki –satu duda setia yang ditinggal mati istrinya, satu bujangan ganteng yang diincar setiap wanita, dan satu lagi seorang suami yang rumah tangganya sedang diambang perceraian. Namun sayangnya, perannyalah yang paling buruk…
BAB IV…
“Kamu bisa duduk di sini, John. Tapi…” Rizal menunjuk sebuah sofa panjang yang ada di dalam ruang guru. “Tapi aku sangsi apakah kamu serius mau menungguku di sini?”
“Yap. Aku serius. Kalau tidak, aku tidak akan datang ke sini.”
Rizal menatap pemuda itu dengan ragu. Namun akhirnya dia hanya bisa mengangkat bahu dan meninggalkan John di sofa itu. Guru-guru yang lain memandang John dengan tatapan bertanya-tanya. Seolah-olah merupakan tanda tanya besar bagi mereka, ‘Apa yang sedang orang ini lakukan disini?’. Setiap kali ada guru yang lewat dihadapannya, John hanya tersenyum, mengangguk pada mereka dan mencoba sebisa mungkin untuk bersikap sopan.
John memandang arlojinya dengan seksama. Lima menit lagi bel masuk akan berdering. Anak-anak akan mulai belajar dan akhirnya mereka akan pulang tepat pukul setengah dua nanti. Itu berarti enam setengah jam lagi.
Dia harus menunggu Rizal selama enam setengah jam.
Tapi oke. Itu bukan masalah baginya. Dia memang sengaja ingin ikut ke SMU ini untuk melihat prilaku Rizal di sekolah. Setelah bertemu langsung dengan Rizal dan setelah Oom Eric-nya meminta dirinya untuk membantu Rizal memecahkan masalah rumah tangganya, John betul-betul merasa tertarik. Dan rasa ingin tahu itu membuat John bertekad untuk mengetahui seperti apa Rizal di sekolah.
“John, ngapain loe disini?”
Johnny memutar kepalanya dengan terkejut dan dengan salah tingkah mendapati Tito –sahabatnya yang sekaligus merupakan rekan gurunya di SMU tempatnya bekerja. “Tito? Ngagetin aja loe.”
“Nah elo sendiri yang gila. Ngapain juga elo ke sini? Emangnya loe mau pindah kerja ke sini? Sinting deh loe!”
“Enggak, kok! Gue mau main aja ke sini.”
“Pagi-pagi begini? Terus loe duduk di ruang gurunya? Loe lihat deh tuh! Orang-orang pada ngeliatin elo kayak mereka ngeliatin tikus di kandang kucing, tau!”
“Elo kenapa, sih? Gue mau di sini kek, di bar kek, di kebun binatang kek, di jembatan Ancol kek, itu kan terserah gue, gitu lho! Ngapain juga loe yang repot?”
“Ya bukannya gitu, John.” Tito berkata sambil menggaruk kepalanya. “Denger ya, gue ini ngajar di dua sekolah –disini, sama di sekolah kita. Itu aja gue masih kadang-kadang risih kalo ngajar di sini soalnya gue di sini cuma dua hari aja –lainnya gue ngajar di sana sama elo. Nah, yang gue bingung, kok elo yang sama sekali enggak ngajar di sini bisa nyantai begitu masuk-masuk ruang guru, duduk di sofanya…”
“PD aja, lagi!”
“Sinting loe.” Tito tersenyum geli. “Ah, udah ah! Gue mau ke atas, mau ngajar. Ngapain juga gue disini sama orang enggak waras kayak elo?”
“Siapa yang nyuruh? Gih, sana pergi!”
Bel masuk pun berdering dan para guru bergegas meluncur ke posisi kelas masing-masing. John memandangi mereka dengan seksama –seolah mengintai. Kemudian saat ruang guru telah kosong, dia mengenakan kaca mata hitamnya dan berjalan ke luar.
Pertama-tama dia berjalan ke arah kantin, lalu WC, lalu dia menaiki tangga menuju ruang-ruang kelas dan sepintas lalu memperhatikan detail-detailnya. Sekolah yang lahannya terbatas, sangat minim dalam fasilitas, tanpa ruang komputer, tanpa studio band, tanpa AC, dengan laboraturium IPA yang dijadikan satu –untuk semua pelajaran Kimia, Biologi, dan Fisika. Sekolah ini tak punya lab bahasa, tak punya aula. Di ruang guru pun minuman dijatah –satu catering untuk sehari dan tiga gelas besar air putih yang disajikan setiap istirahat. Kasihan guru-guru itu –ujarnya dalam hati. Ruang gurunya bahkan tidak memiliki dispenser Aqua, tak ada stoples berisi susu bubuk, atau kopi, atau seduan teh. Tak ada kulkas berisi soda, tak ada soft drink.
Bagaimana mungkin mereka bisa bertahan hidup dengan cara seperti itu –John bertanya dalam hati. Dan yang lebih tragis, John mempertanyakan mengapa Rizalza ditempatkan di sekolah pas-pasan ini? Bukankah dia berpotensi? Pasti –sebab bila tidak, tak mungkin negara mau membiayai beasiswanya ke Australia. Rizal berhak untuk mendapatkan yang jauh lebih baik –seperti mengajar pada sekolahku, pikir John serius.
Johnny lalu berjalan kembali ke kantin dan duduk. Dia bersiap-siap untuk memanggil penjualnya untuk memesan sebuah cheese burger, dan segelas guava juice. Namun toh tak seorangpun menuju ke arahnya.
Apa aku yang harus pergi ke stan-stan penjual itu? John mengomel dalam hati. Apa-apaan ini?
“Mas, cheese burger-nya satu, ya? Sama guava juice.”
“Disini enggak ada burger keju, Mas. Adanya yang biasa aja. Cuma isi daging doang.”
“Ha? No cheese? Kok bisa?”
“Ya bisa, dong. Emang gitu dari sananya.”
John menyipitkan matanya dan menarik lepas kaca mata hitam itu. Setelah dia menyimpannya kembali dalam kantong, dia mengibaskan tangannya pada penjual itu. “Ya udah, deh! Tapi cepet, ya. Terutama guava juice-nya. Saya sudah haus.”
“Disini enggak ada jus kayak gitu. Adanya jus jeruk doang.”
Dengan kesal John memalingkan wajahnya dan memutar bola matanya dengan sebal. “Oke oke. Sebuah burger biasa, dan segelas jus jeruk biasa.”
Sambil menunggu pesanan ‘biasa’nya dihidangkan, John menghabiskan waktu untuk meneliti sekolah menengah itu. Kantinnya gelap sekali –seperti gudang penyimpanan barang. Untuk kantin yang lumayan panjang itu, hanya ada satu penerangan –lampu neon 40 watt. Bahkan mereka tidak memberi ventilasi pada tempat itu, mereka bahkan tidak memberi kipas angin.
Mereka bahkan tidak memberi bangku yang layak.
John menatap kursi kayu panjang yang warna catnya sudah mengelupas, yang sedang didudukinya. Dan saat pesanannya tiba, John dibuat lebih terkejut lagi.
Mereka bahkan memberikan burgernya dalam sebuah kantung plastik.
Kantung plastik –bayangkan itu! Sebuah burger –yang dipesan oleh seorang Johnny Adrian, diberikan dalam kantung plastik. Apa mereka pikir makanan itu sampah? Mereka bahkan tidak sudi menyajikan burger itu dengan piring melamin yang layak –seperti yang orang-orang di SMUnya lakukan. Dan jus jeruknya? Oke, ada di dalam sebuah gelas besar. Baik, itu sudah cukup baik –kecuali bahwa gelas itu adalah hadiah dari bumbu masak Sasa.
John menghabiskan makanannya secepat kilat. Secepat kakinya menuntut untuk segera lari dari sini. Lalu setelah makanan itu habis semuanya, dia mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu sebagai bayarannya –dengan uang kembalian dimaksudkan sebagai tip. Lalu dia melangkah keluar kantin.
“Mas!” terdengar si penjual memanggil namanya.
John menoleh.
“Duitnya kelebihan. Ini kembaliannya.” Penjual itu menyodorkan selembar lima ribuan padanya.
“Oh, begitu? Oke, terimakasih.” John meraih uang itu dan dengan tidak peduli memasukkannya ke dalam saku jeans. Sebetulnya itu tip-mu, tolol –ujarnya dalam hati. Apa orang-orang disini tidak pernah memberi mereka tip sehingga mereka jadi norak begitu?
Sembari berjalan, John meraih ponselnya dari dalam saku celana –ponsel kesayangannya itu adalah ponsel yang mahal, berkelas, berkesan macho, dan bergengsi tinggi. Kemudian dia mengirim pesan pada ponsel Rizal, mengabarkan perubahan rencananya. Jangankan enam setengah jam disini, satu detik lagi pun dia tidak akan mau.
Saat berjalan menuju pintu gerbang, John mengeluarkan kunci mobilnya, dan dengan santai kemudian melaju membelah angin dalam sport carnya yang merah menyala.
BAB V…
Lilin itu semakin lama semakin pendek jadinya. Lelehannya bergerak turun perlahan-lahan, kemudian membentuk suatu gumpalan keras di bawahnya.
Rizal duduk termenung di dalam kamarnya sambil memandangi lilin itu. Alangkah hangatnya api yang sedang menyala itu. Namun itu tidak akan abadi –sesalnya kemudian. Suatu saat nanti api itu akan mati, lilinnya habis, dan segalanya tidak akan seterang itu lagi –sama seperti perkawinannya. Hancur.
Sebetulnya apa yang kurang darinya? Dia tahu dia memang tidak sempurnya –tiada yang sempurna kecuali Tuhan. Namun Trudy juga bukanlah wanita paling sempurna yang ada di dunia ini. Lalu pantaskah bila dia menuntut Rizal untuk berbuat terlalu banyak?
Wanita itu bahkan telah melepaskan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu, seorang istri. Dia tidak lagi mau memasak, mengantar anak-anak ke sekolah, mengambil rapor mereka, atau bahkan mengajak mereka bermain. Dia tak lagi bersedia menjadi teman berbagi cerita Rizal, tak lagi merasa tertarik untuk mengetahui apa yang dialami suaminya, tak lagi peduli terhadap apa yang terjadi pada rumah tangganya.
Satu-satunya yang dipikirkan Trudy hanyalah: pekerjaannya.
Rizal tidak menyangkal bahwa karir istrinya jauh lebih maju ketimbang dirinya. Rizal juga tidak menyangkal kenyataan bahwa sebagian besar pemasukan rumah tangga itu berasal dari penghasilan istrinya. Rizal juga tidak menyangkal bahwa Trudy adalah seorang event organizer yang sangat baik.
Rizal tidak pernah berusaha untuk menghalangi kemajuan karirnya. Namun itu bukan berarti Trudy bisa seenaknya –rapat disana, kunjungan kesini, telepon dari si ini, janji dengan si itu. Bukan itu makna kebebasan berkarir yang dimaksudkan Rizal.
Trudy bahkan menolak ajakan Rizal untuk menghabiskan liburan mereka di Padang. Rizal ingin mengunjungi sanak keluarganya, namun Trudy tidak peduli. Dia lebih peduli pada kliennya yang akan segera mengadakan steering committee meeting sebentar lagi.
Rizal tidak dapat menerima kenyataan bahwa Trudy setega itu melepaskan keluarganya hanya demi pekerjaan. Sudah beberapa kali Rizal berusaha untuk membujuknya agar berubah, namun jawaban pedas yang dilontarkan Trudy selalu saja sama, “Kau sudah pernah meninggalkan kami selama 2 tahun, Rizal! Saat itu kau juga hanya memikirkan scholarship-mu saja! Sekarang kau sudah kembali dan itu berarti bahwa ini adalah giliranmu untuk membayar semuanya! Kini itu semua adalah tanggung jawabmu dan biarkan aku melakukan apa mauku!”
Rizal tidak mencoba membantah apa yang dikatakan istrinya. Dia tahu bantahan itu tak ada gunanya, hanya akan semakin memperuncing masalah mereka. Biarkan saja, biarkan Trudy melakukan semuanya yang dia inginkan.
Satu-satunya yang ingin Rizal lakukan hanyalah: menceraikan wanita itu secepatnya, dan membawa pergi anak-anak bersamanya. Setelah itu, mengenai akan jadi apa hidupnya nanti, biar Tuhan yang menentukan.
Sejak dulu ayahnya sudah bilang. Rizalza adalah pemuda takdir –pejuang nasib. Dulu dia tidak mengerti apa artinya kata-kata itu. Namun sekarang dia memahaminya. Manusia tidak pernah tahu akan masa depannya, oleh karena itulah kehidupan mempunyai arti.
Arti kehidupan yang penuh dengan misteri.
BAB VI…
“Aku tadi melihatnya, Bu. Aku sangat menyukainya.” Johnny mencoba untuk membujuk ibunya itu lewat telepon. Lalu lintas Jakarta hari ini lumayan padat, Johnny tidak menyukainya. Apalagi sekarang, saat jalanan macet, akhirnya Johnny memutuskan untuk menelepon ibunya saja –membicarakan apa yang sebetulnya mau dikatakannya hari Minggu nanti saat dia pulang ke Bogor.
“Tapi untuk apa, John? Tape mobilmu kan masih bagus. Belum rusak, kan? Lalu untuk apa beli baru?” ujar ibunya halus.
“Karena aku menyukai tape baru yang tadi kulihat, Bu.”
“Kamu tidak bisa begitu dong, sayang. Walaupun kamu menyukainya, tapi kalau memang tidak perlu ya tidak usah dibeli.”
“Aku tidak mau begitu, Bu. Cobalah mengerti. Teknologi sekarang sudah semakin berkembang –bahkan dengan sangat pesat. Aku harus beradaptasi dengan itu. Lihatlah, Bu. Sekarang ini tape-tape keluaran baru memiliki kemampuan untuk memutar segalanya –mulai dari radio, kaset, CD, MP3, bahkan mereka menjual TV kecil untuk memutar VCD atau DVD di mobil. Sedangkan tape-ku yang sekarang ini hanya bisa dipakai untuk memutar kaset dan mendengarkan radio. Hanya itu, Bu! Masa ibu setega itu padaku?” rajuk Johnny.
“Johnny…” Ibunya menghela nafas panjang. “Kamu adalah anak keras kepala yang sangat manja, sayang. Ibu tahu, apapun yang kamu inginkan harus terpenuhi. Kalau tidak kamu akan ngambek berhari-hari sampai ibu stress. Sejujurnya, ibu tidak mau hal yang sama terjadi lagi seperti saat kamu berusia 14 tahun.”
“Memangnya dulu aku ngapain?” tanya John terkejut.
“Ya, memangnya kamu lupa? Kamu lupa ya, dulu kamu pernah ngambek sampai tidak makan berhari-hari karena ibu menolak membelikan kamu TV sendiri untuk dikamar? Akhirnya Ibu membelikanmu TV itu karena ibu takut kamu betul-betul kelaparan. Tapi nyatanya, seminggu setelah kamu dapatkan TV itu, kamu mengaku bahwa selama kamu ngambek, kamu tetap makan dengan menyuruh Mang Jamin ke toserba seberang jalan untuk membelikan makanan buatmu. Ingat itu, Johnny? Kamu ingat betapa kamu sangat sulit diatur?”
“Aku ingat. Tak mungkin aku lupa.”
“Berubahlah, sayang… Kamu sudah dewasa sekarang. Tidak bisa lagi kamu tetap seperti dulu. Kamu tidak bisa selamanya bermanja-manja pada Ibu. Semenjak ayahmu meninggal rasanya Ibu semakin sulit menolak permintaanmu.”
“Ibu…” pinta Johnny tidak sabar. “Tolonglah, Bu. Belikan aku tape itu.”
“Kalau memang kamu ingin benda itu menjadi milikmu, kenapa tidak kamu beli sendiri?” tanya ibunya –walaupun wanita itu sudah tahu jawaban apa yang akan diberikan putranya.
“Beli sendiri? Ya ampun, Ibu! Mana aku punya uang? Darimana aku bisa beli barang itu? Dengar Ibu, gajiku sebagai guru sangat kecil. Aku bahkan menghabiskannya dalam waktu satu minggu, Ibu! untuk hidup satu bulan saja tidak cukup, mana mungkin aku beli barang itu sendiri? Ibu dong, yang beli.”
“Kamu selalu begitu. Memangnya kamu pikir semua rekan gurumu punya ibu kaya raya sepertimu? Tidak, sayang. Tidak. Dan bila dengan uang segitu mereka bisa bertahan hidup, mengapa kamu tidak?”
“Karena aku dan mereka berbeda, Bu!” ujar Johnny akhirnya. “Apa Ibu menyuruhku untuk bangun pagi-pagi menunggu kendaraan umum untuk pergi kerja? Atau ibu tega membiarkan aku siang-siang bolong menunggu bus di halte? Lalu, aku harus berdesak-desakkan di dalamnya, begitu? Aduh… Ibu, jangan begitu, dong! Masa ibu tega menyuruhku makan tahu tempe plus ikan asin setiap hari?”
“Kalau memang itu yang harus kamu lakukan, tidak masalah.”
“Ibu!” teriak Johnny. Dia menghantam stirnya. “Aku tidak bisa membiarkan perutku lembek. Aku harus fitness tiga kali seminggu. Dan itu berarti aku harus membayar biaya langanan clubnya. Aku juga masih harus membayar tagihan-tagihan, kartu kredit, bensin, biaya salon mobilku, baju-bajuku, makananku, uang untuk jalan-jalan. Tidak mungkin kan, aku harus berhenti main ke café-café atau di club yang biasa aku datangi? Itu sama saja dengan membuangku ke ujung dunia!”
“Johnny… kamu sebetulnya bisa mengatasi semua itu. Kamu bisa tinggal di kos-kosan sederhana, dan bukan di kondominium mewahmu yang sekarang.”
“Sekarang aku tinggal sama Oom Eric, kok! Hanya sementara, sih. Dia ingin aku membantunya memyelesaikan masalah kawannya yang sedang mau cerai. Nanti bila sudah selesai, aku akan kembali lagi ke kondoku.”
Ibunya tidak menggubris. “Lalu kamu tidak perlu kemana-mana naik Maserati merahmu yang harganya hampir dua miliyar itu. Kamu kan bisa beli mobil biasa yang tidak perlu dua minggu sekali dipoles di bengkelnya atau harus dijaga seperti bayi layaknya mobil sportmu sekarang!”
“Aku lebih comfortable naik Maserati-ku, Ibu.”
“Dan untuk apa kamu beli ponsel mahal-mahal? Untuk apa juga kamu ngobrol lama-lama di telepon genggammu itu? Kamu tahu pulsanya mahal, tapi tetap saja kamu hobi hanging di telepon.”
“Aku masih muda, aku punya banyak teman!” dalihnya. “Sudahlah, Ibu. Inilah aku, dan ini hidupku. Aku tidak bisa berubah seperti orang-orang yang berdiri di pinggir jalan itu. Aku ini anak ibu, dan ibu harus membantuku.”
“Johnny…” Ibunya menarik nafas panjang lagi. “Minggu ini kamu bisa ambil uang untuk beli tape itu di rumah. Tapi tolong, Johnny, pikirkan baik-baik apa yang ibu katakan. Pikirkan masa depanmu, pikirkan dirimu. Kamu sudah hampir 26, Johnny. Tidak bisa selamanya kamu begitu.”
***
John menutup teleponnya. Dia lalu menoleh ke sebelah kirinya dan melihat dua buah boneka burung hantu –satu hitam dan satu abu-abu. Rizal memintanya untuk memberikan boneka-boneka itu pada anaknya, karena dia tak mungkin melakukannya sendirian. Bila Trudy tahu dia mengunjungi anak-anak, entah apa yang akan dilakukan wanita itu. Oleh karena itulah Rizal meminta Johnny yang memberikannya.
Rumah Rizal terletak di sebuah pemukiman asri yang tenang, jauh dari kebisingan kota besar. Tetangga-tetangganya juga berumah seperti dia –bagus tapi tidak terlalu besar. Disekitar pemukiman itu tidak ada swalayan ataupun salon. Tak ada kantor. Bangunan-bangunan komersil seperti itu baru ada dua blok di sebelah barat.
Tempat tinggal Rizal merupakan sebuah bangunan bertingkat dua bergaya minimalis yang sangat artistik. Pohon-pohonnya dipangkas rendah, rumputnya dipotong pendek. Rumah itu dicat dengan warna putih, dengan garasi di sampingnya. Dalam hati Johnny mengaggumi kemampuan Rizal membeli rumah seperti itu dengan pekerjaannya sebagai guru negeri. Pastinya rumah itu lumayan mahal. Johnny yakin, pasti masa kerja 13 tahun itu telah memberikan Rizal penghasilan yang banyak.
Maka setelah mengunci mobilnya, Johnny berjalan turun menuju rumah itu dan menekan belnya. Dia menunggu selama kurang lebih tiga menit. Lalu pintu terbuka dan seorang gadis kecil tampak disana.
“Linda?” ujar Johnny sambil menyipitkan mata. “Kamu Linda, kan?”
Gadis kecil itu mengangguk.
“Kenalkan –John. Aku teman ayahmu. Dia menitipkan ini buat kalian.” Johnny menyodorkan boneka burung hantu itu pada Linda dan tersenyum padanya.
“Papa? Ini dari papa?” terlihat oleh Johnny mata Linda berbinar-binar karena senang. “Terimakasih, Oom!”
“Panggil saja kakak.”
“Baik, terimakasih, Kak.”
“Sama-sama…”
Linda memeluk boneka itu dan memberi isyarat pada John untuk mengikutinya ke dalam rumah. Dia mengajak John ke atas untuk menemui kakaknya. “Kak, sebelumnya aku mau tanya dulu sama kakak.”
“Tanya apa?”
“Dimana papa? Kenapa papa tidak datang kesini untuk mengantarkan si burung hantu?” tanyanya.
John tersenyum hangat dan menarik anak itu ke pangkuannya. “Papamu sibuk sekali, sayang…” John mencium puncak kepalanya. “Bukankah sebelum pergi papa sudah meninggalkan surat untuk kalian?”
“Ya… itu benar. Tapi… tapi–“
“Tapi mama bilang papa pergi karena papa tidak suka pada kami.” Terdengar suara lain dari belakang mereka. Ternyata itu Marco –dia melanjutkan kata-kata adiknya yang terputus.
“Itu benar, kak. Mama bilang papa tidak suka pada kami. Mama bilang papa sudah tidak mencintainya. Mama bilang papa pergi untuk menikah lagi. Apa itu benar, kak?”
“Apa?!” Johnny terbeliak mendengarnya. “Apa-apaan itu? Tidak suka kalian, tidak lagi mencintai mama kalian, dan… dan mau menikah lagi? Siapa yang mengatakan semua hal konyol itu? Tentu saja itu tidak benar. Itu semua bohong.”
“Tapi kata mama begitu.”
“Dengar, sayang, itu tidak betul. Papa kalian sangat mencintai kalian. Buktinya dia membelikan si burung hantu itu, kan?”
Linda dan Marco mengangguk bersamaan. Lama kemudian mereka terdiam, tidak berkata apa-apa. John juga jadi ikut-ikutan diam. Dia hanya memeluk Linda dengan lebih erat. Kemudian tanpa disangka-sangka, Marco memecahkan keheningan.
“Kak, apa kakak bisa memasak?”
“Apa? Memasak? Err… sejujurnya tidak –tidak begitu mahir. Ada apa memangnya dengan urusan masak?” ujar John kikuk.
“Kami ingin makan, kak. Kami lapar.”
“Lapar? Memangnya mama kalian tidak memberi makan?”
Marco menggeleng. “Kami tidak berani minta.” Dia menundukkan kepalanya. “Kata mama, kalau kami berani mengajaknya bicara, dia akan menumpahkan air panas diwajah kami.”
“Apa? Dia bicara begitu? Tapi… tapi… tapi kenapa?” John melotot tidak percaya.
“Katanya papa jahat. Dan karena kami adalah anaknya, maka kami juga pasti sama jahatnya. Mama kejam, kak. Mama membenci kami. Katanya papa juga membenci kami. Mereka berdua membenci kami. Kami tidak punya siapa-siapa.”
“Itu tidak benar!” bentak John –membuat Linda dan Marco terkejut. “Mama kalian sudah gila! Wanita itu sinting! Papa kalian sangat mencintai kalian. Kalian harus tahu itu!” John sendiri merasa terkejut mengenai amarahnya yang meletup-letup itu. “Dimana mama kalian sekarang?”
“Kami tidak tahu. Dia selalu pergi. Kami sih senang dia pergi, karena kalau dia dirumah pasti dia memukuli kami sambil meneriakkan nama papa. Katanya: ‘Brengsek kau, Rizal’. Begitu, kak. Lalu mama memukul kami. Oh ya, apa sih arti brengsek itu?”
Johnny terlalu emosi untuk dapat menjawabnya. Dia hanya berkata, “Sekarang bereskan barang-barang kalian. Kita pergi dari sini. Mulai sekarang kalian akan tinggal dengan papa.”
“Kami tidak mau. Tidak, kak. Kami tidak mau pergi.” ujar Marco.
Linda menambahkan, “Nanti mama marah pada kami.”
“Persetan dengan mama kalian! Dengarkan kakak, sayang! Dengarkan baik-baik!” Johnny merangkul kedua bocah itu dalam lengannya dan dengan perlahan-lahan dia menakut-nakuti mereka supaya mau pergi.
Johnny berkata, “Bila kalian tetap tinggal dengan mama, besok pagi kakak bahkan tidak bisa menjamin bahwa kalian masih bisa bangun dalam keadaan hidup. Kalau dia sudah pernah memukul kalian, bukan mustahil besok dia akan memukul kalian lagi sampai kalian… mati –kau tahu itu? Lalu kalian akan pergi ke langit di atas sana dan tidak akan bertemu papa selamanya. Kalian mau seperti itu?”
Linda dan Marco menggeleng.
“Terus, bila kalian banyak dosa, kalian akan masuk neraka.”
“Neraka itu seperti apa, kak?”
“Neraka itu penuh dengan api, neraka itu sangat panas, dan kalian berdua akan dipanggang disana seperti ayam gil-gil, mengerti? Lalu setelah kalian matang, kalian akan dihidangkan sebagai makanan kepada para setan yang punya taring, tombak, dan tanduk diatas kepala mereka yang botak. Mereka akan menyobek kaki kalian, memotong lidah kalian, menghabiskan tangan kalian, dan menagis-ais seluruh tubuh kalian.”
“Tapi kalau kami tidak banyak dosa, kami akan masuk surga, kan?”
“Eeee…. Jangan salah! Tidak patuh pada nasihat merupakan suatu dosa yang sangat besar. Jadi, kalau sekarang kalian tidak mau ikut kakak dan tidak menurut pada apa yang kakak katakan, kalian akan masuk neraka.”
Linda dan Marco terdiam sambil menunduk. Lima detik kemudian mereka saling berpandangan dengan gelisah. Setelah memikikan semua perbuatan yang akan dilakukan sang setan pada mereka, mereka akhirnya menjawab. “Kami akan ikut dengan kakak. Kami tidak mau dimakan setan.”
Sepuluh menit kemudian Johnny telah meluncur kembali menuju Jakarta dengan Linda dan Marco –yang sedang memeluk si burung hantu mereka masing-masing, dan bersyukur karena si kakak telah menyelamatkan mereka dari neraka.
BAB VII…
Rizal mengemudikan Starlet-nya menembus jalan Gatot Subroto yang ramai lancar. Sebuah BMW terbaru berjalan sangat kencang dan membuat Rizal kesal saat jalannya dipotong oleh mobil gila itu. Entah yang membawa BM itu seorang supir –yang diduga Rizal memang begitu, atau justru majikannya –yang bila kenyataannya begitu, Rizal yakin uang yang diperolehnya untuk membeli mobil mahal itu bukan dikarenakan otaknya. Karena jelas bahwa sang pengendara BM itu sama sekali tak berotak.
Dengan Marco dan Linda yang duduk di bangku belakang –bermain-main dengan boneka burung hantu baru mereka, Rizal memperhatikan jalanan sebelah kiri, mencari-cari pintu masuk kompleks kondo yang dicarinya.
Tepat sebelum mulutnya mengeluarkan umpatan, dia melihat kondominium itu.
Palma Citra.
Salah satu hunian paling bergengsi di Jakarta.
Wah –betul-betul wah rasanya dia bisa tinggal disana.
Rizal mengendarai mobilnya melewati pos security, tersenyum pada si satpam, dan membawa mobilnya melintasi lajur sebelah kanan. Setelah beberapa bangunan, dia mengambil belokan ke kiri, dilanjutkan dengan dua belokan ke kanan lagi. Setelah itu barulah dia melihat flatnya.
“Kita akan tinggal disini, Papa?” tanya Marco sambil mengernyitkan dahi.
“Ya, papa rasa iya.” jawab Rizal sambil lalu seraya menyipitkan matanya memperhatikan bangunan tinggi itu.
“Seperti hotel. Berapa tingkat, pa?” tanya Linda.
“Entah, mungkin tiga belas, kali.” jawab Rizal sekenanya.
“Kita yang punya semuanya?” ujar Linda terperangah.
“Tidak, sayang. Tentu tidak. Kita hanya akan tinggal di salah satu lantai di sana, di sebuah kamar –yah, sebetulnya lebih besar dari kamar. Seperti apartemen, mengerti?”
Linda mengangguk. “Bagaimana papa tahu apa isinya? Kita kan belum pernah masuk ke sana.”
“Dulu papa tinggal di bangunan yang mirip seperti ini.”
“Oh…” ujar Linda senang karena pertanyaannya terjawab. “Waktu papa di Australia, ya?”
Rizal mengangguk.
“Jadi dulu papa tinggal di ko… ko… ko apa, pa?”
“K-o-n-d-o-m-i-n-i-u-m. Tidak, dulu papa tidak tinggal di kondo. Mirip seperti kondo tapi bukan kondo. Dulu papa tinggal di flat –itu namanya, lebih sederhana dari kondominium.”
“Apartemen –maksud papa?” tanya Marco –yang sudah sedikit lebih besar.
“Tidak juga.”
“Jadi apa?!” seru kedua anaknya tidak sabaran.
“Begini ya, sayang…” Rizal berlutut dihadapan anak-anaknya dan mulai memberi penjelasan. “Bangunan seperti ini ada yang disebut sebagai kondo, ada apartemen, ada flat, ada rumah susun, dan sebagainya. Nah, kondominium adalah yang paling mewah. Apartemen setingkat dibawahnya, dan flat ada dibawahnya lagi. Begitu.”
“Oh…” ujar mereka berbarengan. “Jadi untuk bisa tinggal disini perlu uang banyak dong, Pa!”
Rizal mengangguk.
“Berarti Kak Johnny kaya ya, Pa!” celetuk Linda.
Rizal tertawa mendengarnya.
“Kak Johnny baik ya, Pa! Dia mau meminjamkan kondonya untuk kita tinggali.”
“Ya, Kak Johnny memang baik. Nah sekarang, daripada kita hanya ngobrol-ngobrol di pelataran parkirnya, mendingan kita masuk. Yuk!” ajak Rizal dengan senang.
Mereka bertiga masing-masing membawa sebuah tas berisi barang-barang pribadi mereka. Lalu dengan berteriak-teriak senang, Linda dan Marco mengikuti ayah mereka menuju sebuah lift.
“Kita mau ke lantai berapa, Pa?”
“Sembilan.”
Saat lift itu bergerak naik, kedua bocah itu sibuk memperhatikan ruangan lift. Mereka mengaggumi kayu yang melapisi dindingnya, dan bertanya berapa biaya membuat itu semua.
Mahal, jawab ayahnya.
Linda dan Marco mengatakan betapa senangnya mereka karena bisa tinggal di sana sementara waktu.
Rizal hanya mengatakan bahwa dia merasakan hal yang sama.
Sesampainya di lantai sembilan, mereka berjalan ke sebelah kiri, dan melihat nomor yang tertera. 2115. Lalu sebelah kirinya lagi –2116. Oh, berarti mereka salah arah. Lalu Rizal mengajak kedua anaknya untuk menuju sayap kanan.
Setelah berjalan melewati beberapa pintu, akhirnya mereka menemukan tempat mereka. 2111. Serta merta Rizal memasukkan anak kunci yang John berikan padanya, lalu membuka pintu itu. Dia menyuruh kedua anaknya masuk duluan, kemudian dia menekan saklar lampu yang ada di samping kusen pintu.
Kondo itu betul-betul mewah.
Rizal dan kedua anaknya terbeliak melihat apa yang terpampang di hadapan mereka.
Sebuah karpet Persia warna biru dongker terhampar mengalasi satu set sofa kulit putih bersih –dimana di setiap punggung sofanya dilampirkan bulu Cerpelai. Sarung bantalnya dari sutra, terlihat sangat empuk.
Di dindingnya tergantung lukisan abstrak yang Rizal sendiri bahkan tak tahu siapa pelukisnya. Rizal bukan orang kelas atas –terlalu atas seperti Johnny. Jam yang diletakkan di sudut ruangan adalah miniatur Big Ben. Dan di sebelah kirinya terdapat lemari pajang berisi gelas kristal aneka jenis. Ada gelas champagne, ada untuk cognag, untuk wine, untuk vodka, whisky, ada pula untuk bourbon. Yang jelas, lengkap.
Meja tulis yang diletakkan di sudut lain ruangan itu menyerupai meja antik. Ukiran yang ada di kakinya merupakan ukiran Perancis –setahu Rizal. Mungkin, mungkin sekali, apa yang dilihatnya di ruang tamu itu baru awalnya saja. Maka dengan seakan terhipnotis dia berjalan menuju kamar mandi –membuka pintunya yang terbuat dari kaca buram, dan lebih terkejut lagi melihat isinya.
Johnny tak punya bak mandi. Yang dilihat Rizal itu adalah sebuah whirlpool –atau mungkin jacuzzi, Rizal sendiri tak tahu pasti. Yang jelas bak besar itu dapat menampung satu RT, dan arus pemijat otomatisnya akan mampu menerbangkan pikiran setiap orang ke langit ketujuh. Rizal bahkan tidak mampu menjabarkan apa lagi isinya. Dia bahkan tidak tahu apa namanya barang-barang mahal itu.
Dengan canggung dia menuju salah satu dari dua kamar tidur. Kamar itu sama mewahnya dengan keajaiban yang barusan dilihatnya. Sebuah tempat tidur king-size berlapis seprai dan bed-cover sutra biru muda, dengan banyak bantal mulai dari yang kecil sampai yang besar. Ada televisi flat 21 inch, ada hi-fi stereo set, ada komputer model tercangih, dan masih banyak perabot lain.
Kondo bernuansa biru yang luar biasa mewah itu sangat membuatnya tertegun. Berapa lama dia akan tinggal disana? Apa dia akan bisa menyesuaikan diri? Apa dia akan bisa bertingkah biasa? Apa dia akan merasa canggung?
Ya, Tuhan!
Oh, Tuhan!
Demi Tuhan!
“Papa, kita akan tinggal disini? Ini seperti di film-film, Pa! Lihat sofa itu! Seperti yang dipakai James Bond!” seru Marco antusias.
Rizal tersenyum. “Kita akan tinggal disini. Tapi dengan satu syarat, kalian tidak boleh merusak apapun yang ada disini. Jangan mengambil apapun, karena satu barang yang rusak itu berarti papa harus menggantinya dengan gaji papa satu bulan. Oke?”
“Oke.”
“Baik, sekarang kalian boleh pilih kamar yang kalian suka, dan bereskan barang-barang kalian sendiri. Sana, cepat kerjakan, anak pintar!”
“Hore!!!” Linda dan Marco berlari menuju kamar-kamar untuk memilih mana yang paling mereka suka. Sementara anak-anaknya bersenang-senang, Rizal justru menjatuhkan dirinya diatas sofa dan melamunkan apa yang didengarnya dari John mengenai perlakukan Trudy terhadap anak-anak.
Mustahil seorang wanita normal berlaku seperti itu.
Dan bila Trudy memang tidak normal, Rizal harus mengetahuinya secepat mungkin.
BAB VIII…
Rizal mencolek sedikit krim itu dan meratakannya pada rambutnya. Kemudian sedikit lagi, lalu dia melihat hasil karyanya di cermin dengan puas. Berkat krim rambut yang dipakainya setiap hari –tanpa pernah lupa, rambut hitam legamnya yang tebal itu tidak akan terlihat berantakan. Setiap satu bulan sekali dia pasti ke tukang cukur untuk meratakan anak-anak rambutnya yang mulai tumbuh. Rizal sangat peduli terhadap rambutnya. Bahkan sekarang, pagi yang segar ini bertambah segar untuknya saat dia mencium wangi krim rambutnya itu kala angin bertiup. Rizal tak pernah memakai parfum. Dia tidak merasa perlu memakainya. Aroma maskulin Brylcream-nya sudah cukup untuk membangkitkan percaya diri gandanya sepanjang hari.
Dia lalu memperhatikan penampilannya sekali lagi di cermin.
Hari ini dia mengenakan sebuah polo shirt bewarna hijau tua-merah ati, dipadukan dengan celana kain warna hitam. Dia sudah tidak pernah lagi mengenakan jeans. Dalam usianya yang telah menginjak angka 38 –hampir 39, dia merasa sudah terlalu tua untuk itu. Pakaian casual tersebut telah dibunuhnya dalam pikiran semenjak bertahun-tahun lalu.
Sambil mengenakan kaca matanya dia melangkah keluar kamar untuk bergabung bersama kedua anaknya di meja makan. Sebagai ayah yang baik dia telah menyediakan sarapan sehat bagi anak-anaknya –sebisa-bisanya. Akhir-akhir ini matanya sering terasa lelah dengan kaca mata. Mungkin minus-nya sudah bertambah lagi. Sialan, makinya dalam hati. Bila itu berarti dia harus membeli kaca mata baru, maka itu bukanlah salah satu hal yang akan dilakukannya dengan sukarela. Mungkin dia bisa menekan biayanya dengan hanya mengganti lensa, dengan tetap mempertahankan frame yang lama. Lagipula, dia menyukai frame itu. Bingkainya yang tipis membuat profil wajahnya menjadi lebih sempurna –lebih berwibawa, lebih intelek.
“Pagi, sayang.” Rizal berjalan menuju kedua anaknya dan mengecup dahi mereka satu per satu. “Enak sarapannya?”
“Enak, Papa.” jawab mereka. Tapi setelah melihat pakaian ayahnya, kaca matanya yang telah terpasang, dan penampilan sang ayah yang sangat rapi, mereka pun bertanya, “Ayah mau pergi?”
“Sebentar lagi –ya.”
“Tapi ini kan Rabu!” sergah Linda. “Seharusnya ayah dirumah dan mengajak kami jalan-jalan.”
Rizal tersenyum tak berdaya. Memang ini hari Rabu –hari liburnya sebagai guru Matematika. Tapi hari ini ada urusan khusus ke Departemen Pendidikan dan dia tak mungkin mengabaikannya. “Sayang… hari ini papa dipanggil oleh Oom Pepa. Kalian ingat, kan?”
“Oom Pepa?” tanya Marco. “Dia yang dulu sering datang ke rumah, kan?”
Rizal mengangguk. Mereka adalah teman dekat. Pepa beberapa kali memang pernah makan malam di rumahnya. Laki-laki setengah baya itu adalah orang Departemen yang selama ini mengurus pemindahan-pemindahannya dari satu sekolah ke sekolah lain, urusan penaikan golongannya, bahkan sampai urusan studinya ke Australia pun ditangani oleh Pepa.
“Mengapa dia memanggil papa?”
“Papa juga belum tahu. Makanya sekarang papa mau pergi menemuinya.”
“Apakah papa akan pergi lama?”
“Tidak, paling jam sepuluh sudah ada di rumah lagi. Selama papa pergi kalian main sendiri dulu, ya? Di ruangan ini ada cukup banyak mainan yang bisa kalian ‘observasi’. Oke?” ujar Rizal bercanda.
“Oke. Asalkan nanti papa berjanji akan mengajak kami jalan-jalan.”
“Papa berjanji.”
Setelah itu Rizal mencium kedua anaknya dan meraih dompet serta ponselnya dari atas meja. Saat dia melangkah menuju pintu, terdengar olehnya Linda berkata pada kakaknya –Marco.
“Kak, jangan-jangan papa disuruh ke luar negeri lagi. Kira-kira kemana, ya?”
“Mana aku tahu? Tapi yang jelas, kalau papa keluar negeri lagi… aku ingin dia ke Amerika.”
“Jangan! Ke Inggris saja!” usul Linda.
“Amerika!”
“Inggris!”
Rizal mendengarkan ocehan putra-putrinya sambil tersenyum geli. Ada-ada saja pikiran bocah-bocah itu. Siapa pula yang mau mengirimnya ke luar negeri?
***
Ana melihatnya duduk bertekuk lutut di ujung ruangan kamar itu. Sepertinya kami tidak punya solusi lain, kata-kata yang diucapkan dokter itu terus saja terngiang di telinganya. Dan perasaannya tambah tersiksa lagi kala dipandanginya wanita itu, yang sedang duduk ketakutan tanpa alasan yang jelas di pojok kamar itu, dengan sangat ironis telah kehilangan kesadarannya. Bahkan, dengan kondisi otak seperti itu, usianya tak bakal lebih lama dari dua tahun lagi.
Terlebih lagi, wanita itu adalah putrinya.
Putri satu-satunya yang dulu dia lahirkan dengan harapan suatu saat anak itu akan tumbuh dewasa sebagai orang yang berhasil, hidup secara baik-baik, dan bahagia. Namun sekarang apa kenyataannya? Dia kini malah hidup dalam alam bawah sadarnya sendiri, dalam suatu jeruji penuh kekangan.
Sebetulnya sejak kapan anak itu jadi begini?
Sejak kapan dia mengalami gangguan kejiwaan seperti ini?
Ana memejamkan matanya dengan pahit. Putrinya itu rupanya –kata sang psikiater, telah terputus urat syaraf otaknya –entah apa istilah kedokterannya, semenjak beberapa tahun yang lalu. Mungkin sekitar enam tahun. Secara berkala kegilaannya itu menjadi semakin parah. Namun selama ini masih kambuh sesekali saja. Mungkin putrinya itu mengekspresikan tekanannya dengan marah-marah, berteriak-teriak, berkata-kata kasar, memaki, atau entah apalah yang dia lakukan. Ana bisa mengerti bila orang gila melakukan hal itu.
Namun rupanya suami putrinya itu tidak mau mengerti.
Kepergian laki-laki itu dari rumah, ditambah lagi dengan anak-anaknya yang turut serta pergi meninggalkan dirinya, menjadi klimaks segalanya. Saat itu Ana tahu dunia nyata bagi putrinya telah betul-betul berakhir. Pukulan yang sedemikian rupa kerasnya, telah membuat otaknya betul-betul tidak waras. Kali ini bukan lagi sesekali kambuh, namun memang betul-betul muncul untuk selamanya. Sejak peristiwa itu, putrinya tak henti-henti berteriak, menangis, sejenak kemudian tertawa, lalu mengeluarkan umpatan kasar terhadap suaminya, bahkan dia sampai memukul-mukul jendela.
Tangannya yang terluka akibat jendela yang pecah membuat Ana memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit –Unit Gawat Darurat. Namun saat putrinya itu malah menyerang para suster di koridor, tahulah Ana kemana dia seharusnya membawa putrinya.
Ke Rumah Sakit Jiwa.
Sudah dua hari dia dirawat disana. Sepanjang waktu itulah Ana berfikir dengan galau: haruskah dia memberitahu suami anaknya itu? Apakah laki-laki itu lalu akan datang kesini, memeluk sang istri dan mengatakan sesuatu yang mungkin –hanya mungkin, dapat membuat wanita itu lebih tenang? Atau akankah dia malah merasa hina dan malu mengakui wanita itu sebagai istrinya, lalu mengajukan gugatan cerai, dan berakhirlah segalanya? Atau mungkin laki-laki itu tidak akan melakukan apa-apa. Mungkin dia hanya akan berkata: oh. Lalu kehidupannya akan berjalan seperti biasa lagi. Putrinya dan laki-laki itu setahu Ana sudah beberapa tahun ini sering cek-cok. Mereka sering bertengkar, jadi Ana khawatir tak akan ada bedanya bagi pria itu untuk melanjutkan hidupnya sendirian. Ana bahkan curiga laki-laki itu sudah tidak lagi menganggap putrinya sebagai istri.
Sekali lagi Ana meraih ponselnya, menimbang-nimbang akan menelepon pria itu atau tidak. Jari-jarinya bergetar karena resah. Ana tahu, dia seharusnya memberitahu laki-laki itu. Namun dia tidak punya cukup keberanian. Tidak, dia tidak akan melakukannya. Biar saja laki-laki itu tahu sendiri apa yang sedang terjadi sekarang. Bila dia pulang ke rumahnya nanti –yang kemungkinan besar tidak akan dilakukannya, pasti dia akan menghubungi Ana si mertua saat menyadari istrinya tak ada dirumah.
Itu juga kalau dia memang mau pulang.
***
Rizal berjalan menuju mobilnya dengan pandangan kosong. Dia tak bisa percaya apa yang barusan didengarnya. Dia tak bisa percaya pada telinganya sendiri. Dia bahkan untuk pertama kalinya mempertanyakan keseriusan dewa takdir.
Apa betul yang dikatakan Pepa tadi?
Jepang, Rizal! Jepang!
Rizal membuka pintu mobilnya tanpa merasakan apa-apa. Sinar matahari sudah mulai terang, namun tidak seterang hatinya. Tidak secerah harapannya sekarang. Kebahagiaannya berkoar-koar –tak sanggup ditahannya.
Aku percaya kamu tidak akan melepaskan kesempatan ini kan, Rizal! Dengan, kawan! Selama dua setengah tahun disana. Bayangkan, betapa banyak yang akan kamu dapatkan!
Ya, Rizal tahu. Tanpa harus banyak embel-embel lagi dia sudah mengerti, tahu apa yang akan diperolehnya nanti. Dia tahu sepulangnya dia dari sana dua setengah tahun lagi, segalanya akan berubah. Golongannya, gajinya, bahkan mungkin profesinya. Tambahan gelarnya nanti akan menjadi modal yang gemilang bagi karirnya selanjutnya. Sekarang dia guru SMA, mungkin dua setengah tahun lagi dia bisa menjadi… dosen? Atau staf ahli di Departemen Pendidikan? Atau… Kepala Sekolah? Tidak, dia tidak akan memikirkan kemungkinan yang terakhir itu. Rizal membayangkannya sambil tertawa konyol. Dengan hati berbunga-bunga dia melajukan perlahan mobilnya menuju gerbang keluar.
Kamu berpotensi, Rizal! Kami semua disini tahu itu! Anggaplah ini sebagai judi yang halal, oke! Bila kamu berhasil mendapat nama disana, mungkin kamu malah bisa ditempatkan secara permanen di salah satu negara luar sebagai staf pengajar dari Indonesia. Namun bila ternyata kamu biasa-biasa saja… yah, paling tidak walau tak mendapat kesempatan berdiam di luar, ini tetap akan menjadi modal yang baik bagi karirmu di sini. Ini sebuah prospek yang hebat, kawan! Kamu tidak akan rugi!
Rizal sempat bertanya, bagaimana seandainya dia gagal? Poinnya tidak memuaskan?
Kami tahu itu tidak akan terjadi padamu. Bila tidak, kami tidak akan mengirimmu ke sana.
Tapi Rizal takut meninggalkan anak-anaknya –walau hanya dua setengah tahun. Apalagi setelah dia berpisah dari istrinya.
Menanamkan pengertian pada anak-anak tidak mungkin lebih sulit dari menyelesaikan persamaan kuadrat, Rizal.
Rizal memperlihatkan kartu parkirnya pada petugas dan melajukan mobil menuju jalan raya yang padat. Jalanan itu semrawut, namun sama sekali tidak mempengaruhi suasana hatinya yang sedang riang ini. Dia tersenyum menikmati pikirannya.
Jepang.
Rizal meraih ponselnya dan memutar nomor handphone Johnny. Saat mendengar nada tidak aktif, dia menerawang melihat jam digital di dashboard. Mengetahui bahwa cahaya yang dipantulkan oleh gantungan kubah silvernya yang dia gantungkan di spion membuat jam itu sukar dilihat, serta merta dengan tak sabar dia merenggut benda menggelantung itu sampai spionnya miring. Kesabaran bukanlah salah satu sifat Padang yang diturunkan ibunya padanya.
Tentu saja ponsel John dimatikan, ini bukan waktu istirahat dan dia pasti sedang mengajar.
Maka setelah mendengar nada bip, Rizal mulai bicara pada mesin penerima pesan itu. “John, ini aku –Rizal. Ada sesuatu yang harus aku bicarakan denganmu. Aku dan anak-anak akan datang ke rumah Eric pukul lima sore nanti. Tunggu aku, ya!”. Lalu setelah memikirkan apa lagi yang akan dikatakannya, akhirnya Rizal hanya berkata, “Ya sudah, hanya itu.” namun setelah bersiap-siap memutuskan hubungan, tiba-tiba dia menambahkan, “Dengar, John. Jepang.”
Lalu dia menutup flip ponselnya. Sekonyong-konyong pertanyaan sinting itu menerpa pikirannya. Nanti mungkin dia akan membeli nomor lokal sesampainya di Jepang. Tentu saja dia akan membutuhkan handphone disana. Rasanya uang sakunya akan cukup memadai.
Rizal tersenyum sendiri.
Apa Ericsson-nya bisa digunakan di Jepang?
BAB IX…
“Jadi papa akan pergi ke Jepang?” tanya Linda terkejut saat mereka makan malam di rumah Eric. Marco yang juga kaget menghentikan kunyahan sosis di mulutnya.
“Ya… itu kalau kalian berdua tidak keberatan, sayang…” Rizal mengelus rambut anaknya dengan penuh kasih. “Papa tahu hal ini adalah kesempatan baik bagi karir papa. Papa juga sangat menginginkannya. Tapi bagi papa, kalian tetap yang utama.”
Linda dan Marco saling berpandangan. “Papa akan lama?”
“Kata Oom Pepa, dua setengah tahun. Tepat saat nanti Marco akan masuk SMP, papa akan pulang.”
“Dua setengah tahun di Jepang?” tanya anak-anak itu lagi.
Rizal mengangguk. Dia ingin sekali ke sana, namun kekhawatirannya hanya satu: respon anak-anaknya.
“Apa setelah itu papa akan pergi ke tempat lain lagi?”
“Tidak!” seru Rizal spontan. “Tentu tidak, manis. Setelah dua setengah tahun itu papa akan langsung pulang ke sini –menemui kalian.”
“Setelah itu papa benar-benar tidak mau kemana-mana?”
Rizal menggeleng dengan pasti. “Sayang, selama papa di Jepang nanti, kalian akan tinggal bersama Kak Johnny, betul kan?” Rizal memandang Johnny.
John mengangguk senang.
“Bersama Kak John?” seru anak-anak gembira. “Tinggal selama dua setengah tahun di kondo kakak?” tanya mereka.
John menggangguk lagi.
“Ke sekolah kami akan diantar dengan mobil merah kakak yang bagus itu?”
John mengiyakan. “Tapi sebaiknya kalian pindah sekolah. Tanggerang terlalu jauh dari sini.”
“Itu sih oke saja buat kami!” seru keduanya riang. “Tapi… apa papa betul-betul akan ke Jepang?”
Rizal melontarkan pandangan sedih kearah keduanya. “Anak-anak… papa sudah bilang. Papa akan pergi ke sana bila kalian mengizinkan. Hanya kalian yang papa pikirkan. Kalian akan tinggal bersama Kak John dan kalian harus lebih mandiri lagi. Kalian… selama papa pergi tak bisa bemanja-manja. Kalian sudah tidak punya mama.”
“Itu bagus.” seru Linda ketus. “Lebih baik tak punya mama daripada kami tak makan setiap hari dengan ancaman siraman air panas.” ujarnya ketus.
Rizal tidak menanggapi. “Sekarang tinggal kalian yang memutuskan. Papa jadi pergi atau tidak.”
“Kami…”
Rizal tertunduk mendengarkan vonis yang akan diucapkan anak-anaknya –menyangkut masa depannya.
“Kami…”
“Kalian tidak suka papa pergi?”
Dengan enggan keduanya menggeleng. “Kami memang tidak suka papa pergi ke Jepang. Kami…” Linda mengatakannya dengan ragu.
Rizal terduduk lemas di kursinya. Dia tidak jadi pergi.
“Kami tidak suka papa ke Jepang.” Marco menambahkan. “Aku mau papa ke Amerika.”
Mendengar hal itu betul-betul membuat Rizal terperanjat.
“Bukan, papa! Aku maunya papa ke Inggris!” sambung Linda.
Hal itu malah membuat Rizal terduduk lebih tegak lagi dengan terperangah menghadapi kedua anaknya. Mereka tidak memikirkan kehilangan dirinya. Bahkan mereka tidak memikirkannya. Mungkin itu karena Rizal sudah sering bepergian sejak dulu. Mereka malah mempermasalahkan… Inggris? Amerika? Rizal tersenyum geli. Rupanya selama ini dia hanya mengkhawatirkan sesuatu yang konyol –yang bahkan tidak pernah terbesit sekalipun dalam pikiran anak-anaknya.
Rizal bangkit berdiri dan berjalan menuju anak-anaknya. “Papa memang tidak akan ke Inggris atau Amerika.” ujarnya hangat. Lalu dengan bijak dia menggenggam tangan kedua anaknya. “Namun berjanjilah, suatu saat nanti kalian yang akan pergi kesana.”
BAB X…
“Kamu betul-betul jadi pergi?”
Eric menghampirinya di teras seusai makan malam.
Rizal menoleh kearahnya dan tersenyum. “Mana anak-anak?”
“Di ruang TV –sedang bermain gitar bersama John.”
“Mereka cepat akrab.”
“John bisa mengimbangi kemanjaan kanak-kanak mereka. Sama seperti anak-anakmu –John tidak kurang manja dari mereka.”
Rizal tertawa kecil. “Awal yang baik.”
“Jawab aku, Rizal. Kamu jadi pergi?”
“Ya, aku akan pergi. Kenapa memangnya?” tanya Rizal bingung. Tak biasanya Eric ingin menghalangi kemajuan karirnya.
“Aku…” Eric duduk disebelah Rizal. “Aku hanya ingin tahu soal keinginanmu menceraikan Trudy.”
“Tidak berubah.”
“Kamu bahkan tidak memberitahunya soal rencana keberangkatanmu, Zal.”
“Untuk apa? Dia tak akan mau tahu.”
“Dia masih istrimu.”
“Aku tahu –sayangnya begitu. Tapi… sebentar lagi dia hanya akan menjadi ‘mantan’ku.” ujar Rizal datar. “Terus terang aku tidak bermaksud untuk menyelesaikan urusan rumah tanggaku sekarang. Aku masih punya banyak urusan yang harus kuselesaikan sehubungan dengan kepergianku nanti. Yah, mungkin aku akan mengajukan gugatan cerai setelah pulang dari Jepang nanti. Ditunda dua setengah tahun toh tak akan jauh berbeda. Karena kalau mau dipikir, sebetulnya aku dan Trudy sudah bercerai secara batiniah sejak bertahun-tahun lalu.”
“Kamu tergengar seperti tukang ramal, Rizal.”
“Bukan sekedar meramal, Eric. Aku tahu.” Rizal memandang sahabatnya itu dengan tajam. “Kamu tahu, Eric? Alasan lain kepergianku ke Jepang ini adalah untuk melarikan diri dari semua masalahku. Aku senang selama kurun waktu itu tidak usah pusing-pusing lagi memikirkan Trudy –merasa takut kalau-kalau dia akan melempar kepalaku dengan vas bunga seperti yang minggu lalu dilakukannya. Bila nanti aku pergi, tak seorangpun akan bisa menemukanku selain kalian –kamu, anak-anak, dan John. Aku yakin kalian tak akan membeberkan dimana aku berada. Tidak nomor teleponku di sana, tidak alamatku. Tidak satu patah katapun.”
“Apa hanya demi itu kamu tega meninggalkan anak-anak?” tanya Eric sangsi.
“Anak-anak berada di tangan yang tepat, Eric. John tahu apa yang dia lakukan.”
“Kamu sebagai ayahnya lebih tahu apa yang harus dilakukan.”
Kata-kata Eric itu membuat Rizal terdiam sesaat. Dia lalu memandang orang yang sangat dihormatinya itu lurus-lurus. “Jangan buat aku terjepit dalam situasi sulit, Eric.”
“Aku tidak sedang melakukannya. Apapun kataku, kamu toh akan tetap pergi.”
Rizal dan Eric duduk berdampingan tanpa mengatakan apapun. Mereka hanya terdiam mengamati seekor cicak yang berjalan perlahan-lahan di dinding –bersiap-siap menangkap mangsanya.
”Kapan kamu akan berangkat?” tanya Eric akhirnya.
“Tiga minggu lagi.”
“Cepat juga, ya.”
“Lumayan. Yang jelas aku tidak punya banyak waktu. Aku harus segera mengurus semuanya –pasporku, visa, izin tinggal di sana, tiket pesawat, lalu belum lagi arsip-arsip pribadiku, dan masih banyak lagi.”
“Kamu pasti lelah sekali.”
“Ya. Mengingat setelah itu aku masih harus say goodbye pada orang-orang di sekolahku, lalu mengabarkan keluargaku di Padang tentang keberangkatanku ini.”
“Pastinya mereka akan terkejut, Rizal. Keberangkatanmu kali ini sangat terburu-buru.” Eric bangkit berdiri untuk kembali masuk ke dalam. “Tapi saranku, kalau kamu sempat ada baiknya juga kamu mengunjungi Trudy untuk pamitan. Bagaimanapun… dia bagian dari hidupmu, Rizal.”
BAB XI…
Tiga minggu kemudian…
Ana duduk diatas ranjangnya sambil bersila. Satu-satunya hal yang dia pikirkan masih sama seperti apa yang ada dalam otaknya tiga minggu yang lalu. Yaitu mengenai keadaan putrinya, dan kebimbangan apakah dia akan memberitahukan suami anaknya itu atau tidak.
Ana telah memikirkan itu masak-masak. Ya, dia harus mengatakannya pada pria itu. Dia harus mengatakan padanya mengenai keadaan yang sebetulnya.
Dia harus mengatakan pada Rizal apa yang sedang dialami Trudy.
Mungkin kenyataan pahit itu akan dapat membuat Rizal memaafkan semua perlakukan kasar Trudy padanya selama ini. Mungkin di saat-saat terakhirnya, Trudy akan cukup beruntung untuk dapat ditemani oleh orang yang sebetulnya sangat dia cintai.
Trudy sebetulnya sangat mencintai Rizal.
Sayangnya vonis yang dikatakan oleh sang dokter mengenai putrinya itu sangat tragis. Umur Trudy tidak akan lebih dari dua tahun lagi. Ya Tuhan, dua tahun! Trudy hanya akan bisa bertahan hidup selama dua tahun ini. Dan rasanya sangat tidak bijaksana apabila Ana menyembunyikan kenyataan itu dari Rizal –yang justru seharusnya mengetahuinya pertama-tama.
Maka dengan gemetar Ana meraih gagang teleponnya, dan memutar nomor handphone Rizal.
***
Kali ini Johnny-lah yang mengemudikan mobil itu. Eric duduk di sampingnya, dan Rizal duduk di bangku belakang bersama Linda dan Marco. Mereka berlima bersama-sama pergi ke bandara untuk mengantar kepergian Rizal.
Sejak awal perjalanan, Linda dan Marco tak henti-hentinya mengoceh tentang betapa mereka ingin merasakan naik pesawat terbang, dan bahwa suatu saat nanti mereka juga ingin menjadi guru. “Kami mau jadi guru soalnya kami ingin jadi seperti papa dan Kak Johnny.” Itulah asalan yang mendasari keinginan mereka.
Anak-anak itu sama sekali tidak merasa kehilangan ayahnya yang akan pergi dalam jangka waktu lumayan lama. Mereka –anehnya dalam usia sedini itu, telah dapat mengerti bahwa hidup ini perlu pengorbanan. Mereka sadar betapa pentingnya hal ini bagi ayah mereka, dan mereka sama sekali tidak bermaksud untuk menghalang-halanginya. Justru mereka merasa bangga pada sang ayah. Mereka merasa sangat bangga setiap kali ada orang bertanya: dimana ayah kalian. Ayah kami ada di Jepang dalam studinya yang dibiayai negara, mereka akan menjawab dengan dada membusung. Ayah kami adalah orang yang hebat.
***
Sudah enam kali Ana mencoba memutar nomor Rizal, tapi nadanya selalu tidak aktif. Kemana orang itu? Maka dengan tidak sabar –yang tidak juga mengalahkan rasa galaunya, Ana memutar nomor sekolah tempat Rizal bekerja.
“Selamat siang.” seseorang menjawab teleponnya.
“Selamat siang. Bisa saya bicara dengan Pak Rizal? Saya Ana –mertuanya.” ujar Ana parau.
Orang diseberang sana mengeluarkan suara terkejut. “Lho, kok Ibu mencari Pak Rizal disini? Bukankah dia sekarang sudah berangkat ke Jepang? Kemarin dulu dia terakhir datang ke sini. Mungkin sekarang dia sudah sampai malah.”
Ana merasa telinganya mengalami kesalahan. Dia memang salah dengar, kan? “Jepang?” ulangnya.
“Iya, Jepang. Setahu saya dia akan dua setengah… mungkin tiga tahun disana.”
“Tapi… tapi… kenapa bisa begitu?” tanya Ana –mulai panik.
“Mana saya tahu?” orang itu menjawab dengan geli. “Seharusnya Ibu lebih tahu, dong! Ibu kan mertuanya.”
Ana merasa tidak perlu lagi bercakap-cakap dengan orang penjawab telepon itu, maka dengan kesadaran yang mulai memudar dia memutuskan percakapan.
Rizal ke Jepang?
Dia meninggalkan SMA itu sejak dua hari yang lalu?
Kenapa begitu mendadak?
Apa mungkin dia sekarang sudah sampai di Jepang?
Dimana anak-anak?
Dimana Ana akan dapat menemukan mereka?
Bagaimana Ana dapat mengetahui dengan siapa mereka tinggal sekarang? Atau mungkin Rizal membawa mereka turut serta ke Jepang?
Siapa lagi orang dapat dihubungi Ana untuk tahu dimana Rizal sekarang? Mungkin nomer teleponnya, atau alamat. Atau apapun yang dapat menghubungkannya dengan Rizal.
Siapa saja teman-teman Rizal? Ana tak tahu. Mana dia tahu? Bagaimana dia harus tahu? Ana tak pernah tahu mengenai pergaulan menantunya. Dia bahkan hanya sesekali main ke rumah mereka. Yang mungkin tahu siapa-siapa saja teman Rizal hanyalah istrinya –Trudy.
Namun sekarang wanita itu tidak berdaya karena ketidakwarasannya.
Dan itu berarti Rizal hilang tanpa jejak.
***
“Kalian harus berjanji untuk setiap tiga bulan sekali mengirim surat dan foto kalian pada papa.” ujar Rizal pada anak-anaknya di bandara.
Linda dan Marco mengangguk. “Pasti, Pa!”
“Tapi ingat, jangan minta ditulisin atau diketik pakai komputer, ya! Itu harus benar-benar tulisan tangan kalian. Papa ingin tahu perkembangan menulis kalian. Apakah tambah bagus atau… malah semakin jelek!” candanya.
Kedua anaknya tertawa sambil bergelayut pada celana papa mereka.
“Tenang, Rizal.” ujar John. “Bila kamu mau, aku bisa mengirimkan fotocopy setiap rapor mereka padamu.” katanya sambil tertawa.
Rizal ikut tertawa bersamanya. “Terimakasih, John.”
Lalu terdengar suara seorang wanita pada speaker, menyerukan nomor keberangkatannya. Orang-orang mulai berjalan menuju gate sambil menjinjing bawaan mereka. Kebanyakan orang-orang berdasi yang jelas merupakan eksekutif penting. Mata mereka hampir semua tertutup kaca mata hitam, dengan ponsel menempel pada telinga mereka untuk pembicaraan terakhir sebelum mereka disuruh mematikan seluruh alat komunikasi di pesawat nanti. Merekalah yang akan satu penerbangan dengannya –Rizal bergidik.
“Papa akan berangkat sekarang?”
Rizal mengangguk sambil tersenyum lemah.
“Papa serius akan ke Jepang? Bukan ke Inggris atau Amerika?” tanya mereka lagi.
Rizal tertawa dan mengangkat keduanya ke dalam pelukan, memeluk mereka erat-erat, menciumi mereka sampai puas, serta mengucapkan selamat tinggal. “Papa sayang kalian.”
“Kami juga sangat sayang papa.”
Rizal kemudian berdiri dan merangkul Eric, “Maafkan aku, sobat. Aku tidak menemui Trudy.”
“Aku tahu.” sahut Eric pelan.
Rizal melepaskan rangkulannya dan memeluk Johnny. “Sekarang mereka tanggung jawabmu, John. Mereka hartaku, jadi jagalah baik-baik.”
“Pasti, Zal. Semoga berhasil disana. Kami akan merindukanmu.”
“Aku juga. Terimakasih.”
Lalu setelah pemberitahuan kedua disuarakan, Rizal melirik arloji Tag Heuer-nya, dan menyadari memang sudah waktunya berangkat. Dia mencium kembali kedua anaknya, lalu menyeret koper-kopernya menuju gate. Linda dan Marco memandang ayahnya sambil melambaikan tangan.
Keempat pengantarnya menjatuhkan diri di kursi empuk bandara, menunggu Marco menghabiskan gula-gulanya.
“Aku sebetulnya menyayangkan satu hal.” Eric berkata pada Johnny.
“Apa, Oom?”
“Dia tidak mengabari istrinya mengenai ini.”
“Itu wajar. Rizal hanya takut ditimpuk vas bunga lagi.”
“Jadi kamu membelanya, John? Jadi bila kamu ada dalam posisinya kini, kamu juga akan melakukan hal yang sama?” ujar Eric sengit.
“Tidak, tentu tidak. Karena bila nanti aku menikah, aku tidak akan menikahi wanita mengerikan seperti Trudy. Tak maulah aku bila harus dihadapkan dengan semua malapetaka seperti ini…” jawabnya konyol.
“Lihat, Kak! Lihat!” tiba-tiba terdengar Linda berteriak-teriak menunjuk sebuah pesawat yang sedang tinggal landas dari jendela. “Apa papa ada disana?”
“Sepertinya ya.”
Linda dan Marco dengan antusias menempelkan wajah mereka ke kaca jendela. Lalu mereka bergumam, “Hmm, asyik, ya naik pesawat!”
Eric dan John tertawa mendengarnya.
“Suatu saat nanti kami juga akan berada di dalam pesawat terbang, pergi ke luar negeri untuk belajar.” ujar kedua bocah itu. “Seperti papa.”
Eric dan Johnny melayangkan pandangan mereka ke pesawat itu yang mulai mengudara. Didalamnya ada Rizal.
Rizal berangkat ke Jepang.
EPILOG…
Seandainya aku meneleponnya beberapa hari yang lalu pasti segalanya tidak akan jadi begini, ratap Ana sambil memperhatikan Trudy bermain-main dalam kamarnya –di dunia imajinasinya sendiri.
Kini Rizal telah pergi, tak tahu dimana dia sekarang. Ana betul-betul buta mengenai keberadaannya. Padahal Ana hanya mengharapkan satu hal: yaitu memberitahukan pada Rizal apa yang sebetulnya terjadi pada Trudy.
Bahwa wanita itu tidaklah sejahat yang dikira Rizal. Dia tidak jahat, tidak kejam. Namun lebih parah lagi –dia gila. Dan semua ketidak rasionalan perbuatannya itu dikarenakan dia tidak sadar apa yang dilakukannya. Trudy hanya mengikuti apa yang ada di alam bawah sadarnya. Dia bahkan mungkin sudah tak ingat siapa namanya.
Trudy mencintai Rizal, dan Ana ingin Rizal tahu hal itu.
Trudy mencintainya dengan segenap hatinya.
Trudy sebetulnya ingin mengekspresikannya, namun wanita itu tidak tahu bagaimana. Dia bahkan tak mampu lagi melakukan apa yang dia inginkan. Kegilaannya telah mengambil alih semuanya –termasuk keinginan hatinya.
Seandainya Rizal tahu itu, seandainya Ana menghubunginya lebih cepat, seandainya Ana memiliki cukup keberanian. Seandainya, seandainya, seandainya.
Seandainya kata ‘seandainya’ itu tak perlu dia ucapkan sekarang.
Trudy hanya punya waktu singkat untuk hidup. Rizal baru akan kembali dua atau tiga tahun lagi. Mungkin –mungkin sekali, pada saat Rizal kembali Trudy sudah tidak ada. Dan itu berarti Rizal tak akan pernah tahu apa yang sebenarnya. Dia tak akan pernah bisa mendampingi Trudy lagi.
Dan ironisnya, Trudy akan mati dalam kondisi Rizal masih membencinya.
Mampukah Ana berkata: Rizal, maafkan aku. Dulu ketakutanku dan ketidak beranianku telah menghalangi kalian bertemu. Padahal itulah kesempatan terakhirmu untuk bertemu dengan Trudy. Maafkan aku, Rizal. Aku sungguh pengecut. Namun sekarang segalanya sudah terlambat. Trudy sudah… tidak ada. Tapi satu yang harus kukatakan. Hingga akhir hayatnya Trudy tetap mencintaimu.
Ana berharap penjelasannya itu akan membuat hati Rizal tersentuh, dan laki-laki itu akan bisa memaafkan Trudy –dan juga dirinya, memakluminya, dan mengerti semua perbuatannya yang dahulu.
Namun jangankan untuk mengerti. Ana yakin Rizal akan sangat kecewa padanya. Dan sepertinya Ana tidak akan mau menanggung resiko untuk mengutarakan hal itu pada Rizal. Mungkin Ana akan bungkam selamanya. Dia mungkin tak akan menemui Rizal lagi. Ana tahu, bila dia tidak menemui menantunya itu lagi, dia akan menyesal seumur hidup. Namun, bila Ana malah bersikeras menemuinya lagi, dia tahu bahwa dia akan membawa sesal itu hingga ke liang kubur.
Kemudian soal Trudy… biarkan wanita itu hidup dalam angan-angan Rizal –apa adanya. Mengenai kebenaran ceritanya… siapa yang merasa perlu mendapat penjelasan? Rizal juga tak akan mempermasalahkan soal kejujurannya.
Dia bahkan tidak akan pernah tahu…
~***~
- Blogger Comment
- Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar
Sundul gan! Ane ga kenal yang namanya spam...