JoJo

BAB I…


Dengan resah dipandanginya jendela yang terbuka itu. Hujan turun dengan deras dan terkadang airnya membasahi sofa empuk yang tengah dia duduki sekarang. Ini sudah malam, hampir pukul sebelas, namun ayahnya belum juga pulang. Dia melirik jam dinding. Mungkin sebentar lagi. Maka dengan lunglai dia meraih pintu lemari minuman, dan mengambil wadah berisi bubuk kopi serta menuang beberapa sendok ke dalam cangkirnya. Dia mencampur minuman itu dengan susu dan bubuk coklat, lalu dalam beberapa menit minuman hangat itu sudah dapat sedikit menenangkan kegalauannya.
Terdengar suara pintu dibuka. Serta merta dia membalikkan badan dan memfokuskan matanya dalam gelap. Dia berharap ayahnya yang datang, namun ternyata bukan.
“Jose,” ujar Denissa pelan. “Ini sudah jam sebelas.”
Jose tersenyum. “Aku tahu.” dia lalu merenggangkan otot tubuhnya dalam beberapa gerakan ringan, dan bertanya, “Kamu belum tidur? Besok kamu ke kampus, kan?”
“Iya. Aku baru saja mau tidur. Barusan aku mengerjakan tugas dari dosenku dan untungnya bisa aku selesaikan malam ini. Tapi aku lihat lampu kamar kerja ayah masih menyala, jadi aku putuskan untuk melihat siapa yang ada didalam.”
Jose tersenyum lemah. “Tidurlah, Nissa. Tidak sehat anak seumur kamu masih bangun pada pukul segini.”
“Jose,” Denissa berjalan ke arahnya dan memeluk kakaknya itu dari belakang. “Ada apa? Kamu terlihat tidak keruan. Lihat tampangmu.” Denissa menunjuk cermin besar yang ada. “Seperti hantu.”
Jose memaksakan dirinya untuk tertawa.
Denissa lalu duduk di sampingnya dan menatap mata kakaknya itu dalam-dalam. “Apa yang sedang kamu lakukan malam-malam begini di kamar kerja ayah?”
“Menunggu ayah.”
“Untuk apa? Seumur-umur kamu tidak pernah menunggu ayah pulang. Tidak satu pun dari kita bertiga yang pernah menunggunya seperti yang kamu lakukan sekarang.” ujarnya penasaran.
Jose tertawa kecil. “Aku merasa beruntung bisa menjadi orang pertama yang melakukannya.”
“Jose!” teriak Denissa sebal. “Katakan padaku yang sebenarnya. Ada urusan apa kamu dengan ayah?”
“Kok kamu tanya begitu? Wajar kan kalau seorang anak ingin menunggu ayahnya pulang?” jawab Jose protektif.
“Ayah bilang baru jam delapan tadi meninggalkan perkebunan. Pasti sampai sini tengah malam nanti karena mungkin jalanan macet sehabis hujan. Masa kamu mau menunggu dia sampai malam kalau memang tidak ada apa-apa?”
“Memang tidak ada apa-apa. Sekarang, pergilah tidur. Jadilah anak baik, oke?” ujar Jose sambil memukul pantat anak itu. Sambil mengumpat kesal Denissa meninggalkan kakaknya seorang diri dan keluar sambil membanting pintu. Jose tertawa melihatnya. Adik bungsunya itu memang pemarah dan manja. Dari dulu dia mengenal Denissa, sama seperti dia mengenal Adrian, sama seperti dia mengenal dirinya sendiri. Dia tahu segalanya tentang persaudaraan mereka.
Namun jujur saja dia tidak tahu apapun tentang yang satu ini.
Dengan dahi berkerut Jose menatap kembali ke foto yang sedang dipegangnya itu. Telah puluhan kali, bahkan ratusan kali dia memandanginya semenjak tadi siang dia menemukan foto itu di gudang. Tapi walaupun dia telah memperhatikannya sejeli mungkin, dia tetap tidak tahu siapa itu.
Foto itu menggambarkan kedua orang tuanya sedang menggendong dua orang bayi yang baru saja dilahirkan. Kedua bayi itu sama.
Dengan hati berkecamuk Jose berpikir. Dia adalah anak tertua. Enam tahun kemudian lahirlah Adrian. Lalu selang tujuh tahun, barulah Denissa lahir. Dan sejak itu tidak pernah ada bayi lagi di rumah mereka. Tidak satupun dari mereka bertiga punya jarak umur yang berdekatan. Tidak ada satupun dari mereka bertiga yang mungkin adalah bayi-bayi di foto itu.
Satu hal lagi yang membuat Jose bertanya-tanya. Kedua orang tuanya pernah memperlihatkan foto Adrian dan Denissa sewaktu mereka masing-masing masih bayi. Namun tidak pernah sekalipun mereka menunjukkan foto Jose pada saat dia masih kecil. Orang tuanya selalu berdalih, dulu pernah ada banjir besar yang menghanyutkan semua foto Jose kecil.
Namun nyatanya, tadi siang saat dia membereskan gudang, dia menemukan sekardus foto usang. Semua foto itu bergambar kedua orang tuanya sedang menggendong bayi. Dua orang bayi. Siapa mereka? Mungkinkah anak tetangga yang secara kebetulan karena banjir fotonya jadi mampir ke rumah mereka? Ya, mungkin saja. Tapi yang jelas banjir tidak akan bisa membuat kedua orang tuanya tercetak begitu saja dalam foto itu.
“Jose?”
Dengan terkejut bukan kepalang dia membalikkan badannya dan menatap tajam ke ambang pintu. Akhirnya. Itu dia ayahnya datang. “Hai, ayah. Akhirnya ayah pulang juga. Macet, ya?”
Ayahnya tersenyum. “Begitulah.”
“Ayah sedikit basah. Aku nyalakan penghangat ruangan, ya? Nanti ayah menggigil, lagi!” tawar Jose sopan dan penuh kasih sayang. Dia lalu dengan cekatan menyalakan alat itu dan membuatkan segelas susu coklat kesukaan ayahnya.
“Terimakasih, Jose.” jawab ayahnya saat dia memberikan minuman itu. “Apa yang sedang kamu lakukan disini?” tanya ayahnya akhirnya.
“Menunggu ayah.”
“Begitu? Memangnya kenapa?” tanya ayahnya bingung dan terkejut. “Ayah kan sudah bilang mau pulang malam. Jadi tidak perlu ditunggu.”
“Bukan itu maksudku.”
Ayahnya menatap Jose dengan bingung dan dahi berkerut. “Jadi?”
“Aku tidak akan menunggu ayah pulang hingga malam begini bila tidak ada apa-apa. Tapi aku ada urusan yang sangat penting dengan ayah. Dan aku harus mengatakannya malam ini.” ujar Jose dingin.
Ayahnya terdiam. “Dari nada suaramu, sepertinya itu bukan hal yang menyenangkan.” katanya datar. “Ada apa?”
Dengan satu gerakan cepat Jose menyodorkan foto yang dipegangnya pada sang ayah. Dengan seksama diperhatikannya mimik wajah pria tua itu. Terkejut, bingung, penuh tanda tanya, hingga akhirnya takut. Dengan tangan bergetar laki-laki itu meraih foto yang disodorkan putranya dan mendekatkannya ke wajah. “Ini…” katanya tergagap. “Ya Tuhan, Jose! Darimana kamu dapatkan ini?”
Jose menatap tajam ayahnya. “Dari gudang. Aku menemukannya siang ini. Aku menemukan satu box penuh foto kedua bayi itu, ayah! Dan aku bahkan tidak tahu siapa mereka! Aku tidak tahu kenapa ayah dan ibu harus menggendong mereka!” pekiknya pahit. “Dan terlebih lagi, aku tidak tahu kenapa kalian harus menyimpan foto-foto itu…” ujarnya lirih.
“Kami… itu…” ayahnya tidak dapat menjawab.
“Sejak 32 tahun yang lalu aku selalu bertanya pada kalian: dimana foto-fotoku? Aku hanya ingin tahu, ayah, apakah aku ini cukup berharga untuk kalian kenang kelahirannya! Namun kalian selalu menyalahkan banjir itu –banjir idiot yang mustahil itu! Oke, bila kalian memang merasa tidak butuh foto-fotoku, aku bisa terima! Tapi yang tidak bisa aku terima adalah kenapa justru foto anak tidak jelas itu yang kalian simpan?!” teriaknya sedih.
Dengan hati pilu ayahnya menatap foto itu. Lalu, dengan penuh sesal dia merobek foto itu menjadi dua –satu menggambarkan bayi pertama, satu potong lagi bergambar bayi kedua. “Sejak dulu, Jose, kamu selalu ngotot ingin melihat dirimu sewaktu bayi.”
Jose menarik nafas panjang untuk meredakan emosinya.
“Inilah fotomu.” ayahnya menyerahkan foto bagian kiri pada Jose, dan serta merta dia merobek yang kanan, menjadikannya seripihan kecil, dan membuangnya ke alat pemanas ruangan. Sedetik kemudian foto itu hangus terbakar. “Lupakan saudaramu, Jose.”
Jose menatap ayahnya tak percaya. Hatinya bagai tersayat oleh pisau yang sangat tajam. Kepalanya serasa berputar, lututnya lemas dan tak sanggup lagi menahan berat tubuhnya. Dia ingin bicara, namun tak ada suara yang keluar. Lidahnya kaku, pita suaranya beku.
“Kamu sudah dapatkan apa yang selama ini selalu kamu cari, Jose. Itulah kamu. Bayi itu adalah dirimu. Sekarang, tidurlah. Mulai sekarang kamu bisa jalani hidupmu dengan tenang. Kamu akhirnya tahu bahwa ayah dan ibumu menyayangimu, dan kami memang menghargai kelahiranmu. Kami masih menyimpan fotomu. Nah, sudah malam. Sekarang kembali ke kamarmu.” kata ayahnya tanpa intonasi.
Jose memandang ayahnya dengan pedih dan dengan rasa sakit yang tidak tertahankan. “Ayah… ayah…” katanya kacau. Dia mengelus dadanya untuk menenangkan diri –mencoba menyusun kata-kata. “Apa maksud ayah? Aku… aku… aku punya saudara, ayah…” ujarnya lirih. “Aku punya saudara! Dimana dia?!” tiba-tiba Jose berteriak.
“Dia sudah mati.”
“Apa?!” pekik Jose. “Tidak, ayah! Ayah bohong! Tidak pernah ada pemakaman dirumah ini! Tidak pernah ada yang meninggal disini! Tidak ada yang mati! Saudaraku masih hidup! Katakan padaku, ayah! Dimana dia?! Siapa namanya?! Kenapa dia tidak ada disini bersamaku, ayah?!”
Ayahnya menyesap minumannya dan mulai bicara. “Tenangkan dirimu, Jose. Ayah akan bercerita, tapi tidak sekarang. Tidak saat kamu sedang emosi seperti ini.”
“Ceritakan, ayah! Sekarang!”
Ayahnya menatap Jose dengan mata berkilat. “Duduklah.”
Jose menurut.
“Tiga puluh dua tahun yang lalu. Sudah begitu lama. Dulu ayah dan ibumu tidak seperti ini, Jose. Kami tidak punya perkebunan, kami bukan pemilik perusahaan, kami tidak punya show room mobil seperti sekarang. Kami tidak punya banyak uang. Kami miskin.”
“Itu bukan penjelasan atas pertanyaanku, ayah!”
“Ayah tidak pernah mengajarimu untuk memotong perkataan orang tua, Jose!” bentak ayahnya kasar. “Pada saat kalian berdua lahir, kami sadar kami tidak mampu membesarkan kalian berdua. Kami hanya mampu untuk membesarkan satu orang anak. Dan itu adalah kamu, Jose.”
“Lalu ayah bawa kemana saudaraku?! Ayah bawa kemana dia?!” pekik Jose. Air mata mulai membasahi matanya dan membuat pandangannya samar.
“Ayah tinggalkan dia didepan pintu sebuah panti asuhan di Cijeruk, Lido –dengan karton bertuliskan namanya dan sebuah kalung salib dari perunggu. Ayah yakin mereka akan mengurus Johan dengan baik.”
“Johan?”
“Itu nama saudaramu. Saat kalian lahir ibumu memberi nama kalian begitu. Dia memanggil kalian berdua JoJo.” Ayahnya menghela nafas panjang. “Hingga kini ayah tidak pernah tahu apapun lagi tentang Johan.”
Jose memekik saat mendengar itu. “Ayah jahat!” teriaknya pahit. “Ayah membuang saudaraku! Ayah telah memisahkan aku dengan saudara kembarku! Ayah kejam!” teriaknya. “Apakah ayah tahu? Selama bertahun-tahun aku merasa ada sesuatu yang kurang dalam hidupku. Aku sering terbangun ditengah malam dan merasa kesepian, seolah-olah aku ini sendirian. Aku tidak pernah tahu apa yang terjadi padaku. Ayah begitu tega! Selama 32 tahun ayah membiarkan aku bertanya-tanya mengenai keanehan itu seorang diri. Ayah telah menyiksa batinku dengan memisahkan aku dengan Johan!”
Setelah mengatakan itu Jose berlari keluar ruangan dengan berderai air mata dan membanting pintunya. Dan sebelum daun pintu itu benar-benar tertutup, ayahnya berteriak, “Dengarkan ayah, nak!”
Jose berhenti melangkah dibalik pintu itu.
“Ayah sangat berat meninggalkan anak itu, Jose! Tapi ayah tidak punya pilihan lain! Ayah sangat menyesal, tapi tidak ada cara lain yang bisa ayah tempuh supaya kita semua bisa bertahan hidup! Mengertilah, Jose! Ayah tidak mau kamu membenci ayah. Ayah sangat menyayangimu…” ujar ayahnya. Terdengar ada isakan dibalik suara itu. “Ayah telah dengan sangat picik membuang saudaramu. Dan sekarang ayah tidak mau kehilangan dirimu juga. Cukup satu saja diantara kalian. Ayah tidak ingin kehilangan kalian berdua…”
Jose melangkah mendekati daun pintu dan berteriak kembali membalas ucapan ayahnya yang berada dibalik lembaran kayu mahoni itu. “Aku menyayangi ayah.” katanya. “Tapi aku tidak akan pernah memaafkan ayah.”
Setelah mengatakan ultimatum itu Jose berlari menuju kamarnya dan menangis semalaman.

BAB II…


“Tidak bekerja?” Adrian bertanya dengan heran saat dia melihat kakaknya masih terkubur dibawah selimut pada pagi hari ini. Tidak biasanya kakaknya itu malas begini. Kalau yang malas itu adalah Adrian, tak bakal ada yang heran. Laki-laki 26 tahun ini adalah seorang pelukis dan gitaris yang handal. Dia bekerja hanya bila dia ingin. Dia seolah hidup tanpa kewajiban, hanya dengan keinginan. Segalanya terasa begitu simpel untuk Adrian.
“Ayolah, Jose. Ada apa, sih? Setan mana yang merasukimu sehingga jadi beruang tukang tidur begini?” tanyanya sambil mendekati ranjang dan duduk di pinggir bantal kakaknya. “Dengar, ya. Beruang saja tidak akan mau tidur berlama-lama di musim hujan begini. Musim panas masih lama. Ayolah, bangun. Waktu untuk bersantai masih lama.”
“Aku tidak mau kerja hari ini. Aku tidak mau bangun. Aku tidak mau ngapa-ngapain. Aku mau disini saja.” jawab Jose singkat.
Adrian mendengar sesuatu yang lain dalam suara kakaknya. Suara yang hangat dan dalam itu pecah. Dia melongok ke balik selimut dan melihat keadaan kakaknya yang jauh lebih kacau dari suaranya. Mata Jose merah, sama seperti hidungnya. Rambutnya berantakan, dan kulit pipinya terasa kaku. Adrian mengerutkan dahi. “Kamu menangis, Jose?”
Jose memalingkan muka.
“Kamu adalah laki-laki yang tegar. Selama ini kamu tidak pernah menangis. Well, aku juga. Namun aku tidak menangis karena aku tidak pernah peduli atas apapun. Sedang kamu, kamu tidak menangis karena kamu pandai menjaga emosimu. Aku mengenalmu dengan sangat baik, Jose. Aku tahu ada yang tidak beres sekarang.”
“Memang.”
“Ceritakanlah. Mungkin aku bisa membantu. Yah, mungkin memang tidak terlalu banyak. Tapi setidaknya aku juga bisa merasakan kesedihan kakakku.” Adrian mengusap dahi kakaknya. “Kamu punya aku, Jose. Aku akan mendengarkan keluhanmu. Aku tidak akan membiarkan saudaraku sendirian, Jose.”
Mendengar itu tiba-tiba Jose melonjak bangun. “Apa katamu?”
“Apaan?” ujar Adrian bingung.
“Kamu benar.” katanya senang. “Kamu benar, Adrian. Kamu benar!” lalu dengan secepat kilat Jose meraih handuknya dan masuk ke kamar mandi. Lima menit kemudian dia keluar dengan lilitan handuk di pinggangnya. Dia lalu menuju cermin, bercukur, memakai krim rambut, menyisir, dan kemudian berpakaian. Dia mengenakan sebuah kemeja biru tua dan celana panjang hitam. Dia mengambil sebuah jaket kulit dan sepatu hiking.
“Kamu mau kemana dengan pakaian itu?”
“Diam kamu. Mau tahu saja.” lalu dia meraih ponsel, dompet, sapu tangan, arloji, dan kunci mobilnya. Kemudian dia mengenakan kaca matanya dan siap untuk berangkat. “Aku pergi dulu, ya.”
“Kemana? Enggak ke kantor?” tanya Adrian.
“Tidak. Selama aku pergi, aku percayakan urusan kantor padamu, Adrian. Oke? Sekarang aku mau pergi ke suatu tempat.”
“Kemana? Buat apa?” tanya Adrian lagi.
Jose tersenyum senang. “Seperti ide yang tadi kamu katakan.” jawabnya diambang pintu. “Aku juga tidak akan pernah membiarkan saudaraku sendirian.”

***

“Tadi, sewaktu ayah mandi.” jawab Adrian lugas saat ayahnya bertanya kapan Jose meninggalkan rumah. “Aku rasa dia tidak sedang bersiap untuk pergi ke kantor. Dia memakai baju santai. Kurasa dia tidak akan bekerja hari ini. Dia sedang kalap.” jelasnya sambil melahap sarapan lezat itu.
“Memangnya kenapa dengan dia?” sambung Denissa ingin tahu.
“Who knows?” jawab Adrian sambil lalu.
Denissa mengangguk tanda setuju. “Oh ya, ayah. Semalam dia menunggu ayah hingga tengah malam. Apakah ayah sempat bertemu dengannya?” tanya Denissa pada sang ayah.
Ayahnya meletakkan garpu di pinggir piringnya. Lalu dia menggeleng. “Tidak. Saat ayah pulang Jose sudah tidak ada didalam kamar kerja ayah.”
Serta merta Adrian menjatuhkan roti keju yang sedang dipegangnya.
“Kenapa, Adrian?” tanya ayahnya.
Adrian menggeleng. “Tidak ada apa-apa.”
Ayahnya tersenyum. “Well, kalau begitu ayah berangkat dulu, ya? Ayah akan ke kantor hari ini. Bilang pada Jose bila dia kembali, suruh dia masuk kantor secepatnya. Kita akan mengadakan rapat untuk membahas masalah perkebunan. Oke?”
“Ya, ayah.” jawab mereka serempak. Kemudian dengan anak matanya, Adrian mengawasi laki-laki tua itu berjalan menuju pintu dan melesat dalam Mercedes hitamnya. Kemudian Adrian menyandarkan tubuhnya pada kursi dan mendesah. “Untuk apa ayah melakukan itu?”
“Melakukan apa?” tanya Denissa.
“Berbohong pada kita.” sahut Adrian. “Tadi sewaktu kamu tanya apakah dia bertemu Jose semalam, dia bilang tidak, kan? Dia bilang bahwa Jose sudah tidak ada dalam kamar kerjanya.”
“Itu benar. Memangnya kenapa? Mungkin saja Jose memang sudah tidur semalam dan tidak lagi menunggu kepulangan ayah.” kata Denissa.
“Tapi, adikku sayang, dia bilang bahwa Jose sudah tidak ada dalam kamar kerjanya. Nah, darimana ayah tahu bahwa Jose menunggu di kamar kerjanya? Kamu kan tidak menyebut tempat dimana Jose menunggunya kemarin!” ujar Adrian mematikan argumentasi Denissa.
Denissa befikir sejenak dan meneguk jus jeruknya. “Lalu apa yang ada dalam pikiranmu?” tanyanya pada si kakak.
“Aku rasa mereka bertemu semalam. Ya, mereka memang bertemu dan sempat bicara. Namun aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan sehingga ayah sampai tidak ingin kita tahu bahwa mereka sempat bertemu kemarin.”
“Apa menurutmu itu rahasia?”
Adrian mengangkat bahu. “Mana aku tahu? Yang jelas, tadi pagi sikap Jose aneh sekali. Dia seperti kehilangan motivasi hidup. Lesu, lemas, sedih. Dia bahkan menangis semalam. Matanya merah dan sembab. Jangan-jangan dia menangis karena ayah, lagi.” terka Adrian.
“Masa? Memangnya menurutmu mereka bertengkar? Ada urusan apa mereka berdua?”
“Aku tidak tahu. Ah, sudahlah. Untuk apa dibahas? Mendingan sekarang kamu cepat habiskan sarapanmu, lalu pergi ke kampus, oke?”
Denissa tersenyum. “Oke, tapi kalau ada kabar baru, beri tahu aku, ya?”
“Yap.”

***

Tukang rokok itu bilang bahwa panti asuhan itu berada di ujung gang ini. Entah itu benar atau tidak, yang jelas Jose akan mencoba dulu. Dia memasukkan gigi persneling CRV-nya, dan mulai melaju perlahan memasuki gang itu.
Di kanan jalan terdapat beberapa warung kopi, yang juga sekaligus menjual permen. Di kiri, ada tempat pembuangan sampah yang sangat kotor. Ya, ampun. Jose betul-betul merasa sedih. Apa betul ditempat macam inilah saudaranya dulu ditinggalkan?
Bangunan panti itu sudah sangat tua dan reyot. Kayu-kayunya lapuk, catnya sudah banyak yang terkelupas. Namun begitu, Jose melihat dari kejauhan bahwa tempat itu masih ada penghuninya. Maka dia mempercepat laju kendaraannya, dan berhenti tepat di depan pintu panti. Anak-anak yang tinggal disana langsung berlari keluar dan mengerubungi mobilnya –mengaggumi benda besar itu.
Jose turun dari mobil dan tersenyum pada mereka. Kemudian dengan lutut gemetar dia berjalan menuju pintu dan melongok ke dalam.
“Selamat siang, Pak. Ada yang bisa dibantu?” seseorang menyapanya dengan ramah. Seorang gadis muda yang pucat dan terlihat sangat rendah diri.
“Hmm… saya…” Jose menyusun kata-katanya agar terdengar jelas dan tepat sasaran. “Maaf, mbak. Apakah panti asuhan ini memang sudah ada dari dulu? Maksud saya, sejak mungkin… kira-kira 30 tahun yang lalu.”
Gadis itu tersenyum kecil. “Benar. Silahkan masuk. Mau minum apa?”
“Apa saja.” Jose mengikuti gadis muda itu ke dalam dan menurut saat ditawari untuk duduk di sebuah kursi rotan. Perabotan rotan itu rupanya adalah satu-satunya kemewahan yang mereka miliki, selain televisi hitam-putih 14 inch yang sudah jelek.
“Silahkan.” gadis itu menyodorkan segelas teh panas untuknya. Lalu dia duduk di hadapan Jose. “Ada yang bapak cari disini?” tanyanya.
“Ya. Saya hanya ingin tahu tentang panti asuhan ini. Itu saja. Apakah… banyak anak yang dititipkan di tempat ini, mbak?”
Gadis itu tertawa. “Panggil saja saya Nina.” dia berkata ramah. “Ya, benar. Banyak sekali orang tua yang membuang anak-anak mereka ke sini. Bermacam-macam alasannya. Ada yang dengan sopan menitipkan anak mereka pada kami, tapi ada juga yang hanya ditinggal didepan pintu. Malang sekali nasib anak-anak itu.”
Mendengar hal itu membuat hati Jose sangat terluka. Namun dia mencoba untuk menahan diri. “Apa mereka dirawat dengan baik disini? Maksud saya… yah, kamu mengerti, kan?”
Nina tersenyum lemah. “Saya mengerti. Tapi… apa sebenarnya maksud kedatangan bapak kesini? Bapak tidak terlihat seperti orang yang ingin mengadopsi anak.” tanyanya.
Jose terdiam dan menunduk. Lalu dia mencoba untuk menjawab. “Memang tidak. Saya kesini ingin mencari saudara kembar saya.”
“Apa?” sahut Nina kaget. “Saudara kembar?”
“Ya. Selama ini saya tidak tahu bahwa saya punya saudara kembar. Baru kemarin ayah saya mengaku bahwa pada saat saya lahir, dia membuang saudara saya disini. Dan saya datang hanya sekedar ingin mencari tahu dimana dia berada.”
Nina termangu mendengar kisah itu. Lalu dengan berat dia mengatakan, “Bapak sudah dewasa. Di panti ini tidak ada anak yang sudah sebesar bapak. Dia pasti sudah lama meninggalkan tempat ini. Maafkan saya, tapi memang itulah keadaannya.”
“Saya tahu. Tapi paling tidak, kamu tahu siapa yang mengadopsinya? Atau, apakah dia terpaksa pergi tanpa tujuan dari tempat ini karena sudah dewasa? Tolonglah, saya hanya ingin tahu tentang dia, atau apapun yang dapat membawa saya kepadanya…”
Nina termenung. “Mungkin saya tidak dapat banyak membantu bapak. Saya baru bertanggung jawab atas panti ini lima tahun yang lalu –tepat pada saat panti ini dipindahkan lokasinya. Sebelum itu, nenek sayalah yang menangani semuanya. Namun shock karena penggusuran itu, dia jadi sakit-sakitan sekarang.”
“Kamu bilang tadi panti ini dipindahkan? Apa maksudmu?” tanya Jose heran.
“Itu benar, pak. Inilah satu-satunya panti asuhan yang ada di Cijeruk. Ini kota kecil. Dulu, panti ini tidak berada di lingkungan kumuh seperti ini. Bertahun-tahun yang lalu, panti ini berlokasi di depan danau itu –yang bapak lewati saat ingin menuju kesini.”
“Ya, saya melihatnya. Tapi didepannya sudah penuh dengan tempat-tempat peristirahatan dan restoran.”
“Proyek itulah yang membuat kami terpaksa pindah ke sini. Padahal, dulu anak-anak sangat bahagia tinggal disana. Tidak seperti sekarang, kondisi kami makin tidak menentu.” ujarnya sedih. “Saya yakin saudara kembar bapak dulu juga sangat senang tinggal disana.”
“Akan jauh lebih senang lagi apabila dia bisa tinggal bersama keluarganya, bukan?” ungkap Jose miris. Dia terlihat sangat kecewa dan sedih. “Nina, apakah kamu bisa mempertemukan saya dengan nenekmu? Mungkin dia bisa membantu saya.”
Nina memandang Jose cukup lama, berfikir tentang permintaan itu. Tidak tega rasanya dia bila harus menolak membantu Jose. Laki-laki ini sangat ingin bertemu dengan saudaranya –yang semua orang pun tahu sangat kecil kemungkinannya.
“Siapa nama bapak?” tanya Nina akhirnya.
“Jose.” jawabnya.
Nina tersenyum. “Baik, Pak Jose. Tunggulah sebentar. Saya akan ke kamar dulu, memberitahu nenek bahwa bapak ingin bicara dengannya. Saya akan berusaha agar dia mau membantu bapak, tapi saya tidak bisa berjanji.”
“Apapun, saya akan sangat berterimakasih untuk itu.”







BAB III…


“Lihat apa yang aku bawa untuk ibu. Suka tidak?”
Johan bertanya sambil mencium pipi ibunya sepulang bekerja. Dia membuka jaket kulitnya dan melipat benda itu di atas kursi. Kemudian dia memberikan selendang halus dari sutra itu kepada ibunya.
“Terimakasih, Joe.” sahut ibunya. “Tapi sebetulnya kamu tidak perlu melakukan ini. Ibu tidak mau kamu menghabiskan uangmu hanya untuk memanjakan ibu, sayang.”
“Tidak kok, bu. Uangku masih ada. Lagipula, ini hanya merupakan tanda syukurku pada Tuhan. Proyek terakhirku sudah selesai dan hasilnya bagus. Aku dapat uang lumayan. Masa aku habiskan sendiri? Aku rasa tidak ada salahnya membelikan ini untuk ibu.”
“Tapi, nak…” dia mengelus rambut putranya itu. “Ibu kan sudah tua, sudah jarang keluar rumah. Sedangkan kamu kan masih muda, masih butuh banyak bergaul. Kamu lebih membutuhkan hal-hal semacam ini daripada ibu.”
“Jadi ibu menyuruhku memakai selendang?” candanya.
Ibunya tertawa. “Bukan, Joe. Maksud ibu, sudah saatnya kamu mulai memikirkan kepentinganmu sendiri. Ibu tahu kamu sedang menabung untuk persiapan pernikahanmu nanti. Konsentrasikanlah dirimu untuk itu. Tidak usah membelikan ibu.”
“Memangnya siapa bilang aku mau cepat-cepat kawin?” tanya Johan sambil tersenyum.
“Ah, kamu. Ibu tahu, kok. Ini hanya masalah waktu.”
Johan tertawa. “Ibu,” ujarnya sabar sambil menggengam tangan ibunya. “Hana dan aku memang merencanakan hal itu. Tapi kami tidak akan memaksakan keadaan apabila memang tidak memungkinkan pernikahan itu dilangsungkan dalam waktu dekat ini. Dan, aku juga tak mau kalau ibu merasa tidak enak aku belikan sesuatu. Ketahuilah ibu, bahwa ibu adalah orang yang sangat aku sayangi, dan ibulah yang paling berjasa dalam hidupku –melebihi apapun. Apapun yang aku berikan tidak akan pernah cukup untuk membalas apa yang telah ibu berikan padaku.”
Ibunya tersenyum hangat mendengar itu dan menggengam tangan putranya. Dia lalu mengecup dahi anak itu dengan penuh rasa sayang. “Bagaimana akhirnya?” tanyanya tiba-tiba.
Johan yang berusan terbawa suasana langsung terlonjak kaget. “Apanya?”
“Proyekmu.”
“Sudah selesai kok, bu. Semuanya baik.”
“Tapi kamu kan belum menceritakannya secara jelas pada ibu. Ayo, dong! Jangan buat ibu penasaran.” bujuk ibunya.
“Tidak ada yang spesial.” jawab Joe singkat sambil tersenyum malu. “Maksudku, proyek ini memang spesial, memang lebih besar dari yang biasanya. Namun secara teknis, pelaksanaannya sama saja. Entah itu besar atau kecil, proyek tetaplah proyek dan aku berusaha untuk selalu mengerjakannya secara profesional.”
Ibunya tersenyum. “Ibu tahu, nak. Ibu tahu sifatmu itu. Tapi, kamu jangan bohong. Ibu tahu kamu sangat bahagia mendapat proyek ini.”
Joe tertawa. “Tentu saja, bu. Siapapun akan sangat senang bila berada di posisiku sekarang ini. Bayangkan saja, akhirnya aku dipercaya untuk memegang proyek semacam ini. Biasanya kan yang ditunjuk untuk menanganinnya orang yang sudah senior, sudah berpengalaman, dan kualitas kerjanya sudah teruji. Eh, ternyata aku yang dapat proyek kakap ini. Ibu kan tahu, itu proyek negara. Bagaimana tidak bangga?”
“Kamu kan juga berpotensi, Joe. Dan ibu rasa memang sudah sepantasnya kamu mendapatkan kesempatan seperti ini.”
Johan menggengam tangan ibunya dan mecium tangan halus itu. “Terimakasih atas dukungan ibu. Itu akan sangat membantuku, bu.” dia menunduk. Sejurus kemudian dia tertawa sendiri.
“Ada apa?” tanya ibunya.
“Tidak. Hanya saja, aku merasa geli. Sebagai arsitek pertamanan aku sudah sering mengerjakan berbagai proyek –mulai dari taman orang kaya, halaman sekolah, hotel-hotel, dan yang terakhir ini taman Monumen Nasional. Hasil kerjaku banyak disukai orang –bahkan menteri pun ada yang sudah berencana menggaetku. Tapi, rasanya aku tidak enak. Habisnya, aku terus-terusan mengerjakan taman orang lain, tapi tidak pernah mau mengerjakan taman ibuku sendiri.” ujarnya melucu.
Ibunya tertawa. “Johan, Johan.” dia memeluk putranya. “Itu bisa kamu pikirkan nanti. Halaman ibu ini tidak terlalu luas, tidak terlalu rumit untuk dikerjakan. Dan ibu tidak butuh arsitek jenius seperti kamu untuk mendesainnya. Paling-paling ditanami beberapa rumpun tanaman saja juga sudah penuh.” ibunya mengelus rambut anak itu.
Joe tersenyum simpul. “Ya sudah, aku ke kamar dulu ya, bu. Aku mau siap-siap untuk mandi dan setelah itu aku akan pergi ke rumah Hana. Dia minta dijemput dua jam lagi. Katanya dia mau menemui ibu. Ibu tahu? Dia kan baru belajar bikin martabak keju. Dia bilang, dia mau ibu mencicipnya.”
“Wah, kalau begitu ibu harus dandan, dong! Malu dong kalau ketemu gadis secantik dia tapi kitanya jelek begini…” ledek ibunya.
Johan hanya mengedipkan mata mendengar kata-kata ibunya.

***

“Ini korannya, den.” Mbok Mar menyodorkan koran itu kepada Adrian –majikannya yang paling ceplas-ceplos, namun sekaligus yang paling dekat dengannya. Mbok Mar sudah bekerja di rumah itu sejak dulu –sejak Adrian berusia 3 tahun. Dia bahkan sering mengasuh anak laki-laki itu beserta segala kenakalannya. Entah itu naik sepeda, mancing belut, main layangan, pokoknya semuanya.
“Makasih, Mbok. Kok telat sih korannya?”
“Tukang koran yang biasa kebetulan lagi berhalangan, den. Ini mbok beli sama tukang yang lain.”
“Oh, begitu. Aku kira ada apa.” jawab Adrian sambil membalik halaman pertama koran tersebut.
“Aden perlu yang lain? Mau mbok buatkan minuman? Atau mau dipotongin kue?” ujar wanita tua itu sopan.
“Ah, enggak perlu, mbok. Aku nggak mau makan lagi sampai nanti siang. Minum saja deh, mbok. Es limun, ya?” jawab Adrian.
“Iya, den. Aden kok jaga makan sekali, sih? Wong masih ganteng, masih kurus, kayak fotomodel begitu kok takut gemuk?” ledeknya.
“Ah mbok ini mau tau saja. Udah ah, aku mau baca koran dulu.” jawabnya sambil lalu dan mulai serius dengan berita-berita yang disuguhkan disana. Ada berita tentang tabrakan, sorotan sekilas mengenai dunia pendidikan dan seni, lalu masih ada iklan-iklan lain yang lumayan menarik minatnya.
Namun tiba-tiba perhatiannya tersita sepenuhnya pada berita setengah halaman keempat. Berita itu tentang pemugaran taman barat Monumen Nasional. Kata koran itu, taman tua yang biasa-biasa saja tersebut telah dirombak menjadi taman artistik yang modern, tanpa melupakan sentuhan etnik dan elegan khas monumen itu. Disebutkan pula bahwa sekarang di pekarangan barat itu telah dibangun kolam ikan besar, dimana disana dipelihara beberapa ekor angsa, dan tak lupa ada air mancurnya juga.
Adrian melirik gambar hitam putih yang menampilkan pemandangan taman barat Monas dengan serius. “Coba ini hari Minggu, korannya akan bewarna, dan gambar ini pasti akan terlihat lebih indah.” gumamnya. Dia lalu melanjutkan membaca artikel itu.
Disebutkan bahwa desain taman baru itu datang dari otak brilian seorang arsitek muda yang bernaung dibawah perusahaan arsitektur Pembangunan Jaya. Disebutkan pula bahwa inilah proyek kakapnya yang pertama terekspos di media. Adrian berpendapat bahwa ini adalah batu loncatan yang sangat baik untuk orang itu. Pastinya dengan hasil kerja sempurna seperti itu, banyak petinggi lain yang akan meliriknya.
“Dri, lagi baca apa, sih? Serius banget!”
Adrian menoleh dengan terkejut kebelakang dan mendapati Denissa ada disana. “Nis, kamu kok enggak ke kampus?” tanyanya setengah berteriak.
“Aku malas.” jawabnya singkat. “Hari ini mata kuliahnya membosankan. Aku rasa lebih baik aku di rumah saja sama kamu, iya kan?”
Adrian memandangnya dengan sinis. “Siapa yang mau kamu temani?! Dasar anak malas.”
“Ah, kamu sok baik, deh! Mana, sini lihat korannya!” ujar anak badung itu merebut koran kakaknya dan membaca berita yang sedari tadi menarik minat kakaknya itu. Tiba-tiba dia menyenggol siku Adrian. “Dri, lihat orang ini.” katanya menunjuk foto seorang pria tinggi atletis yang sedang tersenyum, berjabat tangan dengan walikota. Gambar itu tercetak kecil dibawah gambar taman barat monas. Terus terang Adrian tidak memperhatikannya tadi. “Siapa dia?” tanya Denissa.
“Mana aku tahu? Baca saja beritanya.”
“Dia sangat mirip dengan Jose.”
“Ngaco.”
“Benar. Cuma, kulit laki-laki ini sepertinya lebih gelap –seperti aku. Ya, itu betul. Aku rasa kulitnya berwarna mocca, gradasinya seperti itu. Aku tak tahu pasti, soalnya fotonya hitam putih, sih! Tapi jujur saja, selain masalah kulit, selebihnya dia sangat mirip dengan Jose.” gumam Denissa sendiri. “Hmm… tidak. Hidungnya juga agak berbeda. Lebih mancung.” Denissa tertawa kecil. “Kali ini giliranmu, Dri.”
“Apanya?”
“Hidungnya persis punyamu.”
“Hei, anak kecil! Sudahlah, sekarang kalau memang tak mau kuliah ya sudah! Tapi jangan ganggu aku! Masuk kamar sana!” bentaknya sengit. Dia lalu memukul pantat Denissa dan mendorongnya ke arah pintu.
“Weeee!!!” ledek adiknya nakal.
“Dasar!” setelah membanting pintu dengan ujung kakinya, dia lalu menarik kembali koran yang tadi terjatuh, dan secara insting melihat kembali ke gambar yang ditunjuk Denissa.
Dia memandang laki-laki ganteng itu dengan seksama, dan ya –dia memang teringat akan kakaknya. Dia lalu menyentuh bagian hidung laki-laki dalam foto itu. Dan lalu dia memegang hidungnya sendiri. Sejenak kemudian dia menarik nafas panjang dan bergumam, “Memang mirip dengan hidungku.” Dia menggeleng. “Aku tidak bisa mengingkari bahwa dia sangat mirip Jose.”
Adrian lalu melipat koran itu dengan rapih dan menyimpannya. Dia akan memperlihatkannya pada Jose sepulang laki-laki itu dari jalan-jalannya. “Foto itu memiliki kemiripan dengan kami bertiga. Suatu kemiripan yang tidak pada tempatnya.” dia menutup pintu dan masuk ke rumah. “Aku harap itu hanya suatu kebetulan yang konyol.” geramnya sesaat sebelum daun pintu itu menutup.




BAB IV…


Jose menendang selimutnya hingga kain tebal itu terjatuh ke lantai hotelnya yang dilapisi karpet coklat. Dia merenggangkan otot-otot tubuhnya dan untuk sesaat terdiam diatas ranjang, memberi waktu pada tubuhnya untuk terjaga secara sempurna. Matanya nyalang ke langit-langit diatas, menatap lampu yang menyala redup tanpa tujuan. Dia memasang telinganya untuk mendengarkan kicauan burung yang samar-samar menggoda dari balik jendela kamar.
Dengan malas diliriknya jendela itu. Perlahan-lahan dia bangkit dari tempat tidurnya, kemudian dia berjalan untuk membuka tirai jendela –membiarkan cahaya matahari pagi menyusup masuk menemani dirinya.
Jose membuka lemari kayu di samping meja kecil dan mengambil kimono linen biru dongkernya, lalu dia mengenakan pakaian itu untuk melapisi tubuhnya yang hanya ditutupi oleh celana pendek katun kegemarannya. Kemudian dia berdiri di depan jendela, merasakan hembusan angin yang bertiup perlahan. Jose menutup matanya, dan bayangan tentang pertengkarannya dengan sang ayah waktu itu datang menghantuinya kembali.
Pikirannya menerawang. Dimana Johan sekarang? Apa yang sedang dilakukannya? Sungguh, tak bisa sedetik pun Jose mengenyahkan pikiran itu dari benaknya. Apakah saat ini saudara kembarnya itu juga sedang menikmati pemandangan pagi yang mempesona? Apakah Johan juga menyukai keheningan yang suci seperti ini –sebagaimana dirinya? Bagaimana nasibnya sekarang? Bagaimana kehidupannya? Seperti apa dia? Dan diatas semua itu, apakah Johan tahu bahwa dia memiliki saudara? Bahwa saudaranya itu sekarang sedang berusaha dan hampir menjadi gila untuk bisa bertemu dengannya? Apakah perasaan aneh yang sering dirasakan Jose juga pernah dialami oleh Johan? Pernahkah Johan merindukannya?
Jose berusaha untuk menekan pikiran itu sesaat dan memaksa dirinya untuk mandi. Dia akan turun ke bawah untuk sarapan, dan berjalan-jalan keliling hotel sebentar sambil menunggu waktu menunjukkan pukul sepuluh. Dia ada janji untuk bertemu dengan Bu Lasmi pada jam sepuluh nanti. Wanita tua itu setuju untuk menceritakan semua yang telah terjadi di panti asuhan mereka dulu, dan Jose berharap itu akan dapat membantunya menemukan Johan –apapun caranya.
Ada satu perasaan yang asing dalam diri Jose. Belum pernah dia seperti ini. Selama hidupnya, apabila dia dihadapkan dengan suatu masalah –seberat apapun masalah itu, dia akan tabah menghadapinya. Dia akan terus maju menyelesaikan masalah itu, tidak pernah putus asa, dan selalu bertindak dengan akal sehat. Dia tahu apa yang dia lakukan, sama seperti dia juga tahu apa konsekuensi dari setiap perbuatannya. Dan semumur hidup dia tidak akan pernah menyesali apa yang telah dilakukannya.
Selama ini dia tidak pernah merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Dia memiliki karir yang mantap, kehidupan yang mewah, dan keluarga yang sempurna. Dia ada disisi ibunya pada saat wanita itu meninggal dunia, dia sebisa mungkin berusaha untuk menjalankan amanat almarhumah untuk senantisa membimbing adik-adiknya. Dia juga selama ini hormat pada ayahnya, mengaggumi pria itu, dan mengabdi padanya.
Namun dia tidak pernah menyangka bahwa laki-laki itu begitu tega menyakitinya sebegitu rupa. Terus terang, Jose sangat kecewa. Kebanggaannya pada sang ayah teramat besar. Dan kini dia dihadapkan pada kenyataan bahwa ternyata ayahnya itu juga bukanlah orang yang sempurna seperti yang selama ini dipikirnya. Ya Tuhan, betapa kecewanya dia. Hatinya sakit, perasaannya terluka, dan batinnya tersiksa. Satu hal yang membuat Jose sungguh menderita, yaitu kenyataan bahwa dia pasti akan sangat sulit untuk menaafkan ayahnya. Jose tak pernah bercita-cita untuk menjadi anak yang durhaka, tapi dia merasa sulit untuk menghindarinya. Jose hanya bisa berdoa supaya Tuhan mau memaafkannya.
Ironisnya, dia tahu bahwa Tuhan tidak akan pernah mau memaafkan orang yang tak mau memaafkan orang lain.

***

“Melukis lagi?”
Adrian menoleh dan tersenyum melihat Faizal yang sedang melihatnya sambil bertolak pinggang.
“Loe lagi gambar apaan?” tanyanya sambil menepuk-nepuk punggung temannya itu. Faizal adalah penangung jawab galeri lukisan milik Adrian, dan secara rutin laki-laki itu memang sering datang menemui Adrian untuk memantau perkembangan karya-karyanya. “Sekali-sekali gambar muka gue, dong!” ujarnya.
Adrian tertawa kecil. “Udah, kok.” jawabnya. “Tuh.” Ujarnya sambil menunjuk potret Doraemon yang tergantung di dinding terasnya.
“Hu, dasar gila! Eh, gue mau tanya dong. Kapan kita buat pameran lagi? Orang-orang udah pada nanyain, tuh. Elo ngelukisnya lama banget, sih? Gambar yang ada di galeri tinggal 10, tuh. Udah mau habis.”
“Gue tahu.” Adrian menjawab. “Emangnya loe kira ngelukis itu gampang? Gue kan enggak asal-asalan.”
“Gue ngerti. Tapi kalo bisa cepetan buat pameran lagi, ya? Buruan launching product, gitu!”
“Ah, elo jangan basa basi, deh! Gue tahu, elo pengan cepet ada pameran supaya dapet bonus dari gue, kan? Ngaku aja deh loe!” tembak Adrian sambil tertawa.
“Jangan ngomong gitu dong, Dri… gue kan malu.” Faizal menggaruk lehernya salah tingkah. “Tau aja deh loe. Heran gue.”
“Siapa dulu, dong? Adrian!” Adrian menepuk dada dengan sok bangga. Mereka berdua tertawa.
“Gue ngaku, deh. Siapa sih yang enggak butuh duit? Apa lagi kayak gue. Cewek gue kan butuh diempanin juga, bo!” dia menjawab. “Tapi diatas itu semua, sebetulnya gue juga seneng betulan sama lukisan-lukisan loe. Keren-keren!”
“Thanks.” Adrian berfikir tentang kelanjutan lukisannya. Dia mengerjakan gambar itu sambil bersenandung kecil, santai secara tidak langsung.
“Apaan, tuh?” Faizal menunjuk gambarnya. “Siapa yang loe lukis?” tanyanya heran. “Jose, ya?”
Adrian menggeleng. “Bukan. Namanya Johanes Herzi Sasriza. Dia emang mirip sama kakak gue.” jelas Adrian.
“Siapa tuh Johanes?”
“Loe enggak baca koran kemarin, ya?” tanya Adrian sambil tertawa geli. “Makanya, yang dibaca jangan buku mesum melulu. Gimana, sih?!” ledek Adrian.
“Iya, iya.” jawab Faizal sebal. “Sekarang kasih tahu gue, siapa Johanes?”
Adrian tersenyum sambil menggerakkan kuasnya kesana kemari diatas kanvas, melukis background gambarnya. “Dia adalah seorang arsitek pertamanan yang hebat. Kemarin dia masuk koran di salah satu artikel lokal menenai pemugaran taman barat monas. Hasilnya luar biasa. Taman itu menjadi sangat indah. Tadi pagi waktu gue nganterin Denissa ke kampus –untuk mastiin dia nggak kabur lagi, gue sengaja lewat monas. Dan dengan mata kepala gue sendiri gue udah ngelihat keajaiban karya si Johanes ini.”
Faizal memandang gambar itu dengan seksama. Lukisan itu memiliki dua fokus. Yang pertama wajah tampan Johanes, dan yang kedua adalah sebuah taman yang sangat mengaggumkan. “Jadi pemandangan yang jadi latar lukisan loe itu adalah taman barat monas, begitu?” Faizal menebak. “Loe ngelukis Johanes beserta hasil karyanya?”
“Tepat.” Adrian menjawab. “Gue nggak tahu kenapa gue tiba-tiba ngerasa pengen banget ngelukis dia. Gue cuma ngerasa ini oke banget untuk gue lukis.”
“Ember!” Faizal berteriak menyatakan persetujuan. “Johanes adalah seniman yang hebat. Dia adalah arsitek dengan insting seni luar biasa. Dan elo,” ujarnya bersahabat, “loe telah ngebuat dia jadi lebih indah lagi dengan bakat seni loe yang juga sangat istimewa.”
Adrian menunduk dan tersenyum kecil. “Thanks buat pujian loe, Zal. Loe emang temen baik gue.”
Faizal tertawa. “Sok sentimentil loe! Oh ya, ngomong-ngomong, kok rumah sepi banget? Nggak ada ayah, dan Jose dimana? Bukankah jam segini biasanya dia belum berangkat ke kantor?” tanyanya lagi.
Adrian menghembuskan nafas panjang. “Ayah sudah dua hari ini selalu berangkat pagi. Gue bahkan nggak sempet ngomong sama dia karena belum bangun tidur. Sedangkan Jose… sudah dua hari ini juga dia enggak pulang. Dia nginep di Lido Resort Hotel. Katanya ada urusan pribadi yang penting. Dia juga sekalian mau bersantai, liburan sebentar. Gue enggak tahu apa yang sebetulnya terjadi sama mereka berdua.” dia tersenyum pahit. “Dan gue memang tidak ingin tahu. Sebab gue yakin itu bukan sesuatu yang menyenangkan untuk diketahui.” ujarnya sedih.

***

“Ada banyak anak bernama Johan disini. Saya tidak bisa membantu banyak bila hanya itu yang bisa kamu berikan sebagai petunjuk.”
Jose memandang nenek tua yang duduk dihadapannya dengan pandangan memelas. “Ayolah, bu. Ingat-ingatlah. Anak yang bernama Johan dan dititipkan disini 32 tahun yang lalu. Ayah saya membuangnya pada awal bulan Juni. Mungkin tanggal 1, 2, 3, atau dekat-dekat itu.” Jose lalu menyodorkan fotonya waktu masih bayi. “Ini saya dan Johan waktu masih bayi. Ayah saya masih menyimpan foto ini digudang. Apakah ibu ingat bayi ini –yang disebelah kanan?”
Wanita tua itu menggeleng. “Banyak sekali bayi disini. Saya tidak hafal wajah mereka satu per satu. Apalagi ini sudah lama sekali. Mana saya ingat, nak?” ujarnya lelah.
Jose menutup wajahnya dengan tangan dan memejamkan mata dengan bingung. Dia betul-betul berharap dapat bertemu dengan Johan. Sekali saja. Walau hanya sekali seumur hidupnya, dia ingin menyentuh saudara satu darahnya itu. Dia hanya ingin Johan tahu bahwa dia tidak sendirian, bahwa dia punya saudara, punya seseorang. Johan punya Jose.
Tiba-tiba Jose teringat pada sesuatu yang sekonyong-konyong terlintas di benaknya. Jesus, salib, perunggu. “Ibu!” serunya tiba-tiba. “Saya ingat satu hal. Johan ditinggalkan di depan pintu panti ini 32 tahun yang lalu dengan karton tebal bertuliskan namanya… dan sebuah kalung salib dari perunggu. Itulah Johan! Itulah saudara kembar saya!”
“Kalung salib… dari perunggu?” gumam wanita tua itu. “Dikalungkan di leher saudaramu?”
“Ya.” jawab Jose yakin. “Bu Lasmi, apakah ibu ingat?”
“Ya.” jawabnya singkat. “Itu adalah ciri yang unik dari seorang bayi yang ditinggalkan di panti ini. Tapi saya tidak yakin. Yang jelas saya ingat waktu dulu ada seorang bayi dengan kalung salib perunggu. Ya, dan namanya memang Johan. Tepatnya Johanes.” jawabnya perlahan. “Dan siapa namamu?” tanyanya pada Jose.
“Josef.”
“Josef…” dia mengulanginya. “Tunggu sebentar, ya.” Bu Lasmi kemudian berjalan menuju lemari kayu tua miliknya dan membuka lemari itu. Dia menarik lacinya, mengambil sebuah kotak kayu besar –sepertinya tempat perhiasan, dan membuka kotak itu. Sambil tersenyum dia menarik sebuah benda berkilau dari dalamnya. “Salib ini milik saudaramu.”
Serta merta Jose bangun dari kursinya dan melesat menuju kalung itu dan memegangnya. Perunggu itu halus buatannya, terawat dengan baik, dan dibalik Jesus terdapat ukiran bertuliskan: JoJo. Berarti itu betul-betul milik Johan. Itu milik mereka berdua. Kalung itu dibuat untuk JoJo bersaudara.
“Saya ingat, saudaramu itu diadopsi oleh pasangan yang tidak bisa punya anak pada saat dia berusia 8 bulan. Saat itu dia masih bayi, dan dia tidak punya benda apapun disini. Oleh karena itulah dia langsung dibawa pergi oleh mereka. Selang beberapa bulan, saat saya beres-beres, barulah saya temukan kalung ini. Saya ingat ini milik Johan.”
“Dimana dia sekarang?”
“Saya tidak tahu. Dulu saya pernah bermaksud untuk mengembalikan kalung ini padanya –satu-satunya kenangan dari orang tua kandungnya. Saya datangi rumah orang yang mengadopsi Johan. Semua orang yang mengadopsi anak dari panti ini wajib mengisi suatu lembaran semacam formulir. Tapi ternyata saya terlambat. Saat saya datang ke rumah itu, ternyata mereka sudah pindah.”
“Apa?” pekik Jose tidak percaya. “Tapi kenapa harus pindah?”
“Kata tetangga disana, lingkungan mereka terlanda banjir besar. Jadi keluarga itu memutuskan untuk pindah rumah. Katanya sih, mau tinggal dirumah orang tua si istri. Johan ikut bersama mereka. Sekarang saya sudah tidak tahu lagi dimana mereka berada. Dan soal kalung itu, saya tetap menyimpannya. Saya tidak pernah mengeluarkannya dari kotak, sebab sebagai seorang muslim saya tidak memerlukan benda itu. Saya menyimpannya hanya untuk menghormati Johan.”
Jose menatap kalung salib itu dengan pandangan kosong. Dia tidak bisa percaya ini. Johan hilang lagi dari tangannya. Sulit sekali menemukan anak itu. “Apapun yang terjadi saya harus menemukannya, bu. Saya akan melakukan segalanya.”
“Saya akan membantu sebisanya. Tapi saya khawatir saya tidak bisa berbuat banyak.”
“Saya harus bertemu dengan Johan.” ujarnya dengan mata berair. “Bila tidak, saya tidak akan bisa hidup dengan tenang. Saya akan terus terpuruk seperti ini. Dan saya tidak akan pernah bisa memaafkan ayah saya.”
“Nak Jose, jangan pernah bicara seperti itu. Dosa namanya.”
“Saya tahu.”
“Tidak ada satu orang tua pun di dunia ini yang tidak sayang pada anaknya. Ayahmu juga pastilah sangat berat meninggalkan Johan disini. Namun kamu tahu bahwa dia tidak begitu saja melupakan Johan, bukan? Dia masih menyimpan foto kalian, dia masih peduli bahwa kalian bersaudara. Buktinya ada ditanganmu.”
Jose memandang kalung salib yang sedang dipegangnya dan mencium benda itu dengan sayang –membiarkan air matanya mengalir deras.
“Apapun yang dilakukan ayahmu pasti ada dasar pertimbangannya. Suatu saat nanti kamu akan mengerti.”
“Untuk apa? Untuk apa saya mengerti? Supaya nanti saya juga bisa menghalalkan apabila saya mau membuang anak juga?!” pekik Jose pedih. “Tidak, bu. Saya tidak akan pernah bisa mengerti.”
“Nak…” Bu Lasmi mengelus rambut Jose. “Ayahmu memang salah. Namun dalam hal ini, kamu sebagai anak tidak berhak sama sekali untuk menghakiminya. Ikhlaskanlah ayahmu berbuat begitu. Kamu percaya ada Tuhan yang akan membalas semua perbuatan manusia di dunia, kan?”
Jose mengangguk.
“Keinginanmu mencari Johan sangatlah terpuji. Tapi lakukanlah sebatas itu. Tidak perlu kamu benci pada ayahmu, apalagi dendam. Karena bila kamu begitu, maka kamu juga tidak akan menjadi manusia yang lebih baik dari ayahmu.”
“Mudah bagi ibu berkata seperti itu. Tapi saya? Saya yang mengalaminya sendiri, bu…”
“Saya tahu. Tapi saya memang hanya bisa berkata begini. Hanya dukungan moril yang bisa saya berikan padamu. Saya hanya bisa memintamu memaafkan ayahmu.”
“Itulah, bu.” jawab Jose serius. “Ayah telah melukai saya, dan membuat Johan menderita. Itulah yang membuat saya harus menemukan Johan. Saya tidak akan dapat memaafkan ayah saya apabila Johan tidak mau memaafkannya.”
Bu Lasmi menghela nafas panjang. “Maafkanlah ayahmu, nak. Kemudian maafkanlah dirimu sendiri karena pernah menolak untuk memaafkannya.” ujar wanita itu. “Namun untuk sekarang, bukanlah memaafkan yang jadi masalah. Kamu harus belajar terlebih dahulu untuk mengerti arti dari sebuah maaf.”
Jose menunduk dan terpaku dalam diam saat mendengar Bu Lasmi mengatakan hal itu padanya.

























BAB V…


“Mendingan kamu terima aja, deh. Apa salahnya, sih? Ini kan malah banyak manfaatnya buat karirmu, Joe. Kenapa harus kamu tolak?” tanya Panji sambil menyesap kopinya sedikit demi sedikit. Dengan anak matanya dia memperhatikan sahabatnya itu yang sedang bimbang menggulung-gulung kertas tanpa tujuan yang jelas.
“Enggak tahu juga deh, Nji. Aku nggak sreg aja!” jawab Johan singkat. “Aku takut pekerjaanku kali ini tidak sebagus yang orang-orang harapkan. Aku takut mereka tidak puas. Dan aku hanya tidak ingin mengecewakan siapapun.”
“Ah, kamu ini bicara apa sih, Joe! Sejak kapan kamu meragukan kemampuanmu sendiri? Kamu sudah membuktikan bakatmu secara nasional, Joe! Semua orang tahu kualitas kerjamu! Mereka tahu berapa nilaimu! Proyek monas yang kamu pegang waktu itu adalah bukti dari segalanya. Kamu bisa, Joe! Kamu bisa melakukan segalanya! Sekarang kamu hanya tinggal menuai popularitasmu, menerima semua order yang bagus, dan hidupmu akan bagai di surga!”
“Aku tidak begitu yakin dengan itu.”
“Look, selama ini kamu hanya mengerjakan proyek-proyek biasa. Orang-orang itu menyewa arsitek dari kantor kita, dan perusahaanlah yang berhak menentukan siapa memegang proyek apa. Para pemakai jasa itu pun membayar pada Pembangunan Jaya –dan kita hanya mendapatkan komisi beberapa persen dari jumlah total uang yang diterima perusahaan.”
“Lalu apa masalahnya? Bagian yang kita dapatkan selama ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kita, kan?”
“Tapi, Joe,” ujar Panji serius, “dengan nama yang telah kamu sandang sekarang, kamu bisa mendapatkan yang lebih dari itu. Bila kamu keluar dari kantor ini dan membuka usaha secara pribadi, uang yang kamu terima akan jauh lebih besar. Tidakkah kamu sadar itu?”
Johan menarik nafas panjang. “Sejujurnya aku juga pernah memikirkan hal itu. Tapi, aku rasa itu terlalu riskan. Order kan tidak selamanya datang terus padaku. Sedangkan bila aku tetap di bawah Pembangunan Jaya, walaupun tidak terlalu laris, aku tetap mendapat gaji bulanan dari kantor ini. Aku rasa itu lebih aman.”
“Kenapa sih kamu jadi pesimis seperti itu? Aku bingung kenapa kamu jadi begini. Dan yang membuatku lebih bingung lagi adalah kenapa kamu ragu menerima tawaran departemen itu. Mereka akan membayar mahal untuk desainmu. Dan kamu tidak hanya akan mendapatkan uang dari komisi perusahaan, tapi biasanya orang-orang seperti mereka kan suka ngasih ‘uang terimakasih’. Pasti besar, lho!” bujuk Panji.
Johan memandang sahabatnya itu dengan bimbang. “Entahlah, Nji. Aku rasa ini bukan masalah profesional yang sedang aku hadapi. Aku takut ini lebih serius. Dan itu mempengaruhi kinerja kerjaku.”
“Maksudmu?” tanya Panji heran.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Tapi yang jelas, akhir-akhir ini aku sering merasa pusing sendiri –seolah-olah aku punya masalah besar. Aku sering merasa seperti aku ini sendirian, begitu kesepian. Padahal semuanya normal-normal saja. Itu aneh, tapi aku tidak tahu kenapa.” kata Johan menjelaskan masalahnya. “Apalagi minggu ini –lebih parah. Aku sering terbangun ditengah malam dan merasa takut. Aku takut seseorang menyakiti diriku. Aku jadi sering melamun, dan aku tidak bisa konsentrasi pada pekerjaanku.” Johan menangkupkan kedua tangannya di wajah. “Aku seringkali merasa sangat sedih.”
“Kenapa?” tanya Panji prihatin.
“Aku tak tahu. Tiba-tiba saja aku begitu. Rasanya seperti ingin menangis. Sekonyong-konyong tubuhku gemetar, mataku terasa perih dan air mata itu keluar dengan sendirinya. Aku merasa betul-betul sedih, kesepian, sendiri. Bila sedang seperti itu, aku senang sekali menerawang menatap keluar jendela di pagi hari, mendengarkan kicauan burung. Sungguh, aku bingung apa yang sebetulnya terjadi padaku.”
“Ibumu tahu?” tanya Panji.
“Tidak. Aku tidak menceritakannya. Aku tak mau membuat dia khawatir. Yang tahu masalah ini hanyalah kamu dan Hana.”
“Lalu apa pendapatnya? Pacarmu itu kan seorang psikoloq. Apa katanya?”
Johan tertawa kecil. “Lucu sekali. Kamu tahu, Panji? Hana bilang aku sedang kangen pada seseorang. Padahal, aku bisa kangen sama siapa? Toh, aku tidak punya siapapun di dunia ini. Aku ini kan hanya anak buangan.”
“Joe… jangan bicara seperti itu…” ujar Panji salah tingkah. “Jangan siksa dirimu sendiri dengan mengingat-ingat hal itu…”
“Tapi aku memang tidak akan pernah bisa melupakan hal itu. Aku akan selalu ingat saat ibu dan almarhum bapak mengaku padaku tentang asal usulku yang sebenarnya. Aku tidak menyangka bahwa aku ini adalah anak angkat mereka. Waktu itu usiaku baru 9 tahun. Itu membuatku trauma hingga sekarang.”
“Joe… sudahlah…”
“Tidak bisa kamu bayangkan betapa aku sangat berterimakasih pada bapak dan ibu karena telah mengadopsiku dari panti asuhan. Mereka merawatku, mengajariku, membimbingku, bahkan mereka enggan berbohong padaku sehingga mereka memutuskan untuk membiarkan aku tahu siapa aku sebenarnya.” Johan mengepalkan tangannya dengan pedih. “Aku sangat menyayangi orang tua angkatku.”
“Aku tahu itu.”
“Terkadang terbesit dalam pikiranku tentang orang tua kandungku. Aku ingin tahu siapa mereka. Terkadang aku ingin mencari tahu tentang itu. Aku ingin bertemu dengan orang tuaku.”
“Untuk apa, Joe? Untuk apa? Itu tak ada gunanya.”
“Aku hanya ingin bertanya pada mereka. Mengapa mereka membuangku waktu itu?” kata Johan lirih. Air matanya mulai menggenang, dan perlahan-lahan turun membasahi pipinya. “Apakah aku ini memang anak yang tidak diharapkan kelahirannya? Apakah mereka memang tidak pernah menginginkan aku ada dalam kehidupan mereka? Kenapa tidak mereka gugurkan saja kandungan ibuku saat hamil muda? Sehingga aku tidak perlu hidup dengan ketidakjelasan seperti sekarang.”
“Ya Tuhan, Joe! Jangan pernah kamu ucapkan itu lagi!” sentak Panji.
“Aku ingin tahu bagaimana rasanya berulang tahun –ulang tahun yang sesungguhnya. Suatu perayaan pada tanggal aku dilahirkan, dan bukan pada tanggal aku diadopsi! Aku bahkan… ya Tuhan, aku bahkan tidak tahu tanggal lahirku sendiri. Aku tidak tahu kapan aku dilahirkan oleh ibuku! Aku tidak tahu apakah sekarang aku benar-benar berusia 32 tahun, atau aku ini sebetulnya berusia 38, 42, atau berapapun! Aku tidak tahu apa-apa mengenai diriku sendiri! Tidak ada hal yang lebih menyedihkan daripada kenyataan pahit itu, Panji…”
Panji memeluk sahabatnya itu dengan penuh rasa sayang. “Hentikan semua itu, Johan. Berhentilah menyiksa batinmu sendiri. Kamu memang pernah ditinggalkan oleh orang tuamu, namun itu tak akan terjadi lagi. Mulai kini tak seorang pun akan pergi meninggalkanmu. Kami semua mencintaimu, dan kami akan selalu ada disini untukmu.”
Namun Johan tidak peduli. Seiring dengan banjirnya air matanya, dia mengungkapkan semua yang mengganjal di rongga dadanya pada Panji. “Aku memang bahagia tinggal bersama orang tua angkatku seperti sekarang. Namun, aku pasti akan merasa jauh lebih bahagia bila bisa hidup bersama orang tua kandungku, bersama saudara-saudaraku, di tengah keluargaku –darah dangingku. Aku memang belum pernah bertemu dengan mereka, dan aku tahu selamanya aku tidak akan pernah. Namun jauh di dalam lubuk hatiku, aku mencintai mereka, Panji! Aku mencintai keluargaku sendiri!”
“Johan… please…”
“Tapi rupanya kekecewaan dalam hatiku terlanjur dalam. Aku begitu sakit saat tahu mereka membuangku begitu saja. Aku sedih, aku menyesali hidupku. Aku tidak mengerti mengapa orang tuaku tega melakukan itu. Aku… aku benci mereka, Panji. Aku benci mereka.”
“Tapi, Joe… kamu…”
“Aku meletakkan cinta diatas kebencianku. Seandainya aku diberi kesempatan untuk bertemu dengan mereka, ada dua hal yang akan aku lakukan. Yang pertama aku akan memeluk mereka dan mencium tangan mereka. Aku akan mengatakan betapa aku mencintai mereka, betapa aku sangat merasa rindu. Dan yang kedua, aku akan langsung pergi meninggalkan mereka selamanya.” Johan meremas gelas kopinya dan merasakan air mata menjalari lehernya perlahan-lahan. Begitu hangat rasanya. “Rasa sayangku tidak cukup besar untuk dapat memaafkan mereka. Aku tidak akan pernah mampu untuk melakukannya hingga akhir hidupku…” ujarnya terisak.
Johan menangis memandang hujan di bulan Desember itu. Dengan kesepian dia bertanya pada sang hujan apa yang sedang dilakukan orang tuanya sekarang. Apakah mereka masih hidup? Dimana mereka? Siapa mereka? Johan memandang langit senja yang gelap sambil menikmati kesedihannya. Untuk yang kesekian kalinya dia bertanya tentang orang tua kandungnya.
Namun sayangnya keindahan langit senja tak sudi menjawabnya.




























BAB VI…


“Rencananya aku akan mengadakan pameran secepatnya. Selama tiga bulan terakhir aku telah menghasilkan banyak lukisan. Aku rasa sudah saatnya membuka pameran lagi. Faizal juga udah mendesakku terus.” ujar Adrian saat dia menemani adiknya mengerjakan tugas kampus sambil duduk-duduk di teras belakang dan menikmati udara sore yang segar.
“Memangnya kamu mau buka pameran dimana?” tanya Denissa antusias. Dia langsung mengalihkan perhatiannya dari laptop-nya. Dia tidak peduli lagi dengan tugas dari dosennya. Masalah pameran itu menyita seluruh perhatiannya. Gadis muda ini memang sangat menyukai lukisan –dan dia menyesal karena dia bukan pelukis yang baik. Namun, agaknya dia sudah cukup puas dengan kenyataan bahwa dia memiliki seorang kakak yang sangat ahli dalam bidang itu.
“Aku belum ada ide. Sebetulnya aku belum memikirkan tentang tempatnya. Aku toh tidak ingin membuat pameran akbar yang membutuhkan persiapan jauh-jauh hari. Aku hanya ingin membuat pameran sederhana yang tidak terlalu repot persiapannya.”
“Boleh aku yang mengurus persiapan pameranmu? Please…” pinta Denissa. Dia menyunggingkan senyumnya yang paling manis untuk kakaknya itu. Rayuan pulau kelapa.
Adrian tertawa melihat tingkah adiknya itu. Sebetulnya dia tidak khawatir mempercayakan segala urusan pameran itu pada Denissa. Sejak dua pameran terakhir, memang Denissa-lah yang mengurus segalanya –dan pameran itu berjalan dengan baik. Bahkan, Denissa-lah yang mengelola management galeri lukisan Adrian. Galeri yang diberi nama Adrianus’ Galery of Art itu terletak di tengah kawasan elit kota Jakarta, dan galeri itu dipenuhi pengunjung setiap harinya. Adrian tidak pernah memaksakan dirinya untuk menghasilkan lukisan dalam jumlah tertentu dalam suatu kurun waktu. Namun setiap dia melukis, selalu berjiwa. Alhasil, setiap kali ada lukisan baru yang dimasukkan ke galeri itu, puluhan orang bisa sikut-menyikut untuk bisa mendapatkannya. Dalam kebanyakan kasus, biasanya lukisan yang banyak peminatnya dilelang untuk mendapatkan harga tertinggi.
“Itu terserah padamu, Denissa.” jawab Adrian sambil tersenyum manis –senyumnya yang paling memikat. Untuk informasi sekilas, senyuman itu telah bisa membuat ratusan wanita bertekuk lutut dihadapannya.
“Thanks, Dri!” seru Denissa sambil memeluk leher kakaknya dengan senang dan mencium pipi laki-laki itu. “Kamu memang baik. Aku sayang padamu.”
“Aku juga sayang padamu. Aku hanya berharap Tuhan melindungimu dalam setiap langkah yang kamu buat.” Adrian mengelus rambut adiknya. “Aku khawatir kamu sulit sekali untuk menjadi dewasa.”
“Apa maksudmu?” tanya Denissa dengan dahi berkerut.
Adrian menghela nafas. “Hidupmu terlalu senang, Nissa.” ujarnya. “Kamu selalu mendapatkan segalanya. Aku hanya khawatir kamu beranggapan bahwa dunia ini selalu berwarna merah jambu.”
“Aku tidak mengerti maksudmu.”
“Begini,” kata Adrian menjelaskan. “Selama ini kamu hanya melakukan apa yang ingin kamu lakukan, bukan apa yang kamu harus lakukan. Kamu hanya berusaha mendapatkan apa yang kamu sukai, bukan apa yang kamu butuhkan. Kamu terlalu memanjakan dirimu sendiri.” Adrian tersenyum hangat pada adiknya. “Kamu malas ke kampus, lalu kamu bolos. Kamu ingin jalan-jalan, maka kamu keluyuran kemana pun kamu suka. Nissa, hidup tidaklah sesimpel itu.”
Denissa terdiam mendengarkan perkataan kakaknya.
“Aku berkata seperti ini karena kamu adalah anak perempuan satu-satunya dalam keluarga kita. Suatu saat nanti kamu akan menikah, dan pergi dari rumah ini. Suatu saat nanti aku dan Jose sudah tidak punya hak apapun lagi dalam hidupmu. Kamu akan ikut dengan suamimu. Tapi aku tidak ingin laki-laki itu –siapapun dia, memperlakukanmu seenaknya. Kamu harus bisa berdiri sendiri dalam kondisi apapun. Kamu harus tumbuh sebagai wanita yang kuat, punya prinsip, dan punya sesuatu yang bisa dibanggakan.” Adrian tersenyum.
“Aku akan mencoba sebisaku untuk tidak mengecewakanmu, Dri.” jawab Denissa singkat.
“Walau tanpa suamimu, walaupun tanpa aku, tanpa Jose, tanpa ayah, tanpa nama keluarga yang tenar, aku ingin kamu membuat seluruh dunia tahu bahwa tanpa itu semua, kamu tetap adalah seseorang.”

***

“Aku senang akhirnya kamu menerima tawaran itu.” Panji menepuk bahu Johan saat dia tahu bahwa sahabatnya itu akhirnya memutuskan untuk memegang proyek desain Departemen Pertanian. “Aku senang karena akhirnya kamu berhasil melawan kesedihanmu itu, Joe.”
Johan tertawa masam. “Bukan melawan, hanya menekan. Aku yakin cepat atau lambat perasaan itu akan muncul kembali. Yah, tapi aku harap aku akan selalu dapat mengendalikan diriku menghadapi hal itu.”
Panji menatap sahabatnya dengan lesu. “Aduh, Joe… sampai kapan kamu akan begitu terus? Akhirilah itu semua. Hilangkan perasaan kecewamu itu, lupakan pikiran tentang orang taumu, dan jalani hidupmu yang sedikit demi sedikit sedang menanjak naik ini!” sarannya.
“Aku tahu. Penyakit ini sangat membahayakan mentalku. Tapi menyembuhkan suatu penyakit yang tidak kita ketahui apa penyebabnya adalah hal yang sangat sulit untuk dilakukan. Aku tahu aku harus melepaskan diri dari jaring kesedihan ini, namun itu susah sekali. Aku bahkan tidak tahu apa yang membuatku sedih.”
“Katamu orang tua kandungmu.” ujar Panji.
“Aku memang sedih karena mereka. Tapi bukan sepenuhnya. Ada hal lain yang membuatku cemas setiap saat. Membuatku merasa takut –takut berada di keramaian, takut dalam kesendirian. Aku seperti hidup dibawah bayang-bayang.” Johan merapihkan dasinya. “Sudahlah lupakan saja, sekarang kita ke Departemen Pertanian, yuk.”

***

“Taman barat monas?” tanya Adrian heran saat Denissa mengusulkan agar membuat pameran lukisan di tempat itu.
“Iya, Dri. Kita bisa minta izin ke walikota segera. Kita punya hubungan baik dengan mereka, kan? Lagipula, aku rasa itu adalah ide yang bagus.”
“Tapi…” ujar Adrian sambil megelus-elus dagunya. “Kenapa taman barat monas bisa ada dalam pikiranmu, sih? Kenapa tiba-tiba kamu ingin menyelenggarakan pameran disana?”
“Itu berkat Johanes!” seru Denissa riang. “Aku melihat lukisanmu yang terakhir. Aku tahu kamu melukis Johanes dan tamannya. Aku rasa akan sangat menarik untuk mengadakan pameran terbuka di taman barat monas, dengan lukisan itu sebagai Queen of the Show. Itu akan sempurna!” Denissa tersenyum puas. “Kita juga bisa mengundang Johanes ke pameran itu, kan? Dia pasti terkejut melihat dirinya dilukis olehmu.”
Adrian memikirkan ide itu dan tertawa sesudahnya. Dia menganggap ide Denissa tentang pameran terbuka itu boleh juga. Akan sangat menarik jadinya bila dia bisa bertemu dengan tokoh yang dia lukis. Dan, dia juga sebetulnya sangat ingin bertemu dengan Johanes. Terlebih lagi, bila ada kesempatan, dia ingin mempertemukan Johanes dengan Jose. Kedua orang yang sangat mirip itu akan tertawa apabila bertemu. Itu pasti.
“Hai.”
Denissa dan Adrian serempak menoleh ke belakang saat mendengar suara ketiga. “Jose!” pekik mereka. Adrian langsung bangkit dari duduknya dan berlari memeluk kakaknya yang kuyup akibat hujan lebat diluar sana. “Jose, kamu tahu berapa lama kamu pergi? Ya ampun, kami betul-betul khawatir padamu.”
“Maaf, Dri. Aku ada urusan penting.”
“Urusan apa?” tanya Denissa menyambung.
“Urusan keluarga. Sebuah masalah.” Jose tersenyum masam. “Gara-gara ayah.”
“Ayah?!” kedua adiknya serempak berteriak. “Masa? Sejak kapan laki-laki tegas berdarah dingin itu punya masalah? Hidupnya mulus semulus punggung kuda.” ujar Denissa sarkasme. Adrian menyikut pinggangnya.
“Hidup ayah memang mulus. Tapi kemulusannya telah membuat hidup orang lain menderita.”
“Apa? Ah, yang benar? Siapa memangnya dia?” tanya Denissa lagi.
Jose menarik nafas panjang. “Kalian duduklah. Aku akan menceritakan selgalanya pada kalian –semuanya. Dan aku harap kalian mau membantuku. Ini demi keluarga kita.” ujarnya.
Adrian dan Denissa menurut. Mereka duduk dengan tegang, tahu bahwa masalah ini serius. Adrian bahkan bingung melihat raut wajah kakaknya yang tidak keruan. “Ada apa, Joe?” tanyanya pada Jose.
Jose menarik nafas lagi. Dia membentangkan kakinya dan menumpukan siku disana. Dia memejamkan mata sekilas, merasakan kepalanya yang penat, dan saat mulai bicara, suaranya bergetar. “Kita adalah empat bersaudara.” katanya.
“Apa maksudmu?” tanya Adrian.
Jose menatap mata kedua adiknya dan berkata, “Aku akan menceritakan sesuatu, tapi aku minta pada kalian untuk tidak menyelanya sebelum aku selesai.”
“Oke.”
Jose menyandarkan diri pada kursinya. “Aku menemukan sebuah foto pada malam aku menunggu ayah pulang. Foto itu bergambar bayi yang sedang digendong oleh orang tua kita. Semula aku tidak tahu siapa mereka. Hatiku sedih, kecewa, karena ternyata ayah dan ibu lebih memilih untuk menyimpan foto mereka ketimbang fotoku. Kalian berdua tahu kan, bahwa ayah ibu tidak punya foto kelahiranku?”
“Ya, tentu kami tahu. Kami ikut sedih atas hal itu, Joe…” ujar Denissa.
Jose menyeringai. “Tidak, kalian tidak perlu sedih. Karena rupanya aku salah. Ayah dan ibu ternyata masih menyimpan fotoku. Bahkan banyak sekali. Ayah menunjukkannya padaku malam itu.”
Adrian tersenyum.
“Itulah pertama kalinya aku melihat saudara kembarku.”
Senyum itu langsung lenyap dari bibir Adrian. Dia ingin menghentikan dongeng tolol yang sedang dikisahkan kakaknya itu. Dia memang menyukai cerita dongeng dengan segala lika-likunya. Namun dia tidak suka apabila harus menjadi bagian dari kisah itu. Adrian ingin berteriak pada Jose untuk berhenti berkisah. Namun jangankan untuk berteriak, pita suaranya seakan putus oleh sesuatu. Adrian menoleh pada Denissa. Dan keadaan adiknya itu tidaklah jauh lebih baik darinya.
“Ayah membuangnya tak lama setelah kami lahir karena waktu itu dia tidak sanggup memelihara lebih dari satu anak. Ayah meninggalkannya di sebuah panti asuhan di Cijeruk, Lido. Saudaraku ditinggalkan di depan pintu panti dengan karton bertuliskan namanya dan sebuah kalung salib dari perunggu.” Jose mengatakannya dengan mata berair dan dari saku kemejanya, dia mengeluarkan kalung salib itu dan meletakkannya di atas meja.
Adrian dan Denissa memandang benda itu dengan hati tersayat, penuh ketidakpercayaan, perasaan penuh gejolak. Tak seorang pun diantara mereka berdua sanggup menggerakkan tangan untuk menyentuhnya.
“Hanya ada satu panti asuhan di Cijeruk, dan kemarin aku telah pergi kesana.” ujar Jose melanjutkan ceritanya. Dia mulai menangis lagi. “Ibu panti itu masih ingat pada saudaraku, dan dia bilang… katanya dulu dia ditinggalkan oleh ayah dalam keadaan hujan lebat, dan ibu panti menemukannya dalam kondisi mengigil kedinginan, kehabisan suara hingga tidak bisa menangis lagi. Dia begitu menderita.” Jose menangis terisak. “Dia menderita di panti itu pada saat kita bertiga hidup bergelimangan harta di rumah mewah, dengan kasih sayang berlimpah dari ayah dan ibu… disaat saudaraku bahkan tidak tahu siapa yang telah melahirkannya…”
“Ya Tuhan…” Denissa mulai ikut menangis. Adrian memeluknya dan berusaha menenangkannya. Adrian tidak menangis. Kepedihan hatinya telalu dalam untuk dapat mengeluarkan air mata.
“Dia diadopsi pada saat berusia 8 bulan. Saat itu, kalungnya tertinggal. Dan saat ibu panti menyusulnya ke rumah orang tua angkatnya, ternyata mereka sudah pindah rumah karena takut banjir. Hingga kini tak ada kabar tentangnya. Tadi sebelum pulang kesini, aku sudah mendatangi lingkungan itu dan bertanya pada orang-orang disana tentang bekas tetangga mereka. Tapi tak seorang pun tahu tentang keluarga itu.”
Denissa yang sudah agak tenang akhirnya mulai menangis lagi. Dia memeluk Adrian erat-erat dan membuat kemeja laki-laki itu basah oleh air matanya. “Apa… apa… kamu serius dengan ini, Jose?”
“Ya, sangat serius.”
Denissa menangis makin menjadi-jadi. Dia meremas kemeja Adrian dan tangisannya terdengar begitu memilukan. Adrian menatap Jose dan memberi isyarat agar kakaknya itu mendekat. “Temani Denissa.” ujarnya pada Jose. Kemudian Adrian membuka kemejanya, memberikan kain itu pada adiknya untuk menghapus air mata, lalu Adrian berlari menerobos pekarangan dalam hujan. Air membasahi dadanya yang bidang dan berbulu halus. Dalam hujan dia menangis. Tak seorang pun dapat melihat air matanya. Mereka hanya tahu dia basah oleh hujan. Tak seorang pun tahu betapa pedih hatinya mendengar cerita Jose barusan.
Tepat didepan rumpun pohon yang rindang, Adrian berhenti, dengan tangisan memilukan hati, tangan mengepal, bersimpuh dalam hujan, dan dia tidak sadar lagi apa yang terjadi.






















BAB VII…


“Dri, sebenarnya apa yang terjadi padamu? Aku betul-betul khawatir.” ujar Jose saat adiknya itu siuman dari pingsannya. “Kamu tidak sadar lama sekali. Hampir lima jam. Ini sudah malam sekarang.”
Adrian memandang kakaknya dengan wajah sedih. “Bagaimana Denissa?” tanyanya lemas.
“Buruk. Tapi tetap lebih baik darimu.” jawab Jose sambil meremas tangan adiknya. “Aku takut terjadi sesuatu padamu. Dengar, Adrian, aku tidak pernah menyangka kamu akan jadi se-shock ini saat aku beritahu yang sebenarnya. Aku pikir kamu bisa tegar.”
“Maaf karena ternyata pikiranmu salah, Joe. Aku tidak sekuat yang kamu duga. Aku betul-betul terpukul atas ceritamu. Aku tidak pernah menyangka ayah bisa melakukan hal itu.”
Jose menarik nafas panjang. “Sama. Awalnya aku juga berpikiran seperti itu. Bahkan hingga sekarang aku masih begitu kesal bila melihat ayah. Aku tidak menyangka laki-laki seperti itulah yang selama ini menjadi ayah kita.”
Adrian menyeringai. “Dan ironisnya, kita tahu bahwa selamanya dia akan tetap menjadi ayah kita. Tak seorang pun bisa mengubah takdir, bukan?”
Jose mengangguk. “Benar.” dia mengelus kening adiknya dan tersenyum. “Seumur hidup belum pernah ada yang melihatmu tidak berdaya seperti ini, Dri.”
“Senang bisa jadi yang pertama?” ledeknya.
Jose tertawa kecil. “Sebetulnya,” katanya lagi, “ayah ingin bicara denganmu sekarang. Dia ingin tahu bagaimana keadaanmu, dan aku rasa dia ingin menjelaskan sesuatu padamu. Dia hanya tidak ingin anak-anaknya membencinya karena perbuatannya itu.”
Adrian meraih tangan kakaknya. “Joe, kumohon jangan. Aku tidak bisa bicara dengan ayah sekarang. Aku belum siap bertemu lagi dengannya. Please…” pintanya lirih.
“Aku tahu. Aku juga sudah menyangkanya. Makanya aku bilang pada ayah untuk bersabar. Aku katakan kamu belum siap untuk itu sekarang.” dia meremas tangan Adrian. “Butuh waktu lama untukmu pulih dari semua keterkejutan ini, Dri.”
“Trims karena kamu mau mengerti.” ujarnya hangat. “Jose, izinkan aku pergi dari sini.”
“Apa?” tanya Jose tidak mengerti.
“Aku ingin pergi dari rumah ini dan membangun hidupku sendiri. Aku tidak ingin tinggal di rumah ini lagi.”
Jose memandang adiknya dengan takjub. “Tapi kenapa?”
“Aku akan sulit berhubungan dengan ayah lagi. Aku tidak ingin menjadi anak yang durhaka. Aku tak mau bila terpaksa melepaskan emosiku dengan berkata kasar padanya. Aku tidak ingin membuat hatinya terluka. Makanya lebih baik aku pergi saja.” Adrian menatap langit-langit kamarnya. “Jujur saja, aku telah kehilangan rasa hormatku terhadap ayah.”
“Adrian,” bujuk Jose. “Ayah akan sangat sedih bila kamu meninggalkannya. Kami juga akan sangat merindukanmu. Ayah telah menderita –ya, aku tahu dia juga menderita, dengan membuang anaknya dulu. Dan kamu akan lebih menyiksanya bila dia harus kehilanganmu juga.”
“Tapi aku tidak bisa bertahan dalam situasi ini, Joe.”
“Aku mengerti. Aku juga sulit menerima ayah apa adanya. Aku masih dalam taraf mencoba sekarang. Tolonglah, Dri. Jangan pergi.” Jose memohon padanya.
“Aku tidak akan selamanya pergi. Nanti kapan-kapan aku juga akan main ke sini. Tapi aku tidak mau bila harus tinggal disini sepanjang hari. Aku sakit, Joe. Aku kecewa, dan tak seorang pun akan bisa menyembuhkannya.”
“Kalau kamu pergi, kamu juga akan membuat orang yang menyayangimu kecewa terhadapmu. Itu berarti kamu tidak lebih baik dari orang yang kamu anggap egois dan tidak berperasaan.”
Adrian termenung dalam diam. Dia menatap mata kakaknya dalam-dalam. “Bisa kamu tinggalkan aku sebentar? Aku ingin istirahat. Oke?” ujarnya mengalihkan pembicaraan.
Jose menatapnya dengan tajam. “Oke. Selamat malam. Beristirahatlah, Adrian.” Jose berjalan menuju pintu. Namun sesaat dia berbalik. “Kehilanganmu adalah kekecewaan terbesar yang harus kami hadapi, Adrian. Ingatlah itu.” kata Jose yakin seiring dengan keluarnya dia dari kamar Adrian dan meninggalkan pemuda itu seorang diri.
Adrian memandang pintu yang tertutup dengan pandangan sedih. Dia menyayangi Jose dan seluruh anggota keluarganya. Namun seperti yang telah diungkapkannya barusan, dia tidak bisa bertahan. Apapun yang terjadi dia harus pergi. Dia tidak sanggup lagi. Dan dia memang akan segera pergi dari sini.

***

“Bagaimana jadinya proyek barumu?” Johan dan Hana sedang menikmati makan malam mereka di sebuah restoran sederhana yang menjadi favorit mereka. “Aku dengar dari Panji katanya kamu jadi menerima proyek Departemen Pertanian itu, ya?”
“Iya. Kok Panji bisa bilang padamu? Kapan kamu bertemu Panji?” tanya Joe heran.
Hana tertawa. “Jangan berfikir yang macam-macam. Aku tidak ada affair sama dia, lho!” candanya. Johan tertawa. Dengan hangat Hana menggengam tangan kekasihnya, “Tadi siang aku meneleponmu. Tapi kamu lagi di toilet. Panji yang mengangkat, dan dia bercerita padaku. Dia memberitahuku betapa sulitnya membujukmu untuk menerima proyek itu.”
Johan tertawa. “Dasar tukang gosip.” ujarnya riang. “Tapi pokoknya kan semuanya sudah selesai sekarang. Aku sudah terima proyek itu, dan proyek-proyek lain sudah mengantri. Untuk beberapa waktu kedepan aku akan sangat sibuk.”
“Dan pada akhirnya impianmu akan tercapai, kan?”
“Impianku?”
“Ya. Berdiri di puncak karirmu. Kamu akan mendapatkan segalanya, sayang. Hidupmu akan menjadi sangat menyenangkan.” kata Hana sambil tersenyum manis.
Johan menatapnya dalam. “Impianku adalah menikah denganmu. Dan itulah yang ingin aku wujudkan sekarang.”
Hana balas menatapnya. “Kamu masih muda, Johan…”
“Aku sudah 32.”
“Maksudku, seorang istri akan menyita banyak waktumu. Padahal jelas-jelas kamu sedang mengejar karirmu sekarang. Apa kamu tidak akan keberatan dengan itu?” tanya Hana khawatir.
“Apa kamu belum mengerti juga, Hana?” ujarnya lembut. “Aku bekerja, aku mengejar karir, aku fokus pada proyekku, itu semata-mata hanya untuk mencari penghidupan yang layak untuk kuberikan padamu –wanita yang akan aku nikahi. Aku mencari uang banyak untuk hidup kita nanti, untuk anak-anak kita, supaya kita semua bisa hidup dengan bahagia. Hanya itu. Aku sama sekali tidak pernah merencanakan untuk menikah dengan karirku.”
Hana tersenyum bahagia mendengar kata-kata Johan untuknya. “Kamu memang manis, Joe.”
“Aku tidak mengatakan ini karena aku manis. Aku mengatakannya karena aku mencintaimu.” dia mengangkat tangan Hana dan menciumnya. “Dan aku membutuhkanmu disisiku.”
“Demi Tuhan, Johan-ku. Kamu tidak tahu betapa aku sangat memujamu.”
“Kalau begitu beritahu aku.” ujar Johan sambil tersenyum.
Hana tersipu. “Aku mencintaimu lebih dari segalanya.” dia terdiam sesaat. “Well, hanya kata-kata itu yang bisa kuberikan untukmu. Memang hanya untaian kata, tapi aku harap kamu mempercayainya. Aku hanya tak tahu bisa berbuat apa lagi untuk meyakinkanmu.” dia tertawa kecil.
Johan tersenyum dan menatap kekasihnya dengan serius. “Katakan ‘ya’.”
“Untuk?”
“Segalanya.” ujar Joe hangat dan lembut. “Pertanyaan-pertanyaannya bisa menyusul nanti.”

***

Adrian membuka lemari pakaiannya dan memilih pakaian yang tepat. Dia menarik sebuah jeans belel, base ball shirt, dan jaket kulit yang serasi. Setelah itu dia menarik pegangan kopernya dan berjalan keluar kamar dengan tangan kanan menggengam lukisannya.
Dia melirik arlojinya yang menyala dalam gelap. Pukul tiga subuh. Semua orang masih terlelap. Itu berati dia akan bisa pergi dengan tenang, tanpa ada yang mesti menghalangi.
Langkahnya terhenti di depan kamar Denissa, dan dia masuk ke dalamnya. Dia memanggil nama adiknya itu dan mencium keningnya. Dia meninggalkan sebatang mawar merah untuk saudaranya tersebut, dan beranjak keluar kamar.
Dengan tergesa-gesa dia menyelinap ke dalam kamar Jose, dan menekan saklar lampu. Kakaknya itu terlonjak bangun dengan terkejut, mata sakit, dan kepala pening. “Apa kamu tidak bisa membangunkan aku dengan lebih sopan, Adrian?” serunya marah.
“Tidak. Tidak pada saat aku terburu-buru seperti ini.”
Jose menatap pakaian lengkap adiknnya dan koper besar yang dijinjingnya itu. “Kamu mau kemana?” tanyanya lirih.
“Aku sudah bilang aku akan pergi.”
“Tapi–“
“Ssst!” seru Adrian. “Diamlah. Sebelum pergi aku ingin menyampaikan sesuatu padamu. Dan aku minta, dengarkan aku baik-baik. Dan setelah itu, jangan halangi aku untuk pergi. Oke?”
Dengan enggan Jose mengangguk tanda setuju. Dia duduk tegak dan menatap adiknya serius. “Ada apa?”
“Aku tahu dimana Johanes.”
“Johanes?!” seru Jose terbeliak. “Darimana kamu tahu nama saudaraku Johanes?! Aku tidak pernah mengatakannya padamu, Adrian!”
“Aku tidak butuh kata-katamu untuk mengetahuinya.” Adrian berkata pelan dan berbisik. “Jangan berteriak, Joe. Aku tidak mau orang lain tahu.”
Jose merasa keringat dingin mulai menjalari pelipisnya. “Kamu…”
“Inilah wajah kembaranmu. Johanes Herzi Sasriza.” Adrian membuka lukisannya dan menyodorkan benda itu pada Jose. “Simpanlah ini. Carilah dia.” Adrian lalu memberikan artikel koran tentang Johan pada Jose dan memperhatikan kakaknya itu membacanya perlahan-lahan.
“Ya Tuhan…” gumam Jose. “Ternyata selama ini…”
“Carilah dia, Jose. Kamu tahu bagaimana jalannya sekarang. Bergegaslah.” Adrian meletakkan lukisannya diatas ranjang Jose dan meriah kopernya kembali. “Sampaikan salamku pada Johanes. Katakan padanya aku menyesal karena tak bisa berjumpa dengannya.”
Jose menatap Adrain dengan pandangan kosong.
“Selamat tinggal, Joe. Aku akan menunggu saat dimana aku bisa memanggilmu JoJo.”
Jose mendengar kata-kata adiknya bagai mantra di tengah malam. Tak sabar rasanya dia menunggu fajar menyingsing, dan dia akan bisa mulai mencari Johan lagi. Dan dia yakin kali ini akan menemukannya.
Jose menyentuh lukisan Adrian sambil mulai menangis lagi. Dia menatap gambar yang sangat mirip dengan dirinya itu. Dia membelainya, dan secara refleks memeluknya. Ingin rasanya dia membawa saudaranya itu ke dalam mimpi indah malam ini.
Namun apa daya, matanya tak lagi tertarik untuk terpejam.
















BAB VIII…


“Koran minggu lalu?”
“Tidak tepat begitu,” jawab Jose terbata-bata. “Kira-kira sembilan hari yang lalu saya membaca sebuah artikel di koran ini. ada pertanyaan yang ingin saya ajukan, tapi saya baru sempat menghubungi sekarang. Saya bisa minta informasi dari mana, ya?” tanyanya serius penuh harap.
“Kalau boleh saya tahu, tentang apa ya, Pak?”
“Hmm…” gumam Jose. “Tentang artikel monas yang waktu itu.”
“Oh, yang itu. Saya tahu. Secara global saya tahu lumayan banyak. Mungkin saya bisa membantu bapak. Ada apa, ya?”
“Begini, saya membaca tentang Johanes –arsitek pertamanan yang menangani proyek itu. Saya… saya hanya ingin tahu dimana saya bisa menghubunginya. Saya sangat butuh bantuannya.”
Laki-laki penjawab telepon bagian informasi itu tertawa. “Ya, saya dengar memang akhir-akhir ini dia laku sekali. Banyak yang minta jasanya untuk mendesain taman mereka. Ya sudah, tunggu sebentar ya, Pak. Saya akan carikan datanya sebentar.” ujarnya ramah.
Jose menunggu dengan gelisah. Dia sudah begitu tidak sabar menemui Johanes –saudaranya itu. Beberapa menit yang dibutuhkan si petugas informasi terasa bagaikan seabad untuknya.
“Pak?” ujar si petugas membuyarkan lamunan Jose.
“Ya?”
“Saya telah menemukannya. Namanya Johanes Herzi Sasriza, seorang arsitek pertamanan yang bekerja di bawah naungan Pembangunan Jaya Construction and Landscape.”
“Pembangunan Jaya?”
“Ya, itu nama kantornya. Bapak bisa menghubungi tempat itu dan meminta mereka mencarikan arsitek untuk taman bapak. Nanti mereka yang akan mengurusnya. Tapi, kalau memang bapak ingin ditangani oleh Pak Johanes, bapak bilang saja. Mereka pasti mau. Asalkan bapak bersedia antri dan membayar lebih tentunya.” jelas orang itu.
Jose mengangguk tanda mengerti. “Dimana saya bisa menghubungi kantor itu? Apa anda punya nomor teleponnya?” tanya Jose.
Laki-laki itu tersenyum kecil. “Sayangnya tidak. Tapi, bapak bisa cari di buku telepon. Itu perusahaan terkenal. Nomornya pasti ada.”
“Baiklah.” Jose akhirnya menutup pembicaraan itu. “Terimakasih banyak.” dia lalu meletakkan gagang telepon pada tempatnya dan mulai mencari nama perusahaan konstruksi itu di buku telepon. Awalnya dia merasa enggan harus membuka buku tebal yang hampir setahun ini tidak pernah disentuhnya. Namun, pikirannya tentang Johan menghapus itu semua.
Tak lama kemudian dia memang menemukan nama perusahaan itu. Dengan tangan gemetar dia memutar nomor itu.
“PJ Construction and Lanscape, selamat siang.” jawab seseorang di seberang sana.
Jose menelan ludah. “Mbak, apa benar Bapak Johanes Herzi Sasriza bekerja disini?”
“Betul.”
“Bisa saya bicara dengannya?”
Gadis diseberang sana menjawab dengan nada menyesal. “Maafkan saya, tapi Pak Johan sedang tidak ada di tempat sekarang. Dia pergi menengok proyek. Maaf, dengan siapa saya bicara? Nanti akan saya sampaikan.”
“Saya Josef Rizadi.” jawabnya kecewa. “Bisa saya minta nomor handphone-nya?”
“Maaf, tapi kami tidak bisa begitu saja memberikan data pegawai.”
“Ini urusan penting, Mbak. Atau setidaknya, nomor telepon rumahnya.”
Gadis itu tersenyum kecil. “Baiklah. Kalau itu bisa saya usahakan. Saya carikan sebentar.”

***

“Joe,” panggil ibunya. “Sudah pulang kamu? Dari mana saja seharian? Ini sudah pukul tujuh, tidak biasanya kamu kerja sampai jam segini.”
Johan tersenyum dan mencium tangan ibunya. “Yah, maklumlah, bu. Namanya juga proyek baru. Aku penangung jawabnya, jadi aku yang paling repot. Nanti kalau sudah jalan, aku bisa lebih santai. Karena aku hanya tinggal mengontrol pelaksanaannya.”
“Tapi jangan terlalu capek, ya?”
“Iya, bu. Tenang saja. Aku akan jaga diri.” dia tersenyum. “Aku mandi dulu ya, bu.”
“Ya.” ibunya menjawab senang. Namun tak lama kemudian, saat Johan hendak masuk ke kamar mandi, dia berkata lagi. “Joe, ibu lupa bilang. Tapi ada telepon untukmu. Dari Josef. Katanya penting.”
“Josef?” Joe mengerutkan dahi. “Aku tidak pernah mengenalnya. Apa dia bilang siapa dia?”
“Tidak. Dia hanya bilang sangat butuh bertemu denganmu. Katanya, kapanpun kamu sempat, hubungilah dia. Di samping telepon sudah ibu catat semua nomor yang diberikannya.”
Johan melayangkan pandangannya ke arah pesawat telepon. Dia lalu tertawa. “Paling-paling order lagi. Ya sudah, pokoknya sekarang aku mau mandi dulu. Akan aku urus Josef nanti.” katanya datar sambil langsung melangkah memasuki kamar mandi dan membersihkan tubuhnya.

***

“Johan?!” pekik Jose terkejut saat menerima telepon itu. Jantungnya hampir copot saat mendengar suara yang sejak lama sangat ingin di dengarnya itu. “Kamu betul-betul Johan?” tanyanya kacau.
“Ya. Saya Johan. Maaf menghubungi anda malam-malam. Katanya tadi sore anda menelepon saya. Ibu saya bilang anda mengatakan ini sangat penting.” ujar Johan profesional.
“Ya Tuhan!” seru Jose. “Ya Tuhan, Johan! Aku sangat senang akhirnya bisa bicara denganmu! Aku mencarimu kemana-mana!” pekiknya.
Johan mendengarkan semua itu dengan heran dan tidak mengerti. “Maaf?” ujarnya tak yakin. “Anda tahu saya? Apa kita saling mengenal? Kita pernah bertemu sebelumnya?” tanyanya atas reaksi tidak normal yang diberikan Jose padanya.
“Ya. Pernah.” Jose menjawab dengan lirih. Dalam suaranya terdengar ada isakan air mata. Dia sangat bahagia bisa bertemu dengan saudara kembarnya. Hal itu membuat Johan sedikit bingung.
Johan tertawa kecil. “Maafkan saya. Kalau begitu saya rupanya kurang ingat. Hmm… lalu ada apa anda menghubungi saya? Apa ada yang bisa saya bantu?”
Jose berusaha mengatur suaranya. Dia mulai mengutarakan apa maksudnya. “Kita harus bertemu, Johan. Aku ingin membicarakan sesuatu dan tidak bisa lewat telepon. Tolonglah, jangan menolak. Ini sangat penting.”
“Anda bisa datang ke kantor saya besok. Saya akan ada disa–“
“Tidak!” potong Jose spontan. “Jangan, Johan. Jangan di kantormu. Ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Ini sangat pribadi.”
“Urusan pribadi?”
“Ya. Jangan salah sangka. Aku bukan orang yang ingin menyewamu sebagai arsitek. Aku ingin kita bicara sebagai dua individu biasa.”
Johan mengerutkan dahi. “Well… baiklah kalau begitu. Lalu anda ingin kita bertemu dimana?”
“Bagaimana kalau di… restoran Sriwijaya. Di hotel Dharmawangsa. Aku akan pesan tempat untuk besok pukul delapan malam. Bagaimana?”
Johan berfikir sebentar. Laki-laki bernama Josef ini ingin bertemu dengannya di fine dining restaurant yang mahal dan sangat eksklusif itu? Ada apa sebetulnya? Siapa dia? Johan betul-betul penasaran. “Baiklah. Saya akan datang. Mejanya atas nama siapa?” tanyanya.
“Atas nama…” Jose berfikir singkat. “JoJo.”
“JoJo?”
“JoJo.” ucap Jose yakin. “Meja atas nama JoJo.”
Johan mengerutkan dahi. Mengapa harus JoJo? Aneh sekali. Namun bagaimanapun, akhirnya dia setuju. “Oke. JoJo. Saya akan datang besok.”





























BAB IX…


“Bagaimana kabarmu?”
Adrian tersenyum manis dan menyilakan Faizal untuk masuk. “Baik. Aku baik-baik saja,” jawabnya malas-malsan. “Sebaik-baiknya orang yang sedang dalam pengungsian.”
Faizal tertawa keras. “Kamu sendiri kan yang ingin mengungsi? Salahmu sendiri kalau sampai menderita sekarang!” candanya.
“Siapa bilang aku menderita? Aku bahagia kok hidup begini!” ujar Adrian membela diri.
“Tidak kesepian?”
“Tidak.”
“Itu bagus.” jawab Faizal datar. Dia lalu menjatuhkan dirinya di sofa dan melihat-lihat sekeliling pondok Adrian yang artistik. “Makin bagus saja tembokmu itu, Dri. Sudah berapa banyak lukisan yang kamu hasilkan selama aku tidak datang kesini?”
“Entahlah. Aku tidak menghitung. Yang jelas sudah lumayan.”
“Sudah ada yang bisa aku bawa ke galeri? Banyak orang sudah menanyakan karya barumu. Mereka membutuhkannya untuk natal seminggu lagi. Yah, seperti biasa mereka membeli lukisan itu untuk pajangan baru ruang tamu mereka, atau bahkan untuk kado. Jadi sebaiknya kamu segera menyesuaikan diri dengan suasana, Dri.”
“Akan aku coba. Beberapa luksian sudah selesai, kamu bisa bawa ke galeri sekarang. Itu terserah padamu. Kamu kan yang bertanggung jawab atas galeri itu.”
Faizal mengangguk mengerti dan menatap sahabatnya itu dengan tajam. Sudah empat bulan berlalu semenjak Adrian menyepi di tempat ini –di puncak sebuah bukit yang sangat indah, sejuk, dan dirasanya mampu menenangkan pikirannya. Serta tentu saja memberi inspirasi pada lukisan-lukisannya.
Secara rutin –seminggu sekali bila tidak ada halangan, Faizal selalu mengunjungi Adrian ke pondok mungilnya ini. Faizal datang sebagai penanggung jawab usahanya, sekaligus sebagai sahabat. Dia memberikan laporan detail tentang perkembangan galeri Adrian, dan melihat kalau-kalau sudah ada lukisan baru yang dihasilkan oleh Adrian yang bisa dibawanya ke galeri. Hasil penjualan galeri itu secara rutin diberikan Faizal pada Adrian untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari. Di pondok itu Adrian dibantu oleh seorang bibi yang sangat patuh padanya. Dan satu-satunya orang yang tahu dimana Adrian berada hanyalah Faizal. Tak seorang pun anggota keluarganya yang tahu mengenai tempat terpencil ini.
“Lihat apa yang kubawa untukmu.” Faizal berkata sambil menunjuk kardus besar yang dibawanya tadi.
“Apa itu?” tanya Adrian penasaran sambil berjalan menuju benda itu dan membawanya ke sofa. “Lumayan berat.” gumamnya. “Dan sangat besar.”
“Itu titipan. Aku hanya mengantarkannya.”
Dengan alis berkerut Adrian membuka tali pengikat kardus itu dan mulai menyobek koran-koran yang melapisinya dengan tidak sabar. Dan pada akhirnya dia melihat benda itu, nafasnya tertahan dan dia betul-betul terkejut.
“Ini mustahil.”
“Apanya?” tanya Faizal sambil tertawa kecil.
“Tidak mungkin ada orang yang bisa melukis seperti ini. Ini tidak mungkin.” gumamnya lirih sambil memandang lukisan yang bergambar dirinya itu. Di lukisan itu terdapat seorang Adrianus yang digambarkan sebagai laki-laki melankolis, sentimental, dan penuh sensualitas. Seorang sosok misterius yang seolah kehilangan gairah hidup, termenung, dan terdiam menatap hujan yang sedang turun. Lukisan itu betul-betul terasa keberadaannya –merefleksikan secara sempurna perasaan hatinya. Mengungkapkan rahasia jiwa pribadinya yang selama ini dia sangka telah tersimpan baik-baik –tanpa seorang pun mengetahuinya. Namun ternyata, seseorang telah menyingkap tabir itu. Si pelukis misterius itu.
“Siapa yang melukis ini, Zal?” tanya Adrian tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun dari lukisan itu.
“Seseorang yang sangat ingin bertemu denganmu. Seseorang yang setiap hari datang ke galeri hanya untuk melihat karyamu, dan mengenal jati dirimu lewat lukisan-lukisan yang kamu buat. Seseorang yang tak tahu bagaimana cara membuka hatimu selain dengan lukisan ini.”
Adrian menoleh dengan mimik kaku. “Siapa?” tanyanya lirih. “Siapa, Zal?”
“Sebentar lagi kamu akan bertemu dengannya, kok. Jam empat sore nanti dia akan datang.”
“Kesini?!” pekik Adrian.
“Kesini.”
“Tapi,” Adrian bangun dari duduknya dan berjalan cepat ke arah sahabatnya. “Tapi kamu telah berjanji tidak akan mengatakan keberadaanku pada siapapun. Tidak juga ke orang itu!”
“Aku merasa aku wajib melanggar janjiku, Dri.” jawab Faizal. “Aku tak tahu apa yang kulakukan ini benar atau salah. Yang jelas, aku hanya merasa bahwa dia adalah orang yang paling berhak untuk tahu dimana kamu saat ini.”
“Paling berhak?!” sentak Adrian. “Memangnya dia siapa? Ayahku? Jose? Denissa? Tidak, Faizal! Tidak seorang pun berhak untuk itu!”
“Termasuk Johanes?”
“Apa?!” seru Adrian.
“Sekalipun itu Johanes?! Apakah dia juga tidak punya hak untuk tahu dimana kamu sekarang, Adrian? Apakah laki-laki yang tak lain adalah kakak kandungmu sendiri, yang sangat ingin mengenalmu, yang bahkan tidak pernah punya salah padamu, yang bahkan belum pernah kamu temui,” ujar Faizal berapi-api, “dan dia yang betul-betul merasa bersalah karena kepergianmu dari rumah. Adilkah, Adrian, apabila kepulangannya harus disambut oleh kepergianmu? Dan seumur hidup dia akan terus dihantui perasaan bersalah karena telah membuatmu menyingkir?”
Adrian terdiam dan menatap sahabatnya. “Aku tidak tahu.”
“Kamu tahu, Adrian. Kamu ingin bertemu dengannya, kan? Kamu ingin tahu siapa dia. Lalu kenapa harus kamu bohongi dirimu sendiri?”
“Tidak, Zal. Aku tidak berusaha membohongi diriku sendiri. Aku hanya… hanya butuh waktu untuk bisa kembali ke keluargaku. Kembali pada segala sesuatu yang mengingatkanku pada ayah.”
“Sampai matipun itu tak akan berhasil.” ujar Faizal tajam. “Sampai Tuhan mencabut nyawamu kamu tidak akan pernah bisa mengingkari ayahmu. Karena selamanya –selama kamu masih menghirup udara di dunia ini, kamu adalah anaknya. Bahkan, sampai nanti ajal memisahkan pun kalian tetap adalah ayah dan anak yang terikat oleh kasih dan doa. Kamu adalah darah dagingnya, bagian dari dirinya yang tidak akan pernah dapat terpisahkan. Selamanya kamu akan tetap bersama ayahmu. Setidaknya batinmu akan tetap di sisinya. Ke ujung dunia pun kamu tidak akan bisa lari, Adrian”
Adrian terdiam mendengar perkataan sahabatnya yang sungguh mengena itu. Dia termenung, dalam diam memikirkan tahun-tahun panjang yang telah dilaluinya dengan sang ayah. Dia ingat saat laki-laki itu menyuapinya, menggendongnya, memeluknya, mengantarnya ke sekolah, bahkan melindunginya disaat dia ketakutan. Ayahnya selalu berusaha untuk bisa memenuhi seluruh kebutuhannya, dan juga mengisi posisi ibunya yang telah lama tiada. Ayah sangat menyayanginya, dan Adrian tahu laki-laki itu sangat mencintainya. Namun rasa cinta itu telah ternodai oleh perbuatannya yang betul-betul telah mengecewakan Adrian. Dia tidak pernah bermimpi akan mengetahui sisi gelap ayahnya yang selama ini begitu dia puja.
Tiba-tiba Faizal bangkit berdiri dan menepuk bahunya. “Aku pulang dulu, ya. Kamu bersiap-siaplah. Nanti Johan akan datang.”

***

Dengan susah payah Johan berusaha agar gerak mobilnya tetap stabil. Dia menyesal tidak menuruti nasihat Faizal yang menawarkan sebuah Jeep untuk dia pakai menemui Adrian. Mustinya Johan menerima pinjaman itu. Karena sekarang begitu dia mengalaminya sendiri, dia sadar bahwa puncak sebuah bukit bukanlah tempat yang cukup bersahabat untuk dijangkau dengan sebuah sedan mungil yang setiap hari dicuci sebersih kaus kaki.
Dengan sedikit kesal dia menghentikan mobilnya di bawah sebuah pohon. Johan membuka pintu dan berjalan keluar. Sambil mendengus dia membungkuk dan serta merta melotot menatap ban mobilnya yang diselimuti tanah merah yang dia yakin sangatlah licin. “Aku tidak mungkin melanjutkan perjalananku dengan keadaan mobil seperti ini.” Johan bergumam pelan. Dengan enggan dia duduk diatas sebuah batang pohon yang tumbang dan berfikir cara terbaik yang bisa dia lakukan. Kemudian dengan bergegas dia melirik alat pencatat kilometer mobilnya dan membandingkan angka itu dengan angka sewaktu dia meninggalkan rumah. Dia menghitung, lalu tiba pada kesimpulan bahwa pondok Adrian tinggal 350 meter lagi. Menurut Faizal, setelah dia sampai pada jalan buntu itu, dia harus melanjutkan berjalan kaki melewati jalan setapak dari batu yang panjangnya kurang lebih 50 meter. Ya Tuhan, masih jauh rupanya.
Diam-diam Johan menertawai kebodohannya sendiri. Dia mengira perjalanan ke pondok di bukit itu sama seperti saat dia akan pergi bersama teman-temannya ke puncak. Jadinya, hari ini pun Joe hanya mengenakan kemeja kotak-kotak lengan pendek warna cream, dipadukan dengan celana kain bergradasi warna yang serasi. Dia bukan –sama sekali bukan, mempersiapkan dirinya untuk hiking seperti ini.
Dia memandang sepatunya. Memang bukan untuk naik gunung, namun dia tidak punya pilihan lain. Dia akan menempuh jarak 400 kilo itu dengan berjalan kaki. Maka, tanpa membuang-buang waktu lagi, dia meraih minumannya, menegak air itu secukupnya, lalu mulai berjalan.
Agar lelahnya tidak terlalu terasa, dia memandang pemandangan di sekelilingnya. Memang indah, dan Joe mengerti mengapa Adrian betah tinggal di tempat seperti ini. Pohon-pohonnya tertata, pengaturannya indah, dan udaranya sangat sejuk. Sebagai arsitek dia mengaggumi penataan itu, dan sekali lagi dia mengucapkan pujiannya pada Tuhan. Dia memang luar biasa.
Kemudian Joe mengingat-ingat saat dia mencoba untuk melukis Adrian. Sebelumnya dia tidak pernah tahu bahwa dia bisa melukis dengan baik. Yang dia tahu hanyalah bahwa dia bisa menggambar desain taman, tapi itu bukan melukis. Dan kemarin saat dia berhasil menggambar Adrian dengan baik, dirinya sendiri juga merasa sangat terkejut atas hal itu.
Johan tersenyum sendiri memikirkannya. Kemudian dia menatap jalanan yang ada di hadapannya, lalu sambil menghembuskan nafas panjang, dia tetap melangkah, berjalan, dan terus berjalan.





BAB X…


“Cumi-cumi ini enak sekali!” puji Joe tulus pada adiknya itu. “Aku tidak tahu bahwa aku punya adik yang sangat pandai memasak.”
Adrian tertawa kecil mendengarnya. “Terimakasih.”
“Kamu harus bertemu dengan Hana. Kalian bisa saling tukar ilmu.” katanya sambil menggigit cumi itu dengan penuh kenikmatan.
“Hana?” tanya Adrian bingung.
“Tunanganku.”
“Oh.” Adrian menjawab singkat sambil menuangkan jus jeruk bagi mereka berdua. “Aku tidak tahu kamu sudah bertunangan.” dia tersenyum manis pada kakaknya. “Selamat, ya?”
“Trims.” Johan balik tersenyum.
“Kapan rencana menikahnya?” tanya Adrian.
“Entahlah. Aku sudah bertanya tentang rencana pernikahan itu. Dia setuju. Tapi mengenai kapan tepatnya, aku belum tahu. Aku baru saja akan melamarnya secara resmi nanti tanggal 25, tepat saat natal.”
“Begitu…” gumam Adrian. Dia menatap langit malam yang gelap –hanya diterangi bintang yang bergemerlapan menghiasinya. Dengan tidak kentara dia memperhatikan wajah Johanes, dan mengakui bahwa dia memang persis Jose. Namun ada satu sisi dalam dirinya yang terasa lebih dekat dengan Adrian ketimbang dengan Jose. Aneh memang, namun Adrian merasa Johan adalah saudaranya yang paling bisa mengerti dia. Padahal, mereka baru bertemu kurang dari dua jam yang lalu, saling berpelukan, menangis, memperbincangkan hal-hal ringan, bercanda, dan menyiapkan makan malam bersama. Hanya itu yang mereka lakukan. Satu-satunya yang Adrian tahu tentang kakaknya itu hanyalah bahwa dia seorang arsitek yang sukses dan berbakat, dan hingga kini Johan tetap tinggal di rumah ibu angkatnya, dan bahwa sebentar lagi dia akan menikah. Sesederhana itu, namun Adrian merasakan sesuatu yang luar biasa dengan keberadaan Johan di dekatnya.
“Kamu tidak mau pulang, Adrian?” tanya Johan tiba-tiba, memecahkan lamunan Adrian. Laki-laki muda itu menjatuhkan garpunya ke lantai kayu dengan salah tingkah. Dan dia menatap kakaknya dengan pandangan kosong.
“Maaf? Tadi kamu bilang apa?” tanyanya gagap.
Johan tersenyum simpul. “Aku tanya, apa kamu betul-betul tidak mau pulang?”
Adrian menatapnya dengan gamblang, dan raut wajah tidak terbaca. Setelah keraguan beberapa saat, dia menjawab, “Tidak. Aku tidak mau.”
“Mengapa?”
“Mengapa?!” pekik Adrian. “Bisa-bisanya kamu tanya kenapa, Johan! Aku tidak mau pulang karena aku tidak mau bertemu ayah, aku tidak mau tinggal bersamanya, aku tidak bisa memaafkannya! Apa itu jelas?” ujarnya sengit.
“Kamu tidak bisa, atau tidak mau?” tanya Joe perlahan, mencoba bersabar menghadapi adiknya yang sangat tempramental, keras, namun di lain sisi sangatlah labil dan rapuh. Terlalu rapuh, bagai cermin yang retak. “Kamu belum moncoba sekalipun untuk memaafkan ayah, Adrian. Kamu harus mengerti dia.”
“Kamu…” ujarnya lirih. “Ayah telah membuangmu, Joe…” dia berkata pelan hampir tidak terdengar. “Ayah telah membuatmu menderita selama 32 tahun. Dia telah menyakitimu, Johan, dan kamu bilang mengerti dia? Apa yang harus dimengerti dari dirinya, Joe? Katakan padaku…” dia menatap kakaknya dengan air mata menggenang di pelupuk matanya. “Bagaimana kamu bisa memaafkan laki-laki sekejam dia? Seorang pendosa tidak berperasaan.”
“Adrian,” ujar Johan lembut. “Aku tidak memaafkan ayah. Aku belum –tepatnya.”
Adrian menatap kakaknya dengan tajam dan berurai air mata. Namun dia tetap diam.
“Tapi aku… aku merasa begitu bahagia, aku merasa… merasa begitu hidup saat aku bertemu dengan ayah. Aku merasa aku telah menemukan seseorang, sesuatu, yang selama ini aku cari, aku dambakan. Yang merupakan inti dari semua doaku, bahwa aku ingin –ya Tuhan, aku ingin Dia mempertemukan aku dengan orang tuaku. Dan dengan kebesaran-Nya Dia telah mengabulkan hal itu, Adrian. Tuhan telah memberikan jawaban atas semua permohonanku…”
Adrian menatap kakaknya dengan mata basah. Dan saat itulah dia menyadari bahwa saat itu, dengan hati yang sakit, Johan juga sedang menangis.
“Dulu,” lanjutnya, “saat aku belum tahu apapun tentang keluargaku, aku juga kerap kali menyalahkan orang tua kandungku yang sama sekali tidak aku kenal. Aku menyalahkan mereka, aku bilang aku membenci mereka, aku bilang aku tidak akan pernah mau memaafkan mereka, dan aku tidak akan sudi memanggil mereka ayah dan ibu.”
“…”
“Tapi pada akhirnya aku tahu, Adrian. Bahwa aku merasakan hal itu karena aku mencintai mereka. Aku merasa sedih karena aku bingung, kecewa, dan aku selalu bertanya mengapa aku tidak dicintai oleh orang tua yang sebetulnya sangat aku sayangi? Aku mencintai mereka, Adrian. Walaupun aku tidak pernah bertemu, tapi aku selalu mendoakan mereka, dan meminta Tuhan memaafkan semua dosa-dosanya.”
Adrian menatap kakaknya dengan pedih dan pilu, seolah dia bisa merasakan kesedihan Johan waktu itu. Dia ingin berlari dan memeluknya, mengatakan bahwa dia sangat menyayanginya.
“Sejak dulu aku bertekad akan langsung pergi jauh begitu menemukan orang tuaku. Aku hanya ingin sekedar tahu siapa mereka. Namun pada kenyataannya, saat kemarin aku bertemu ayah, aku bahkan tidak kuasa menggerakkan kakiku. Dan jangan pernah kamu kira aku akan sanggup untuk pergi meninggalkannya, Adrian. Aku tidak akan pernah melepaskan orang yang sangat berarti untukku. Ayah adalah bagian dari diriku. Dan aku tahu dia mencintaiku.”
Adrian memejamkan matanya dan menunduk sambil menahan pekik. “Tuhanku…” ujarnya sedih.
“Mungkin aku memang belum sepenuhnya memaafkan ayah. Dan mungkin selamanya aku tidak akan cukup suci untuk bisa melupakan kesalahannya, walaupun aku telah memaafkannya. Aku mungkin sekarang tidak berada di sisinya untuk mengabdi padanya, mungkin aku bukan orang yang akan menghormatinya secara utuh. Namun aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku berada di sisinya… hanya untuk sekedar tahu bahwa dia ada disana.” Johan merasa kata-katanya tercekik oleh air mata. “Bahwa ayahku ada di sampingku –selamanya bersamaku. Dan… dan bahwa… pada kenyataannya aku memang memiliki seorang ayah.”
“Johan…” ujar Adrian lirih.
“Siapapun dia, seburuk apapun perangainya, aku hanya ingin mengatakan bahwa aku bangga dengan ayahku. Aku bangga memiliki seorang ayah.”
“Joe…!!!” teriakan Adrian menghentikan kata-kata Johan. Pemuda itu langsung menendang kursinya, bangkit berdiri dan menjatuhkan diri ke pelukan kakaknya. Air matanya membanjir disana, dan dia memeluk laki-laki itu dengan erat. Dia merasakan kehangatannya.
“Aku menyayangimu, Adrian… demi Tuhan aku sangat menyayangimu…!” seru Johan ditengah tangisan mereka. “Aku menyayangi ayah, Jose, Denissa, kalian semua! Dan aku ingin kamu kembali bersama kami. Aku ingin kita kembali menjadi satu keluarga yang utuh seperti sedia kala.”
Adrian menangis semakin menjadi-jadi.
“Saat natal nanti, aku akan datang membawa kekasihku ke rumah ayah, dan alangkah senangnya aku bila menemukan keluargaku secara utuh disana. Aku punya ibu, aku punya ayah, aku punya saudara, aku punya hidup yang menyenangkan. Aku punya kekasih yang sebentar lagi akan kunikahi, dan kami akan punya anak-anak yang lucu. Tidakkah hidup ini indah, Adrian?”
Adrian mendongak dan menatap kakaknya. “Ya.” jawabnya enggan.
“Aku akan sangat bahagia bila mendapatkan kesempurnaan itu, adikku sayang… Kebahagiaan yang seumur hidupku tidak pernah aku dapatkan.” ujarnya sedih. “Tidakkah kamu merasa cukup menyayangiku? Apakah rasa sayangmu itu tidak cukup besar untuk memberikan kebahagiaan untukku?”
“Joe…” Adrian berusaha sekuat tenaga untuk bisa merangkai kata-kata yang tepat. “Aku sangat, sangat, sangat menyayangimu.” Johan tersenyum mendengarnya. “Dan kamu tahu aku akan melakukan apa saja, segalanya, untuk dapat membuatmu bahagia…” katanya tulus. “Apa saja yang kamu inginkan.”
Johan tersenyum manis dan mengusap air mata yang mengalir turun di hidung adiknya –hidung yang sangat mirip dengan miliknya. “Aku ada tiga permintaan. Yang pertama, aku ingin kamu menjadi pengiring pengantin saat pernikahanku nanti,”
Adrian mengangguk.
“Dan aku ingin suatu saat nanti kamu menjadi bapak baptis anak-anakku. Dan yang terpenting,” Johan menatap adiknya dalam-dalam. “Sekarang juga kembalilah ke rumah. Dan aku mohon lakukan ini untukku.”
Adrian menatap kakaknya dengan sendu. Dia menggenggam tangannya, dan tersenyum halus. Tidak ada lagi amarah yang tersisa.
“Bagaimana mungkin aku bisa menolak permintaanmu, Joe?”
























EPILOG…


Denissa dan Adrian sedang menyusun makanan-makanan di atas meja besar di samping pohon natal itu. Semuanya tersaji dengan menarik dan sangat menggoda untuk dicicipi. Mereka berdua membawa makanan itu dari dapur ke meja, dan dengan susah payah berjalan berhati-hati agar tidak tersandung benda-benda hiasan yang ada di lantai sekeliling pohon natal. Denissa tertawa kecil setiap kali berjalan melintasi pohon natal tersebut. Semalam dia telah membuat pohon besar itu terguling bersamaan dengan jatuhnya dirinya saat mencoba memasang bintang di puncaknya. Saat itu Adrian tertawa terpingkal-pingkal. Dan yang membuat Denissa kesal, kakaknya itu sama sekali tidak punya niat untuk membantunya bangun.
Segera setelah pulang dari gereja, Denissa dan Adrian bersama para koki menyiapkan secara kilat makanan di dapur. Kemudian di ruang tengah, mereka menyempurnakan hiasan pohon natal, menyetel sound system, memilih lagu yang tepat untuk diputar, mengatur cahaya, pokoknya semua yang terbaik untuk mereka berkumpul nanti.
Mereka berdua sengaja mengambil alih seluruh tugas yang ada agar Jose dan ayahnya bisa mengobrol dengan lebih leluasa. Mereka ingin hubungan Jose dan ayah mereka bisa membaik secepatnya, walaupun Adrian menyadari bahwa dia juga sangat membutuhkan terapi itu. Tapi itu bisa diurus nanti. Sekarang lihatlah itu, seorang ayah dan putranya sedang bercengkerama asyik di depan perapian. Terlihat sungguh damai dan penuh kasih. Jiwa seni yang dimiliki Adrian langsung tertarik untuk mengabadikannya dalam sebuah lukisan yang anggun.
“Kapan acaranya mulai?” tanya Denissa setelah selesai menyusun hidangannya.
“Johan saja belum datang. Tunggu dulu, dong!” jawab ayahnya ceria.
“Aku kan hanya bertanya, ayah. Johan janji datang jam berapa?”
“Mungkin menjelang makan siang. Dia juga harus berkunjung ke rumah Hana, kan –untuk melamar gadis itu pada orang tuanya?” jelas sang ayah.
“Ini sudah jam sepuluh.” Denissa melirik arlojinya. “Aku tidak sabar ingin bertemu dengan wanita itu. Tempo hari Johan menceritakan bahwa Hana adalah orang yang sangat hebat dan cerdas. Johan menceritakannya padaku dan Adrian, iya kan?” ujarnya sambil tersenyum.
Adrian menjatuhkan dirinya di atas sofa yang empuk. “Yang Joe katakan adalah bahwa Hana mendapatkan gelar sarjana psikologinya dengan nyaris sempurna serta pandai memasak.” jawabnya sambil lalu.
“Dia juga pengertian dan lembut.”
“Itu relatif.”
Denissa bergeser ke samping kakaknya dan memutar kepala pemuda itu hingga berhadapan dengannya. “Kata-katamu sangat tidak enak di dengar, Adrian. Ini natal, dan kamu harus mencoba bersikap lebih manis. Apa arti kasih bagimu bila sikapmu tetap seperti banteng liar begitu?” omelnya.
“Aku merayakan natal bukan untuk menjelma sebagai seorang munafik.” jawabnya dalam nada menantang. “Kalau aku ini memang banteng, ya sudah biarkanlah aku begitu. Memangnya kenapa? Kamu tidak suka?!”
“Sangat tidak suka.”
“Itu urusanmu!” jawab Adrian sambil menyeringai. “Siapa pula yang minta disukai oleh anak manja sepertimu?”
“Kamu selalu begitu! Kasar, semaunya, sombong!” teriak Denissa. “Kenapa sih kamu tidak pernah mau tulus memuji seseorang dengan baik?!” seru Denissa kesal.
“Well… menganggumi seseorang bukalah salah satu keahlianku.”
Denissa memandang kakaknya dengan mata berkilat. Mereka berdua berpandangan dengan tajam selama berberapa saat yang tegang, hingga akhirnya tertawa berdua bersamaan. “Adrian, Adrian!” seru Denissa. “Aku ingin bisa membunuhmu karena keangkuhanmu itu. Namun sayangnya aku sangat mencintaimu sebab kamu adalah kakak terbaik yang pernah aku miliki!” pekiknya sambil melompat ke dalam pelukan kakaknya dan menghujani laki-laki itu dengan ciuman sayang.
Jose dan ayahnya tertawa bahagia melihat kejadian itu. Ayahnya sangat senang karena Adrian mau kembali ke rumah, Denissa tidak terlalu marah lagi padanya, dan Jose sudah mulai mau mendekatinya lagi. Memang membutuhkan waktu lama untuk mengembalikan semuanya seperti sedia kala. Namun itu tidak masalah. Seperti salah satu judul film legendaris James Bond favoritnya: Tomorrow Never Dies. Dan itulah yang membuat harapan pria tua itu tetap hidup.
Kemudian, ditengah-tengah lamunannya, dia mendengar suara klakson mobil dibunyikan. “Itu pasti Johan!” serunya sambil melangkah mendekati jendela dan melongok ke bawah. “Betul, kan?”
Dan memang tak lama kemudian pembantu mereka mengantarkan Johan, ibu angkatnya, dan Hana ke ruang tengah dimana seluruh anggota keluarga sedang berkumpul. “Joe!!!” teriak Denissa cempreng sambil langsung lari melompat-lompat ke arah kakaknya dan memeluk pria itu erat-erat. “Akhirnya kamu datang juga.” Denissa mencium kedua pipinya dan tersenyum. “Mana Hana?”
Johan tersenyum simpul. Dia lalu menarik seorang wanita muda berparas anggun dari belakangnya. Denissa terkesiap melihat gadis bak dewi itu. Dia luar biasa –cantik, anggun, dan auranya cerdas. Bajunya juga berkelas –bukan rancangan designer terkenal memang, namun seleranya elegan. Sebuah gaun panjang satin warna mocca yang melekat pas ditubuhnya yang indah.
“Well, well, well…” Adrian lompat berdiri dari sofa tempatnya duduk dan berjalan ke arah Hana dengan mata bersinar. Dengan penuh percaya diri dia meraih tangan Hana dan menciumnya. “Silahkan masuk, tuan putri. Singgasana terbaik telah kami siapkan untuk anda berdua. Dan hamba ingin menyampaikan suatu pesan apabila anda punya seorang adik yang mirip dengan anda, tak ada salahnya anda perkenalkan pada hamba.” candanya pada Hana dan Johan. Dia lalu menyunggingkan senyumnya pada ibu angkat Johan, kemudian mendorong kakaknya masuk ke ruangan. “Ayo cepat, ayah sudah menunggu dari tadi. Dan asal kalian tahu saja, kami semua sudah lapar menunggu kedatangan kalian.”
“Adrian!” seru Jose dari dalam ruangan. “Mereka kan tamu, kamu kok tidak sopan?!”
“Itu bukan urusanmu. Wee!” jawabnya cuek sambil mendorong bahu Joe dari belakang seolah mereka sedang bermain ular naga panjangnya.
Ayahnya berdiri dan berjalan mendekati ibu angkat Johan. “Maaf, ibu. Anak saya memang sedikit mengesalkan. Adrian memang sulit di atur. Maafkan sikapnya, ya bu.”
Wanita tua itu tertawa. “Tidak apa, Pak. Saya justru senang. Mereka berdua sangat akrab.” ujarnya sambil tersenyum.
“Hei, Hana. Pacarmu dan Jose sangat mirip. Kamu jangan sampai salah peluk, ya? Rugi nanti. Kalau mau salah peluk ke aku saja!” teriak Adrian keras.
Johan tertawa terpingkal-pingkal. “Kamu tidak terlalu mirip denganku, adik kecil! Dia tidak akan salah templok padamu!”
Adrian dan Johan tertawa berdua dengan bahagia. Mereka lalu memulai acara itu dengan doa bersama, dilanjutkan dengan acara makan siang. Dari pojok ruangan Adrian dan Johan memperhatikan anggota keluarga satu per satu. Ibu angkat Joe mengobrol asyik dengan Jose. Entah apa yang diobrolkan. Sedangkan Denissa sedang berbincang-bincang dengan ayahnya dan Hana. Adrian tertawa melihat hal itu. Ayah mereka dan Hana adalah orang yang pandai. Sedangkan Denissa tidak begitu. Dia sangat malas di kampus. Tak pernah ada semester yang dilewatinya dengan angka yang baik.
“Aku yakin Denissa agak kurang nyambung bicara dengan ayah dan pacarmu itu.”
“Mungkin saja.” jawab Johan. “Tapi ada baiknya. Rasa malu itu akan membuatnya bertekad ingin bisa sama dengan ayah dan Hana. Pasti setelah ini dia akan lebih serius belajar. Karena dari yang kulihat, Denissa sangat mengaggumi Hana, dan akan melakukan apa saja agar bisa menirunya.” ujar Joe sambil tertawa.
Adrian melamun memperhatikan suasana keluarganya di ruangan itu. Kemudian dia bergumam, “Joe, nikahkan saja ayah dengan ibumu.”
“Apa?!” ujar Joe terkejut. “Menikah?!”
“Ya. Ibumu akan tinggal disini. Dan kamu serta Hana juga akan tinggal disini. Kita semua bisa hidup bersama dengan bahagia.”
Johan tertawa geli mendengar ide itu. “Sesederhana itu?”
“Hidup memang sederhana.”
Johan menatap adiknya dengan pandangan lembut dan penuh kasih. “Hidupmulah yang sederhana, Adrian.” ujarnya sambil memeluk adiknya erat-erat. “Kamu tidak pernah berfikir seperti apa kamu, kamu hanya seperti itu. Segalanya tampak sangat sederhana untukmu.” dia mencegup puncak kepala adiknya. “Tapi kehidupan yang sesungguhnya tidaklah sesimpel itu, adik kecil.”
“Tapi aku ingin membuat segalanya menjadi sederhana. Dan aku tahu aku akan melakukannya. Aku bisa, dan aku akan mencoba.”
Johan menatap adiknya dengan hangat, mengelus rambutnya, dan memeluknya lagi. “Hatimu seputih kapas, selembut awan, sesuci kasih.” dia tersenyum hangat. “Murni dan bersih.”
“Lalu bagaimana menurutmu?” tanya Adrian tiba-tiba.
“Apanya?”
“Tentang ayah dan ibu.”
Serta merta Johan terlonjak duduk tegak dan menatap Adrian dengan mata tidak berkedip. “Ayah dan ibu?”
Adrian mengangguk. “Ya, ayah dan ibu.”
“Ibu?”
“Ibu. Memang ibu. Ada yang salah?”
“Kamu… kamu…” ujar Johan terbata-bata. “Memanggil ibu angkatku dengan ‘ibu’?”
Dengan senyum simpulnya Adrian tertawa hangat. “Dia memang ibuku.” Adrian meremas tangan Johan. “Dia merawatmu, dia membesarkanmu, dia mendidikmu, dia mencintaimu. Dia adalah ibumu.” Adrian tertawa kecil. “Itu berarti dia adalah ibuku juga. Aku kan adikmu.”
Johan betul-betul tidak bisa membendung air matanya mendengar perkataan tulus adiknya itu. Dia langsung mendekap Adrian erat dalam pelukannya dan menangis di rambut hitam legam pemuda itu. “Aku menyayangimu, Adrian. Sangat.”
“Aku tahu.”
Johan melepaskan pelukannya. Dia mengusap air matanya dan tertawa geli. “Cengeng sekali aku, ya?” dia tertawa. “Well, mengenai rencana ‘perjodohan’mu itu, kita lihat saja nanti. Siapa tahu berhasil.” dia memandang adiknya dengan senang. “Dan kita semua akan bahagia.”
“Akan? Kamu salah, Joe. Aku sudah.”
Johan mengerutkan dahi tanda tidak mengerti.
“Aku sudah bahagia sekarang. Tapi nanti, bila ayah dan ibu menikah dan tinggal bersama –dengan cinta yang tulus ikhlas tanpa perjodohan yang tadi kamu katakan, aku akan tambah bahagia. Dan kebahagiaan itu akan terus bertambah hingga akhirnya Adrian hanyalah tinggal sebuah nama.”
Johan tersenyum manis. “Kata-kata itu indah sekali. Kamu memang seorang seniman.”
“Terimakasih.”
“Kamu benar, adikku. Kebahagiaan kita memang tidak akan pernah berakhir selama kita percaya bahwa kita memang berbahagia. Saking bahagianya, kita bahkan tidak tahu kapan kebahagiaan itu berawal.”
“Aku tahu!” seru Adrian. “Aku tahu.”
Johan memandang adiknya dengan heran, bingung, sekaliagus penasaran. “Kamu tahu? Sejak kapan?” tanyanya sambil tertawa hangat.
“Sejak aku tahu bahwa aku adalah seorang Adrianus.” ujarnya bangga.
Dia tersenyum simpul, dan melayangkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan –menatap satu per satu kebahagiaanya. Dan pada saat itulah dia tahu, bahwa dia bahagia bukan karena dia percaya bahwa dia bahagia. Namun karena dia memang bahagia. Dan Tuhan-lah yang telah memberikan kebahagiaan itu untuknya.





~***~
Share on Google Plus

About Fikri

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar

Sundul gan! Ane ga kenal yang namanya spam...