Laki-laki

BAB I…



“Alex….!!!”
Teriakan gurunya itu seketika membuat Alex berhenti berlari dan mengusap keringat di dahinya. Akhirnya ketahuan juga, pikirnya. Sial –apa lagi yang akan dikhotbahkan guru itu padanya kali ini? Maka dengan uring-uringan, Alex memutar tubuhnya menghadap ibu gurunya itu.
“Ya, bu…?” ujarnya malas.
“Nah, sekarang ulah apa lagi yang kau buat, Alex?”
“Tidak, kok. Saya hanya mengambil ini.” Alex menunjuk teratai yang ada dalam gengamannya. “Saya ambil di kolam. Sudah izin lho, Bu –sama Pak satpam.”
“Untuk apa?”
“Untuk…” Alex tahu sudah tidak ada alasan yang masuk akal lagi untuk dikatakannya pada ibu guru Biologi yang bawel itu. “Untuk percobaan laboraturium kita nanti, Bu…”
“Bukankah ibu sudah suruh kalian semua membawanya dari rumah? Kenapa malah ambil di sekolah?!” bentak wanita setengah baya itu.
“Yah… saya… saya lupa, Bu!”
Gurunya melotot, membuat Alex bergidik. “Dasar ketua kelompok sinting! Tidak becus! Kesini kamu!”
Alex berjalan mendekat sambil menunduk.
“Sekarang kamu ke guru piket, minta izin untuk keluar sebentar. Dan cepat kamu pergi ke pasar untuk beli duapuluh tangkai teratai dan tanam semua itu di kolam! Hari ini tidak ada pelajaran Biologi untukmu! Untuk dua jam ini silahkan kamu bercocok tanam di kolam ikan itu, Alex!!!” sembur gurunya.
Tanpa bertanya dua kali Alex langsung berlari menjauhi nenek lampir itu dan bergegas menaiki tangga menuju meja piket. Dia berhenti sebentar untuk melihat siapa yang tugas jaga hari ini. Untunglah –Alex menarik nafas lega. Guru piket hari ini adalah Bu Lia, salah satu dari sedikit guru di sekolah ini yang masih mau berbaik hati dengannya. Guru itu masih muda dan cantik –sering menjadi bahan godaan para siswa di sekolah ini.
“Bu, saya minta surat izin keluar sebentar, dong.” Alex menyapanya dengan cengiran kuda.
“Keluar? Mau ngapain?”
“Pergi ke pasar, Bu. Beli teratai –disuruh Bu Tasya. Biasa, orang kalau sudah tua emang suka jahat begitu deh, Bu!” gerutu Alex pada gurunya yang baik hati itu.
Bu Lia tersenyum padanya dan menyuruhnya duduk. “Nah, sekarang ceritakan pada ibu. Apa yang kali ini kamu lakukan sampai membuat Bu Tasya marah begitu padamu?”
“Tidak, saya tidak melakukan apa-apa. Saya hanya lupa membawa teratai untuk percobaan dan saya mengambilnya di kolam depan, Bu!”
“Ya ampun, Alex! Itu nakal sekali! Kok bisa kamu bilang itu bukan apa-apa?!” seru gurunya.
“Itu memang bukan apa-apa –setidaknya bagi saya. Mengambil bunga di kolam kan tidak sulit, Bu… Airnya cetek, kok!”
“Aduh, kamu ini…” Bu Lia menarik nafas panjang dan membuka laci untuk mengambil surat izin Alex. Lalu dia berkata, “Ini yang terakhir ya, Alex. Ingat, kamu sudah kelas dua, hampir kelas tiga. Hilangkanlah sifat konyolmu itu, Alex.”
“Terakhir kali saya dimarahi juga ibu sudah bilang begitu.” Alex tersenyum geli.
“Ya, dan kamu tidak menurut.”
“Jangan salahkan saya, dong! Saya kan tidak akan dimarahi kalau melakukan sesuatu yang salah, asalkan tidak ketahuan. Salahkan saja guru-guru itu, siapa yang menyuruh mereka untuk tahu?” dalihnya.
“Alex, Alex…” ujar Bu Lia sambil geleng-geleng kepala. “Ini suratnya. Cepat kembali, ya?”
“Terimakasih, Ibuku yang cantik…” lalu sambil tertawa keras Alex berjalan menuruni tangga dan kembali ke gerbang sekolah dimana Bu Tasya masih menunggunya sambil berkacak pinggang.
“Permisi, Bu. Saya mau pergi sekarang. Ibu mau titip sesuatu? Bakpau? Pisang goreng?” tawar Alex.
“Sudah! Pergi cepat!”
“Ye… saya kan cuma mau nawarin, bu…” kemudian dengan langkah setengah terbang dia menuju pintu gerbang dan mengedipkan matanya pada satpam sebagai ucapan pamit, lalu Alex berteriak pada anjingnya untuk menyuruh binatang itu ikut dengannya. “Clem, kita ke pasar sekarang!”
Melihat Alex yang berlari-lari mengejar bus –walau kemudian disuruh turun lagi karena tidak boleh bawa anjing, Bu Tasya tersenyum kecil. Sekarang Alex mengusap-usap kepala hewan itu dan menyipitkan matanya ke arah jalanan. Samar-samar Bu Tasya mendengar anak itu berkata, “Clem, aku harus beli sekampung teratai. Jadi hari ini tidak ada roti keju untuk kita. Duitku habis.” Kemudian anak laki-laki itu menarik nafas panjang. “Well… jalan kaki saja, yuk!” dan Alex bersama peliharaannya yang setia itupun berjalan menuju pasar sambil bersiul-siul gembira. Gila –kegembiraan selama hukuman.
Sesaat kemudian Bu Tasya berjalan menuju pos satpam dan bicara pada petugas keamanan itu. “Sayang ya, Pak Johan. Sebentar lagi Alex lulus. Pasti SMA ini akan sepi sekali kalau tidak ada dia.”
“Iya, itu betul. Anak itu… benar-benar, deh! Tidak ketulungan bandelnya. Tapi dia baik, lucu. Sebetulnya walau nakal, dia pintar, kan?”
“Ya, dia juara umum ketiga di sekolah ini.”
“Kadang-kadang kalau dirumahnya lagi sepi, dia suka pulang belakangan dan menemani saya ngobrol di sini. Saya pasti kesepian kalau nanti dia lulus. Tapi… ah, itu kan masih tahun depan!” jawab si satpam.
“Satu tahun itu tidak lama, lho Pak. Ingat tidak waktu pertama kali dia datang ke sekolah ini?” tanya Bu Tasya dengan wajah melankolis –mengenang murid yang sebetulnya sangat disayanginya itu.
“Ya, tentu saja saya ingat. Di hari pertamanya sekolah, dia langsung dihukum karena terlambat dan tidak diizinkan ikut upacara. Dan ibu tahu alasannya waktu itu? Dia bilang, dia terlambat datang ke sekolah karena terpaksa jalan pelan-pelan, sebab kaki anjingnya sedang terkilir. Dan saat saya marahi dia karena tidak meninggalkan anjingnya saja, eh… dia malah protes pada saya, Bu. Dia bilang: ‘anjing ini sahabat saya! Enak saja! Masa saya disuruh meninggalkan dia?! Bapak ini bagaimana, jahat sekali!’ Dan saya tertawa keras sekali waktu itu. Wajahnya itu lho, Bu! Polos betul!”
Bu Tasya dan Pak Johan tertawa bersama. “Rasanya baru kemarin…” Dan dengan pandangan penuh rasa sayang, mereka memandang ke arah kolam, dimana salah satu teratainya telah diambil oleh putra tercinta mereka –Alex Razin.




























BAB II…



“Alex?”
Mendengar suaranya dipanggil, Alex pun menoleh ke belakang dan mendapati Siska sedang berlari ke arahnya. “Hai, Sis.”
“Sudah mau pulang, Lex?”
“Well…ya. Aku mau pulang.”
Siska menyentuh bahunya dan mengerutkan dahi melihat bercak-bercak yang ada di baju Alex. “Ini kenapa, Lex?”
“Oh, ini hanya kotoran lumut. Tadi aku habis nanam teratai di kolam depan. Lumayan, lah! Kurasa aku cukup berbakat. Mungkin nanti kalau kuliah aku mau ambil jurusan landscape saja.” Alex tertawa dengan konyolnya.
“Di rumah kamu ada siapa?”
“Hmm… hanya ibuku. Kenapa?”
“Lalu siapa dong yang nanti mencucikan bajumu? Lumut, kan harus segera dicuci. Nanti tidak bisa hilang, lho!” ujar Siska.
“Ya aku nyuci sendiri lah, Sis!” Alex tertawa ke arah gadis itu. “Emangnya kamu kira aku tidak bisa mencuci baju. Gimana, sih?!” katanya geli.
“Bukan begitu… maksudku, kalau kamu tidak ada yang mencucikan, kamu ke rumahku saja. Nanti aku cucikan. Bagaimana?” Siska menawarkan.
Alex berhenti tersenyum dan menumpukan tangannya ke bahu Siska. Lalu dengan sopan dia berkata, “Sis, bukannya aku tidak menghargai, tapi jujur saja aku tidak bisa. Aku mengerti maksudmu. Dan aku sangat berterimakasih. Nah, kamu kerjakan saja PRmu. Jangan sampai besok dihukum guru seperti aku tadi gara-gara tidak buat PR, hanya karena mencucikan bajuku ini, oke?”
Siska memegang pipi Alex dengan kedua tangannya dengan sendu. “Alex… kenapa sih kamu tidak pernah peduli padaku?”
Alex tersenyum dan menjauhkan gadis itu darinya. “Kata siapa? Aku peduli, kok. Aku sayang sama kamu, Siska.”
“Tapi kenapa kamu tidak pernah mau kalau aku akan bilang ke teman-teman bahwa kita pacaran?”
“Karena memang kita tidak pacaran, Siska. Aku bukan pacarmu dan kamu tidak pernah menjadi pacarku. Kita hanya berteman, dan hanya itu yang bisa kutawarkan padamu. Rasanya sudah berkali-kali aku mengatakan dan mencoba untuk menjelaskan ini sama kamu.”
“Tapi aku suka sama kamu, Alex. Kamu tahu itu.”
“Aku tahu dan aku mengerti. Tapi sekali lagi, aku minta maaf. Itu bukan hubungan yang ingin aku wujudkan diantara kita, Siska. Sekarang, pulanglah. Jangan main-main di sekolah. Aku juga ada ekskul sebentar lagi. Jadi kita tidak bisa ngobrol lama-lama sekarang, ya?” ujarnya lembut.
Siska cemberut dan berjalan menuju teman-temannya dengan sebal. Alex menghela nafas saat gadis itu pergi. Dia tidak suka seperti ini –Alex merenung sambil berjalan menuju hall tempat latihan basket. Dia hanya ingin berteman dan tidak lebih. Tapi tak ada yang mau mengerti. Untungnya, hanya Siska yang harus dihadapinya hari ini. Biasanya, minimal ada tiga gadis yang harus dia khotbahi dalam sehari.
Alex membuka tasnya untuk mengambil baju olahraga, dan lalu meletakkan tasnya di atas bangku penonton paling bawah. Kemudian Alex berjalan santai sambil sesekali menyapa kawan-kawan yang kebetulan berpapasan dengannya. Alex membuka pintu ruang ganti pria dan melepas seluruh pakaiannya.
“Wow, Alex… tambah seksi aja loe!” ledek temannya. Itu sudah menjadi gurauan biasa diantara anak-anak tim basketnya semenjak tiga bulan yang lalu, Alex secara berturut-turut dinobatkan sebagai pria terseksi dan terganteng versi majalah sekolah mereka. Dan siapapun tahu siapa anak dibalik penerbitan majalah itu. Siska dan gengnya –tentu saja. Dan parahnya, empat dari sepuluh pengurus majalah itu adalah gadis-gadis yang mengidolakan Alex. Maka jadilah dia selalu menjadi bahan gosip utama di setiap edisinya.
Alex masuk ke dalam sebuah bilik kecil dan menyalakan air pancuran untuk membersihkan badannya dari lumut yang sangat menganggu tadi. Dia melepas celana dalamnya dan betul-betul mandi. Bilik itu tidak ada kuncinya, maka Alex berseru dari dalam, “Hei, loe jangan pada masuk, ya?”
“Emang ngapain loe di dalem?”
“Mandi.”
Dan begitu Alex selesai bicara, anak-anak yang diluar semuanya malah langsung menyerbu masuk ke dalam bilik kecil itu. Membuat Alex tergencet-gencet. “Ah, gila loe! Keluar sana! Sinting, cepet keluar, ah bego!!” omel Alex pada kawan-kawannya.
“Enggak, ah…” ledek teman-temannya.
Alex melotot dan berkacak pinggang. Menonjolkan tubuhnya yang memang seksi itu. “Terus loe pada mau ngapain di sini, gila?” tanyanya sebal.
“Mau lihat loe mandi. Aduh, Alex… kalo gue cewek udah gue perkosa loe! Buset… keren amat tuh barang!” salah seorang temannya secara mesum terang-terangan memandangi kejantanan Alex.
“Iya, dong! Dipelihara dengan servis kelas satu!” timbal Alex kesal. “Udah, deh! Rese banget, sih loe!”
“Pokoknya kita enggak mau keluar. Iya kan, guys?!”
“Yo-ai…..!!!” seru mereka semua serempak.
“Huuu… ya udah, itu terserah elo!” ujar Alex tidak sabaran sambil lalu membasahi dirinya lagi dengan air pancuran dan meraih sabun. Alex mengusap lengannya, dadanya, punggungnya, dan kakinya. Setiap gerakan yang dilakukannya selalu mengundang sorakan teman-temannya yang sedang menonton. Kemudian tak lupa Alex mengusap pantatnya dan kejantanannya supaya bersih. Anak-anak yang lain semakin keras berteriak.
“Wah, Lex! Cocok loe jadi penari telanjang!” dan mereka serempak tertawa lagi. Dan setelah Alex selesai mandi, dia meraih handuk dan menggosok-gosokkannya ke punggung, mengeringkan seluruh tubuhnya, dan melilitkannya di pinggang.
“Alex, madep sini sebentar! Mau gue foto!” dan tanpa sepengetahuan Alex anak itu memang telah memotretnya. Alex menggeram sebal. “Lumayan, kan. Gue bisa naik pangkat di majalah sekolah kita.” ujar anak itu berterimakasih.
Alex tidak menggubrisnya dan langsung menyambar celana dalam dan lalu mengenakannya. Dia mengambil seragam olahraganya, memakainya, dan langsung keluar ke lapangan untuk mulai berlatih.
Tepat pukul lima, dia pulang bersama sahabat-sahabatnya –dan tak lupa diikuti Clem-nya yang tercinta.



























BAB III…



“Skak mat!” teriak Andre saat menyadari kemenangannya kali ini. Dia berdiri dan melompat-lompat di atas spring bed yang besar itu.
“Ah, kakak curang! Enggak bisa gitu, dong! Pokoknya ulang, aku enggak mau!” Alex berteriak dari karpet, mendongak melihat tingkah kakaknya yang konyol itu.
Andre tidak memedulikan protes adiknya. “Weee….” ledeknya dan Alex yang kesal langsung berdiri dan menerjang kakaknya di atas kasur.
“Curang. Kakak apaan, tuh kayak begitu!” Alex mendorong kakaknya.
“Ye… kalah, mah… kalah aja, lagi!”
Jadilah kakak beradik itu mental-mental diatas tempat tidur dan suara teriakan mereka yang berisik itu tentu saja menganggu ketenangan rumah mereka. Keluarga mereka yang lain –yang sedang menonton drama di televisi, awalnya mencoba untuk tidak peduli. Namun, akhirnya mau tidak mau mereka harus bertindak saat kedua anak laki-laki itu bertengkar makin keras.
“Sudah, sudah! Apa-apaan kalian ini! Sudah besar juga, masih saja bertengkar seperti anak kecil!” ibunya memarahi mereka dan kedua anak itu langsung terduduk diam di atas tempat tidur yang kini berantakan. “Kamu juga!” ibunya menunjuk Andre. “Jadi kakak bukannya malah memberi contoh yang baik sama adiknya, malah berantem kayak begitu.”
“Iya, tuh. Kakak apaan?!” timpal Alex.
“Diam, Alex!” kini ibunya gantian memarahinya. “Sudah kelas dua SMA masih juga kayak anak SD. Apa tidak ada pekerjaan yang lebih baik untukmu? Selalu saja kamu buat masalah! Di sekolah kamu badung dan selalu saja dimarahi guru. Kamu cuma bisa jadi bahan gosip cewek-cewek centil di sekolahmu itu. Di rumah juga bukannya bantuin ibu bersih-bersih, malah main terus ke sungai sama si Clem!”
“Ibu jangan marahin Alex begitu, dong! Kita kan cuma bercanda tadi. Ya kan, Lex?” ujar Andre membela adiknya.
Alex mengangguk.
“Ibu juga memarahi kamu kan, Ndre? Jangan saling membelalah, kalian berdua! Kalian sama-sama salah!”
“Kami hanya bercanda. Tidak berantem betulan. Kan, sudah sering kami begini.” ujar Alex.
“Ya, kalian memang sering bertengkar –sama seringnya dengan ibu yang harus mondar-mandir beli kasur baru karena yang lama rusak, jebol karena kalian berantem diatasnya.”
Alex dan Andre nyengir geli berdua.
“Apa ketawa-ketawa?” hardik ibunya. “Pokoknya kalian harus dihukum.”
“Ha?” anak laki-laki itu berdua mengangga. “Yah… apaan, Bu…? Masa tadi di sekolah udah di suruh jalan kaki beli teratai, disuruh nanem, diomelin, eh.. dirumah masih dihukum juga. Payah, nih…!” gerutu Alex.
“Iya, pokoknya sekarang kalian berdua berdiri di samping televisi untuk mengganti channel bila kami mau pindah saluran. Remote-nya sedang rusak.”
Alex dan Andre langsung berbinar-binar. Mereka tahu, bila hukuman yang diberikan ibunya konyol begitu, berarti ibunya itu tidak sungguh-sungguh marah. “Ibu…!!!” mereka berdua serempak bangun dan berlari memeluk ibundanya tercinta. “Kami sayang sekali sama ibu.”
“Ibu juga, Nak. Makanya kalian jangan buat ulah, ya?”
“Kami coba, deh. Tapi tidak janji, ya Bu.” mereka bertiga tertawa dan berjalan keluar kamar menuju ruang keluarga dimana ayah dan kakak sulung mereka sedang nonton TV.
“Nah, jagoan-jagoan ayah, sekarang duduk di sini dan makan popcorn bersama kami.” ujar ayahnya hangat. Lalu pria itu membagikan kantong-kantong popcorn pada istri dan ketiga putranya.
“Ndre, punyamu kok lebih banyak?” protes Ridwan –si sulung.
“Biarin, kakak sih dulunya pelit. Ini hukuman dari Tuhan.”
“Jangan bawa-bawa Tuhan, dong!”
“Ih… kafir!”
“Enak aja! Sini, tuker, dong!”
“Eh, apaan! Minta aja sendiri sama ayah. Wee!”
Dan selagi kedua kakaknya bertengkar, Alex mengambil sedikit demi sedikit popcorn milik kakaknya. Kantongannya semakin penuh. Dia puas melihat kekonyolan saudara-saudaranya dan senang atas keuntungan yang diperolehnya. Namun kesenangan itu tidak lama. Ridwan dan Andre melihat tangan asing yang mengorek-ngorek kantong popcorn mereka. Dan dengan mata sadis mereka melotot pada si bungsu yang tersipu malu. Kedua kakak itu bertolak pinggang. “Alex…!!!!!”
Mereka menerjang si adik dan mencubitnya serta menggelitiknya –membuat Alex terpingkal-pingkal. Perutnya sakit karena tertawa. Sebentar kemudian, ketiga putra itu telah berguling-guling diatas karpet dan tidak lagi peduli pada popcorn yang berantakan kemana-mana.
Kedua orang tua mereka hanya bisa menepuk kening dan bersyukur betapa akrabnya anak-anak mereka itu.














































BAB IV…



Satu jam Pendalaman Materi Bahasa Inggris. Diikuti oleh dua jam pelajaran yang sama pula. Alex memutar bola matanya dengan bosan. Untuk yang keempat kalinya dia merogoh saku celana –mencari-cari permen kopi untuk menghilangkan kantuknya. Pagi ini belum lagi pukul sembilan dan dia merasa seperti sudah tengah malam. Kelopak matanya terasa begitu berat untuk dibuka.
Ah, masa bodoh, lah! Alex akhirnya menyerah pada rasa kantuknya dan menunduk di atas meja berbantalkan kedua tangannya. Teman sebangkunya telah memperingkatkan untuk tidak main-main dengan Pak Robby –guru Bahasa Inggris mereka, namun Alex betul-betul tidak tahan lagi. Padahal semalam tidurnya nyenyak. Jadi, Alex menyimpulkan bahwa cara mengajar guru inilah yang membuatnya mengantuk dan tidak bersemangat.
Alex mulai menerawang membayangkan kakak-kakaknya yang nasibnya jauh lebih baik daripada dirinya –setidaknya Alex menganggapnya begitu. Bayangkan, disini dia harus duduk manis mendengarkan ocehan gurunya yang tidak keruan, sementara Andre dan Ridwan bisa enak-enakan di kampus mereka. Itu tidak adil, ratap Alex.
Disaat seperti ini Alex sering merasa iri pada Andre. Kakak laki-lakinya itu pasti sekarang sedang duduk santai di salah satu ruangan Fakultas Psikologi-nya sambil tertawa-tawa dengan rekan sejawatnya. Para dosen itu menyenangkan –tidak membosankan seperti guru-gurunya. Para dosen itu hanya akan menyuruh anak-anaknya membaca beberapa bab dirumah dan membahasnya beberapa saat di kampus keesokan harinya. Lalu, dosen-dosen itu akan langsung memberi mereka tugas untuk dikerjakan dan bila sudah selesai, para mahasiswa yang beruntung itupun akan bisa bebas melakukan apapun yang mereka mau –entah itu ngobrol, bergosip, atau apalah namanya. Sedangkan Alex sekarang walaupun telah selesai mengerjakan tugas, tetap saja tidak boleh melakukan apa-apa. “Kamu harus bertoleransi pada teman-temanmu yang lain, Alex. Mereka belum semuanya selesai.” Itulah yang selalu dikatakan oleh semua gurunya. Dan Alex tidak bisa menerima kenyataan mengerikan itu.
Dan sekarang, coba lihat si Ridwan –Alex semakin lelap dalam tidurnya di kelas. Kakak sulungnya itu hari ini tidak masuk kampus. Sebab ada tugas ekstra di biro hukum tempatnya magang. Enak betul dia. Ridwan adalah mahasiswa Fakultas Hukum yang pandai, dan dia mendapatkan kerja paruh waktu di sebuah biro hukum ternama. Ditambah lagi, dia sudah punya uang sendiri dari hasil magang itu. Dia bisa bebas membelanjakan uangnya untuk beli apapun juga. Sedangkan Alex masih harus merengek-rengek pada orang tuanya untuk dibelikan segala sesuatu. Kapan dia akan bisa seperti itu? Berapa tahun lagi? Rasanya Alex sudah tidak sabar. Dia ingin segera dewasa, mandiri, dan punya sesuatu untuk dibanggakan. Lama sekali sepertinya waktu berjalan. Sekarang dia masih 16 –delapan bulan lagi baru mau 17. KTPnya saja masih diawang-awang. Walaupun sudah bisa mengemudi, tetap saja dia belum bisa bebas melakukannya sebab belum punya SIM. Satu-satunya kesenangannya kini hanyalah bermain gitar ditemani Clem-nya yang setia. Dan! Tidak lupa ditambahkan, bahwa sedikit dari uang saku bulanannya harus dia keluarkan untuk makanan anjing itu sebab ibunya tidak mau membiayai. Clem adalah miliknya –dan sepenuhnya adalah tanggung jawabnya.
Namun bayangan itu sedikit demi sedikit memudar. “Alex…” sebuah suara halus menyebutkan namanya. “Alex…” sekali lagi orang itu memanggilnya. Alex merasa ada seseorang menguncang-guncangkan bahunya. “Alex…” suara itu makin keras sekarang. Alex mencoba untuk memulihkan kesadarannya dan dengan berat berusaha membuka matanya. “Alex!” kini suara itu terdengar seperti bentakan.
Ya, Tuhan –gurunya.
“Oh, damn.” umpat Alex pelan. Setan –makinya dalam hati. “Ada apa, Pak?” tanyanya setengah sadar.
“What?! You asked me what?!” ujar gurunya itu dengan bahasa Inggris berlogat Jawa yang kental.
“Well, I mean…” jawab Alex sambil berusaha tetap terjaga. “I mean, why did you wake me up?” tanya Alex sebal karena dibangunkan dari tidurnya.
Gurunya mendengus penuh kebencian pada muridnya itu dan membentak semakin keras, “Alex Razin, this school wasn’t built for you to sleep! It’s built for you –all of you, to study! And you–“ gurunya menarik nafas sejenak. “You are not supposed to sleep and dream about those stupid things here!”
Alex mengerutkan dahi. “Well, Sir! What a great man you are! When was the last time you learned about magic?” tanyanya konyol.
“Magic? What kind of magic are you talking about?”
“Of course about your magical ability to figure out my dreams. If you don’t have any magical ability… so how could you know what I dreamed of?” ujar Alex sambil tersenyum geli.
“I don’t know about your dreams, Razin!”
“So why did you say that they are stupid? It’s crazy, Sir.” Alex berkata nakal. “Well, I mean–“
“Stop that, Alex Razin. Now you go down stairs to the BP room, then we will talk.” ujar gurunya marah. “Kau sudah keterlaluan, Alex.”
Alex menatap gurunya yang berjalan keluar kelas dengan menganga.
“Dan ingat, Alex. Saya tidak punya kemampuan magis apapun. Karena bila saya punya, sudah pasti saya telah menyulapmu menjadi kodok sekarang juga.”
Alex menggaruk rambutnya. Dia tahu, kali ini masalahnya serius.


***

Alex mematikan kompor dan mengangkat empat batang sosis itu dari penggorengan. Kemudian dia meletakkannya diatas piring yang ada selembar dagaing asapnya. Dia berjalan kembali ke kompor dan meraih saus keju cair yang barusan dipanaskannya, dan dia tuang ke atas daging asap dan sosis. Setelah itu dia berjalan ke kulkas dan meraih seplastik selada serta menaruhnya di piring yang sama. Dia lalu mengisi gelasnya dengan jus jeruk dingin.
Dia sendirian –kakak-kakaknya belum pulang, ayahnya masih bekerja, dan ibunya ada arisan RT. Alex menikmati makan siangnya itu hanya dengan Clem yang melingkar-lingkar di kakinya. Anjing itu seperti bisa merasakan kebingungan tuannya. Alex memberikan separuh sosis pada Clem yang langsung memakannya.
“Oh, Clem… how could I say it to my Mom? And Dad –hm, don’t ask.” ujar Alex putus asa. “Seminggu dirumah… ya ampun, apa yang harus kulakukan?” Alex memukul keningnya dan berteriak fustrasi. “Dengar ya, Clem. Setelah ini berakhir aku akan tobat dan tidak akan macam-macam lagi. Aku kapok.” Alex menghela nafas panjang. “Well, at least that’s the way I hope it would be.” katanya konyol.
Lalu Alex menghabiskan makanannya sambil membisu. Kemudian dia duduk termenung di samping telepon sambil memikirkan apa yang harus dilakukannya. Dia memutar otaknya –dia butuh suasana baru sekarang. Lalu dia meraih gagang telepon dan memutar nomor tantenya di Jakarta.
“Halo, bisa bicara dengan tante Martha?” tanyanya ragu.
“Martha sedang ke swalayan. Dengan siapa ini?”
“Anu… ini keponakannya di Bogor. Alex.”
“Alex?!” seru pria di seberang sana. “Ya ampun, Oom tidak sangka kamu yang telepon. Bagaimana kabarmu?” tanyanya terkejut.
“Ini Oom Edwin?” tanya Alex.
“Iya. Ini Oom. Kamu sedang apa? Ada perlu apa sama tante Martha? Siapa tahu Oom bisa bantu.”
“Begini Oom… saya mau minta izin untuk nginap di sana sebentar –seminggu saja, ya Oom. Boleh, ya?”
“Kamu sekeluarga mau ke sini?”
“Tidak. Saya sendiri.”
“Sendiri? Kenapa? Sudah izin Ibumu belum?”
Alex menjilat bibirnya. “Be.. belum sih, Oom. Tapi nanti saya akan bilang. Insya Allah, besok pagi saya berangkat ke sana. Ya, Oom?”
Oom-nya berfikir sejenak. “Oke. Asalkan ayah ibumu mengizinkan, Oom sih mau saja. Malah, Oom senang kamu ke sini. Di sini sepi.”
“Baik, terimakasih, Oom.”
Alex menutup teleponnya dengan perasaan sedikit lega. Paling tidak, dia sudah tahu apa yang akan dilakukannya selama seminggu ini.



***
“Ayah, Ibu, aku mau bicara sebentar. Penting, nih!”
Pada saat makan malam itu Alex sedikit pun tidak menyentuh makanannya. Dia hanya duduk termenung di kursi sambil mengais-ngais piring seperti orang tidak waras –dan mungkin memang begitulah keadaannya kini.
“Ada apa sih, sayang? Dari tadi siang kok ibu perhatikan kamu lesu terus. Murung, tidak bersemangat. Iya kan, Mas?” tanya ibunya pada ayah.
Ayahnya mengangguk. “Ada apa, son? Katakanlah.”
“Well, let’s see…hmm” Alex menggaruk-garuk rambutnya dengan rikuh. Kedua kakaknya pun ikut penasaran. Kemudian dengan seluruh tenaga yang masih dimilikinya, Alex berkata, “Selama seminggu ini aku tidak akan diperbolehkan masuk sekolah, Bu.”
“Apa?” seluruh anggota keluarga lainnya serempak bertanya.
Alex menelan ludah dua kali. “Yeah… itu… itu betul. Aku… tadi aku di marahi, well… katakanlah aku dihukum. Jadi aku… itu… aku…” katanya tergagap-gagap.
“Alex, kamu ini serius?” tanya Andre seraya bangun dari kursinya dan menghampiri kursi Alex. “Kamu bilang tadi –maksudmu kamu diskors?” tanyanya.
Alex mengangguk dengan lemas.
“Gila.” Ridwan menggelengkan kepala dengan tidak percaya. “But how could that be?”
Kemudian Alex menceritakan semua yang dilakukannya di sekolah tadi. Mulai dari rasa kantuk yang membuatnya tidur di kelas, teguran gurunya, hingga saat dia mengatakan bahwa gurunya punya kekuatan magis karena sok tahu tentang impiannya dan mengatai mimpi-mimpi itu sebagai hal yang bodoh. Akhirnya dia dibawa ke ruang BP dan diberitahu bahwa dalam seminggu ini dia telah lima kali masuk BP dan kali ini tidak ada maaf lagi.
“Begitulah, jadinya aku diskors.”
“Satu minggu, Lex? Itu gawat, adikku yang konyol! Minggu depan kamu sudah mulai ulangan umum akhir tahun. Kenaikan kelas, Alex! Kalau nanti kamu tidak naik bagaimana?” omel Andre.
“Itu betul, Alex. Kamu betul-betul keterlaluan.” Ibu dan ayahnya berkata dengan lesu –kecewa karena anak bungsunya itu betul-betul tidak bisa diatur.
“Itulah, Kak. Aku takut tidak naik kelas. Ya Tuhan, tolong aku!” ujar Alex sedih. “Bayangkan saja, masa aku diskors dan begitu masuk tahu-tahu langsung ulangan umum!”
“Mestinya itu kamu bayangkan sebelum kamu berbuat tidak sopan pada gurumu itu, Alex. Sekarang tidak ada gunanya menyesal.” kata ayahnya.
Ibunya mendengus. “Aku bahkan sangsi anak ini menyesal.”
“Betul kok, Bu. Aku menyesal sekali.” Alex bangkit mendekati kedua orang tuanya. “Aku menyesal, oleh karena itulah selama masa hukuman ini aku mau pergi ke Jakarta –ke tempat tante Martha. Aku harap aku bisa belajar banyak hal di sana dan bisa kembali ke sini dengan lebih baik. Aku janji, Bu. Aku tidak akan macam-macam di sana.”
“Tante Martha? Kamu mau ke sana?” tanya ibunya heran dan terkejut.
Alex mengangguk. “Iya, Bu. Tadi siang aku sudah telepon Oom Edwin dan dia mengizinkanku menginap di sana selama satu minggu ini. Boleh kan, Bu?”
Ayah dan ibunya menghela nafas panjang. “Kamu ini selalu saja aneh-aneh, Alex. Tapi untuk kali ini –ya, ayah dan ibu akan izinkan. Sudah saatnya kamu mencari tahu siapa kamu sebetulnya –jati dirimu, dan tempatmu di dunia ini. Kamu sudah mulai besar, kamu harus belajar untuk menjadi seorang pria dewasa, laki-laki sejati. You are not a boy anymore, you are a man. Dan –ya, ibu rasa memang Jakarta itu adalah tempat yang sangat tepat bagimu untuk mulai membuka mata.”
Alex mengangguk patuh.
Ayahnya menyentuh wajah Alex hingga berhadapan dengannya. “Kamu betul-betul yakin mau ke sana, Lex?”
Alex lagi-lagi mengangguk.
“Bukan untuk melarikan diri, kan?”
“Tidak.”
“Bagus.” Ayahnya memeluknya dengan penuh rasa sayang –membuat Alex terharu. Kemudian pria itu bangkit berdiri dan tersenyum pada putranya. “Sekarang pergilah ke kamarmu, siapkan segala yang akan kamu bawa besok pagi. Ayah dan semua yang ada di sini akan mendoakanmu, Alex.”
Alex mengiyakan.
Ayahnya tersenyum bijak. “Dan semoga saat kembali nanti, kamu benar-benar bisa menjadi seorang laki-laki.”
BAB V…



“Sayangku…! Akhirnya kamu datang juga!”
Febby berlari menuju pintu dan langsung memeluk Alex. Mereka sangat bahagia bisa bertemu lagi. Sudah lebih dari setahun kedua saudara sepupu itu tak pernah lagi berjumpa. “Hai, Feb. Tambah cantik saja kamu.”
“Iya dong, ganteng!” ujar Febby ceria seraya mencium bibir Alex sekilas. Gadis yang empat tahun lebih tua dari Alex itu pun lalu memeluknya lagi. “Coba pacarku semanis kamu, Alex. Aku pasti senang sekali.” katanya. Lalu dia membimbing Alex ke ruang keluarga untuk berbincang-bincang.
“Memangnya pacarmu masih yang dulu, Feb?” tanya Alex senang.
“O…iya, dong!” Febby merebahkan kepalanya di bahu Alex dan merangkul laki-laki itu.
“Hebat kamu.” Alex memujinya. Dia memeluk pinggang Febby. “Mana Oom dan Tante?”
“Papa di kantor. Mama lagi di salon. Oh ya, bagaimana denganmu sendiri?”
“Apanya?” tanya Alex.
“Ah, ayolah, Alex! Kita kan bersahabat, masa kamu mau merahasiakannya dariku?” ujar Febby kesal.
“Rahasia apa, Nona? Aku tidak punya rahasia apa-apa. Kecuali satu –bahwa aku datang ke sini karena diskors dari sekolah. Nah, karena itu sudah kukatakan, maka sekarang aku tak punya rahasia apa-apa lagi.”
Febby mengangga mendengarnya. “Skors? Waduh, itu menyeramkan. Aku saja tidak pernah. Waktu SMA aku hanya pernah dipanggil orang tuaku karena memakai cat kuku dan tidak ikut pelajaran agama. Tapi soal skorsing… tidak kebayang olehku.”
“Sama. Aku juga tidak pernah membayangkannya. Tapi itu toh kejadian.” Alex menjatuhkan diri di atas karpet. Febby kemudian berbaring di sampingnya.
“Kenapa kamu diskors? Ada masalah apa?”
“Menghina guru. Yang kelima kali dalam satu minggu.”
“Ternyata sepupuku ini memang sinting.” Febby berkata dengan ringan sambil tertawa. “Okey, sekarang kita kembali ke topik semula –yaitu kehidupanmu. Bagaimana, Alex? Siapa pacarmu sekarang?”
“Tak ada.”
“Masa?” Febby menyeringai jahil.
“He-eh.” Alex mengangguk serius. “Febby, kamu masih bekerja di sekolah mewah itu?”
“Ya, dan aku rasa tidak akan berhenti. Enak lho, Alex! Aku kan kuliah siang, jadinya sepanjang pagi hari aku tetap bisa kerja sebagai waiter di cafetaria high school itu. Tahu tidak, anak-anak yang sekolah di sana kaya-kaya semua. Aku yakin, pasti mereka menyumbang banyak.” Febby bicara tak henti-henti.
“Itu urusan mereka, lagi!” Alex menghentikan gosip yang sedang disebarkan sepupunya. “Hei, ngomong-ngomong aku lupa jurusan apa yang kamu ambil di kampus?”
“Ginekologi.”
“Wow.”
“Ya, dan dengar ya, Alex! Bila nanti aku harus memberikan penyuluhan seksual, pertama-tama aku akan mempraktekkan hal itu denganmu dulu. Karena aku yakin…” Febby mengusap-usap dada Alex yang bidang. “Bahwa kamu adalah teman bercinta terhebat sepanjang sejarah.”
“Ya, dan setelah itu anak kita akan terkena polio.”
Mereka berdua tertawa. Alex hanya bermaksud bercanda, namun agaknya Febby tidak bisa mengendalikan diri. Dia bergerak ke atas tubuh Alex dan menjepit kedua kaki laki-laki itu dengan pahanya yang kencang. “Kamu manis sekali, Alex…” Kemudian gadis itu menunduk dan menyurukkan kepalanya di leher Alex. “Oh… you’re so gentle, sweetie…” Febby mencumbunya.
Alex segera bangun dan berusaha menjauhkan diri darinya. “Jangan gila, Febby. Kamu saudaraku.”
“Aku tahu, tapi aku tergila-gila padamu, Alex. Sejak dulu –kamu tahu itu.” Febby merengek padanya dan merenggut dada Alex.
Alex menggengam tangan Febby dan berkata dengan serius. “Aku kira semuanya sudah selesai waktu itu.”
“Bagimu, mungkin memang iya. Tapi tidak untukku.”
“Itu harus untuk kita berdua. Aku kira kamu mengerti. Tidak ada apa-apa diantara kita, Febby. Tidak pernah ada dan memang tidak akan pernah ada. Karena itu tidak boleh, Febby. Kita ini satu keluarga.”
“Aku tidak akan menikah denganmu, kok! Kamu tahu caranya agar aku tidak hamil, kan? Aku hanya ingin menjadi pacarmu.”
“Itu lebih konyol. Saat terakhir kali kita bertemu –setahun yang lalu, aku kan sudah bilang bahwa semuanya yang pernah ada diantara kita itu hanya sebatas persaudaraan, persahabatan. Aku tidak mau kamu berfikir yang tidak-tidak, Feb!”
“Oh ya? Hanya saudara? Jadi begitu, ya? Termasuk ciuman panasmu waktu itu?” damprat Febby.
“Ya, termasuk juga itu. Waktu itu aku menciummu karena kamu yang mulai duluan.”
“Tapi kamu toh membalasnya.”
“Itu karena aku sayang padamu dan aku melakukannya hanya atas dasar persaudaraan, Febby. Sejak dulu aku kira kamu pun menganggapnya begitu. Oleh karena itulah, aku selalu tidak pernah keberatan atau marah apabila kamu menciumku, memelukku, merangkulku… bahkan waktu kamu dan orang tuamu menginap di Bogor, dan kamu bilang takut tidur sendirian sehingga kamu menyelinap diam-diam untuk tidur bersamaku, aku juga tidak marah. Walaupun sepanjang malam itu kamu selalu mendekap punggungku dan menempelkan perutmu ke pantatku pun aku tidak keberatan. Karena aku menganggapmu sebagai saudara, Febby!” kata Alex berapi-api.
“Aku tidak percaya. Karena kalau memang kamu menganggapku saudara betulan, mengapa kamu waktu itu tidur dengan hanya mengenakan celana dalam? Kenapa kamu tidak pakai baju?!”
“Mana aku tahu kamu akan datang?! Kamu kan tidak bilang sebelumnya!” Alex membentak.
“Lalu kamu mulai menjaga jarak denganku setelah keesokan harinya aku membangunkanmu dengan ciumanku?” tanya Febby.
“Bukan. Tapi aku mulai tahu apa maksudmu yang sebenarnya saat kamu tidak mau keluar dari kamarku dan memaksa untuk mandi di sana. Ditambah lagi, setelah itu kamu berjalan ke arahku dengan hanya mengenakan jubah mandi minimu itu. Dan kamu terlihat kesal sekali saat aku menolakmu. Saat itulah aku mulai sadar –tidak ada saudara manapun yang mau menyerahkan diri pada sepupunya sendiri. Itulah saat dimana aku tahu aku harus menghentikan segalanya.”
“Tapi kamu tahu aku tidak akan berhenti. Ingat, Alex. Kamu akan seminggu di sini.”
Saat itulah bel pintu berbunyi dengan nyaring. Tante Martha pulang dan menunggu dibukakan pintu. Dia memanggi-manggil nama Febby dan minta dibukakan kuncinya.
Febby bersiap-siap ke ruang depan untuk menyambut mamanya. Namun sebelum itu, dia menoleh pada Alex dan berkata dengan matanya yang bening seperti kucing.
“Ingat, Alex Razin. Aku tidak akan menyerah.”





















BAB VI…



“Stop! Stop!” seru Alex pada sopir bajaj itu saat dia telah sampai di depan gedung tujuannya. Setelah turun dan membayar ongkosnya, Alex segera berjalan perlahan menuju bangunan bercat broken white itu. Alex hampir-hampir tidak mengenalinya, sebab terakhir kali dia menginjakkan kaki di tempat ini dua tahun lalu, catnya masih berwarna putih bersih.
Alex sampai pada pintu gerbang dan sang satpam segera berlari untuk membukakan pintu baginya. Alex tersenyum geli dalam hati. Rupanya beliau tidak mengenalinya karena hari ini Alex memakai kaca mata hitam.
“Terimakasih, Pak.” ujar Alex sopan saat satpam itu menutup gerbang kembali. Dilihatnya satpam itu hanya mengangguk padanya sebagai jawaban. Alex pun berlalu ke dalam kompleks bangunan sekolah.
Disadarinya SMP itu telah mengalami beberapa perubahan. Sebagai contoh, sekarang ruang guru tidak lagi berada di lantai satu, tetapi di lantai dua. Pohon-pohon pun semakin rindang dan asri, namun tata letaknya yang artistik dibentuk sedemikian rupa agar tidak menghalangi sinar matahari yang masuk ke dalam tiap-tiap kelas. Tiang benderanya pun telah diganti. Dulunya tiang itu terbuat dari besi biasa –sekarang terbuat dari stainless steel dan dibagian bawahnya terdapat ukiran kayu yang bagus. Alex merasa bangga terhadapnya.
Kemudian dia berjalan menuju kamar mandi laki-laki yang kosong. Sedikit-banyak kamar mandi itu masih sama dengan saat dia belajar di sana dulu. Hanya saja sekarang ditambah satu bilik lagi –dulu hanya ada dua, sekarang tiga. Tapi, secara keseluruhan masih sama –baik itu penerangannya, wastafelnya, kran pancurannya, bahkan pintu-pintunya pun masih sama. Alex benar-benar merasa rindu pada semua itu.
Dengan tegap Alex berjalan menaiki tangga –satu lagi perubahan yang ditemukannya. Sekarang, di masing-masing sisi dinding terdapat lukisan hasil karya anak-anak ekskul kesenian. Alex menilai pekerjaan para siswa itu sangat baik –karena dia sendiri belum tentu dapat melukis sebaik itu.
Sesampainya di lantai dua dan menemukan cabang setelah tangga, dia membelok ke kiri. Dia ingat, bila belok ke kiri akan sampai ke ‘daerah kekuasaan guru-guru’ –itulah istilah yang diberikan anak-anak angkatannya dulu karena sayap kiri sekolah itu terdiri dari ruang guru, perpustakaan, meja piket, ruang kepala sekolah, ruang tunggu tamu, dan ruang tempat guru-guru bersantai. Sedangkan sayap kanan menuju ruang-ruang kelas –lantai tiga untuk kelas satu, lantai dua untuk kelas dua, lantai satu untuk kelas tiga.
Alex berjalan menuju meja piket dan menegur salah seorang guru wanita yang sedang bertugas, “Selamat pagi, Bu.”
“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?”
“Anak ibu sekarang usia berapa, Bu? Seingat saya, bulan Juli dua tahun yang lalu Ibu melahirkan, bukan?”
Wanita itu terkesiap kaget. Terkejut bukan main atas kata-kata pria muda yang sedang berdiri di hadapannya. “Kita… pernah bertemu sebelumnya?” tanya guru itu.
Alex tertawa. “Tentu, bertahun-tahun yang lalu, kita bertemu disini setiap hari.” lalu Alex membuka kaca mata hitamnya dan memandang gurunya dengan mata berkaca-kaca. Dia rindu pada sekolah ini, pada semua isinya, pada semua yang ada di sana.
Saat itu pula si guru terlonjak kaget. Dia serta merta berdiri. “Oh!” guru itu ternyata lebih sentimentil daripada Alex. Belum lagi tiga detik dia melihat muridnya, beliau langsung banjir air mata. “Alex… Alex… itu kamu, Nak!”
“Iya, Bu. Ini saya. Ini Alex, Bu.”
“Ya ampun…” guru itu menutup mulutnya dengan kedua tangan. “Alex… ya ampun, sudah besar sekali kamu sekarang. Kemari, sayang…” dia lalu langsung memeluk anak didiknya itu dengan erat dan penuh rasa sayang. Siapapun yang ada di sekolah itu memang merindukannya. “Sini, ikut ibu.” lalu guru itu membawa Alex ke ruang istirahat para guru. Didalam ruangan itu, dilihatnya banyak guru-guru sedang duduk menikmati kopi ataupun teh manis mereka. Beberapa ada yang sedang meneguk Coca Cola. Di pojok beberapa orang sedang main musik dengan gitar dan beberapa lagi menyanyi. Sebagian besar di dalam ruangan itu adalah guru laki-laki.
“Hei, sebentar dulu!” teriak guru wanita yang membimbing Alex itu pada rekan-rekannya.
“Ada apa, Bu Desi?” tanya Pak Yoyo –guru Fisika.
“Lihat dulu, dong! Siapa yang datang!” serunya. Lalu dia menarik Alex masuk. “Masih ingat dia?”
Alex tersenyum lembut. “Pagi, Pak, Bu.”
“Alex…!!!” para guru itu langsung meninggalkan aktivitas mereka dan berlari menuju pintu dimana Alex berdiri. Mereka bergantian memeluk Alex dan menepuk-nepuk bahunya. Senang betul mereka dapat bertemu lagi dengan anak yang paling mereka sayangi. Lalu Bu Leni –guru bahasa inggrisnya dulu, membimbing Alex masuk ke dalam ruangan dan menyuruhnya duduk.
“Ada apa nih, kamu datang ke sini? Tumben sekali kamu datang ke Jakarta. Memangnya kamu lagi libur di Bogor sana?” tanya Pak Yoyo.
“Tidak, Pak.”
“Lalu? Kok, kamu bisa ke sini?”
Alex memandang ke seluruh penjuru ruangan yang sedang menatapnya –menunggu jawaban. Alex tahu, dia harus mengatakan yang sebenarnya. Mereka semua adalah guru-gurunya –pernah membimbingnya dan telah berusaha menjadikannya anak yang berguna. Dan sekarang, mereka harus tahu anak seperti apa hasil didikan mereka ini. “Saya ingin disini lagi, Pak. Saya tidak mau kembali ke sana. Saya tidak mau… saya cuma mau ikut Bapak…” Alex berkata dengan lirih dan memandang gurunya dengan tatapan memohon. Air mata perlahan keluar dari sudut-sudut matanya. Dia menekuk kakinya di atas sofa dan membenamkan kepalanya dalam-dalam. Alex mulai menangis.
“T.. tapi kamu kenapa begitu, Alex? Apa apa, Nak?” Pak Yoyo mengelus rambut anaknya itu dengan penuh kasih sayang.
“Pokoknya saya tidak mau…! Mereka jahat! Mereka jahat sama saya!”
“Tidak, Alex… itu tidak benar. Tidak ada satu guru pun yang berbuat jahat pada siswanya. Mereka pasti sayang sama kamu. Kamu anak baik, kok. Kalau pun mereka memarahi kamu, itu pasti karena mereka sangat sayang pada kamu dan tidak ingin kamu berbuat kesalahan.”
“Tidak! Mereka jahat! Mereka mengusir saya!”
Seluruh guru yang ada di ruangan itu terkejut mendengarnya. “Mengusirmu? Apa-apan ini? Apa maksudmu?”
“Iya… mereka bilang begitu… Katanya… katanya…” Alex menangis tersedu-sedu hingga tak bisa bicara. Setiap kali ingin membuka mulut, kata-katanya tersedak oleh air mata.
“Katanya apa? Bicaralah, Alex. Jangan sedih begitu.”
“Katanya… mereka bilang saya ini… saya ini tidak berguna… katanya saya… saya lebih baik tidak usah sekolah saja. Mereka bilang… kata mereka… mereka tidak suka melihat saya…” Alex menangis semakin menjadi-jadi.
“Tidak mungkin.” Pak Yoyo terbeliak. “Itu tidak mungkin. Memangnya apa yang kamu lakukan sampai mereka marah begitu padamu.”
“Saya… saya tidak suka mereka. Saya tidak mau dengar apa yang mereka katakan. Saya tidak suka, saya tidak mau sekolah di sana. Saya tidak mau tinggal di Bogor. Saya mau di sini saja… saya mau tinggal sama tante Martha saja. Saya mau sekolah… sekolah di dekat sini saja…” Alex mengusap matanya. “Ini semua gara-gara ayah.”
“Huss… jangan bilang begitu, Alex. Ayahmu sayang padamu. Makanya dia memutuskan untuk menghentikan pendidikanmu di Jakarta dan membawamu kembali ke Bogor. Kan, dulu kamu sendiri yang bilang bahwa kamu sering digoda oleh sepupumu. Dan untuk menyelamatkanmu, makanya ayahmu tidak membiarkan kamu tinggal serumah lagi sama anak itu. Kamu harus mengerti dong, Alex. Hidup perlu pengorbanan. Tidak bisa kamu menuntut semuanya harus kamu dapatkan. Kamu harus memilih –bebas dari sepupumu tapi sekolah di Bogor, atau sekolah di sini tapi tinggal bersama sepupumu atau kos. Dan Bapak yakin kamu tidak akan siap bila di suruh tinggal sendirian di kos-kosan begitu.”
Alex mengangguk. “Saya tidak mau kos. Saya tidak mau tinggal sendiri. Saya tidak mau tidak punya teman.”
“Nah, kalau begitu lalu apa masalahnya?” ujar gurunya sambil tersenyum.
“Guru-guru itu benci pada saya.”
“Tidak.”
“Iya.”
“Tidak.”
“Iya, kok!” seru Alex sedih. “Mereka selalu saja kesal pada saya. Saya tidak pernah mengerjakan tugas dan tidak mau membuat PR. Mereka membosankan, tapi mereka selalu memarahi saya bila saya melamun di kelas. Padahal yang sebetulnya tidak enak didengarkan adalah mereka sendiri.”
“Mengapa kamu jadi nakal begitu, Alex? Selama SMP kamu betul-betul adalah murid yang baik.”
“Pokoknya saya tidak mau di sana. Dua tahun saja cukup….”
Pak Yoyo menggenggam tangan Alex dengan hangat. “Alex, pernah dengar peribahasa ‘tak kenal maka tak sayang’?” tanyanya.
“Iya.”
“Nah, dalam hal ini juga berlaku prinsip yang sama. Mereka galak pada kamu, karena kamu duluan yang membuat mereka seperti itu.”
“Kenapa begitu?” tanya Alex protes.
“Iya, dong! Coba pikir. Awalnya kamu kesal di suruh masuk SMU di Bogor. Kamu inginnya di sini saja. Makanya, kamu jadi malas dan uring-uringan belajar di sana. Tidak ada niat untuk mencintai sekolah itu dalam hatimu. Jadilah kamu sering melamun. Saat kamu ditegur, kamu malah bertambah kesal. Kamu berpikiran: sudah tidak senang sekolah di sini, dimarahi pula. Oleh karena itulah kamu jadi tidak mau menghormati mereka dan tidak mau belajar dengan giat. Lalu karena kesal, kamu tidak membuat tugas –dan mereka marah lagi sama kamu. Kemudian karena dimarahi lagi, kamu tambah tidak mau patuh. Dan itu membuat gurumu semakin panas. Selama ini kalian saling membalas. Satu menembak, disusul tembakan yang lain. Bila terus menerus begitu kapan selesainya? Kamu harus mengalah, karena dalam hal ini kamulah yang salah. Kunci kebahagianmu ada pada dirimu sendiri, Alex.”
Alex terkejut mendengarnya dan segera mendongakkan kepala. Dan saat dia melihat mimik lembut seluruh guru yang baru saja menenangkan hati dan perasaannya, maka sadarlah ia.
Mungkin juga –mungkin sekali, semua yang mereka katakan itu benar adanya.





































BAB VII…



“Alex, ada telepon buatmu.”
Alex segera berlari menuju ruang tengah tempat pesawat telepon diletakkan dan langsung duduk di kursi tunggal yang ada di sisi kiri benda itu. Pasti telepon dari ibunya.
“Hai, Bu.” ujarnya ceria.
“Heh, loe kira ini nyokap lo? Gila loe! Gue masih kecil, belum punya anak. Begituan aja belum pernah.” jawab orang di seberang sana.
Alex terperangah dengan jawaban itu. “Ini emangnya siapa?”
“Herry.”
“Oh… Herry! Ada apaan, Her? Lagi kaya, ya? Tumben amat loe mau nelfon interlokal? Loe biasanya kan pelit.”
“Gila loe!” Herry terdengar geli. “Gue tadi nelfon ke rumah loe tapi kata babe loe, loe lagi di Jakarta. Terus gue dikasih nomernya, dan ya udah gue telfon loe.”
“Emangnya ada apa? Kok kayaknya penting banget.”
Herry menarik nafas panjang. “Emang iya. Gini lho, Lex…” dia terdengar sulit mengatakannya. “Gue mau ngasih tahu elo soal ini karena loe udah gue anggep saudara gue sendiri, ya. Jadi, tolong loe jangan marah dan loe dengerin apa kata gue ini baik-baik.”
“Iya. Apaan sih, Her?”
“Loe tahu kan, kemarin edisi terbaru majalah sekolah kita terbit? Nah, coba tebak siapa yang jadi model di cover-nya!”
“Hmm…” Alex berfikir. “Enggak. Siapa, sih?”
“Elo, tahu! Dan pose loe itu bener-bener ancur, Lex. Loe inget enggak waktu loe mandi di hall basket dan difoto sama Bimbo? Nah, foto itu dia yang dipake untuk sampul majalah kita!”
“Ha?!” Alex berseru kaget. Kepanikannya mulai muncul. “Ta… tapi kan waktu itu gue enggak pake baju, Har! Gue cuma pake handuk pendek yang gue lilitin di pinggang.”
“Justru itu, Lex! Makanya gue nelfon elo. Guru-guru kita pada kesel banget sama elo. Mereka nganggep elo itu udah jelek banget. Apalagi guru agama, dia bilang elo itu anak yang enggak punya moral. Dan denger-denger gosip, nanti pas loe masuk mau dipanggil Kepala Sekolah. Soalnya, majalah itu kan enggak hanya dipublikasikan di kalangan sekolah, tapi juga di luaran. Nah, dia ngerasa gara-gara gambar loe yang seksi abis itu, citra sekolah kita rusak.”
“Tapi kan gue enggak tahu apa-apa, Her.”
“Iya, gue percaya. Tapi emang pose loe di gambar itu keterlaluan, Lex. Tahu enggak, di sana elo itu kelihatan seksi banget, dan raut muka loe itu –walaupun gue tahu loe enggak sengaja, tapi gue sendiri akuin emang muka loe itu erotis banget. Kayak ngajak gituan…”
Alex menjadi semakin panas mendengarnya. “Eh, Herry! Kok, loe ngomong gitu sih, sama temen loe sendiri. Maksud loe sebetulnya tuh apa?!” ujarnya kesal.
“Gue enggak ada maksud mau ngeledek elo, kok! Gue hanya mau bilang gitu. Dan ditambah lagi, semua anak-anak cewek yang beli majalah itu pada ngeliatin elo dengan tampang pengen, gitu!” Herry menarik nafas lagi. “Eh, udah dulu ya. Gue di wartel, nih. Duit gue udah enggak cukup lagi. Alex, gue enggak tau deh apa yang bakal loe hadapain di sekolah nanti. Gue cuma bisa doain semoga elo bisa jaga diri baik-baik.”
“Thanks.”
Setelah gagang telepon itu dia letakkan kembali di tempatnya, kini Alex duduk termenung sendirian di ruang tengah. Dia tak mengerti –betul-betul tidak mengerti.
Mengapa Bimbo setega itu padanya? Mengapa dia harus menyerahkan foto itu pada redaksi majalah sekolah?
Dan mengapa Siska yang jelas-jelas sudah tahu bahwa dirinya diskors dan sedang punya masalah berat dengan pihak sekolah, malah menerbitkan majalah dengan dirinya sebagai sampul? Padahal gadis itu tahu pastilah hal itu akan semakin mendidihkan jajaran petinggi sekolahnya.
Mengapa sepertinya seluruh teman-temannya, guru-gurunya –yang seharusnya bersatu dengannya, malah seolah-olah ingin menggantung nasibnya dalam aura ketidakjelasan. Mengapa mereka dengan kesadaran penuh malah membuatnya terkurung selamanya di dalam lubang hitam sekolah itu?
Sekolah itu buruk –kurang fasilitas, anak-anaknya kurang baik, guru-gurunya tidak kompeten, lokasi tidak starategis, standar mutu dibawah unggulan, kurang terjaga kebersihan dan keartistikkan tata letak bangunan. Luasnya juga tidak seberapa. Sejak pertama menginjakkan kaki di sekolah itu, Alex sudah tahu itulah mimpi buruk yang akan selalu menghantuinya selama tiga tahun kedepan.
Alex memang tidak pernah ingin masuk sekolah itu, tapi selama ini dia tak tahu bahwa dia juga ternyata tidak pernah diinginkan disana. Dia hanyalah anak buangan, tidak ada yang peduli padanya. Dia telah mengecewakan keluarganya dengan tingkahnya yang buruk itu. Dan kini Alex tahu dia tak mau lebih lama lagi menyusahkan orang tuanya. Mungkin –mungkin sekali, kehidupan orang-orang disekitarnya malah akan jauh lebih bahagia tanpa dia. Dengan perasaan tidak keruan Alex berjalan tertatih-tatih menuju kamarnya.
Sedih.
Kesal.
Marah.
Terhina.
Kecewa.
Tersinggung.
Terkhianati.
Sekarang sudah jelas, dia memang tak punya teman sejati di dunia ini –dan mungkin juga di galaksi ini. Bahkan mungkin yang namanya teman setia itu memang hanya omong kosong.
Alex memandang isi lemari pakaiannya. Baju-bajunya semua ada, hanya baju seragam saja yang masih tertinggal di Bogor –dan itu bisa dia beli lagi nanti. Sekarang dia meraih kopernya, dan mulai mengemasi barang-barang.
Hanya Clem-lah temannya. Satu-satunya, hanya anjing itu. Alex tersenyum kecut dalam hati. Nanti, bila malam telah tiba dan sang dewi malam telah menampakkan dirinya, Alex akan menjemput Clem. Lalu secepat kilat dia akan merekayasa surat-surat akademiknya, dan memalsukan wewenang pihak sekolahnya. Di sudah tahu dimana dia akan sekolah nanti; dia tahu dimana harus tinggal; dia tahu harus menjalaninya dengan siapa.
Dengan Clem.
Lalu mereka berdua akan pergi.
Dan kali ini Alex tahu mereka tak akan pernah kembali.


























BAB VIII…



Dia menekan saklar salah satu lampu. Yap, sudah cukup. Cahaya yang sangat sedikit itu cukup untuk membantunya melakukan apa yang harus dia lakukan. Dan karena cahayanya sangat redup, dari luar tak akan terlihat sama sekali. Malam ini sangat sepi –tak seorang pun akan menemukannya.
Pak Johan si satpam pulang ke rumahnya setiap malam. Seluruh tukang sapu –yang hanya dua orang itu juga melakukan hal yang sama. Pintu belakang maupun gerbang digembok, namun siapapun yang ada di sekolah itu rupanya terlalu bodoh dengan membiarkan pagar yang tingginya hanya satu setengah meter. Dengan sangat mudah Alex bisa melompatinya.
Dia mengendap-endap menuju ruang tata usaha yang berada di pojokan. Lalu dengan segenap keterampilannya, dia memanjat lewat bingkai-bingkai jendela hingga mencapai lubang ventilasi yang besar dan tidak berjeruji. Dengan tangan kirinya Alex merobek kasa nyamuk yang ada hingga terkoyak-koyak dan melompatlah dia masuk dari situ.
Alex berjalan dalam kegelapan menuju kotak kunci dan meraih semua kunci yang diperlukannya. Kemudian tanpa membuang-buang waktu dia membuka kunci pintu ruang tata usaha, keluar dengan mulus, lalu berlari menuju ruang Kepala Sekolah.
Alex menggunakan kunci ketiga untuk membukanya. Dengan mulus, kini dia telah berada di dalam ruangan itu dan menyalakan satu lampu remang-remang untuk menunjang pekerjaannya.
Segera dia menuju lemari arsip dan mencari-cari buku raportnya. Lalu dia membuka halaman belakang dan menemukan lembaran KETERANGAN PINDAH SEKOLAH. Lalu Alex mencari kolom untuk diisi pihak sekolah asal. Dan dengan sangat hati-hati dia menuliskan namanya, tanggal dia meninggalkan SMU ini, dan menuliskan nama Kepala Sekolahnya. Alex puas dengan tulisannya –sangat mirip dengan tulisan KepSek-nya itu. Ternyata tak sia-sia usahanya berlatih memalsukan tulisan pria itu selama empat jam non-stop tadi siang.
Lalu Alex merogoh tas yang dibawanya dan mengambil sehelai karbon. Dia meletakkan karbon itu diatas kertas raportnya, dan menindihnya dengan sebuah potongan tanda tangan KepSek yang disimpannya sejak dulu. Lalu dengan sangat mulus, dia berhasil meniru tanda tangan pria itu. Agar lebih meyakinkan, dia menebalkannya dengan spidol hitam. Lalu dengan meraba-raba dia mengambil cap sekolahnya dari atas meja KepSek dan kemudian mengesahkan lembaran surat pindahnya itu sebagai sentuhan akhir sang seniman jalanan.
Satu tugasnya telah selesai.
Dengan hati-hati Alex membuka lagi tasnya dan memasukkan buku raport itu. Lalu dengan seringai liciknya dia mengeluarkan dua lembar kertas bertuliskan komputer yang dia ketik di sebuah warnet tadi siang. Dua lembar itu adalah SURAT KETERANGAN PRILAKU BAIK dan SURAT PERNYATAAN BEBAS NARKOBA.
Dengan cara yang sama Alex membubuhkan tanda tangan Kepala Sekolahnya di atas materai yang ditempelkannya dikedua surat palsu itu, dan kembali mengesahkannya dengan cap sekolah.
Setelah kedua tugas utamanya selesai, dia menuju lemari penyimpanan trophy-trophy yang telah didapatkan sekolahnya atas prestasi yang diraih para siswa di sekolah ini. Dengan bergegas Alex melewati bagian piala –siapa peduli dengan piala! Lalu dia membongkar bagian piagam. Dengan cermat dia mengambil apa yang seharusnya memang menjadi miliknya –juara tiga tim basket sekota madya, juara dua tim sepak bola, juara seJawa Barat untuk lomba bridge, penghargaan untuk anak paling berbakat dalam ekskul panahan, juara satu lomba percakapan bahasa inggris, juara satu lomba cerdas cermat, runner up 1 lomba baca puisi, dan juara favorit menulis mini novel.
Dia memasukkan kedelapan piagam itu ke dalam tasnya dan bergegas mematikan saklar lampu ruang Kepala Sekolah, berjalan keluar dan menguncinya kembali. Lalu dengan berlari Alex menuju ruang tata usaha, membuka pintunya, menguncinya lagi dari dalam, dan lalu mengembalikan seluruh kunci yang dipinjamnya ke kotak kunci dalam keadaan persis seperti semula –setelah sebelumnya dilap dan dibersihkan dari sidik jarinya.
Lalu dengan berhati-hati dia naik ke atas meja, menginjak bingkai jendela, dan sampailah pada lubang ventilasi tempatnya masuk tadi. Alex melompat keluar dengan lancar dan segera berlari menuju pagar. Masa bodoh kasa nyamuk itu rusak –palingan mereka hanya berfikir itu hasil perbuatan tikus nakal. Lalu dengan satu loncatan jitu, Alex telah berada di luar sekolahnya lagi.
Sudah pasti Kepala Sekolahnya akan merasa bingung tentang raport hilang itu. Namun, beliau tak akan mampu berbuat apa-apa. Karena dia pasti ingin nama baiknya selalu terjaga. Pasalnya, siapapun pasti akan mengatakan betapa bodohnya Kepala Sekolah yang bisa ditipu mentah-mentah oleh sang murid di depan batang hidungnya sendiri. Dan selama pengamatan Alex dua tahun ini, KepSeknya adalah orang yang sangat arogan. Sudah pasti dia akan lebih memilih untuk membiarkan Alex pergi dengan tenang daripada harus mencoreng dan mempermalukan nama baiknya sendiri.
Laki-laki remaja itu langsung berjalan menuju tiang listrik dimana dia mengikatkan Clem. Dengan hati berdebar baru disadarinya betapa berbahaya perbuatannya barusan. Bagaimana bila ada yang memergokinya? Bagaimana bila tidak tidak bisa keluar lagi? Bagaimana bila dia gagal?
Ah, itu tak usah dipikirkan. Semuanya sudah selesai, dan dia berhasil.
Alex dan Clem berjalan menuju WC umum. Dan didalam WC itu, Alex untuk terakhir kalinya memeriksa perlengkapannya.
Raport –yap. Surat keterangan baik dan bebas narkoba –yap. Piagam –yap. Dompet –yap. Uang banyak –yap. Roti –yap. Dan Alex membuka ritsleting tas pinggangnya. Dia tersenyum melihat persiapan akhirnya itu. Ya, manusia memang tak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya. Oleh karena itulah kehidupan mempunyai arti.
Pisau lipat –yap.







































BAB IX…



“Martha, Alex betul-betul tidak ada disana?” Fariz bertanya dengan cemas pada adik perempuannya itu.
“Iya, betul, kok! Aku juga tidak tahu dia mau kemana. Malah, aku baru saja mau menelpon kamu. Aku kira kamu yang lebih tahu, soalnya kan kamu adalah ayahnya!” jawab Martha.
“Iya, itu benar. Aku memang ayahnya. Tapi nyatanya dia malah tidak mau aku tahu dia ada dimana sekarang. Bila dia betul-betul menganggapku sebagai ayah, dia tidak akan kabur seperti ini.”
“Ada masalah apa sebetulnya dalam keluarga kalian, sih? Rasanya aneh bila dia minggat begitu saja. Setahuku, walaupun sedikit nakal dan suka membangkang, Alex adalah anak yang baik dan tidak suka macam-macam.”
“Dulu pun aku kira begitu.”
“Lagipula, dia paling tidak tahan hidup sendirian. Kos saja tidak mau, apalagi minggat seperti ini. Aku betul-betul tidak habis pikir.”
Fariz menarik nafas panjang. “Aku lebih tidak keruan lagi, Tha. Apalagi istriku, dia lebih kacau.”
“Kuharap Mila bisa menguasai dirinya. Tapi yang lebih ku khawatirkan, bagaimana Alex bisa bertahan hidup sendirian.”
“Dia tidak sendirian. Clem bersamanya.”
Martha mencibir. “Anjing itu? Apalah gunanya anjing? Hanya akan merepotkan saja.”
“Tapi Alex sangat menyayangi anjingnya itu dan binatang itu juga. Mereka selalu bersama-sama. Setidaknya, selama Clem masih menemani Alex, aku bisa sedikit tenang. Anjing itu tak akan membiarkan tuannya terluka sedikit pun.”
“Aku harap begitu.” Martha kemudian berkata dengan penuh rasa harap. “Oh ya, Riz. Aku kira aku tahu dimana dia sekarang. Dia kan sangat ingin sekolah di SMA Jakarta yang waktu itu sering dia sebut-sebut, mungkin saja sekarang dia sekolah di sana. Cari saja dia, Riz.”
“Tidak akan.”
“Tidak?” Martha melotot.
“Tidak, aku tidak bisa, Martha. Sebelum pergi, di depan pagar dia meletakkan sebuah surat. Katanya, dia akan pergi untuk waktu yang lama. Dan dia baru akan kembali bila dia sudah berhasil dan punya sesuatu untuk dibanggakan. Tapi bila dalam kurun waktu itu aku berusaha mencarinya, dia bilang justru dia malah tidak akan pernah kembali selamanya.”
“Itu pelajaran buatmu, Fariz. Sejak dia kecil kamu selalu bilang padanya: Alex, cobalah untuk menjadi laki-laki sejati!” Martha tertawa sepat. “Dan sekarang dia pergi untuk memenuhi kewajiban yang kamu limpahkan padanya itu.”
Fariz berkata dengan kosong, “Padahal bila mengingat alasannya pergi dari rumah ini –bahwa dia ingin pergi mencari sesuatu yang dapat dibawanya pulang dengan rasa bangga, sepertinya Alex-ku telah betul-betul menjadi seorang laki-laki.” ujarnya hampa. “Tapi sayangnya dia tak sadar akan hal itu.”
















BAB X…



Alex duduk bersebelahan dengan Tante Frida –induk semangnya. Satu hal lagi yang disyukuri Alex, dia kini bisa tinggal di kos-kosan yang penghuninya baik-baik. Bahkan, nyonya rumah beranak satu itu bersedia menjadi walinya di sekolah.
Untuk mendaftarkan diri di SMA ini, Alex beralasan bahwa orang tuanya ada di Bogor dan tidak bisa mewakilinya. Dan sebagai wali, mereka telah menunjuk Frida –yang dikatakan Alex adalah sahabat dekat keluarganya, walaupun pada kenyataannya mereka baru berjumpa kurang dari 36 jam.
Kemarin, Alex telah menceritakan semua kehidupannya pada tante Frida supaya wanita itu mengerti posisinya. Dan seperti harapannya, Frida bersedia menjadi walinya dan Alex merasa sangat senang dengan itu. Alex berjanji hanya akan merepotkan induk semangnya itu bila ada rapat orang tua murid, rapat BP3, pengambilan raport, dan lain sebagainya. Mengenai uang bayaran sekolah dan biaya-biaya lainnya, Alex berjanji akan mengurus pembayarannya sendiri. Dia anak orang kaya, tabungannya lumayan banyak dan dari bunga tabungan itu, Alex bisa hidup lebih dari sederhana –bisa membayar urang sekolah sendiri, sewa kamar kos yang baik, dan ongkos transport yang cukup. Bila dia mau beli-beli barang lain pun ada sisanya –termasuk untuk makanan Clem. Disamping itu, Alex telah berjanji untuk tidak berbuat macam-macam yang bisa membuat tante Frida dipanggil oleh guru BP ke sekolah. Setelah mengucapkan semua sumpah itu, tante Frida akhirnya bersedia datang ke sekolah barunya untuk menandatangani surat masuk Alex.
“Nah, Alex Razin, kalau boleh Bapak tahu, mengapa dulu kamu keluar dari SMA itu?” tanya Kepala Sekolahnya yang baru. “Kalau Bapak lihat, prestasimu sangat baik. Kamu sering jadi juara umum, dalam lomba-lomba non-akademik pun kamu sering menang. Bahkan di surat pengunduran dirimu, terlampir surat kelakukan baik. Rasanya tidak ada alasan kamu keluar dari sana. Ada apa sebetulnya?”
“Saya malu dengan orang-orang di sana. Seperti yang Bapak ketahui, mantan sekolah saya itu punya majalah sekolah. Nah, seorang teman saya memotret saya saat sedang mandi dan kemudian memberikan hasil foto itu ke redaksi dan diterbitkan. Coba Bapak bayangkan betapa malunya saya. Pokoknya saya tidak mau sekolah di sana lagi.” ujar Alex beralasan. Hal itu betul –walau hanya 80%. Selebihnya –tentang skorsingnya, kemalasannya, kenakalannya, rasa antipatinya kepada sekolah itu; tidak diceritakannya.
“Hanya itu?” tanya KepSeknya.
“He-eh.”
Kepala Sekolah itu mengangguk-angguk. “Baik, Alex. Sekarang kamu bisa ikut Bapak. Bapak akan antarkan kamu ke perpustakaan untuk mengambil buku-buku paket. Kemudian kamu bisa pulang, lalu besok jangan lupa datang pagi-pagi untuk menemui Bapak dan melihat kelasmu, ya?”
“Iya, Pak.”
Kepala Sekolah itu tersenyum melihat siswa barunya yang rapi ini –rambut berpotongan klasik, hitam legam tanpa pernah bersentuhan dengan cat; bibir ceria yang merekah manis tanpa ternoda oleh rokok; dagu yang bersih dari kumis dan jenggot; kulit yang putih mulus dengan aroma lembab maskulin. Pakaiannya pun bersih rapi –sangat pas ditubuhnya dan enak dilihat. Sepatunya bagus, tidak baru namun terawat. Jam tangannya fungsional. Tas sekolahnya bermerk pula. Anak ini baik, pandai, dan tentu saja punya uang –akhirnya dia tiba pada kesimpulan itu.
“Soal bayarannya kita bicarakan segera.” ujarnya pada Alex dan Frida.
Alex menoleh pada tante Frida –membuat wanita yang dari tadi hanya senyam senyum itu akhirnya sadar akan perannya dalam sandiwara ini. Dengan terbata-bata dia menjawab, “Tentu, tentu saja, Pak. Terimakasih.”
“Terimakasih.” Alex juga ikut-ikutan menjawab. Setelah itu mereka berjalan keluar dari ruang Kepala Sekolah untuk pulang. Sebelumnya, Alex minta izin untuk mengitari sekolah dulu. Dia ingin melihat-lihat.
Boleh, jawab Kepala Sekolahnya. Maka, Alex pun berjalan mengitari bangunan itu. Pohon-pohon dipangkas rendah, lapangannya bersih dari rumput. Rumah kaca terletak di pojok belakang. Tiang bendera terbuat dari besi. Ruang kelasnya lumayan terawat, didominasi warna cream. Secara keseluruhan sekolah negeri itu sangat baik keadaannya –sudah pasti dengan uang gedung yang mahal. Memang sekolah itu tidak menonjolkan unsur alamnya dengan tanaman yang dipangkas hampir gundul itu. Namun gaya metropolitan yang ingin ditonjolkannya betul-betul dominan. Setidak-tidaknya, Alex suka sekolah itu.
Dia tahu dia akan senang sekolah di sini. Dia akan menghargai jerih payahnya untuk bisa sampai ke sini. Karena mau tidak mau, dia tetap harus mengakui bahwa jalan yang ditempuhnya untuk sampai ke titik ini sangatlah panjang dan membahayakan.
Agaknya Alex lega telah berhasil sampai ke sini. Walau rintangannya hingga di sini sangat panjang, namun Alex akhirnya sadar akan satu hal.
Di sinilah segalanya baru akan dimulai.



***



Alex duduk di teras rumah sambil memainkan gitarnya. Clem melingkarkan ekor di kaki majikannya itu.
Malam ini dingin, terlebih lagi bagi Alex. Udara dingin itu bertambah dingin lagi dengan suasana hatinya yang bagaikan musim salju abadi. Dia memang mandiri sekarang, hidup sendiri, berpijak di atas kakinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Namun apapun sebutannya, dia tetaplah seorang anak, dan dia punya orang tua, dia punya keluarga. Keluarga yang sangat dia cintai. Dan kini mereka tak ada di sini untuknya.
Oh, bukan!
Bukan mereka yang tak ada, namun Alex-lah yang tak ada di sana untuk mereka.
Sekarang dia berada di sini –di ibukota Jakarta, bersekolah di sekolah unggulan di sana, menjadi salah satu siswa terpopuler di sana, dan tinggal bersama wanita yang selama ini tidak pernah dia ketahui keberadaannya di dunia.
Alex tersenyum sendu.
Namun cobalah lihat siapa dia dua hari yang lalu.
Dia seorang bocah remaja bandel yang sedang dihukum karena kurang ajar pada gurunya. Kerjaannya setiap hari hanya menggerutu tentang sekolah yang merupakan mimpi buruk baginya. Satu-satunya tempat dia mengadu adalah keluarganya –keluarga yang kini terpisah berkilo-kilo meter darinya.
Bila dipikir, lucu memang. Manusia tak pernah tahu apa yang akan terjadi dalam kehidupannya. Oleh karena itulah kehidupan menjadi berarti. Arti sebuah kehidupan yang penuh dengan misteri.
Alex menghela nafas panjang. Bagaimana mungkin kehidupan –atau setidaknya: hidupnya, bisa berubah sedemikian drastisnya dalam waktu dua hari?
Dan kini, mau tidak mau, satu hal yang harus diakuinya –suatu kenyataan yang kini mesti disadarinya, bahwa seorang putra bungsu keluarga Razin kini telah betul-betul…
Menjadi seorang laki-laki.

















BAB XI…



“Untuk semester kali ini, jumlah nilai tertinggi untuk kelas tiga IPA diraih oleh… Alex Razin dari kelas 3 IPA 2. Kepada Alex dimohon maju ke depan.”
Alex memekik kegirangan saat mendengar namanya disebut sebagai siswa terbaik semester 1 untuk tingkat IPA. Ya Tuhan, itu menakjubkan sekali.
“Alex… Alex… maju loe! Cepetan, maju! Tuh liat, pialanya udah di siapin buat elo! Cepet, dong!” ujar kawan-kawannya.
Alex segera berlari ke depan lapangan dan menerima ucapan selamat dari guru-gurunya, serta pelukan hangat dari bapak wali kelasnya itu. “Selamat ya, Nak!” itulah yang mereka semua ucapkan. Dan Alex betul-betul merasa takjub dan enggan percaya bahwa dia tidak sedang bermimpi. Dia siswa baru di sini, dan dia langsung mendapatkan penghargaan dalam pencapaian prestasi yang luar biasa baiknya.
Kalau saja orang tuanya ada di sini, sudah tentu mereka akan sangat bahagia.
Dengan bangga Alex mengangkat piala yang diterimanya tinggi-tinggi. Koordinator ekskul fotografi di sekolahnya memintanya untuk tersenyum dan anak itu secara ringkas mengambil fotonya. Alex tertawa kecil sebagai ucapan terimakasihnya kepada seluruh kawan-kawan yang dia sendiri akui bahwa mereka telah banyak membantu kelancaran kegiatan belajarnya.
Semua anak itu menghormatinya –satu hal yang dia kagumi dari sekolah ini: tidak ada senioritas dan tak ada perpeloncoan. Semua siswa –mulai dari kelas satu, dua, dan tiga, merupakan satu keluarga besar yang solid. Memang dalam hal akademik, tentu saja siswa kelas dua dan tiga pastinya lebih unggul. Namun itu sama sekali tidak menimbulkan jarak antara mereka dan adik-adik kelasnya.
Berbulan-bulan lalu, saat Alex pertama masuk di sekolah ini, kawan-kawannya sekelas dengan ringan tangan membantunya beradaptasi dan berkenalan dengan rekan-rekan satu angkatannya. Guru-gurunya pun dengan senang hati bersabar dengannya bila dia mengalami sedikit kesulitan dalam belajar dan bila anak baru itu terkadang lupa pada nama-nama mereka. Dan kakak-kakak kelasnya tidak segan-segan menawarkan diri untuk memberikan bantuan berupa bimbingan kalau-kalau Alex membutuhkannya.
Secara global, Alex menyukai sekolah ini. Ternyata anggapan bahwa satu-satunya sekolah yang bagus adalah SMPnya dulu, merupakan anggapan yang salah. Memang SMP itu bagus –sangat bagus, namun ada pula sekolah lain yang sama bagusnya. Sebagai contoh, lihatlah SMA ini. Sekolah ini baik, tidak kalah dengan SMPnya dulu. Alex kini sadar, keduanya tidak bisa dibandingkan. Mereka berdiri di tingkatan yang berbeda, membimbing siswa mempelajari hal-hal yang juga berbeda, dan keduanya juga mempunyai standar mutu yang berbeda pula. Bagaimana mungkin mesjid bisa disamakan dengan gereja? Mereka sama-sama tempat ibadah, namun berdiri untuk agama yang berbeda. Sama halnya dengan SMP dan SMAnya. Mereka sama-sama sekolah, namun dengan tingkat yang tidak sama.
Lagipula, sekarang Alex telah belajar banyak hal.
Dia tidak lagi memandang uang sebagai salah satu kebutuhan primernya. Memang betul, dia memerlukan uang. Namun dia tidak hidup untuk uang. Dia bukan lagi remaja kolot yang akan menderita bila uang sakunya kurang, atau akan marah-marah bila tidak diberi jatah ikutan lomba go-kart, dan dia juga bukan anak yang dengan mudahnya menghamburkan uang bila memang dia ingin melakukannya. Alex telah berubah.
Kini dia tahu untuk apa uang itu dicari. Dia tahu betapa sulitnya mengumpulkan yang namanya uang sehingga dia tidak lagi seroyal dulu. Dia berusaha dan bekerja keras untuk dapat menghidupi Clem dan dirinya sendiri. Setiap hari sepulang sekolah hingga Maghrib, Alex membantu induk semangnya membersihkan rumah. Dari situ, dia mendapatkan diskon 20% untuk biaya kos perbulan. Dan dari uangnya yang tidak berlebih itu, dia berusaha sehemat mungkin untuk menutup keperluan sekolahnya yang sangat mahal. Untungnya, karena sekarang dia menjadi juara umum, maka selama 1 semester kedepan, dia tak perlu membayar sebab mendapatkan beasiswa. Karenanya, Alex akan beruasha untuk mempertahankan prestasinya. Lumayan juga kan, bila karena pandai dia jadi tidak usah bayar uang sekolah selamanya?
Kini dia tahu apa artinya sebuah tanggung jawab. Dan dia tak merasa terbebani olehnya. Dan nanti, suatu saat bila dia sudah menikah dan memiliki anak, dia juga akan dituntut untuk semakin memahami apa arti sebuah tanggung jawab.
Ya, dia tahu itu –tanggung jawab.
Sebab dia adalah seorang laki-laki.
BAB XII…



Fariz, Mila dan kedua putra mereka, Andre dan Ridwan, duduk termenung di sekeliling meja makan. Malam ini –pertengahan bulan Maret, bulan yang selalu memberikan kemurungan bagi keluarga mereka. Padahal dulu, tepat 29 tahun yang lalu, hari ini telah memberikan kebahagiaan yang luar biasa pada mereka. Tepat 29 tahun yang lalu, putra bungsu keluarga Razin itu terlahir ke dunia ini. Dan tepat 29 tahun yang lalu pulalah mereka berempat menengadah kepada Tuhan mereka untuk bersyukur atas kedatangan anggota terkecil keluarga mereka tersebut.
Namun apalah yang terjadi hari ini?
Mereka memang juga menengadah kepada Tuhan mereka. Tapi bukan untuk bersyukur, melainkan untuk bertanya. Pertanyaan yang telah mereka panjatkan setiap detik semenjak 12 tahun yang lalu.
Dimana dia sekarang, Tuhan? Apa yang kini dilakukannya? Bagaimana keadaannya? Baik-baik sajakah dia? Apa yang telah dialaminya?
Lalu setelah kelima pertanyaan wajib itu telah terucapkan, doa mereka kemudian menyusul. Tuhan, jagalah dia selalu.
Dan segera setelah doa itu dipanjatkan, mereka lalu mengucapkan lagi satu pertanyaan akhir bagi mereka, pertanyaan yang sangat ingin mereka ketahui jawabannya. Dan mereka sangat berharap jawabannya adalah: ya.
Tuhan, apakah dia akan kembali?
Seperti biasa, setelah menanyakan hal itu, mereka berempat pasti akan menangis berurai air mata. Siapa pula yang akan tahan dengan penderitaan itu? Selama dua belas tahun –suatu waktu yang lama sekali, mereka telah kehilangan sesuatu –seseorang, yang sangat berharga bagi mereka.
Rasanya tak percaya hari itu datang juga –hari dimana dia memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka. Padahal, sepertinya anak itu baru saja lahir diantara mereka.
Hari ini seharusnya Alex merayakan ulang tahunnya yang ke-29.
Sudah besar sekarang anak itu.
Dimana dia?


























BAB XIII…



Alex berjalan cepat dari kamar mandi dan bergegas menuju kamarnya. Dalam perjalanan, sesekali dia bersimpangan dengan beberapa orang anggota keluarga tempatnya kos sekarang. Dengan malas Alex memikirkan tentang kardus-kardus dan sekoper besar barang bawaannya yang masih belum dibenahi. Kapan dia akan punya waktu luang untuk itu? Mungkin nanti malam, atau mungkin juga akhir minggu ini. Tapi sebelumnya dia akan ke toko untuk membeli kantung plastik besar untuk menyingkirkan barang-barang yang tidak lagi diperlukannya –seperti kaos yang sudah lusuh, gantungan kunci garfield-nya yang sudah jebol, buku-buku komiknya yang lama, dan masih banyak barang-barang lainnya.
Sambil bersiul Alex memasuki kamarnya dan mengunci pintu itu. Kemudian dengan sedikit fustrasi dia membuka lemari pakaiannya dan dengan tolol menyadari bahwa dia belum memindahkan pakaian-pakaiannya ke dalam lemari itu. Maka dengan cepat dia meraih kopernya, membuka jubah mandinya dan mengenakan baju dalam.
Lalu dengan bingung dia memilih baju yang akan dikenakannya hari ini. Dengan tidak sabar dia melemparkan pakaiannya kesana kemari. Polo shirt, kaos base ball, kemeja flanel ketat. Tidak –lupakan saja! Dengan kesal Alex mendorong baju-baju itu ke dalam kopernya lagi. Lalu sebagai alternatif terakhir, Alex meraih kemeja katun lengan panjang berwarna biru dongker favoritnya, dan secepat kilat mengenakannya.
Kemudian sambil menggulung lengan kemejanya hingga siku, Alex mengamati tumpukan celananya. Sebuah celana panjang hitam yang sangat kusut, celana pendek, celana training untuk jogging setiap pagi, lalu sebuah jeans ketat berwarna pudar. Nah, itu dia! Alex meraih jeans itu dan mengenakannya. Memang jeans itu tidak pantas dikenakannya pada hari pertama bekerja seperti ini, namun dia tak ada pakaian yang lebih baik dari itu.
Dengan terburu-buru dia meraih sepatu kets Reebok-nya yang sudah lama dan mengenakannya dengan cepat. Lupakan sepatu resmi untuk hari ini. Dia malah akan terlihat seperti orang bodoh bila memakainya disertai celana jeans dan kemeja tidak dimasukkan seperti ini.
Lalu dengan lega karena akhirnya persiapannya selesai sudah, Alex menyambar jaket kulit dan kunci Hondanya, lalu menerobos kota dengan motor kecilnya yang lincah itu.
Hal terakhir yang diingatnya adalah bahwa nanti dia harus ke bank lagi untuk mengambil uang. Dia harus beli beberapa kemeja dan celana panjang baru.
Dalam waktu empat puluh lima menit, Alex telah berada di depan pintu gerbang sebuah SLTP Negeri –dimana dia akan mulai bekerja sejak hari ini.


***


Alex memandang tas belanjaan yang dijinjingnya.
Enam buah kemeja baru –semuanya biru dengan motif kotak-kotak, walaupun jenis birunya berbeda dan motifnya bervariasi. Lalu tiga buah celana panjang –semuanya hitam. Sepotong dasi polos bergradasi warna yang juga biru, dan empat pasang kaus kaki –biru juga. Alex rasa semua itu sudah cukup untuk permulaan. Lagipula, dia tak mau lagi mengeluarkan lebih banyak uang untuk keperluan penampilannya. Ini saja sudah menghabiskan ratusan ribu rupiah. Alex hanya bisa menunggu hingga akhir bulan, dimana dia akan menerima gaji pertamanya.
Gaji pertamanya sebagai pegawai negeri.
Selama ini, sebab dia adalah mahasiswa yang baik, dia diberi kesempatan menjadi pengajar paruh waktu di sebuah tempat bimbingan belajar dengan gaji lumayan –paling tidak, cukup untuk memenuhi kebutuhan primernya. Dan dari sisa gaji bulanan yang ditabungnyalah makanya dia bisa mencicil membeli motor secara kredit.
Sebetulnya sejak dulu Alex tidak pernah bermimpi untuk membeli sebuah motor. Pasalnya, semenjak SMA dulu, kemana pun dia bisa pergi naik bus. Paling-paling bila sedang ada uang lebih dan malas berpanas-panasan dalam bus kota yang sesak, dia akan pergi naik taksi. Namun secara keseluruhan, selama ini Alex tidak pernah memerlukan kendaraan pribadi.
Tetapi sejak delapan tahun yang lalu –tepatnya pada semester kedua kuliahnya di IKIP Jakarta, Alex mulai merasa keteter bila harus kemana-mana naik kendaraan umum. Dia seringkali harus pulang malam atau datang pagi-pagi, dan kendaraan umum sangat sulit ditemukan. Akhirnya, Alex mengakui bahwa dia memerlukan kendaraan. Paling tidak, dia harus membeli motor.
Dan saat dia sampai pada keputusan itu, munculah masalah baru. Yaitu masalah uang. Darimana dia akan mendapatkan uang untuk membayar benda itu? Memang dulu dia berasal dari keluarga kaya, namun sekarang dia tidak lagi tinggal bersama mereka. Sekarang dia adalah Alex –si anak muda yang harus bertanggung jawab penuh pada dirinya dan semua keperluannya. Alex tahu tabungannya lumayan banyak, tapi setelah sebagian besar diambilnya untuk uang kuliah dan membeli buku-buku, sisanya tidak cukup banyak untuk membeli sebuah motor.
Kenyataan itu membawanya pada suatu keputusan bahwa dia harus mencari pekerjaan sampingan. Itu tidak mudah ditemukan sebab dia masih menyandang gelar mahasiswa. Kebanyakan perusahaan menuntut calon pegawai minimal sarjana, atau malah yang telah berpengalaman. Selama berbulan-bulan dia membalik-balik koran yang ada padanya untuk menemukan lowongan pekerjaan sampingan bagi mahasiswa.
Hingga akhirnya dia menemukan iklan itu. Di sebuah koran dikatakan bahwa sebuah bimbingan belajar baru membuka cabang di daerahnya. Mereka membutuhkan staff pengajar yang kompeten dengan status mahasiswa. Pemikiran mereka, mahasiswa akan lebih bisa berinteraksi dengan para siswa sebab usia mereka masih terbilang muda. Dan karena orang-orang muda jaman sekarang banyak yang sinting, maka untuk menentukan 24 staff yang akan dipekerjakan itu, diadakanlah sebuah test seleksi.
Test-test itu terdiri dari psikotes, tes akademik, dan presentasi. Untuk itu, para calon harus maju ke muka ruangan untuk melakukan sejenis seminar.
Test-test itu berhasil dilalui Alex dengan baik. Dan satu hal lagi yang membantu kelancaran pemerimaannya adalah statusnya sebagai mahasiswa IKIP –universitas yang terkenal dapat membentuk staff pengajar yang baik. Maka mulai saat itulah –tepatnya saat Alex menginjak akhir semester empat, dia bekerja di bimbingan belajar tersebut dan memutuskan untuk membeli motor baru secara angsuran.




























BAB XIV…



“Kapan lulus dari universitas?” tanya Miko –sesama rekan gurunya di sekolah menengah itu. Mereka berdua sedang menikmati makan siang di kantin sekolah. Tempat itu lumayan ramai, sebab anak-anak yang masih mau main-main di sekolah dan enggan pulang, pasti berkumpul di tempat itu.
“Dua tahun yang lalu. Setelah lulus aku langsung melamar pekerjaan ke Departemen Pendidikan, dan selama itu aku sempat menganggur selama setahun.” Alex menjawabnya sambil tersenyum. “Aku sempat panik waktu itu. Aku betul-betul kaget saat tidak punya pekerjaan. Yah, kamu tahu sendiri kan, semenjak aku bukan lagi mahasiswa, aku tidak boleh lagi bekerja di bimbingan belajar itu.”
“Aku mengerti. Kalang kabut juga kamu pasti, ya! Keluar dari bimbel, tapi jadi guru betulan juga belum pasti. In between sekali ya, waktu itu.”
Alex tertawa hangat mengiyakan. “Tapi untungnya kepastiannya segera datang.”
“Kamu senang, dong!”
“Senang sekali.”
Miko tersenyum pada rekan barunya itu. “Sudah lama kamu ingin jadi guru?”
“Lumayan.”
“Sejak kapan?”
“Sejak aku tahu bila mau masuk surga harus taubat dulu.”
Miko terbelalak. “Kok?”
Alex tertawa melihat reaksi temannya itu. “Ya, itu benar! Aku ingin jadi guru karena aku ingin menebus dosaku semasa remaja. Kamu tahu? Dulu aku ini anak bandel dan nakalnya tidak ketulungan. Beberapa kali orang tuaku dipanggil ke sekolah oleh guru BP. Pernah juga sekali aku kena skorsing. Lambat laun, seiring dengan perkembangan jiwaku, aku jadi sadar betapa aku sangat berdosa dulu. Itu membuatku merasa sangat bersalah. Dan aku bermaksud untuk menebus penyesalan itu dengan menjadi guru.”
“Jadi itu toh, alasanmu.”
“Selain itu aku merasa bahwa guru adalah profesi yang sangat mulia. Tak ada salahnya keputusanku itu.”
“Tapi kan, gajinya kecil.”
“Aku sudah biasa hidup pas-pasan. Ayah ibuku kaya, tapi semenjak aku hidup berpisah dari mereka, aku telah melepaskan semua itu. Justru bila sekarang aku jadi milyuner, aku malah tak tahu harus melakukan apa.” sahut Alex.
“Memangnya kenapa kamu pergi dari keluargamu?”
“Ada… sedikit masalah yang merupakan rahasia perusahaan.” Alex tertawa. “Tapi percayalah, semuanya baik-baik saja. Aku tidak berarti berpisah betul-betul dari keluargaku. Hari Sabtu ini malah aku bermaksud untuk pulang. Aku sudah sangat kangen dengan mereka.”
Segera setelah dia menyelesaikan makan siangnya, Alex langsung memacu motornya kembali ke kos-kosannya, berganti pakaian, memasukkan beberapa lembar pakaian ke dalam tas ranselnya, dan dengan naik bus dia menuju stasiun kereta api.
Aku ingin pulang…
Sebagai seorang laki-laki.












EPILOG…



“Sebentar!!!”
Mila berlari menuju pintu depan dan sambil menggerutu membukakan pintunya. Siapa sih, yang datang ke rumahnya malam-malam begini? Ini sudah pukul setengah delapan dan kini dia sedang makan malam bersama suami dan anak-anaknya,
Namun seketika itu juga rasa kesalnya menguap tidak berbekas.
Mila menutup mulutnya dengan tangan. Wanita tua itu tidak sanggup berbicara. Kesunyian menyelimuti dirinya, hatinya, pikirannya. Saking sepinya, dia bahkan bisa mendengar detak jantungnya sendiri.
Bila ini mimpi, dia tak ingin terbangun.
Dan untuk menjaga agar impian itu tetap bertahan, Mila tak mau melakukan apa pun. Dia tidak bergerak, dia tidak bicara, dia tidak melakukan apa-apa. Hanya satu yang dilakukannya: menangis.
“Ibu…”
Ya, suara itulah yang selama ini dinantikannya. Suara itulah yang setiap malam menganggu pikiranya. Suara itulah yang bertahun-tahun dirindukannya. Selama ini Mila selalu berdoa dengan penuh harap agar impiannya terwujudkan –agar Tuhan mengembalikan putranya yang tercinta padanya. Namun karena telah terlalu lama memimpikannya, karena telah sekian lama mendambakannya, kini saat impian itu menjadi nyata malah terlalu sulit baginya untuk menerima.
Bahwa semuanya ini benar.
Ini kenyataan.
Realita.
“Ini aku, Bu…”
Mila mengerjapkan mata tiga kali, seolah-olah untuk memastikan bahwa siapa yang sedang berdiri di hadapannya bukanlah fatamorgana yang setiap saat bisa musnah bila dia mengedipkan mata. Namun saat Mila membuka mata dan dilihatnya orang itu masih tetap di sana, sadarlah dia.
Alex Razin-nya memang telah kembali.
Mila tahu dia tak akan mungkin mengatakan apa-apa. Maka dia hanya berlari dan menghambur ke dalam pelukan laki-laki itu. Laki-laki itu adalah anaknya. Putranya. Buah hatinya. Kembang tidurnya. Pelita hidupnya. Segalanya.
Anak itu sudah besar sekarang. Bahunya kekar, dadanya bidang, lengannya kuat, tubuhnya atletis. Dia telah menjelma menjadi seorang pria dewasa dengan penuh keajaiban.
Mila menengadah dan memandang wajah putranya. Dia membelai wajah itu dan merasakan betapa hangat mimiknya, betapa halus garisnya, betapa mata yang hitam itu memancarkan cinta kasih yang mendalam, betapa senyum tulus itu mengulaskan kisah panjang yang entah kapan akan dapat diungkapkannya.
Lalu tanpa berkata apa-apa, Alex menggengam tangan ibunya, menciumnya. “Maafkan aku, Ibu.” Lalu dia mengandeng ibunya menuju ruang makan dan melihat orang-orang yang sangat dia rindukan di sana.
Ayahnya, kakak-kakaknya.
Dilihatnya ada seorang wanita muda yang tidak dia kenali sedang menggendong bayi. Tahulah dia, itu pasti istri salah satu kakaknya. “Ayah, aku pulang, ayah.”
Seketika itu pula sendok yang sedang dipegang Fariz jatuh berdenting di lantai. Pria tua itu menoleh dan seketika terguyur rasa bahagia yang luar biasa. “Kau?”
“Ya, ini Alex, Yah.”
“A… Alex? Kamu… Al… ya, Tuhan! Itu… itu kamu –tapi tidak. Maksudku… kau… demi Tuhan, itu kau! Anakku… kau!”
Fariz dengan segenap tenaga yang tersisa di tubuhnya langsung berlari menuju putra bungsunya yang tercinta dengan berurai air mata. Dengan rasa sayang yang meledak-ledak dia memeluknya, menciumnya, mengusap-usap rambutnya.
Kedua kakaknya juga ikut melakukan hal yang sama. Itu membuat Alex banjir air mata, terharu, sedih, rindu, sekaligus menyesal. “Ayah… aku minta maaf, Ayah. Selama ini… aku membuat kalian semua menderita. Namun sekarang aku kembali, aku berhasil, Ayah. Aku kembali untuk kalian, untuk ibu, untuk ayah, untuk kakak-kakak.”
Ayahnya menangis semakin menjadi-jadi dan mencium dahi putranya itu. Lalu Fariz tertawa kecil. “Wah wah wah, coba lihat ini. Sekarang kamu sudah lebih tinggi dari ayah.” Alex tersenyum bahagia. Lalu dia berlutut dan menunduk diantara kedua kaki ayahnya.
Dan dia menangis di sana.
Fariz berlutut dan mengangkat wajah putranya dengan kedua tangan. Lalu dengan penuh rasa bangga dia tersenyum dan mencium putranya.
“Anakku –anak laki-lakiku…”






~***~
Share on Google Plus

About Fikri

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar

Sundul gan! Ane ga kenal yang namanya spam...